5
dibandingkan dengan kelompok kontrol dan tekanan darah sistolik berbeda 17 dari kelompok kontrol. Dijumpai bahwa peningkatan stress hemodinamik pada
kelompok diltiazem tidak berbeda bermakna sesaat setelah intubas
i
. Namun, Lee dkk
2002 mengatakan bahwa diltiazem sendiri tidak mampu menumpulkan respon hemodinamik.
21
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti merumuskan masalah: Apakah ada perbedaan diantara premedikasi klonidin 3 µgKgBBiv dan
diltiazem 0.2 mgKgBBiv dalam hal mengurangi respon hemodinamik terhadap tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakheal?
1.3 Hipotesa
Ada perbedaan antara premedikasi klonidin 3 µgKgBBiv dalam menekan respon hemodinamik dalam tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan dengan
premedikasi diltiazem 0.2 mgKgBBiv.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum Mendapatkan alternatif obat tambahan untuk mencegah peningkatan respon
hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui perubahan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik ,
tekanan arteri rerata, denyut jantung dan rate pressure product pada tindakan laringoskopi dan intubasi dengan menggunakan premedikasi klonidin 3
µgKgBBiv.
b. Mengetahui perubahan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,
tekanan arteri rerata, denyut jantung dan rate pressure product pada tindakan laringoskopi dan intubasi dengan menggunakan premedikasi diltiazem 0.2
mgKgBBiv.
Universitas Sumatera Utara
6
c. Mengetahui perbedaan respon hemodinamik tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolik, tekanan arteri rerata, denyut jantung, rate pressure product pada tindakan laringoskopi dan intubasi diantara premedikasi klonidin 3
µgKgBBiv dan diltiazem 0.2 mgKgBBiv.
d. Mengetahui efek samping dari premedikasi dengan klonidin 3 µgKgBBiv.
e. Mengetahui efek samping dari premedikasi dengan diltiazem 0.2
mgKgBBiv.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Jika hasil penelitian ini optimal maka akan ditemukan alternatif obat
tambahan yang dapat mengurangi respon hemodinamik yang merugikan pada tindakan laringoskopi dan intubasi dengan efek samping yang minimal.
b. Diharapkan penlitian ini dapat memberikan manfaat dalam pelayanan
masyarakat dalam mencegah peningkatan respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, terutama pada populasi hipertensi.
c. Mengurangi kebutuhan opioid sebagai analgesia pada tindakan laringoskopi
dan intubasi yang memiliki beberapa efek samping yang signifikan. d.
Sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Laringoskopi Dan Intubasi
Intubasi endotrakhea adalah teknik paling penting dan paling aman dalam menjaga jalan nafas dengan cara memasukkan ETT endotracheal tube ke dalam trakhea
melalui mulut atau hidung dengan bantuan laringoskop.
22
ETT digunakan sebagai penghantar gas anestesi dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi, ataupun
pada pasien dengan anestesi umum.
23
Sedangkan laringoskopi yaitu suatu pemeriksaan untuk melihat laring, bagian belakang faring, dan plika vokalis dengan
alat laringoskop. Pada tindakan intubasi endotrakhea rutin dilakukan dengan bantuan laringoskop.
25
Kirstein adalah orang pertama kali yang melakukan intubasi endotrakhea dengan bantuan laringoskop pada tahun 1985.
22
Laringoskopi dalam tindakan intubasi endotrakhea berguna untuk memeriksa bagian dalam laring dan
pencahayaan alat ini penting untuk penempatan TT.
23
Intubasi endotrakhea diindikasikan untuk beberapa hal, antara lain pasien gagal nafas yang membutuhkan ventilator mekanik, adanya sumbatan saluran nafas
bagian atas, untuk membantu ventilasi, memudahkan menghisap sekret dari traktus trakheo-bronkhial, mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang
berasal dari lambung, pasien dengan syok berat, atau pada pembedahan dengan anestesi umum.
23,25
2.2 Anatomi