Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung Di Kabupaten Aceh Besar Oleh BRR NAD – Nias

(1)

WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI MELALUI

PENUNJUKAN LANGSUNG DI KABUPATEN

ACEH BESAR OLEH BRR NAD – NIAS

T E S I S

 

Oleh

MUHAMMAD ZAKI

077011044/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI MELALUI

PENUNJUKAN LANGSUNG DI KABUPATEN

ACEH BESAR OLEH BRR NAD – NIAS

T E S I S

 

 

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD ZAKI

077011044/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

ABSTRAK

Keputusa Presiden No. 80 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 20 pada intinya menentukan bahwa cara pemilihan penyedia jasa, yaitu dapat dilakukan melalui Penunjukan Langsung. Metode penunjukan langsung dibuat dalam bentuk kontrak konstruksi yang berisi perjanjian pemborongan antara pemilik pekerjaan dan kontraktor untuk melaksanakan, menyelesaikan dan memelihara pekerjaan, namun pelaksana jasa kontruksi tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana yang ditentukan hanya melakukan pembangunan seadanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Berdasarkan kondisi tersebut, adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui bentuk-bentuk wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS dan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung serta untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS.

Untuk membahas permasalahan tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis dan jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan gabungan antara yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Besar. Alasannya adalah pelaksanaan kontrak kerja konstruksi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan lapangan dengan wawancara kepada responden dan informan. Responden adalah Divisi Perumahan dan Permukiman BRR NAD – NIAS, Bidang Layanan Hukum BRR NAD-NIAS, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa Konstruksi (kontraktor). Sedangkan yang menjadi informan adalah Bidang Pengawasan BRR NAD – NIAS, Biro HUMAS BRR NAD-NIAS, Biro HUMAS/HUKUM Pemerintah Aceh dan masyarakat korban bencana.

Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk-bentuk wanprestasi adalah penyedia jasa konstruksi tidak menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya; melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan bestek dan spesifikasi yang ada dalam kontrak; mensub kontrakkan pekerjaan kepada pihak ketiga. Sehingga ketiada pemenuhan atau kegagalan oleh penyedia jasa dalam perjanjian ini untuk melaksanakan kontra prestasi merupakan suatu pelanggaran terhadap perjanjian (wanprestasi). Prosedur pelaksanaan penunjukan langsung terhadap proyek pembangunan perumahan bantuan yang didanai oleh BRR NAD


(4)

tersebut kepada penyedia jasa konstruksi sebenarnya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hanya saja akibat kurang telitinya panitia pelaksana dalam menilai rekanan tersebut mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Wanprestasi terjadi karena kenaikan harga material, besarnya biaya tambahan yang harus dikeluarkan, dan akibat kelalaian penyedia jasa untuk dapat menyelesaikan proyek tepat pada waktunya. Akibat hukum yang timbul dari tindakan penyedia jasa yang tidak melaksanakan kewajibannya adalah penyedia jasa bersangkutan dikenakan sanksi salah satunya dengan memasukkan penyedia jasa dalam daftar hitam rekanan sehingga tidak dipercaya lagi melaksanakan proyek lainnya. Upaya penyelesaian yang ditempuh terhadap penyedia jasa yang tidak melaksanakan kewajibannya dilakukan melalui musyawarah di antara para pihak. Hal ini didahului dengan pemberian teguran dan diupayakan penyelesaian kontrak dengan membuat addendum kontrak. Disarankan bagi pengguna jasa untuk melihat kemampuan penyedia jasa yang melaksanakan pembangunan perumahan tersebut, jangan asal anak daerah atau kontraktor lokal, yang perlu kualitas. Disarankan kepada pengguna jasa untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tidak perlu harus penyedia jasa anak daerah, untuk pembangunan perumahan Aceh/Nias di pergunakan tenaga yang benar-benar ahli dan bertanggung jawab. Dituntut kesadaran pengguna jasa untuk tidak menuntut pemotongan harga proyek yang terlalu banyak.

 

Kata Kunci : Wanprestasi Kontrak Kerja Konstruksi; Pembangunan perumahan

                 


(5)

ABSTRACT

Decision of president, number 80, the year of 2003 about execution of implementing of goods/service govemment. At section 20 it determining that way of election of service feeder, that is can be done through direction. Direction method of direct is made in the form of works and contractor to execute its, finalizes and looks after work, but construction service executor didn’t execute its achievement as much as possible, based on the condition, as for intention of this research is to know form of defaults in execution of construction job contract at set of housing job and settlement of rehabilitation body and reconstruction NAD-NIAS and know factors causing the happening of default dalm execution of construction of construction job contrac at set of housing job and settlement of rehabilitation body and reconstruction NAD-NIAS.

To study the problems is upper, hence research done, it has the character of analytical descriptical and research type which will be applied is use approach of alliance between juridical normative and juridical sociological. Location of this research is big Aceh sub-province. Its reason is execution of construction job contract unmatched to rule applied. Data collecting method applied is bibliography research and field by interviewing responder and informan. Responder is housing division and settlement of rehabilitation body and reconstruction NAD-NIAS, law service area BRR NAD-NIAS, service user and reconstruction service feeder, although an informan is observation area BRR NIAS, public bureau BRR NAD-NIAS, law bureau at Acehnese government and disaster victim public.

Result of research indicates that forms of default is construction service feeder doesn’t finalize punctual work; works are unmatched to description plan (bestek) and specification of the is in bond; and hand over the work to third party. So no accomplishment or failure by service feeder in this agreement to execute counter of achievement is a collision to agreement (default). Execution procedure of Direct direction for project of development of housing of help is fund by BRR NAD for construction service feeder actually has pursuant to applied. But effect unable to check it executer committee in assessing the partner results the happening of default. Default happened because increase of the price of material, level of surcharger which must be released, and negligence effect of service feeder to be able to finalize punctual project. Legal consequences arising from action of service feeder that is is not executes its obligation is respected service feeder in sanctioning one of them is by entering service feeder in partner blacklist so that was not believe again executes ather project. Solution effort gone through to service feeder that is is not executes its obligation in doing through deliberation


(6)

between the parties. This thing is preceded with giving of exhortation and strived solving of contract with making contract addendum.

Suggested that service feeder in tendering can do correct consideration to the price of various in bond materials to avoid loss later. To service feeder is suggested to execute provisions in contract carefully to avoid sanction and penalty and in order not to the happening of exhortation by service user. Suggested to consumer to do assessment carefully to ability of service feeder in working so that not happened default and dispute later. Suggested to service user and service feeder to finalize dispute upon mutual consensus because more profitingly is both parties.

Keywords : Construction Job Contract Default; Development of Housing

   

                         


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Berkat, Rahmat dan Hidayah-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung Di Kabupaten Aceh Besar Oleh BRR NAD-NIAS”. Shalawat dan Salam disampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Tesis ini merupakan suatu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga penulis sangat berbesar hati untuk mengucapkan terima kasih. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor I Universitas Sumatera Utara yang amat terpelajar Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM dan H. Sp.A (K), para pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Yang amat terpelajar Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B, M.Sc., beserta para


(8)

3. Yang amat terpelajar Bapak Prof.Dr.H.Muhammad Yamin,SH,MS,CN., selaku Ketua Jurusan Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan dalam Program Magister Kenotariatan yang sangat berharga ini, dan juga sebagai Ketua Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk menyumbangkan pikiran dan memberikan petunjuk dalam pengarahan materi ilmiah;

4. Yang amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., sebagai

anggota Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk dalam pengarahan materi ilmiah serta dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Yang amat terpelajar Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn., sebagai anggota Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran maupun masukan dalam menyempurnakan penulisan tesis ini.

6. Yang amat terpelajar Bapak Syahril Sofyan, SH, SpN, MKn dan juga

Dr. Teungku Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, yang masing-masing sebagai penguji mulai dari tahap proposal tesis yang selalu memberikan arahan dan petunjuk dalam penyempurnaan tesis ini hingga selesainya tesis ini.

