Tingkat Pengetahuan dan Sikap Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi pada Pasien Stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

RSUP H. Adam Malik Medan

SKRIPSI

Oleh Puspa A Sihaloho

111101035

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

RSUP H. Adam Malik Medan

SKRIPSI

Oleh Puspa A Sihaloho

111101035

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

(5)

RSUP H. Adam Malik Medan

Nama : Puspa A Sihaloho

NIM : 111101035

Program : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

Abstrak

Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Kelumpuhan pada pasien stroke mengakibatkan imobilisasi. Setiap sistem tubuh beresiko terjadi gangguan jika terjadi perubahan mobilisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni 2015 yang melibatkan 16 orang

perawat dengan metode pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 orang responden (56,2%) memiliki tingkat pengetahuan baik, 7 orang responden (43,8%) memiliki tingkat pengetahuan cukup dan 0 responden memiliki tingkat pengetahuan kurang. Sedangkan untuk sikap diperoleh bahwa hampir seluruh responden yaitu 15 orang responden (93,8%) memiliki sikap positif dan hanya 1 orang responden (6,2%) memiliki sikap negatif. Perawat diharapkan dapat aktif dan selalu berinisiatif untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan baru tentang perkembangan ilmu keperawatan khususnya tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke. Saran untuk Rumah Sakit adalah agar meningkatkan kualitas tenaga kesehatan Indonesia khususnya perawat demi tercapainya kualitas pelayanan kesehatan yang prima.


(6)

Medan

Name of Student : Rinata Br. Panjaitan

Std. ID Number : 111101072

Department : S1 (Undergraduate) Nursing

Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

Breast cancer is the most common disease found in women. Breast cancer and its treatment give impact to the physical and psychological condition of the patients. This impact influences the quality of the patients’ life. Furthermore, life quality is individual perceptions about life viewed from four domains such as physical, psychological, social, and environmental domain. The study in this research is aimed at identifying the life quality of women diagnosed with breast cancer who were being hospitalized at Central General Hospital of Haji Adam Malik Medan. This research applied analytical descriptive method and purposive sampling technique. The data were collected through interviews using questionnaires consisting of demographical data questionnaire and World Healt Organization Wualiti of Life questionnaire (WHOQOL – BREF) that have gone through the validity test by Wulandari (2004) whose samples were 30 women with breast cancer. The results of this research show that the quality of the hospitalized patients with breast cancer at Central General Hospital of Haji Adam Malik Medan is categorized into good quality (83.3%). Finally, it is suggested to the nurses to provide a holistic nursing care to the patients in order to improve the quality of the patients’ life.


(7)

Puji dan syukur kepada Allah Bapa di surga karena berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi Pada Pasien Stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan”.

Selama mengerjakan skripsi ini penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keperawatan Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes, Ibu

Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II, Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan III.

2. Bapak Achmad Fathi S.Kep, Ns.,MNS selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan begitu banyak bimbingan dan arahan selama saya mengikuti perkuliahan di Fakultas Keperawatan.

3. Ibu Fatwa Imelda S.Kep, Ns, M.Biomed selaku dosen pembimbing yang

telah menyediakan waktu dan memberi saran serta kritik yang bermanfaat kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Nur Asiah, S.Kep, Ns, M.Biomed selaku dosen penguji I dan Ibu

Nurbaiti, S.Kep, Ns, M.Biomed selaku dosen penguji II yang bersedia menguji saya dan memberikan masukan untuk perbaikan penyusunan skripsi ini.


(8)

Tarigan S.Kp, M.Kes selaku dosen Fakultas Keperawatan yang telah menguji validitas kuesioner tingkat pengetahuan dan sikap perawat serta memberikan tanggapan dan saran kepada penulis.

6. Kepada seluruh dosen Fakultas Keperawatan yang telah mendidik penulis

selama proses perkuliahan dan staf non akademik yang telah membantu memfasilitasi secara administrasi.

7. Seluruh keluarga tercinta, Ayahanda F Sihaloho, Ibunda L Sianturi, serta

saudara-saudari saya (Kak Jenny, Kak Melda, Bang Jhonson, Kak Ester, Adik Asri dan Adik Risna) atas setiap dukungan doa, daya dan dana yang diberikan.

8. Saudari KTB saya (Kak Junita, Tetty, Renta, Rinata, Ria dan Ira), terima

kasih untuk doa dan semangat yang diberikan.

9. Teman-teman seperjuangan Fkep stambuk 2011 terimakasih untuk

bantuan dan semangat yang telah diberikan.

10.Pihak RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan saya izin

untuk melakukan penelitian dan memberikan informasi terkait dengan penelitian.

11.Pihak RSU Pirngadi yang telah memberikan saya izin untuk melakukan uji

reliabilitas penelitian.

12.Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang telah mendukung penyelesaian skripsi ini.


(9)

yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia keperawatan.

Medan, Agustus 2015


(10)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN ORISINALITAS... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR SKEMA ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar belakang ... 1

2. Rumusan masalah ... 5

3. Pertanyaan penelitian ... 5

4. Tujuan penelitian ... 5

5. Manfaat penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

1. Pengetahuan ... 7

1.1 Definisi pengetahuan ... 7

1.2 Jenis pengetahuan ... 7

1.3 Tingkat pengetahuan ... 9

1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan ... 10

1.5 Pengukuran pengetahuan ... 12

2. Sikap... 13

2.1 Definisi sikap ... 13

2.2 Komponen pokok sikap ... 12

2.3 Tingkatan sikap ... 15

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pengubahan sikap ... 16

2.5 Pengukuran sikap ... 17

3. Konsep sroke ... 17

3.1 Defenisi stroke ... 17

3.2 Klasifikasi stroke ... 18

3.3 Faktor resiko stroke ... 19

3.4 Manifestasi klinis ... 19

3.5 Penyebab stroke ... 20

3.6 Mobilitas pada pasien stroke ... 21

4. Bahaya fisiologis imobilisasi ... 22


(11)

