Tafsīr bi al-Ra’yi

Tafsir-Ilmu Tafsir Kurikulum 2013 125 125 Marwa adalah termasuk perbuatan jahiliyah? Dijawab dengan hadis yang berbunyi sebagai berikut: ملسم هاور .اَف َصلا ُ ٰلا َ أَدَب اَمِب ْ أَدْبِا Artinya: Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Ṣafa H.R.Muslim 4. Penafsiran ayat al-Qur`an dengan pendapat Tābi’īn. Firman Allah dalam QS. al- Baqarah [2] ayat 26 sebagai berikut: ٦.... اَهَقْوَف اَمَف ًة َضوُعَب اَم ًلَثَم َبِ ْضَي ْن َ أ ِيْحَتْسَي ا َ ٰلا َنِإ Artinya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.. Menurut Ḥasan ‘Ibn Yahya, mengapa Allah menyebut nyamuk atau yang sebangsanya yaitu lalat dan laba-laba, dan orang musyrik berkata, mengapa Allah Swt menyebut sebangsa lalat dan laba-laba, menurut Ibn `Abbas ini adalah merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.

2. Tafsīr bi al-Ra’yi

a. Pengertian Tafsīr bi al-Ra’yi

Tafsīr bi al-ra’yī berasal dari kata tafsīr, bi dan al-ra’yī. Secara bahasa al- ra’yī berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yī juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian ini, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsīr bi al-Ra’yī adalah menyingkap isi kandungan al-Qur`an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal. Secara istilah, tafsīr bi al-ra’yī adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan akal sebagai titik tolak. Bentuk ini dinamakan juga dengan al-tafsīr bi al-ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al-tafsir bil-ma’ṡūr. Karena alasan tersebut, beberapa ulama menolak penafsiran ini, dan menyebutnya sebagai al-tafsīr bi al-hawa tafsir atas dasar hawa nafsu. Namun, banyak para ulama yang dapat menerima tafsir ini juga, tapi dengan syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an sendiri, yang menurut mereka, memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungan al-Qur`an. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir ini, sebagaimana yang dikutip Ṣubḥi al-Ṣāliḥ, adalah sebagai berikut. َاهُلاَفْقَأ ٍبوُلُق َ َع ْمَأ َنآْرُقْلا َنوُرَبَدَتَي َلَفَأ Artinya: “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci”. Q.S. Muhammad [47]: 24. Buku Siswa Kelas X 126 ِباَ ْ لأا وُلو ُ أ َرَكَذَتَ ِلَو ِهِتاَيآ اوُرَبَدَ ِل ٌكَراَبُم َكْ َلِإ ُهاَ ْ لَزْن َ أ ٌباَتِك Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. Q.S. aṣ-Ṣād [38]: 29. Meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus mendasarkan pemahamannya pada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.. akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam menggunakan cara ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaidah-kaidah penafsiran yang ketat, antara lain: 1 Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya. 2 Menguasai ilmu-ilmu al-Qur`an. 3 Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur`an, seperti hadis, Usul iqh dan lain sebagainya. 4 Beraqidah yang benar. 5 Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam. 6 Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.

b. Klasiikasi Tafsīr bi al-Ra’yi

Tafsir bi al-ra’yī juga dibagi menjadi dua; tafsir bi al-maḥmūd yang terpuji dan al-ra’yī al-maẓmūm yang tercela. Ibnu Ḥajar al-Asqalāni menjelaskan bahwa pada mulanya seluruh tafsīr bi al-ra’yī adalah tercela. Hal ini karena adanya ḥadīṣ yang melarang penafsiran al-Qur`an dengan al-ra’yī. Namun pada abad kelima Hijriyah, karena kebutuhan dan tuntutan zaman, berkembang pendapat bahwa tidak semua tafsīr bi al-ra’yī tercela, ada juga yang terpuji, yaitu tafsīr bi al-ra’yī yang berdasarkan dalil. Sedangkan dari segi penyandarannya terhadap dalil naqli, tafsīr bi al-ra’yī dibagi kepada dua, yaitu tafsīr naqli dan tafsīr ‘aqli. Dari dua jenis tafsir tersebut timbullah tafsir yang didasarkan pada pendapat pribadi. Jenis tafsir ini dilarang mutlak oleh para ulama. Inilah yang oleh al-Mawardi disebut tafsīr al-maẓmūm. Larangan tersebut berdasarkan pada sebuah hadis; “Barang siapa yang berbicara mengenai al-Qur`an menurut pendapatnya sendiri, walaupun ternyata benar, maka ia tetap telah berbuat sesuatu yang keliru”. Maksud “pendapat” dalam hadis tersebut ialah perkataan yang diucapkan tanpa dalil yang sah menurut syara’. Orang yang berbuat demikian itu tidak menempuh jalan yang lurus dalam menafsirkan al-Qur`an. Akan tetapi jika orang menafsirkan al-Qur`an berdasarkan dalil-dalil yang sah menurut syara’, tentu pendapatnya patut Tafsir-Ilmu Tafsir Kurikulum 2013 127 127 dipuji dan sama sekali tidak membahayakan agama. Tafsir seperti ini yang disebut al-ma ḥmūd .

3. Kitab-kitab yang tergolong tafsir bil ma’ṡūr dan tafsir bir ra’yi.