7. Bapak Ir. Bambang Sudiatmo., selaku Deputi Bidang Perumahan dan


(9)

Perumahan dan Permukiman BRR NAD-NIAS, Bapak Ir. Ramli Ibrahim, MMA., selaku Deputi Pengawasan BRR NAD-NIAS, Bapak Ir. Adjar Sabdo Budi., selaku Inspektur II Kedeputian Pengawasan BRR NAD-NIAS, Bapak Muhammad Insa Ansyari, SH., selaku Kepala Bidang Layanan Hukum BRR NAD-NIAS, Bapak Hamid Zein, SH, M.Hum., selaku Kepala Biro Humas dan Hukum Pemerintah Aceh, yang telah bertindak sebagai responden dan informan selama penulis melakukan kegiatan penelitian.

8. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

9. Seluruh Staf Biro Pendidikan serta teman-teman di Sekolah Pascasarjana

Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini.

10. Pada kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada kedua orang tua tercinta, khususnya kepada Ayahanda Drs. Armiya Mahyiddin dan Ibunda Nuriah Saad, yang selalu memberikan do’a, dorongan dan motivasi baik lahiriah dan bathiniah, serta pendidikan yang amat sangat berguna sehingga dapat menyelesaikan program studi ini dengan baik, serta kepada keponakanku Firman Syahputra dan Putri Sara yang manis-manis, kakanda Mursyida, adik-adikku Sri Marlina, SKM dan Sirajul Munir, SE.Ak, serta juga abang ipar Tarifuddin dan adik ipar Darma Fahmi,SE yang telah memberikan semangat serta bantuan moral


(10)

11. Untuk teman-teman yang setia berdialog kualitatif, Bang Satiruddin, Bang Surya, Zulhujjaian (Zul), Juni, Bang Ancha, Bang Edi, Bang Umri, Bangun, Sabrina, Henny, Kak Herly, Kak Ros, Kak Emi, Wira, dan Keluarga Besar AMA Medan atas perhatian, bantuan dan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, serta rekan-rekan Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

12. Terima kasih kepada Staf dan Pegawai di Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah melayani dengan baik.

Medan, 06 Juli 2009

Penulis

MUHAMMAD ZAKI, SH

     


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Muhammad Zaki, SH

Tempat/Tgl. Lahir : Banda Aceh, 25 Juli 1977

Alamat : Jl. Jama’ah Lr.B Gang Sahabat No.6 Kelurahan

Beurawe Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh 23124

II. Orang Tua

Ayah : Drs. Armiya Mahyiddin

Ibu : Nuriah M. Saad

III. Pendidikan

1. SDN 44 Banda Aceh : Tamat Tahun 1991

2. MTs Al-Fauzul Kabir Kota Jantho : Tamat Tahun 1994

3. SMA Al Mishbah Banda Aceh : Tamat Tahun 1997

4. S-1 Fakultas Hukum UNMUHA Aceh : Tamat Tahun 2005

5. S-2 Magister Kenotariatan (M.K.n) SPs-USU : Tamat Tahun 2009

Medan, 06 Juli 2009

Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I :... PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian... 17

E. Keaslian Penelitian ... 18

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 18

G. Metode Penelitian... 35

1. Jenis Penelitian ... 35

2. Lokasi Penelitian ... 36

3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 37

4. Sumber Data ... 37

5. Metode Pengumpulan Data ... 39

6. Alat Pengumpulan Data... 41

7. Analisis Data ... 42

BAB II : BENTUK - BENTUK WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI MELALUI PENUNJUKAN LANGSUNG... 43


(13)

1. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Kerja

Konstruksi... 43

2. Bentuk-bentuk Wanprestasi Dalam Kontrak Kerja Konstruksi 49 3. Prosedur Yang ditempuh Dalam Melakukan Penunjukan Langsung ... 54

4. Kedudukan Dan Eksistensi Dari Sub Kontraktor Dalam Perjanjian Pemborongan dan Konstruksi ... 66

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI BERKAITAN DENGAN PENUNJUKAN LANGSUNG PELAKSANA JASA KONSTRUKSI ... 72

1. Faktor Kenaikan Barang Bangunan... 72

2. Besarnya Biaya Tambahan yang Dikeluarkan ... 76

3. Kelalaian Penyedia Jasa ... 81

BAB IV : AKIBAT HUKUM DAN UPAYA PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI ... 95

A. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi... 95

B. Upaya Penyelesaian Wanprestasi ... 108

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

     


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Pembangunan Rumah Baru Untuk Kabupaten Aceh Besar Belum

Dimanfaatkan ... 85

2. Kontrak Pembangunan Perumahan Yang Tidak Sesuai Dengan

Ketentuan Yang Berlaku ... 96

3. Hasil Analisa Pekerjaan Pembangunan Rumah Tipe 36 dikabupaten

Aceh Besar ... 101

4. Asas dan Tujuan Pengaturan Jasa Konstruksi Sesuai Undang-undang

Nomor 18 Tahun 1999 ... 110

5. Jenis Usaha Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-undang Nomor 18

Tahun 1999 dan PP Nomor 28 Tahun 2000 ... 112  

     

                 


(15)

Telah diuji pada

Tanggal : 06 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum

2. Chairani Bustami Bustami, SH, SpN, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum 4. Notaris Syahril Sofyan, SH, SpN, MKn


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah bencana dasyat gempa bumi dan tsunami berlalu, kini para korban bencana yang tersisa, terutama bagi mereka yang rumahnya hancur diterjang gelombang tsunami atau bahkan hilang tidak berbekas akibat telah menjadi lautan memerlukan rumah tempat mereka berteduh demi kelangsungan hidup mereka. sebelumnya bagi mereka telah didirikan barak-barak, namun kondisi barak tersebut tidak memungkinkan bagi mereka untuk bisa hidup leluasa. hal ini disebabkan disamping barak tersebut sangat kecil, kebutuhan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) tidak memadai, juga kebutuhan air bersih tidak mencukupi. mereka menginginkan adanya bantuan untuk didirikan rumah, walaupun rumah tersebut tidak sebagus tempat tinggal mereka sebelumnya yaitu sebelum bencana itu datang.

Memulihkan kondisi Nanggroe Aceh Darussalam pasca Tsunami dan merealisasikan keinginan warga tentulah tidak mudah dan tidak segampang membalikkan telapak tangan. hal ini perlu dilakukan dengan bertahap-tahap. Pelaksanaan rekonstruksi oleh pemerintah pada tahap awal yang mereka bangun adalah sarana dan prasarana umum, seperti jalan, sekolah-sekolah, tempat-tempat ibadah, jembatan, pelabuhan, jaringan-jaringan listrik dan komunikasi dan lain sebagainya yang dapat memperlancar kehidupan sosial ekonomi. Pada berikutnya


(17)

mereka mendirikan rumah-rumah bagi mereka para korban Tsunami terutama bagi mereka yang telah lama tinggal dibarak-barak dan tenda-tenda pengungsian.1

Penyerahan suatu pekerjaan kepada penyedia jasa konstruksi didahului dengan pemilihan oleh pengguna jasa terhadap penyedia jasa konstruksi yang dinilai mampu dan layak melaksanakan pekerjaan tersebut. Pemilihan ini didasarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Berdasarkan Pasal 20 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 pada intinya menentukan bahwa cara pemilihan penyedia jasa, yaitu melalui (1) Pelelangan Umum; (2) Pelelangan Terbatas; (3) Penunjukan Langsung; dan (4) Pemilihan Langsung.

Metoda Pelelangan Umum/Seleksi Umum adalah metoda pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dan dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

Metoda Pelelangan Terbatas/Seleksi Terbatas adalah metoda pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

      

1


(18)

Metoda Pemilihan Langsung/Seleksi Langsung adalah metoda pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan penumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet.