1. Kerangka konseptual ... 30

2. Definisi operasional ... 31

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 32

1. Desain penelitian ... 32

2. Populasi dan sampel penelitian ... 32

3. Waktu dan lokasi penelitian ... 32

4. Pertimbangan etik ... 33

5. Instrumen penelitian ... 33

6. Uji validitas dan reliabilitas ... 35

7. Pengumpulan data ... 36

8. Analisa data ... 37

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

1. Hasil penelitian ... 40

1.1 Karakteristik demografi responden ... 40

1.2 Tingkat pengetahuan perawat ... 42

1.2 Sikap perawat ... 42

2. Pembahasan ... 47

2.1 Tingkat pengetahuan perawat ... 47

2.2 Sikap perawat ... 51

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 54

1. Kesimpulan ... 54

2. Rekomendasi ... 54

3. Keterbatasan penelitian ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 60

1. Lembar persetujuan menjadi responden... 60

2. Instrumen penelitian ... 61

3. Hasil uji reliabilitas ... 68

4. Master tabel ... 72

5. Hasil pengolahan data ... 75

6. Taksasi dana penelitian ... 87

7. Riwayat hidup ... 88

8. Lembar persetujuan validitas ... 104

9. Surat etik penelitian... 105

10.Surat izin survei awal ... 106


(12)

14.Surat izin pengambilan data dari RSUP Haji Adam Malik... 112


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Definisi Operasional ... 31 Tabel 1 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik perawat

di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan………40 Tabel 2 Distribusi frekuensi dan persentase tingkat pengetahuan perawat

tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan……….42 Tabel 3 Distribusi frekuensi dan persentase jawaban responden tentang

tingkat pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan ... ………...42 Tabel 4 Distribusi frekuensi dan persentase sikap perawat tentang

pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke

di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan………44 Tabel 5 Distribusi frekuensi dan persentase jawaban sikap

perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi


(14)

DAFTAR SKEMA


(15)

RSUP H. Adam Malik Medan

Nama : Puspa A Sihaloho

NIM : 111101035

Program : Sarjana Keperawatan

Tahun : 2015

Abstrak

Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Kelumpuhan pada pasien stroke mengakibatkan imobilisasi. Setiap sistem tubuh beresiko terjadi gangguan jika terjadi perubahan mobilisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke dengan menggunakan desain penelitian deskriptif. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni 2015 yang melibatkan 16 orang

perawat dengan metode pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 orang responden (56,2%) memiliki tingkat pengetahuan baik, 7 orang responden (43,8%) memiliki tingkat pengetahuan cukup dan 0 responden memiliki tingkat pengetahuan kurang. Sedangkan untuk sikap diperoleh bahwa hampir seluruh responden yaitu 15 orang responden (93,8%) memiliki sikap positif dan hanya 1 orang responden (6,2%) memiliki sikap negatif. Perawat diharapkan dapat aktif dan selalu berinisiatif untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan baru tentang perkembangan ilmu keperawatan khususnya tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke. Saran untuk Rumah Sakit adalah agar meningkatkan kualitas tenaga kesehatan Indonesia khususnya perawat demi tercapainya kualitas pelayanan kesehatan yang prima.


(16)

Medan

Name of Student : Rinata Br. Panjaitan

Std. ID Number : 111101072

Department : S1 (Undergraduate) Nursing

Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

Breast cancer is the most common disease found in women. Breast cancer and its treatment give impact to the physical and psychological condition of the patients. This impact influences the quality of the patients’ life. Furthermore, life quality is individual perceptions about life viewed from four domains such as physical, psychological, social, and environmental domain. The study in this research is aimed at identifying the life quality of women diagnosed with breast cancer who were being hospitalized at Central General Hospital of Haji Adam Malik Medan. This research applied analytical descriptive method and purposive sampling technique. The data were collected through interviews using questionnaires consisting of demographical data questionnaire and World Healt Organization Wualiti of Life questionnaire (WHOQOL – BREF) that have gone through the validity test by Wulandari (2004) whose samples were 30 women with breast cancer. The results of this research show that the quality of the hospitalized patients with breast cancer at Central General Hospital of Haji Adam Malik Medan is categorized into good quality (83.3%). Finally, it is suggested to the nurses to provide a holistic nursing care to the patients in order to improve the quality of the patients’ life.


(17)

1. Latar Belakang

Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi kesehatan dunia (WHO) stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

Menurut berbagai literatur, insiden stroke perdarahan antara 15% - 30% dan stroke iskemik antara 70% - 85%. Akan tetapi, untuk negara-negara berkembang atau Asia kejadian stroke perdarahan sekitar 30% dan iskemik 70%. Stroke iskemik disebabkan antara lain oleh trombosis otak (penebalan dinding arteri) 60%, emboli 5% (sumbatan mendadak) dan lain-lain 35%. Di Amerika diperkirakan setiap tahunnya masih terjadinya sekitar 500.000 pasien stroke baru dan sekitar 150.000 yang meninggal berkenaan dengan stroke (Iskandar, 2011).

Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per seribu penduduk dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per seribu penduduk. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga


(18)

kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per seribu penduduk. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per seribu penduduk. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur,

tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ dan 67,0‰). Prevalensi stroke yang

terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (8,2‰) maupun berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala (12,7‰). Sementara di Sumatera Utara prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (6,0‰) dan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala (10,3‰) (RISKESDAS, 2013).

Kelumpuhan adalah salah satu ketidakmampuan yang paling sering dari stroke. Kelumpuhan biasanya ada pada sisi tubuh berlawanan dengan sisi otak yang rusak oleh stroke, dan dapat berdampak pada wajah, lengan, kaki, atau seluruh sisi tubuh tersebut. Kelumpuhan satu sisi ini disebut hemiplegia jika

melibatkan ketidakmampuan total untuk bergerak atau hemiparesisjika kurang

dari kelemahan total. Pasien stroke dengan hemiparesis atau hemiplegia dapat memilliki kesulitan dalam aktivitas sehari-hari seperti berjalan dan menggenggam benda. Beberapa pasien stroke memiliki masalah dengan menelan, disebut


(19)

menelan. Kerusakan otak bagian bawah, serebellum, dapat berdampak pada kemampuan tubuh untuk mengoordinasikan pergerakan, sebuah ketidakmampuan disebut ataxia, mengakibatkan masalah dengan postur tubuh, berjalan dan

keseimbangan (National Institute of Neurological Disorder and Stroke, 2008).