Metoda Penunjukan Langsung adalah metoda pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan dengan menunjuk langsung 1 penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Mengenai teknis pelaksanaan terdapat pula peraturan-peraturan lain seperti Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam lampiran 1 keputusan tersebut dicantumkan mengenai ketentuan-ketentuan tentang pelelangan, pengadaan dan penunjukan langsung unit pemborong/pembelian.

Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa penentuan pelaksana jasa konstruksi dapat dilakukan melalui penunjukan langsung. Penunjukan langsung merupakan salah satu sistem penetapan pelaksanaan kontrak kerja konstruksi tanpa melalui tender, dimana pengguna jasa dapat memilih pelaksana jasa yang dipandang layak dan memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.


(19)

Dalam menentukan pelaksana jasa yang akan ditetapkan sebagai pelaksana suatu proyek konstruksi dilakukan oleh panitia pemilihan langsung yang dibentuk oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja atau Pemimpin Proyek yang beranggotakan 5 orang yang terdiri dari unsur-unsur (1) Perencanaan Pekerjaan, (2) Penanggung Jawab Keuangan dan (3) Penanggung Jawab Peralatan dan Pemeliharaan.

Setelah penunjukan langsung perjanjian pelaksanaan pekerjaan konstruksi juga dibuat dalam bentuk kontrak konstruksi yang berisi perjanjian pemborongan seperti pada kontrak konstruksi melalui pelelangan umum maupun pelelangan terbatas. Dalam pembuatan kontrak selama ini tidak melibatkan Notaris baik dari segi pembuatan maupun dalam hal Legalisasi. kontrak yang dibuat merupakan perjanjian baku, dimana isi kontrak telah dibuat terlebih dahulu oleh pihak BRR selanjutnya kontraktor atau penyedia jasa tinggal menyetujui saja isi kontrak yang telah dibuat tersebut, selain kontrak yang telah dipersiapkan, pihak BRR juga yang menyediakan bestek rumah (gambar rumah yang akan dibangun). Di dalam kontrak dimaksud juga ikut diperjanjikan hal-hal yang menjadi kewajiban pelaksana jasa konstruksi dalam masa pemeliharaan kecuali dalam hal tertentu.


(20)

Dalam rangka mencari pelaksana jasa yang benar-benar berbobot untuk melaksanakan pembangunan fisik ini, juga berpedoman pada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaksana jasa/kontraktor yang ingin ikut serta dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut yaitu antara lain :

a. Telah lulus prakualifikasi sesuai dengan bidang dan klasifikasi yang telah

ditentukan.

b. Tidak termasuk Daftar Hitam Rekanan.

Syarat-syarat tersebut di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi penyedia jasa sebelum pelelangan pekerjaan dilaksanakan dan ini merupakan seleksi pendahuluan oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh panitia pelelangan pekerjaan. Sedangkan pada kualifikasi yang dinilai adalah kemampuannya dalam menangani proyek, Termasuk kemampuan modal yang cukup untuk membiayai pekerjaan selama borongan itu belum diserahterimakan.

Untuk kelancaran proses administrasi dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi, maka dibuat suatu perjanjian dibawah tangan dan ditandatangani antara para pihak (pemerintah/pimpinan proyek dengan perusahaan/kontraktor) untuk melakukan pekerjaan pemborongan dimaksud. dalam hal ini perjanjian dibuat dengan menggunakan Bahasa Indonesia, yang dibuat dalam rangkap secukupnya dan masing-masing rangkap mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dalam surat perjanjian sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku antara pemilik pekerjaan dan kontraktor untuk melaksanakan, menyelesaikan dan memelihara pekerjaan termasuk bagian-bagiannya serta termasuk denda jika terjadi kelalaian atau tidak sesuai bestek.


(21)

Namun demikian, dalam pelaksanaannya penunjukan langsung yang dilakukan selama ini sering menyebabkan terjadinya kegagalan bangunan. Hal ini disebabkan pelaksana jasa tidak mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak.

Dalam kontrak melalui penunjukan langsung ini juga menghendaki kontraktor pelaksana bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya sesusai dengan yang dimuat dalam kontrak. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih terdapat para pelaksana jasa konstruksi yang tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana yang ditentukan. Kondisi ini disebabkan kontraktor pelaksana yang menjadi rekanan dalam penunjukan langsung hanya melakukan pembangunan seadanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dilihat dari proyek baik proyek bangunan maupun jalan di Provinsi NAD yang dibangun dengan asal-asalan. Hal ini dibuktikan dengan seringnya terjadi kegagalan bangunan akibat wanprestasi dari pelaksana jasa.

Berdasarkan penelitian pada Deputi Perumahan dan Permukiman BRR NAD-NIAS diketahui bahwa dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan perumahan akibat bencana gempa dan tsunami juga dilakukan penunjukan langsung terhadap penyedia jasa. Pada tahun 2005 telah dilakukan penunjukan langsung kepada 5 (lima) kontraktor pelaksana pembangunan rumah 214 unit Type 36 di Kabupaten Aceh Besar yang kesemuanya berakibat pada terjadinya kegagalan bangunan sehingga merugikan pengguna jasa.


(22)

Hal ini seperti yang dilakukan oleh PT. Aceh Setia Abadi membangun 37 (tiga puluh tujuh) unit berlokasi di Kecamatan Lhoknga; PT. Putra Sinar Desa membangun 80 (delapan puluh) unit berlokasi di Kecamatan Leupung; CV. Putera H-Dua membangun 17 (tujuh belas) unit berlokasi di Kecamatan Baitussalam; PT. Jasa Mandiri membangun 40 (empat puluh) unit berlokasi di Kecamatan Baitussalam; PT. Jasa Adek membangun 40 (empat puluh) unit berlokasi di Kecamatan Peukan Bada.

Kelima kontraktor pelaksana tersebut tidak mampu menyelesaikan pembangunan perumahan dilokasi proyek yang dibangun mereka masing-masing sebagaimana ditentukan dalam kontrak dengan pengguna jasa pemborongan. Setelah jangka waktu pembangunan habis, kontraktor pelaksana yang dipilih melalui penunjukan langsung tersebut hanya melaksanakan pekerjaan awal saja. Sebagian besar rumah telah ditempati oleh pemiliknya namun kondisi rumah tersebut seperti fasilitas listrik, air bersih dan jalan serta saluran belum ada, oleh karena itu pemilik berinisiatif untuk mengurus sendiri.

Selain daripada tersebut diatas terdapat dua perusahaan yang melakukan hal yang sama adalah CV. Ranup Lampuan membangun 30 (tiga puluh) unit berlokasi di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar dan CV. Fakta Utama Jaya membangun 13 (tiga belas) Unit rumah yang berlokasi di Desa Lambaro Najid, Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar. Kedua penyedia jasa tersebut sudah lama tidak ada kegiatan dan dibiarkan proyek terlantar begitu saja tanpa ada pemberitahuan pada pihak pengguna jasa, ketika dikonfirmasi kepada penyedia jasa mereka malah tidak ada tanda-tanda untuk memulai kembali pengerjaannya dan dianggap angin lalu saja,


(23)

yang selanjutnya berakibat pemutusan kontrak oleh pengguna jasa, tidak hanya itu kasus tersebut sudah diperkarakan ke pengadilan oleh pengguna jasa dalam hal Satuan Kerja Pengembangan Perumahan dan Permukiman Kabupaten Aceh Besar.

Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan penunjukan langsung juga dapat menimbulkan kegagalan bangunan akibat pemilihan yang dilakukan tidak melalui prosedur dan pengawasan yang ketat. karena pengguna jasa dalam hal ini bidang Pengawasan BRR memprioritaskan kontraktor lokal yang mengerjakan proyek tersebut, padahal kalau dilihat dari segi kualitas maupun kemampuannya melaksanakan pekerjaan jauh dari kriteria atau prosedur yang telah ditetapkan, demikian juga situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu menjadi salah satu pertimbangan pihak BRR untuk menyerahkan proyek perumahan tersebut untuk dikerjakan sampai selesai meskipun tidak sesuai dengan prosedur dan pengawasan yang seharusnya dilakukan.2

Peraturan mengenai hukum perjanjian tercantum dalam buku III KUHPerdata yang berjudul Perikatan. Memang antara perjanjian dengan perikatan mempunyai hubungan yang sangat erat, hal ini dapat diketahui dari isi Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menunjukkan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan di samping undang-undang.

       2

Adjar Sabdo Budi, Inspektur II Deputi Pengawasan BRR NAD-NIAS, Wawancara, tanggal 27 Februari 2009.


(24)

Perjanjian pemborongan bangunan termasuk ke dalam perjanjian pemborongan pekerjaan yang merupakan bagian penting dari hukum perjanjian. Dalam hukum perjanjian dikenal istilah perjanjian umum dan perjanjian khusus. Perjanjian khusus biasanya disebut juga perjanjian bernama.

Dengan istilah perjanjian khusus atau disebut juga perjanjian bernama maksudnya adalah perjanjian yang telah mempunyai nama-nama sendiri. Jadi jenis perjanjian ini telah mempunyai nama tersendiri yang diberikan oleh pembuat undang-undang berdasarkan tipe-tipe atau bentuk-bentuk yang banyak terjadi sehari-harinya.

Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah termasuk salah satu dari jenis perjanjian khusus tersebut. Oleh sebab itu dalam menguraikan pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan secara bersama ada baiknya terlebih dahhulu diuraikan pula perjanjian. Mengenai definisi perjanjian, Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri dengan satu orang atau lebih”. Selain itu, juga perlu ditelaah beberapa pendapat para sarjana.

Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan, pengertian perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang ataupun lebih.3 Wirjono prodjodikoro, juga mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak dalam mana pihak yang satu berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal dan pihak yang

       3

Sofwan, Sri Soedewi Masjchun, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Yayasan Gajah Mada, Yogyakarta, 1972 hal.18


(25)

lain berhak menuntut.4 Sedangkan menurut Subekti, perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5

Dengan demikian jelaslah bagi kita tentang pengertian perjanjian tersebut yaitu suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya atau berjanji terhadap seorang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hak tertentu yang meletakkan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain.

Berkenaan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana yang telah disebutkan terlebih dahulu adalah termasuk jenis perjanjian khusus atau perjanjian bernama, diatur dalam Buku III, Bab VII a, Pasal 1601 b dan dari Pasal 1604-1616 KUH Perdata. Pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut oleh pasal 1601 b disebutkan: “Pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan yang dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah ditentukan”.

Dari bunyi Pasal 1601 b KUHPerdata tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seseorang atau badan hukum (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seseorang atau badan usaha lain (si pemborong) dimana pihak pertama menghendaki atau mengharapkan hasil pekerjaan tertentu yang telah diberikannya dan telah

       4

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Bale, Bandung, 1986, hal.9

5


(26)

disanggupi untuk diadakan oleh pihak lain atas pembayaran sejumlah uang tertentu sebagai harganya.6

Oleh karena itu hal terpenting yang perlu diperhatikan bagi tiap-taip orang yang membuat atau mengadakan suatu perjanjian adalah apapun yang telah diperjanjikannya secara sah berdasarkan hukum harus dilakukan dengan itikad baik sebagai hukum bagi mereka (Pasal 1338 ayat (1) dan (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Menurut A, Meliala Qirom Samsudin, bahwa:

Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum, sedangkan itikad baik dalam pengertian yang objektif maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.7

Dengan demikian dalam membuktikan adanya itikad baik dalam suatu perjanjian adalah apabila pada saat membuat perjanjian adanya kejujuran dari kedua belah pihak, dan pada tahap pelaksanaan perjanjian itikad baik itu ditunjukkan oleh kepatuhan dan kebiasaan.

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pengadaan jasa konstruksi menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 adalah suatu perjanjian antara dua pihak yang pengguna jasa konstruksi dan penyedia jasa konstruksi untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan berupa pembangunan suatu objek tertentu dengan ongkos tertentu pula.

       6

R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal.19

7

Qirom Syamsuddin Meliala.A, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal.2


(27)

Menurut syarat-syarat perjanjian pemborongan yang ditetapkan Direktorat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia Pasal 1 butir j bahwa: “Pengertian perjanjian pemborongan bangunan atau kontrak adalah suatu perjanjian tertulis sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku antara pemilik dan kontraktor meliputi segala aspek pelaksanaan pekerjaan”.

Khusus bagi perjanjian pemborongan bangunan yang melibatkan pemerintah sebagai salah satu pihak, peraturan Hukum Administrasi juga berlaku dalam pembuatan dan pelaksanaan pemborongan bangunan. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa perjanjian pemborongan bangunan di samping tunduk kepada Hukum Perdata (hukum privat) juga tunduk kepada ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara (hukum publik). Ketentuan Hukum Perdata mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak sedangkan ketentuan hukum publik mengatur soal-soal teknis/administrasi.

Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan bahwa pengaturan standar tersebut selain berlaku bagi perjanjian pemborongan bangunan mengenai pekerjaan berlaku bagi pemborong bangunan oleh pihak swasta.8

Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa perjanjian telah terjadi pada saat persetujuan itu disepakati. Dalam hal ini jelaslah persetujuan merupakan hal yang utama karena setiap pihak yang membuat perjanjian/kontrak telah memikirkan

       8

Sofwan, Sri Soedewi Masjchun, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan. Liberty, Yogyakarta, 1982, hal.5


(28)

tentang hak yang akan diperoleh sebagai keuntungan baginya dan kewajiban sebagai beban prestasi yang harus dilaksanakan.

Selanjutnya, dapat dilihat pula pendapat Djumialdji tentang kontrak kerja konstruksi yang mengatakan bahwa “Kontrak kerja konstruksi adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga ditentukan”.9

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa :

1. Pihak yang membuat perjanjian pemborongan atau dengan kata lain yang

terkait dalam perjanjian pemborongan disebut yang memborongkan (bouwheer/aanbestender), sedangkan pihak kedua disebut pemborong/kontraktor/ rekanan/pelaksana (annemer).

2. Objek perjanjian pemborongan adalah pembuatan suatu karya (het maken

van werk).10

Dalam pelaksanaannya kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bentuk dokumen yang dikenal dengan dokumen kontrak kerja konstruksi. Dokumen tersebut yang merupakan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan konstruksi termasuk mengenai susunan (model, letak) dari suatu bangunan yang dijadikan objek kontrak.

       9

Djumialdji FX, Hukum Bangunan (dasar-dasar hukum dalam Proyek dan sumber Daya

Manusia), Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal.4

10


(29)

H.S. Salim mengatakan bahwa di dalam suatu dokumen kontrak jasa konstruksi memuat atau meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Surat perjanjian yang ditandatangani oleh pengguna jasa dan penyedia jasa;

2. Dokumen lelang, yaitu dokumen yang disusun oleh pengguna jasa yang

merupakan dasar bagi penyedia jasa untuk menyusun usulan atau penawaran untuk melaksanakan tugas yang berisi lingkup tugas dan persyaratannya (umum dan khusus, teknis dan administrasi, kondisi kontrak);

3. Usulan atau penawaran, yaitu dokumen yang disusun oleh penyedia jasa

berdasarkan dokumen lelang yang berisi metode, harga penawaran, jadwal waktu, dan sumber daya;

4. Berita acara yang berisi kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa selama proses evaluasi usulan atau penawaran oleh pengguna jasa antara lain klarifikasi atas hal-hal yang menimbulkan keraguan;

5. Surat pernyataan dari pengguna jasa yang menyatakan kesanggupan untuk

melaksanakan pekerjaan.11

Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban di antara para pihak. Momentum timbulnya akibat itu adalah sejak ditandatangani kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia jasa.12

Dengan demikian, dapat dikemukakan unsur-unsur yang harus ada dalam kontrak konstruksi yaitu :

1. Adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa; 2. Adanya objek, yaitu konstruksi;

       11

Salim, HS., H., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 90.

12


(30)

3. Adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.13

Di dalam Blacklaws Dictionary, Contract construction, is :

Type of contract in which plans and specification for construction are made a part of the contract it self and commonly it secured by performance and payment bonds to protect both subcontractor and party for whom building is being constructed.

Artinya, kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang merencanakan dan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari perjanjian itu sendiri. Kontrak konstruksi itu pada umumnya melindungi kedua subkontraktor dan para pihak sebagai pemilik bangunan sebagai dasar dari perjanjian tersebut.14

Unsur-unsur kontrak konstruksi yang tercantum dalam definisi di atas adalah (a) adanya kontrak; (b) perencanaan; (c) pembangunan; dan (d) melindungi subkontraktor dan pemilik bangunan.15

Berdasarkan pengertian di atas, maka bila dilihat dari segi objek yang diperjanjikan, perjanjian atau kontrak jasa konstruksi terdapat persamaan dan perbedaan dengan perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa. Persamaannya, dimana sama-sama menyebutkan pihak yang satu setuju melaksanakan pekerjaan bagi pihak lainnya dengan pembayaran tertentu. Sedangkan perbedaan pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan antara bawahan dan atasan antara buruh dan majikan. Pada kontrak kerja konstruksi tidak terdapat hubungan yang demikian, melainkan penyedia jasa melaksanakan pekerjaan secara mandiri.

       13

Ibid, hal. 91

14

Loc.cit

15


(31)

Selanjutnya dalam melaksanakan kontrak kerja konstruksi juga tidak terlepas dari ketentuan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai patokan yang berlaku umum untuk semua jenis dan bentuk perjanjian baik yang telah ada maupun yang akan ada. Dengan lain perkataan merupakan ketentuan yang mengatur syarat-syarat agar kedua belah pihak yang mengadakan janji dapat dinyatakan telah mengadakan perjanjian.

B. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja

konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS?

2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam

pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung?

3. Bagaimanakah akibat hukum wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja

konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS?


(32)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja

konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS.

2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam

pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung.

3. Untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak kerja

konstruksi pada Satuan Kerja Perumahan dan Permukiman (Satker Perkim) Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum kontrak.

2. Secara praktis, penulis juga berharap bahwa tulisan ini akan bermanfaat bagi


(33)

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ada penelitian atas nama Desi Helfira yang berjudul “Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Dalam Pelaksanaan Pembangunan Perumahan Oleh BRR dan Non-Government Organization (NGO) Bagi Korban Bencana Alam Gempa Bumi Dan Tsunami (Studi Pada Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh) yang membahas tentang bentuk dan isi perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh BRR dan Non-Government Organization (NGO) terhadap pembangunan perumahan bagi korban Gempa Bumi dan Tsunami dan Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pembangunan Perumahan Bagi Korban Bencana serta Perilaku Penerima Rumah Bantuan Terhadap Pembangunan Rumah, Jadi berbeda permasalahannya. karena penelitian ini berjudul “Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung Di Kabupaten Aceh Besar Oleh BRR NAD –NIAS”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah asli dan dapat penulis pertanggungjawabkan.

F. Kerangka teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kontrak jasa konstruksi adalah perjanjian pemborongan sebagai suatu kesepakatan antara pemilik proyek (pengguna jasa) dengan pelaksana pekerjaan (penyedia jasa), untuk membangun suatu konstruksi dalam hal ini bangunan perumahan.


(34)

Penunjukan langsung adalah penetapan pelaksana jasa tanpa melalui tender atau pelelangan.

Pelaksana jasa konstruksi adalah orang perseorangan atau badan usaha yang kegiatan usahanya menyediakan jasa layanan jasa konstruksi.

Kegagalan bangunan adalah bangunan yang menjadi objek kontrak tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dalam kontrak atau bangunan yang terlambat diselesaikan.

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Rumah adalah kebutuhan dasar yang bersifat struktural. Perbaikan mutu hidup masyarakat yang diwujudkan dalam pembangunan nasional harus diikuti dan disertai perbaikan perumahan secara seimbang. Perbaikan bukan saja dalam pengertian kuantitatif, tetapi juga dalam pengertian kualitatif dengan memungkinkan terselenggaranya perumahan sesuai dengan hakekat dan fungsinya. Upaya pengadaan perumahan tidak harus diwujudkan dalam pemilikan tanah, akan tetapi sekurang-kurangnya daapt diwujudkan dalam mendapatkan kesempatan mempergunakan rumah.

Masalah hunian merupakan kebutuhan dasar manusia dan sebagai hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (shelter for All) serta perlunya pembangunan perumahan dan permukiman sebagai bagian dari proses pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dengan mengedepankan strategi pemberdayaan (enabling strategy) dalam penyelenggaraan pembangunan dan permukiman. Ditambah


(35)

dengan deklarasi “Cities Without Slums” yang mengamanatkan pentingnya

upaya perwujudan daerah perkotaan yang bebas dari permukiman kumuh.16

Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama guna mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan dalam mendukung terbentuknya masyarakat yang mandiri, produktif dan berjati diri.

Pembangunan perumahan dan permukiman diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman (LN Tahun 1992 No.23;TLN No.343669) mulai berlaku tanggal 10 Maret 1992.

Undang-undang ini sebagai Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1964 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 Tentang Pokok-pokok Perumahan (LN Tahun 1962 No.40;TLN No.2476) menjadi undang-undang (LN Tahun 1964 No.3;TLN No.2611).

Pembangunan perumahan dan permukiman dilaksanakan melalui penyediaan rumah sederhana sehat yang diatur dengan Keputusan Menteri (Kepmen) Kimpraswil No.403/kpts/m/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat dan Keputusan Menteri (Kepmen) Kimpraswil No.24/kpts/m/2003 Tentang Pengadaan Rumah Sehat Sederhana Dengan Fasilitas Subsidi Perumahan.

       16

Joko Kirmanto, Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP), http//www.kimpraswil.go.id/Ditjen_mukim/ensiklopedia/perumahan/ksnpp.htm.


(36)

Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Perumahan dan Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan Permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan diatas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun ada juga yang dilakukan dengan hak sewa tanah dan tukar bangun, dimana dia hanya menyewa tanah orang lain untuk selanjutnya dapat didirikan rumah. Dalam hal ini antara rumah dan tanah terpisah dalam hal sertifikatnya.


(37)

Kebijakan perbaikan permukiman dilakukan melalui pengembangan konsep Tridaya, yaitu pendayagunaan lingkungan, pemberdayaan sosial dan pemberdayaan ekonomi. Dengan ketiga pendekatan tadi kelompok miskin dapat meningkatkan kapasitas mereka untuk memperbaiki secara lebih

mendiri kondisi perumahan dan permukiman mereka.17

Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah pembangunan perumahan untuk miskin, penataan lingkungan permukiman, rehabilitasi prasarana permukiman, pengembangan forum lintas pelaku sebagai dasar pemecahan konflik perumahan, pengembangan mekanisme relokasi yang lebih manusiawi dan pelibatan orang miskin dalam pengadaan perumahan.

2. Konsepsi

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam pengertian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:

a. Pengertian Perjanjian Pemborongan Dan Konstruksi

Istilah pemborongan dan konstruksi mempunyai keterikatan satu sama lain. Istilah pemborongan mempunyai cakupan yang lebih luas dari istilah

konstruksi.18 Sebab istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang

dibangun tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunannya), melainkan       

17

Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, http//:www.Yahoo.com

18

Munir Fuady, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.