Kelumpuhan yang dialami pasien stroke sebagai akibat kerusakan saraf lokal mengakibatkan pasien stroke mengalami keterbatasan mobilisasi. Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami. Bahaya fisiologis yang terjadi pada pasien imobilisasi mempengaruhi sistem metabolik, sistem respiratori, sistem kardiovaskuler, sistem muskuloskeletal, sistem integumen dan sistem eliminasi.

Potter & Perry (2006) memaparkan bahaya fisiologis yang terjadi pada pasien imobilisasi sebagai berikut: perubahan metabolik berupa laju metabolik

yang terganggu yaitu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan kalsium dan gangguan pencernaan; perubahan respiratorik berupa komplikasi paru-paru yaitu atelektasis dan pneumonia hipostatik; perubahan kardiovaskuler yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung dan pembentukan trombus; perubahan muskuloskeletal yaitu kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi dan penurunan stabilitas; perubahan sistem integumen yaitu dekubitus; perubahan eliminasi yaitu stasis urin yang memicu infeksi saluran kemih dan konstipasi.


(20)

Penelitian Suheri (2009) pada pasien tirah baring menyatakan bahwa dari 45 orang pasien tirah baring yang di rawat di RSUP Haji Adam Malik Medan sebanyak 88,8% mengalami luka dekubitus derajat I pada hari kelima perawatan

dengan diagnosa yang paling banyak adalah pasien stroke sebanyak 33,3%, head

injury 11,1%, fraktur 15,6%, sisanya adalah pasien bedrest yang memerlukan perawatan lama.

Perawat dan ahli terapi rehabilitasi membantu pasien yang mampu untuk menampilkan secara progresif latihan-latihan yang banyak dan rumit, seperti mandi, berpakaian dan menggunakan toilet, dan mereka menganjurkan pasien untuk mulai menggunakan tungkai dan lengan selama melakukan latihan-latihan tersebut. Mulai untuk mewajibkan kembali kemampuan akan aktivitas hidup sehari-hari merupakan langkah awal bagi penderita stroke untuk mandiri (National Institute of Neurological Disorder and Stroke, 2008).

Perawat sebagai petugas kesehatan memiliki peran penting dalam upaya meminimalkan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke. Perawat mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan asuhan keperawatan dan dukungan pada pasien stroke dan keluarganya. Perawat harus memiliki pengetahuan dan sikap yang mendukung dalam upaya meminimalkan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke untuk peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti pengetahuan dan sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan.


(21)

2. Perumusan Masalah

Bagaimana tingkat pengetahuan dan sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan?

3. Pertanyaan Penelitian

3.1. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan?

3.2. Bagaimana gambaran sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan?

4. Tujuan Penelitian

4.1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.2. Untuk mengetahui sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan.

5. Manfaat Penelitian

5.1. Pendidikan keperawatan

Penelitian ini digunakan sebagai penambah informasi dalam pendidikan keperawatan untuk memperluas khasanah berpikir keperawatan khususnya tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien stroke.


(22)

5.2. Pelayanan keperawatan

Penelitian ini merupakan tambahan pengetahuan bagi layanan keperawatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan untuk kesejahteraan umat manusia khususnya dalam hal pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke.

5.3. Penelitian keperawatan

Penelitian ini digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian yang akan datang dalam ruang lingkup yang sama serta bisa memacu peneliti lainnya untuk meneliti perilaku perawat yang mencakup tiga domain yaitu, sikap, pengetahuan dan keterampilan tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke.


(23)

1. Tingkat Pengetahuan

1.1. Defenisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

1.2. Jenis Pengetahuan

Budiman & Agus (2013) menyatakan bahwa jenis pengetahuan di antaranya sebagai berikut:

1.2.1.Pengetahuan Implisit

Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip. Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan bisa tidak disadari. Contoh sederhana: seseorang mengetahui tentang bahaya merokok bagi kesehatan, namun ternyata dia merokok.

1.2.2.Pengetahuan Eksplisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku kesehatan.


(24)

dengan kesehatan.Contoh sederhana: seseorang yang telah mengetahui tentang bahaya merokok bagi kesehatan dan ternyata dia tidak merokok.

1.3. Tingkat Pengetahuan

Ranah kognitif berorientasi kepada kemampuan berfikir, mencakup kemampuan intelektual yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan

kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving). Pada ranah ini

individu dituntut untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang sebelumnya telah dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut (Nurhidayah, 2010).

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoadmojo (2010) menyatakan bahwa pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1.3.1. Tahu (Know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab penyakit TBC, dan sebagainya.

1.3.2. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, orang yang memahami cara


(25)

pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3 M (Mengubur, Menutup, dan Menguras), tetapi juga harus dapat menjelaskan mengapa melakukan 3 M tersebut.

1.3.3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian di mana saja.

1.3.4. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa.

1.3.5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya, dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar.


(26)

1.3.6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak.

1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Budiman & Agus (2013) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan sebagai berikut:

1.4.1.Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun non formal), berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Namun, perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif dimana kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, maka akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.


(27)

1.4.2. Informasi/media massa

Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu (Undang-Undang Teknologi Informasi).

Informasi tidak dapat diuraikan (intangible) tetapi informasi tersebut dapat

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan pengamatan terhadap dunia sekitar kita, serta diteruskan melalui komunikasi. Informasi mencakup data, teks, gambar, suara, kode, program komputer, dan basis data. 1.4.3. Sosial, budaya, dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang adalah tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian, seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitasyang diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

1.4.4. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.


(28)

1.4.5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional, serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

1.4.6. Usia

Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial, serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua. Namun pada usia tua, individu akan mengalami kemunduran baik fisik maupun mental.

1.5. Pengukuran Pengetahuan

Budiman & Agus (2013) menyatakan bahwa menurut Skinner, bila seseorang mampu menjawab mengenai materi tertentu baik secara lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut dinamakan pengetahuan.


(29)

Pengukuran bobot pengetahuan seseorang ditetapkan menurut hal-hal sebagai berikut:

1. Bobot I : tahap tahu dan pemahaman.

2. Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, dan analisis.

3. Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau responden. Arikunto (2006) membuat kategori tingkat pengetahuan seseorang menjadi tiga tingkatan yang didasarkan pada nilai persentase yaitu sebagai berikut:

1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya ≥ 75%.

2. Tingkat pengetahuan kategori Cukup jika nilainya 56–74%.

3. Tingkat pengetahuan kategori Kurang jika nilainya < 55%.

2. Sikap

2.1 Defenisi Sikap

Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).

Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni: “an individual’s

attitude is syndrome of response consistency with regard to object.” Jadi jelas, di sini dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam


(30)

merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2010).

Sikap yang terdapat pada diri individu akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu, dapat diperkirakan respon atau perilaku yang akan diambil oleh individu yang bersangkutan. Kecenderungan bertindak dari individu, berupa respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu adalah suatu sikap (Sunaryo, 2004).

2.2. Komponen Pokok Sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

2.2.1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya,

bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. Sikap orang terhadap penyakit kusta misalnya, berarti bagaimana pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap penyakit kusta.

2.2.2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya

bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. Seperti contoh di atas tersebut, berarti bagaimana orang menilai terhadap penyakit kusta, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan.

2.2.3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah


(31)

adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Misalnya, tentang contoh sikap terhadap penyakit kusta di atas, adalah apa yang dilakukan seseorang bila ia menderita penyakit kusta.

2.3. Tingkatan Sikap

Menurut Notoadmojo (2010) berdasarkan intensitasnya sikap mempunyai tingkat-tingkat sebagai berikut:

2.3.1.Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek). Misalnya, sikap seseorang terhadap periksa hamil (ante natal care), dapat diketahui atau diukur dari kehadiran si ibu untuk mendengarkan

penyuluhan tentang ante natal care di lingkungannya.

2.3.2.Menanggapi (responding)

Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya, seorang ibu yang

mengikuti penyuluhan ante natal care tersebut ditanya atau diminta menanggapi

oleh penyuluh, kemudian ia menjawab atau menanggapinya.

2.3.3.Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek,atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons. Contoh butir pertama di atas, ibu itu mendiskusikan ante natal care dengan


(32)

suaminya, atau bahkan mengajak tetangganya untuk mendengarkan penyuluhan

ante natal care.

2.3.4.Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain. Contoh tersebut di atas, ibu yang sudah mau mengikuti penyuluhan ante natal care, ia harus berani untuk mengorbankan waktunya, atau mungkin kehilangan penghasilannya, atau diomeli oleh mertuanya karena meninggalkan rumah dan sebagainya.

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Pengubahan Sikap

Pada manusia sebagai faktor sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari pengaruh interaksi satu sama lainnya (eksternal). Di samping itu manusia juga individu, sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal) juga mempengaruhi pembentukan sikap (Notoatmodjo, 2003).

2.4.1.Faktor internal

Dalam hal ini individu menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar, serta menentukan mana yang akan diterima dan mana yang tidak. Faktor internal menyangkut motif dan sikap yang bekerja dalam diri individu pada saat itu serta mengarahkan minat, perhatian (faktor psikologis) juga perasaan sakit, lapar dan haus (faktor fisiologis).


(33)

2.4.2.Faktor eksternal

Merupakan stimulus untuk membentuk dan menentukan sikap. Stimulus tersebut dapat bersifat langsung, misalnya individu dengan individu, individu dengan kelompok. Dapat juga bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara alat komunikasi.

2.5. Pengukuran Sikap

Budiman & Agus (2013) menyatakan bahwa ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang

diukur adalah: menerima (memperhatikan), merespons, menghargai,

mengorganisasi, dan menghayati. Skala yang digunakan untuk mengukur ranah afektif seseorang terhadap kegiatan suatu objek di antaranya menggunakan skala Likert.

Hasil pengukuran berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Oleh sebab itu, pernyataan yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.

3. Konsep Stroke

3.1. Defenisi Stroke

Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya


(34)

penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun sumbatan dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat ,atau kematian (Junaidi, 2011).

3.2. Klasifikasi Stroke

Menurut Muttaqin (2008) stroke terbagi atas: 3.2.1.Stroke hemoragi

Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:

3.2.1.1.Perdarahan intraserebral. Pecahnya pembuluh darah(mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, dan menimbulkan edema otak.

3.2.1.2.Perdarahan subaraknoid. Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma

berry atau AVM. Aneurisma yang pecahnya ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak.


(35)

3.2.2.Stroke nonhemoragik

Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.

3.3. Faktor Resiko Stroke

Menurut Muttaqin (2008) beberapa faktor penyebab stroke antara lain:

1. Hipertensi, merupakan faktor resiko utama

2. Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung

3. Kolesterol tinggi

4. Obesitas

5. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebral

6. Diabetes-terkait dengan aterogenesis terakselerasi

7. Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen

tinggi)

8. Merokok

9. Penyalahgunaan obat (khususnya kokain)

10. Konsumsi alkohol

3.4. Manifestasi Klinis

• Mulut mencong (facial drop)

Normal: kedua sisi muka bergerak simetris


(36)

• Gangguan bicara dan bahasa

Normal: dapat mengucapkan kata/kalimat dengan benar dan jelas Abnormal: tidak mampu/bicara rero/pelo/cadel, kalimat yang salah

• Lengan lemah (arm drift)

Normal: kedua lengan dapat bergerak bersamaan dan sejajar Abnormal: salah satu lengan bergerak turun/tidak sejajar

3.5. Penyebab Stroke

Menurut Muttaqin (2008), penyebab stroke adalah sebagai berikut: 3.5.1.Trombosis serebral

Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.

3.5.2.Hemoragi

Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi.

3.5.3.Hipoksia umum

Hipertensi yang parah, henti jantung-paru, curah jantung turun akibat aritmia.

3.5.4. Hipoksia setempat

Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid, vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.