(38)

dapat juga berupa pengadaan barang saja, tetapi dalam teori dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika terkait dengan istilah hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan. Jadi dalam hal ini istilah konstruksi dianggap sama, karena mencakup keduanya yaitu ada konstruksi (pembangunannya) dan ada pengadaan barangnya dalam pelaksanaan pembangunan.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (disingkat KUHPerdata), perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 (b) KUHPerdata, “Perjanjian Pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu (sipemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain (pihak yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.

Dari definisi tersebut diatas, undang-undang memandang bahwa perjanjian pemborongan dan konstruksi tersebut sebagai suatu jenis perjanjian unilateral, dimana hanya pihak kontraktor (si pemborong) yang mengikatkan diri dan berprestasi terhadap yang memborongkan. Padahal antara si pemborong dengan yang memborongkan saling mengikatkan diri dan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Kewajiban utama dari pihak pemborong adalah melaksanakan pekerjaan, sementara kewajiban yang memborongkan adalah membayar uang borongan (baik dengan sistem fee atau turn key) atau membiarkan pihak pemborong memungut hasil dari


(39)

pekerjaannya atau melakukan hal-hal lain dari perjanjian-perjanjian pemborongan yang lain lagi.

Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHPerdata, dan A.V. 1941 singkatan dari “Algemene voorwaarden voorde unitvoening bij aanneming Van openbore werken in Indonesia”, yang terjemahannya sebagai berikut: syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan

umum di Indonesia.19 Juga diatur dalam Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta maupun pada proyek-proyek pemerintah. Perjanjian pemborongan pada KUHPerdata itu bersifat pelengkap, artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUHPerdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Apabila para pihak membuat sendiri ketentuan-ketentuan       

19

F.X. Djumialdji, 1995, Hukum Bangunan, Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber


(40)

dalam perjanjian pemborongan, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dapat melengkapi apabila ada kekurangan.

Perjanjian harus dibuat secara tertulis, namun hal ini bukanlah merupakan hal yang mutlak, karena tanpa dibuat secara tertulis, perjanjian juga merupakan berlaku sah asal memenuhi persyaratan sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

Maksudnya kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai hal-hal yang pokok mengenai perjanjian yang diadakan. Kedua pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan. Karena bagaimanapun kuatnya atas besarnya kemauan kita, kalau hanya disimpan dalam hati saja tanpa diucapkan, maka hal itu tidak mempunyai arti apa-apa. Tegasnya sesuatu kemauan itu harus diucapkan lebih dahulu baru mempunyai arti dalam bidang hukum. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas tersebut dianggap tidak ada jika perjanjian telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog).20

       20


(41)

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

Hal-hal yang berhubungan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri orang perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitan Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat akalnya adalah cakap dimuka hukum. Kecuali mereka yang disebut dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu :

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3. Orang perempuan bersuami dalam hal-hal yang ditetapkan dengan

undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.21

Menurut Pasal 108 KUH Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan izin atau kuasa tertulis dari suaminya. Namun dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, maka Pasal 108 dan 110 KUH Perdata yang

       21


(42)

berisi tentang ketidakwenangan seorang perempuan bersuami untuk bertindak dimuka hukum, dicabut.

Dimana bila ditelaah tentang salah satu isi surat edaran dimaksud adalah bahwa seorang perempuan yang sudah bersuami atau berada dalam suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan tindakan hukum dengan bebas serta sudah dibenarkan menghadap di pengadilan walupun tanpa izin suaminya. Dan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga diakui kecakapan seorang perempuan bersuami untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini terdapat dalam Pasal 31 Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan:

1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam mayarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

3. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

Disamping kecapakan ada juga ketidak-cakapan dan ketidakwenangan daam membuat perjanjian. Akibat hukum ketidak-cakapan dan ketidakwenangan dalam membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim pengadilan, tetapi jika pembatalannya tidak dimintakan maka perjanjian itu tetap sah dan mengikat pihak-pihak yang bersangkutan.


(43)

3. Mengenai suatu hal tertentu;

Maksudnya bahwa perjanjian itu harus mengenai suatu objek tertentu yang sekurang-kurangnya harus sudah ditentukan jenisnya. Suatu hal tertentu tersebut merupakan pokok perjanjian yang berupa prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan juga merupakan objek perjanjian. Prestasi itu haruslah tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Hal ini perlu, untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam perjanjian. Jika prestai itu kabur, sehingga perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.22

3. Suatu sebab yang sah.

Maksudnya bahwa isi dari perjanjian atau hal-hal yang dikehendaki oleh para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus merupakan sesuatu yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan cause yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.23

       22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, alumni Bandung, hal.94

23


(44)

Dua syarat yang pertama disebut syarat-syarat subjektif karena mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat dalam suatu perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek hukum yang dilakukan itu.24

Perbedaan antara syarat subjektif dan syarat objektif terletak pada akibat hukum yang terjadi.

1. Syarat Subjektif

Syarat subjektif adalah sepakat para pihak yang mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dalam bidang hukum yang ditujukan pada orang/subjek perjanjian. Apabila salah satu syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, dalam arti bahwa salah satu pihak yang mengadakan perjanjian tidak cakap/pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas tanpa meminta kepada hakim agar perjanjian dibatalkan karena subjektif tidak terpenuhi.

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu hal yang halal. Keduanya dikatakan syarat objektif karena ditujukan pada benda/objek perjanjian. Apabila salah satu objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya bahwa secara yuridis perjanjian tersebut

       24


(45)

dianggap tidak pernah ada dan pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain untuk memenuhi prestasinya karena dasar hukumnya tidak ada.

Sehubungan dengan uraian diatas, perlu diperlihatkan bahwa undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian. Tapi yang diperhatikan dan yang diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, apakah bertentangan dengan kesusilaan atau tidak.

Menurut undang-undang cause atau sebab yang halal itu adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Saat terciptanya perjanjian ini adalah merupakan suatu hal atau masalah yang penting dalam hukum perjanjian demi terciptanya suatu kepastian hukum yang diharapkan oleh pihak-pihak khususnya. Untuk itu para ahli telah menciptakan beberapa teori tentang terciptanya perjanjian.

Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak mengenai hal ini ada beberapa ajaran, yaitu :

1. Teori kehendak (wilstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menulis surat.


(46)

2. Teori pengiriman (verzendtheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

3. Teori pengetahuan (vernemingstheori) mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

4. Teori kepercayaan (vertrouwenstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak itu dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.25

Mengenai ketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2002, perjanjian pemborongan berlaku bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah, tetapi bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta tidak menutup kemungkinan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tersebut bersifat memaksa atau dengan kata lain tidak boleh dilanggar, terutama bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah.

4. Pengertian Perumahan

Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan alam atau       

25


(47)

cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jatidiri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya maka terlihat bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman dimana masyarakat menempati tempat tinggalnya.26

Perumahan dan permukiman merupakan yang seutuhnya. Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, perumahan dan permukiman, “papan” juga berfungsi strategis di dalam mendukung terselenggaranya pendidikan keluarga, persemaian budaya dan peningkatan kualitas generasi akan datang yang berjatidiri. Indonesia yang memiliki kesadaran untuk selalu menjalin hubungan dengan sesama manusia, lingkungan tempat tinggalnya serta senantiasa mengingat akan Tuhannya.

Rumah tinggal merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap keluarga pasti membutuhkan rumah untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya, rumah juga sebagai wadah kegiatan keluarga, rumah berperan besar dalam membentuk kebahagian dan kesejahteraan manusia sebagai individu, keluarga dan masyarakat.

       26

Eko Budi Hardjo, 1998, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gajahmada Univrsity Press, Yogyakarta,hal.20


(48)

Pada tahap awal pembangunan perumahan bagi rakyat, rumah dilihat sebagai barang konsumtif yang bersifat fasif dan statis semata, karena dahulu rumah tidak begitu dianggap penting, namun kemudian bahwa rumah disadari sebagai kebutuhan sosial dan bahkan dapat berperan sebagai alat atau instrumen pembangunan yang aktif dan dinamis, maka perumahan telah membawa fungsi yang lebih luas bukan saja sekedar untuk pengadaan papan saja, melainkan untuk menggairahkan semangat membangun, menumbuhkan motivasi untuk kegiatan swadaya masyarakat.

Kebutuhan akan rumah mewah pada mulanya tidak begitu penting, karena rumah dilihat sebagai barang konsumtif yang bersifat fasif dan statis semata, pembangunannya dilakukan secara tradisional seimbang dengan iklim dan suhu. Tipe perumahan disesuaikan dengan adat istiadat serta kebudayaan

dan bahan-bahan pembangunan setempat.27

Perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat memunculkan kecenderungan untuk membangun rumah-rumah dengan dinding batu merah dan batako yang biasanya mencerminkan kedudukan sosial penghuninya. Keadaan tersebut membuat masalah perumahan dan permukiman menjadi sangat penting, sebab perhatian akan ditujukan terhadap banyaknya dan kualitas perumahan.

       27

Heinz Frick, 1995, Rumah Sederhana Kebijaksanaan Perencanaan dan konstruksi, Kanisius, Jakarta, hal. 10.


(49)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman dalam Pasal 1 angka 1 di sebutkan bahwa “rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga”, selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman dan Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional disebutkan bahwa “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, disebutkan bahwa:

(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. (2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk

berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Menurut Hayward mengemukakan bahwa konsep tentang rumah adalah sebagai berikut:

a. Rumah sebagai pengejewantahan jati diri yaitu rumah sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya.

b. Rumah sebagai wadah keakraban yaitu rasa memiliki, kebersamaan,

kehangatan, kasih dan rasa aman.

c. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi yaitu rumah disini dan

merupakan tempat kita melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan dari kegiatan rutin.


(50)

d. Rumah sebagai akar kesinambungan yaitu rumah dilihat sebagai tempat untuk kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam proses masa depan.

e. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari. f. Rumah sebagai pusat jaringan sosial.

g. Rumah sebagai struktur fisik.28

G. Metode Penelitian

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dari judul dan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis. sifat penelitian deskriptif29 adalah bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai pendekatan gabungan antara juridis normatif dan pendekatan yuridis sosiologis yang didukung oleh data primer dan data sekunder. penggunaan pendekatan yuridis

       28

Hayward, P.G. Home as an Enviromental and psychological concept, 1987:3, lihat Eko Budihardjo, 1994, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gajahmada University, Yogyakarta, hal. 55.

29

C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia, Abad ke-20, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 81.


(51)

normatif30 dimaksudkan adalah pendekatan untuk mengetahui masalah dan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wanprestasi terhadap pelaksanaan kontrak kerja konstruksi melalui penunjukan langsung, dan perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata yang berjudul perikatan. sedangkan

pendekatan yuridis sosiologis31 dimaksudkan untuk mengetahui implementasi

penegakan hukum dan mencari serta mengambil fakta dari melihat kenyataan secara langsung terhadap kontrak kerja konstruksi dan segala akibat hukumnya. Adapun penelitian yuridis sosiologis ini menggunakan data sekunder.

Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang condong bersifat (kualitatif tidak berbentuk angka) berdasarkan data sekunder dan penelitian hukum sosiologis atau non dokrtrinal yang condong bersifat kuantitatif (berbentuk angka), berdasarkan data primer. Data primer ialah data yang langsung diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, berupa publikasi/laporan. Penelitian hukum normatif sering disebut studi hukum dalam buku (law in books), sedangkan penelitian hukum sosiologis disebut studi hukum dalam aksi/tindakan (law in action). Disebut demikian, karena penelitian menyangkut hubungan timbal balik antara hukum dan

lembaga-       30

Roni Hanitijo Soemitro, 1980, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Semarang, hal. 11.

31

Ibid, hal. 31. Perhatikan Bagir Manan, 1999, Penelitian di Bidang Hukum, Jurnal Hukum Puslitbangkum, diterbitkan oleh Puslitbangkum, Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor Perdana: I, Bandung, hal. 4, yang menyatakan bahwa penelitian yuridis sosiologis adalah penelitian yang mengkaji korelasi antara kaedah hukum dengan lingkungan tempat hukum itu berlaku, korelasi ini dapat dilihat dalam kaitan pembuatan atau


(52)

lembaga sosial lain, jadi merupakan studi sosial yang non doktrinal, bersifat empiris, artinya berdasarkan data yang terjadi di lapangan.32

2. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul tesis yaitu “Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung”, maka lokasi penelitian ditetapkan di Kabupaten Aceh Besar. Alasan dan pertimbangan lokasi penelitian ini adalah berdasarkan hasil pengamatan bahwa di wilayah tersebut ditemukan adanya kontrak jasa konstruksi yang mengalami kegagalan bangunan akibat penunjukan langsung pelaksana jasa.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Semua kontraktor atau penyedia jasa konstruksi yang membangun perumahan dan permukiman Type 36 Korban Gempa bumi dan Tsunami di Kabupaten Aceh Besar, Pada tahun 2005 Pelaksanaan Program yang bersumber dari dana APBN dilakukan secara cermat dengan mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Saat ini tercatat sebanyak 20 perusahaan kontrak kerja konstruksi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. dari 20 perusahaan tersebut, diambil secara acak 5 (lima) perusahaan, yaitu PT. Aceh Setia Abadi, PT. Putera Sinar Desa, CV. Putera H-Dua, PT. Jasa Adek, dan PT. Jasa Mandiri.

       32

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Pertama, 2003, hal. 2-3.


(53)

4. Sumber Data

a. Data Sekunder

Sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier.33

(1) Bahan hukum primer terdiri dari peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu:

(a) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (UUJK);

(b) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

(c) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 dan

perubahan keempat Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

(d) Kontrak-kontrak dari dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-NIAS.

(2) Bahan hukum sekunder, seperti buku-buku, teori-teori, rancangan undang-undang, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, artikel-artikel, tulisan-      

33

Bahan hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, lihat Soejono soekanto dan Sri Mamudji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, hal. 14-15.


(54)

tulisan,jurnal-jurnal, makalah-makalah, hasil-hasil penelitian, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum;

(3) Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) diluar bidang hukum. Seperti dari bidang sosiologi, teknik, filsafat dan lainnya yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian. Surat kabar, majalah mingguan dan juga situs-situs internet juga menjadi sumber bahan bagi penulisan tesis ini, sepanjang surat kabar, majalah mingguan dan situs-situs internet tersebut memuat informasi yang relevan terhadap penulisan tesis ini.

b. Data Primer

Data primer diperoleh dari penelitian dilapangan dengan menggunakan metode wawancara, wawancara yang dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui lebih mendalam keadaan dan sikap narasumber terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Penunjukan Langsung, serta untuk menjawab permasalahan yang ada.

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh hasil yang objektif dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka dalam penelitian tesis ini dipergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:


(55)

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan Kontrak Kerja Konstruksi.

b. Penelitian Lapangan (Field Risearch)

Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian.

Metode yang digunakan yaitu wawancara (indepth interview) secara langsung kepada responden34 dan informan35 dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Yang dijadikan responden yaitu:

1. Divisi Perumahan dan Permukiman BRR NAD – NIAS 2 (dua) Orang;

2. Bidang Layanan Hukum BRR NAD-NIAS 2 (dua) orang

3. Pengguna Jasa Konstruksi 2 (dua) orang; 4. Penyedia Jasa Konstruksi 5 (lima) orang;

       34

Herman Warsito, 1997, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 71, menyatakan responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawan semua pertanyaan.

35

Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 4, menyebutkan informasi adalah sumber informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefinisikan sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan masalah objek penelitian.