(37)

3.6. Mobilitas Pada Pasien Stroke

Stroke adalah penyakit saraf motorik atas/upper motoric nerve (UMN) dan

mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari otak (Muttaqin, 2008). Apabila stroke merusak bagian sebelah kanan otak, maka sisi tubuh yang di sebelah kiri yang terkena pengaruhnya. Sedangkan jika kerusakan terjadi pada bagian otak sebelah kiri, maka kelumpuhan dan kelemahan motorik (daya gerak) tubuh pada sisi sebelah kanan terjadi. Apabila sisi sebelah kanan mengalami kerusakan, maka pasien akan mengalami kesulitan-kesulitan dengan persepsi spasial. Seringkali salah satu sisi tubuhnya terabaikan, tidak menyadari keberadaan sisi sebelah kiri tubuhnya (Shimberg, 1998).

Mobilisasi atau rehabilitasi dini di tempat tidur merupakan suatu program rehabilitasi yang segera dilakukan, khususnya selama beberapa hari sampai minggu setelah terkena stroke. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekakuan otot (kontraktur), mengoptimalkan pengobatan sehubungan masalah medis dan menyediakan bantuan psikologis pasien dan keluarganya. Bila usaha ini dilakukan dengan segera, maka kekakuan otot dapat berkurang secara cepat

perhari sekitar 3%. Pengerelaksasian kekakuan otot (dekondisioning) mulai

dilakukan dalam waktu 24-48 jam pertama. Pada kondisi ini katabolisme meningkat, depresi psikologis, stasis pembuluh vena, kapasitas vital menurun, perlambatan gerakan saluran cerna. Stasis urinaria juga dapat dijumpai. Terapi fisik harus dimulai dalam 2 hari dari saat terjadinya (onset) stroke bahkan pasien


(38)

koma sekalipun dengan menggerakkan anggota tubuhnya. Program awal rehabilitasi/mobilisasi dini dilakukan secepatnya. Pasien yang diperbolehkan mengangkat kepala, duduk, dan berdiri maka perbaikan fungsi dapat diharapkan dengan lebih baik (Junaidi, 2011).

4. Bahaya Fisiologis Imobilisasi 4.1. Perubahan fisiologis imobilisasi

Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh beresiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami.

4.1.1.Perubahan metabolik

Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi mengalami peningkatan BMR (Basal Metabolic Rate) diakibatkan karena demam atau penyembuhan luka. Demam dan penyembuhan luka meningkatkan kebutuhan oksigen selular (McCance dan Huether, 1994).

Defisiensi kalori dan protein merupakan karakteristik klien yang mengalami penurunan selera makan sekunder akibat imobilisasi. Jika lebih banyak nitrogen (produk akhir pemecahan asam amino) yang diekskresikan dari pada yang dimakan dalam bentuk protein, maka tubuh dikatakan mengalami


(39)

keseimbangan nitrogen negatif, dan kehilangan berat badan, penurunan massa otot, dan kelemahan akibat katabolisme jaringan. Kehilangan protein menunjukkan penurunan massa otot terutama pada hati, jantung, paru-paru, saluran pencernaan, dan sistem kekebalan (Long et al,1993).

4.1.2.Perubahan sistem respiratori

Klien imobilisasi berisiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru dimana yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat stasisnya sekresi. Atelektasis dan

pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi,

memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan (Long et al, 1993). Sekret yang menetap menumpuk di bronkus dan paru menyebabkan pertumbuhan bakteri yang selanjutnya berkembang menjadi pneumonia. Infeksi pulmonal tetap berkembang meskipun dilakukan intervensi untuk pencegahannya.

4.1.3.Perubahan sistem kardiovaskuler

Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respons otonom. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diiikuti oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance dan Huether, 1994). Ditandai dengan sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan energi, gangguan visual, dispnea, ketidaknyaman kepala atau leher, dan hampir pingsan ataupun pingsan (Gilden, 1993).


(40)

Klien juga berisiko terjadi pembentukan trombus. Trombus adalah akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen pembuluh darah.

4.1.4.Perubahan sistem muskuloskeletal

Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, penurunan stabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi.

Penurunan stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan kelainan sendi yang aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu bergerak terus-menerus dan sangat berisiko untuk jatuh. Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi. Kontraktur sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi.hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh (Lehmkuhl et al, 1990).

4.1.5.Perubahan sistem integumen

Dekubitus terjadi akibat iskemia dan anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga respirasi seluler terganggu, dan sel menjadi mati (Ebersole dan Hess, 1994). Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenik paling umum dalam perawatan kesehatan dimana


(41)

berpengaruh terhadap populasi klien khusus-lansia dan yang imobilisasi (Alterescu dan Alterescu, 1992). Kerusakan integritas kulit mempunyai dampak yang bermakna pada tingkat kesejahteraan, asuhan keperawatan, dan lamanya perawatan di rumah sakit.

4.1.6.Perubahan eliminasi urin

Eliminasi urin klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Ginjal yang membentuk urin harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urin masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urin dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.

4.2. Pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi

4.2.1. Sistem Metabolik

Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi perubahan transport nutrient, mengkaji asupan, makanan dan pola eliminasi klien untuk menentukan perubahan fungsi gastrointestinal.


(42)

Pada umumnya anoreksia terjadi pada klien imobilisasi.asupan makanan klien harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan diberikan, untuk menentukan jumlah yang dimakan. Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihindari apabila perawat mengkaji pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum keadaan imobilisasi.

Jika klien tidak bisa makan, nutrisi harus diberikan melalui parenteral dan enteral. Pemberian makanan enteral meliputi pemberian melalui selang nasogastrik, gastrostomi, jejunostomi dengan cairan tinggi protein, tinggi kalori dengan tambahan vitamin lengkap, mineral, dan elektrolit.

4.2.2. Sistem Pernafasan

Perawat harus memotivasi klien bernafas dalam dan batuk setiap 1 sampai 2 jam. Klien yang waspada dapat diajarkan untuk bernafas dalam dan menguap setiap jam. Kegiatan ini mengembangkan semua lobus paru dan mencegah atelektasis. Batuk dapat mengurangi statis sekresi pulmonal. Sekret yang stagnasi dapat dikurangi dengan mengubah posisi klien setiap dua jam. Perubahan mereposisikan paru yang menggantung dan memobilisasikan sekret. Pada klien yang tidak sadar dengan jalan nafas buatan, perawat dapat mengembangkan dada

dan paru dengan menggunakan ambu bag.