(56)

Di samping responden di atas, untuk melengkapi data primer ini juga dikumpulkan data melalui wawancara dengan beberapa informan, yaitu:

1. Bidang Pengawasan BRR NAD – NIAS 3 (tiga) orang;

2. Biro HUMAS/Juru Bicara BRR NAD-NIAS 2 (dua) orang;

3. Biro HUMAS dan HUKUM Pemerintah Aceh 1 (satu) orang;

4. Masyarakat Korban Bencana 3 (tiga) orang.

6. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen dan

kontrak-kontrak konstruksi. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting.

2. Pengamatan (observasi) dengan alat-alat (check List). Pengamatan ini

dipergunakan dengan tujuan untuk menambah kejelasan yang jujur yang jujur dan seksama atau suatu situasi tertentu sehingga mendapatkan perimbangan sejumlah data yang objektif.

3. Wawancara36 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide).37

Alat pengumpulan data yang digunakan didalam penelitian ini adalah dokumen dan bahan pustaka serta dari hasil wawancara. Bahan pustaka yang

       36

Herman Warsito, Loc. Cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpulan data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara dan situasi wawancara.

37

Ibid, hal. 76, menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, mengenalkan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.


(57)

dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan penelitian melalui wawancara diperoleh dengan mewawancarai pihak responden dan informan yang terlibat dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi di lokasi penelitian dengan menyusun pedoman wawancara.

7. Analisis Data

Analisis data38 merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan analisis data dilakukan dengan metode kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir induktif kepada logika berpikir deduktif yang dimulai dari hal-hal yang khusus untuk selanjutnya menarik hal-hal yang umum sebagai kesimpulan, dan dipresentasekan dalam bentuk deskriptif.

       38

Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. Hal 76-77, menyatakan terhadap data yang sudah terkumpul dapat dilakukan analisis kualitatif apabila: 1) Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukurannya, 2) Data tersebut sukar diukur dengan angka, 3) Hubungan antara variabel tidak jelas, 4) Sample lebih bersifat non probabilitas, 5) Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan, 6) penggunaan teori kurang diperlukan bandingkan dengan pendapat Maria S.W. Sumardjono, yang menyatakan bahwa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat sepanjang hal itu mungkin keduanya saling menunjang, Lexy Molcong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Resdakarya, Bandung, hal. 103, Bandingkan juga dengan pendapat Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, hal. 66.


(58)

BAB II

BENTUK-BENTUK WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI

MELALUI PENUNJUKAN LANGSUNG

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Kerja Konstruksi

Dalam setiap perjanjian atau kontrak yang melibatkan dua pihak pastilah mempunyai hak dan kewajiban. Hak bagi salah satu pihak merupakan kewajiban/prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak lainnya. Demikian pula dalam kontrak kerja konstruksi terdapat dua pihak yaitu pengguna jasa dan pelaksana jasa konstruksi yang masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana telah diuraikan di atas dan merupakan prestasi yang harus dilaksanakan.

Setelah berlakunya ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 mengenai hak dan kewajiban dalam kontrak kerja konstruksi secara jelas ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, kewajiban pengguna jasa dalam hal ini Pasal 15 menentukan :

Pengguna jasa dalam pemilihan penyedia jasa berkewajiban untuk:

a. Mengumumkan secara luas melalui media masa dan papan pengumuman

setiap pekerjaan yang ditawarkan dengan cara pelelangan umum atau pelelangan terbatas;

b. Menertibkan dokumen pelelangan umum, pelelangan terbatas, dan

pemilihan langsung secara lengkap, jelas dan benar serta dapat di pahami, yaitu memuat: (1) Petunjuk bagi penawaran; (2) Tata cara pelelangan dan atau pemilihan mencakup prosedur, persyaratan dan kewenangan; (3) Persyaratan kontrak mencakup syarat umum dan syarat khusus dan (4) Ketentuan evaluasi.

c. Mengundang semua penyedia jasa yang lulus prakualifikasi untuk


(1)

Komarudin, 1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Yayasan REI _ PT. Rakasindo, Jakarta.

Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta.

Moleong, Lexy, 2002, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT. Gramedia Pusat Utama, Jakarta, 2003.

Nazir, Moh, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Qirom Syamsuddin Meliala, A., 1995,Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Salim, HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

________, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPdt, Raja Grafindo, Jakarta.

Soedibyo, 1983, Pihak-pihak Yang Melakukan Pembangunan, Paradya Paramita, Jakarta.

Soekanto, Soejono, 1986, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, UI-Press, Jakarta.

Soemitro, Roni Hanitijo, 1980, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Solindeho, John, 1993, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta.

Subagio, Joko P., 1994, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(2)

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian, Kencana, Jakarta.

Sri Soedewi Masjchum Sofyan, 1972, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Yayasan Gajah Mada, Yogyakarta.

__________________________, 1982, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty, Yogyakarta.

__________________________, 1982, Himpunan Karya Tentang Pemborongan Bangunan, Liberty, Yogyakarta.

Subekti, R., 1979, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.

_________, 1982, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Pembimbing Masa, Jakarta. _________, 1982, Aneka Perjanjian, Bandung.

Syahrin, Alvi, 1992, Azas Pembangunan yang berwawasan lingkungan (suatu Studi Tentang Peraturan Perundang-undangan Pembangunan Perumahan), Tesis Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya.

___________, 2003, Pengaruh Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Shahab, H., 2000, Menyingkap dan Meneropong Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 dan Penyelesaian Alternatif serta Kaitannya dengan UU Jasa Konstruksi No.18 Tahun 1999 dan FIDIC., Penerbit Liberty, Jogjakarta.

Wirjono Prodjodikoro, R. 1986, Azas-azas Hukum Perdata, PT. Bale, Bandung. Warsito, Herman, 1997, Pengantar Metodologi Penelitian Buku Panduan

Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.

Yudohusodo, Siswono, dkk, 1991, Rumah Untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL, Unit Percetakan Bharakerta, Jakarta.


(3)

B. Jurnal/Dokumen/Surat Kabar.

Dokumen Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)

Dokumen BPK RI Atas Laporan Hasil Pemeriksaan BRR TA 2005. Harian Serambi Indonesia,

Poerdyatmono, B., 1995, Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) pada Kontrak Jasa Konstruksi, Jurnal Teknik Sipil, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atmajaya, Jogjakarta, Volume 6 No. 1.

C. Peraturan Perundang-undangan.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti, R dan Tjitrosudibio, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan kedua puluh lima 1992.

Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.

Undang-undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

Undang-undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (UUJK)

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulaua Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi Undang-undang.


(4)

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2004 Tentang Perusahaan Umum (PERUM) Pembangunan Perumahan Nasional.

Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulaua Nias Provinsi Sumatera Utara Menjadi Undang-undang.

Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009.

Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2005 Tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2005 Tentang Peran Serta Lembaga/Perorangan Asing dalam Rangka Hibah Untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 Tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2005 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Serta Hak Keuangan Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi


(5)

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2005 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Serta Hak Keuangan Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2000 Tentang Badan Kebijakan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government.

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.192/KPTS/M/2004 Tentang Penetapan Paket-paket Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Secara Semi e-Procurement di Lingkungan Departemen Permukman dan Prasarana Wilayah.

Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.339/KPTS/M/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instruksi Pemerintah.

D. Situs Internet

http://www.e-aceh-nias.org. Diakses pada Februari 2009 http://www.acehmagazine.com. Diakses pada Maret 2009 http://www.serambinews.com. Diakses pada Maret 2009


(6)

http://www.kompas.cybermedia. Diakses pada Maret 2009

http://www.kimpraswil.go.id/Ditjen_mukim/ensiklopedia/perumahan/ksnpp .htm, Djoko Kirmanto, Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP). Diakses pada Maret 2009 http://www.yahoo.com, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan.

Diakses pada Maret 2009

http://www.google.com, Perkembangan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias

http://bpk_ri.go.id. Diakses pada Maret 2009