4.2.3. Sistem Kardiovaskuler

Ketika klien dipindahkan dari posisi telentang ke kursi, klien harus diubah posisinya bertahap. Ketika melakukan prosedur ini, perawat harus mencatat adanya perubahan ortostatik. Perawat mengumpulkan tanda vital dasar pada klien dengan posisi telentang. Perawat tetap berada bersama klien dengan posisi fowler


(43)

yang tinggi selama beberapa waktu agar tubuh beradaptasi terhadap setiap perubahan tanda vital. terus-menerus memantai klien adanya pusing dan sakit kepala ringan, dan menanyakan apakah klien melihat bintik-bintik. Meskipun tidak semua klien mengalami mengalami hipotensi ortostatik, klien harus dipantau tanda vitalnya ketika klien mencoba duduk atau berdiri pertama kali.

Cara paling efektif untuk mengatasi trombosis vena profunda (deep vein trombosis, DVT) adalah melalui program pemberian profilaksis yang tepat. Hal ini dimulai dengan identifikasi klien yang beresiko, dilanjutkan pada klien imobilisasi atau beresiko lainnya. Stocking kompresi bertahap dapat mencegah DVT selama klien yang tepat dan regimen yang tepat (Evans, 1991). Stocking seharusnya tidak dipakai jika terdapat kondisi lokal yang mempengaruhi kaki (mis. lesi kulit, gangren atau menerima ligasi vena). Stocking harus digunakan dengan tepat dan dilepaskan serta kembali dipasang minimal dua kali sehari. Apabila klien diduga terjadi DVT maka perawat harus melaporkan segera. Kaki harus ditinggikan tanpa ada penekanan trombus. Keluarga, klien, dan tenaga kesehatan tidak dibenarkan melakukan pemijitan di area tersebut karena bahaya pengeluaran trombus.

4.2.4. Sistem Muskuloskeletal

Klien imobilisasi harus mendapatkan beberapa latihan untuk mencegah otot yang tidak digunakan secara berlebihan, atrofi, dan kontraktur sendi. Jika klien tidak mampu menggerakkan sebagian ataupun seluruh bagian tubuhnya, maka perawat harus melakukan latihan rentang gerak pasif untuk semua sendi yang imobilisasi ketika memandikan klien dan minimal dua atau tiga kali sehari,


(44)

jika salah satu ekstremitas paralisis, klien diajarkan menggunakan setiap sendinya secara mandiri melalui latihan rentang gerak.

Klien tirah baring harus melakukan latihan rentang gerak aktif yang dimasukkan dalam jadwal sehari-hari. Klien melakukan latihan ini dalam aktivitas sehari-harinya. Salah satu contoh latihan aktif dalam aktivitas sehari-hari adalah mengambil buku di samping tempat tidur untuk melatih bahu (abduksi). Latihan rentang gerak aktif mempertahankan fungsi sistem muskuloskeletal. Perawat juga harus merencanakan intervensi untuk mengembalikan mobilisasi pada klien yang mampu melakukan aktivitas normal bertahap.

4.2.5. Sistem Integumen

Resiko utama pada kulit akibat keterbatasan mobilisasi adalah dekubitus. Oleh karena itu intervensi keperawatan berfokus pada pencegahan dan penatalaksanaan. Intervensi keperawatan adalah sebagai berikut: memeriksa kulit secara sistematik minimal satu kali sehari, khususnya di bagian penonjolan tulang; membersihkan kulit pada waktu kotor pada interval waktu tertentu; meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan kulit kering; tidak melakukan pemijatan di atas daerah penonjolan tulang; meminimalkan paparan kulit dari kelembapan akibat inkontinensia, keringat atau cairan luka; pemberian posisi yang sesuai untuk meminimalkan cedera kulit akibat friksi dan gaya gesek dengan teknik memindahkan dan bergerak yang benar.

4.2.6. Sistem Eliminasi

Intervensi keperawatan untuk mempertahankan fungsi optimal pada perkemihan adalah menjaga hidrasi klien dengan baik tanpa menyebabkan


(45)

distensi kandung kemih dan mencegah statis urin, terbentuk batu, dan infeksi. Untuk mencegah distensi kandung kemih, perawat mengkaji frekuensi dan jumlah haluaran urin. Klien dengan urin yang menetes terus-menerus dan kandung kemih yang distensi menujukkan inkontinensia overflow. Jika klien imobilisasi tidak dapat mengontrol eliminasi urinnya secara sadar maka perawat harus memasukkan kateter sementara atau menetap untuk mencegah distensi. Perawat juga harus mencatat frekuensi dan konsistensi defekasi. Diet kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan dalam jumlah banyak mendukung peristaltik normal. Jika klien tidak mampu mempertahankan pola eliminasi bowel normal maka dokter memberikan pelunak feses, katartik, atau enema.


(46)

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep penelitian di bawah ini menjelaskan pengetahuan dan sikap perawat dalam upaya untuk mengurangi bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke.

Perawat

Pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke

• Baik

• Cukup

• Kurang

Sikap perawat tentang

pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke

• Positif


(47)

2. Definisi Operasional

Tabel 2.1 Variabel, defenisi operasional, alat ukur, hasil ukur dan skala

No. Variabel Defenisi

Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1.

2.

Pengetahuan

Sikap

•Pengetahuan

adalah segala

sesuatu yang

diketahui dan

dipahami oleh

perawat dalam

pengurangan

bahaya fisiologis

imobilisasi padasistem

metabolik, sistem respiratori, sistem kardiovaskuler, sistem

muskuloskeletal, sistem integumen

dan sistem

eliminasi pasien

stroke

•Sikap adalah

respon/perasaan positif atau negatif

perawat dalam

mengurangi

bahaya fisiologis

imobilisasi pada

sistem metabolik, sistem respiratori, sistem

kardiovaskuler, sistem

muskuloskeletal, sistem integumen

dan sistem

eliminasi.

Kuesioner terdiri dari 20

pertanyaan dengan 3 hasil ukur yaitu pengetahu

an baik,

cukup, kurang serta pilihan jawaban bentuk pilihan ganda Kuesioner terdiri dari 15

pertanyaan positif dengan 2 hasil ukur yaitu positif dan negatif serta pilihan jawaban: selalu, sering, kadang-kadang dan tidak pernah

•Baik: apabila

responden

mendapat skor

14-20,

•Cukup: apabila

responden mendapat skor 7-13,

•Kurang: apabila

responden mendapat skor 0-6.

•Positif: apabila

responden

mendapat skor, 38-60,

•* MEtif: apabila

mendapat skor

15-37.

Interval


(48)

1. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang

bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik.

2. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat yang bertugas di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik yang berjumlah 16 orang dengan latar belakang pendidikan SPK, DIII Keperawatan dan S1 Keperawatan.

Sesuai dengan Arikunto (2002) yang menjelaskan bahwa bila populasi kurang dari 100 orang maka sampel yang dipilih dengan menggunakan total sampling yaitu semua populasi yang ada dijadikan sampel penelitian.

3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 11 bulan di RSUP H. Adam Malik pada

bulan September 2014 – Juni 2015. Alasan peneliti memilih RSUP H. Adam Malik sebagai tempat penelitian karena rumah sakit ini merupakan rujukan bagi pasien stroke di wilayah SUMUT. Peneliti melakukan penelitian secara spesifik di Ruang RA4 karena ruangan tersebut adalah ruangan khusus bagi pasien stroke yang di rawat inap sesuai dengan kriteria penelitian.


(49)

4. Pertimbangan Etik

Pertimbangan etik penelitian bertujuan untuk melindungi hak-hak subjektif untuk menjamin kerahasiaan identitas responden dan kemungkinan terjadinya ancaman terhadap responden. Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu serta menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden. Responden membaca serta memahami isi dan surat

persetujuan (informed consent) sebagai bukti kesediaan menjadi responden.

Responden berhak menolak atau pun mengundurkan diri selama proses penelitian. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner).

5. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti mengumpulkan data menggunakan alat berupa kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada konsep teori di tinjauan pustaka. Instrumen ini terdiri dari 3 bagian yaitu kuesioner data demografi responden, kuesioner tingkat pengetahuan perawat dan kuesioner sikap perawat dalam mengurangi bahaya fisiologis imobilisasi.

5.1. Kuesioner Data Demografi

Instrumen penelitian tentang pengumpulan data demografi berisi nama

(inisial), umur, tingkat pendidikan, dan lama kerja. Data demografi responden tidak akan dianalisis melainkan hanya untuk mengetahui karakteristik responden.


(50)

5.2. Kuesioner Pengetahuan

Kuesioner pengetahuan perawat terdiri dari pertanyaan dengan metode

multiple choice. Kuesioner terdiri dari 20 pertanyaan dimana untuk setiap pertanyaan yang dijawab benar diberi nilai 1 dan jika salah diberi nilai 0. Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 20 dan terendah adalah 0. Berdasarkan rumus statistik menurut Sudjana (2002)

p=rentang/banyak kelas

Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang sebesar 20 (selisih nilai tertinggi dan nilai terendah) dan banyak kelas sebanyak 3 kelas (pengetahuan baik, cukup, kurang) maka didapatkan panjang kelas sebesar 6. Dengan menggunakan p=6 dan nilai terendah 0 sebagai batas bawah kelas interval pertama, maka pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke adalah sebagai berikut:

0 – 6 = pengetahuan kurang

7 – 13 = pengetahuan cukup 14 – 20= pengetahuan baik

5.3. Kuesioner Sikap

Kuesioner sikap perawat terdiri dari pertanyaan dengan pilihan jawaban Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (KK), dan Tidak Pernah (TP). Kuesioner terdiri dari 15 pertanyaan dengan menggunakan Skala Likert. Skala


(51)

Likert merupakan skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang suatu gejala atau fenomena tertentu. Untuk pernyataan positif jawaban SL diberi nilai 4, SR diberi nilai 3, KK diberi nilai 2 dan TP diberi nilai 1 dan untuk pernyataan negatif jawaban SL diberi nilai 1, SR diberi nilai 2, KK diberi nilai 3 dan TP diberi nilai 4. Namun kuesioner yang digunakan peneliti terdiri dari 15 pernyataan yang keseluruhannya adalah pernyataan positif. Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 60 dan terendah adalah 15. Berdasarkan rumus statistik menurut Sudjana (2002)

p=rentang kelas/banyak kelas

Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang sebesar 45 (selisih nilai tertinggi dan terendah) dan banyak kelas sebanyak 2 kelas (sikap positif dan negatif) maka didapatkan panjang kelas sebesar 22. Dengan menggunakan p = 22 dan 15 sebagai batas interval pertama maka sikap perawat dalam upaya pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke adalah sebagai berikut:

15-37 = sikap negatif

38-60 = sikap positif

6. Uji Validitas dan Reliabilitas

6.1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu


(52)

mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2010). Uji yang dilakukan adalah dengan cara validitas isi (content validity) yang diuji oleh dosen yang ahli dengan nilai=1.

6.2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas (ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Namun perlu dicatat bahwa uji perhitungan reliabilitas hanya dilakukan pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah memiliki validitas (Notoadmojo, 2010).

Uji reliabilitas dilakukan pada bulan Mei 2015 di RSU Pirngadi Medan terhadap 10 orang responden yang memiliki karakteristik yang sama dengan sampel yang akan diteliti di lokasi penelitian. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan SPSS untuk analisa cronchbach alpa dengan hasil koefisien reliabilitas untuk variabel pengetahuan adalah 0,712 dan untuk variabel sikap adalah 0,792. Hal ini dapat diterima untuk instrumen yang baru, sesuai pendapat Polit & Hunger (1995) bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0, 70.

7. Pengumpulan Data

Data penelitian diambil di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan selama 2 minggu. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:


(53)

1. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin uji etik Keperawatan penelitian pada Komisi Etik.

2. Mengirim surat ijin penelitian dari Fakultas Keperawatan USU ke tempat

penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan. Setelah mendapat persetujuan dari RSUP H. Adam Malik Medan, peneliti memulai penelitian.

3. Peneliti meminta kesediaan responden untuk mengikuti penelitian.

4. Peneliti menjelaskan tentang prosedur, manfaat penelitian dan cara

pengisian kuesioner.

5. Setelah mendapat persetujuan responden, pengisian kuesioner dimulai.

6. Kuesioner dikumpulkan kembali oleh peneliti dan diperiksa

kelengkapannya. Apabila ada yang tidak lengkap, dilengkapi saat itu juga. Selanjutnya data dikumpulkan untuk dianalisa.

8. Analisa Data

Data yang terkumpul lalu diolah. Hasil pengolahan dan analisis data yang akan diproses dengan bantuan komputer bergantung pada kualitas data. Proses pengolahan data harus melalui tahap-tahap berikut:

8.1. Editing

Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner tersebut.


(54)

8.2. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan

8.3. Data Entry

Data yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software” komputer. Salah satu paket program yang paling sering digunakan untuk menganalisa data penelitian adalah paket program SPSS for Window.

8.4. Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk statistik univariat. Statistik univariat adalah suatu prosedur utuk menganalisa data dari satu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian (Polit & Hunger, 1999).

Untuk data demografi disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Begitu juga dengan kedua data tentang pengetahuan dan sikap, karena skala


(55)

pengukurannya dalam ordinal sehingga tampilan datanya dalam bentuk distribusi frekuensi.


(56)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengetahuan dan sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai dari bulan September 2014 sampai dengan juni 2015 dengan jumlah responden sebanyak 16 orang perawat.

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian dijabarkan mulai dari deskripsi karakteristik responden, tingkat pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke dan sikap perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke.


(57)

1.1 Karakteristik Responden

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat yang Merawat Pasien Stroke di Ruang RA4 di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015

Karakteristik Responden Jumlah

Persentase Umur

- 20-29 tahun 0 0

- 30-39 tahun 6 37,5

- >40 tahun 10 62,5

Tingkat Pendidikan

- SPK 7 43,8

- DIII Keperawatan 4 25,0

- S1 Keperawatan 5 31,2

- S2 Keperawatan 0 0

Lama Bekerja

- <3 tahun 0 0

- 3-6 tahun 0 0

- >6 tahun 16 100,0

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh data karakteristik responden berdasarkan umur terbanyak berada pada rentang usia >40 tahun yaitu 62,5% (n=10) sementara responden yang berada pada rentang usia 30-39 tahun adalah 37,5% (n=6) dan responden yang berada pada rentang usia 20-29 tahun adalah 0% (n=0). Berdasarkan tingkat pendidikan responden terbanyak adalah lulusan SPK yaitu sebesar 43,8% (n=7) disusul dengan responden terbanyak


(58)

kedua adalah lulusan S1 yaitu sebesar 31,2% (n=5) dan selebihnya adalah lulusan DIII yaitu sebesar 25% (n=4). Berdasarkan lamanya bekerja seluruh responden yaitu 100% (n=16) sudah bekerja lebih dari 6 tahun.

1.2 Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi Pada Pasien Stroke

Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di RSUP H. Adam Malik Medan 2015

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase

Baik 9 56,2

Cukup 7 43,8

Kurang 0 0

Total 16 100

Dari tabel di atas diperoleh distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan 2015. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa 9 orang responden atau 56,2% memiliki tingkat pengetahuan baik, 7 responden atau 43,8% memiliki tingkat pengetahuan cukup dan 0 responden memiliki tingkat pengetahuan kurang. Untuk lebih jelasnya tentang distribusi frekuensi jawaban responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(59)

Tabel 3. Distribusi frekuensi jawaban responden tentang tingkat pengetahuan mengenai pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di RSUP H. Adam Malik Medan 2015

No Pertanyaan Benar Salah

Frek % Frek %

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Kebutuhan kalori dan protein

yang tidak tercukupi

menyebabkan

Perawat mengevaluasi atrofi otot dengan cara

Tindakan perawat untuk

memenuhi kebutuhan metabolik pasien

Penyebab pneumonia pada

pasien imobilisasi

Hal yang harus dilakukan

perawat untuk mencegah

pneumonia

Perawat mengembangkan dada dan paru pasien yang tidak sadar dengan cara

Hipotensi ortostatik pada pasien imobilisasi ditandai dengan

Pengkajian pasien dengan

hipotensi ortostatik dilakukan perawat saat pasien

Bahaya pembentukan trombus pada pasien imobilisasi

Cara pencegahan thrombus Kelainan muskuloskeletal yang terjadi pada pasien imobilisasi

Perawat melakukan latihan

rentang gerak dengan cara Contoh latihan aktif dalam kehidupan sehari-hari pasien imobilisasi

Penyebab dekubitus pada pasien dengan tirah baring yang lama Dekubitus yang terjadi pada pasien dengan tirah baring yang lama ditandai dengan

Intervensi yang dilakukan

15 11 15 16 16 3 4 11 10 9 2 12 13 14 9 15 93,8 68,8 93,8 100 100 18,8 25,0 68,8 62,5 56,2 12,5 75,0 81,2 87,5 56,2 93,8 1 5 1 0 0 13 12 5 6 7 14 4 3 2 7 1 6,2 31,2 6,2 0 0 81,2 75,0 31,2 37,5 43,8 87,5 25,0 18,8 12,5 43,8 6,2


(60)

17 18

19

20

perawat untuk mencegah

dekubitus

Statis urin pada pasien

imobilisasi ditandai dengan Intervensi yang dilakukan untuk mempertahankan fungsi optimal perkemihan

Intervensi yang dapat dilakukan

perawat pada pasien

inkontinensia urin

Intervensi yang dilakukan untuk mempertahankan fungsi optimal bowel 2 11 15 14 12,5 68,8 93,8 87,5 14 5 1 2 87,5 31,2 6,2 12,5

1.3 Sikap Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi Pada Pasien Stroke

Tabel 4. Distribusi frekuensi jawaban responden tentang sikap mengenai pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di RSUP H. Adam Malik Medan 2015

Tingkatan Sikap Frekuensi Persentase

Positif 15 93,8

Negatif 1 6,2

Total 16 100

Dari tabel di atas diperoleh distribusi frekuensi sikap responden tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi di RSUP Haji Adam Malik Medan 2015. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa 15 orang responden atau 93,8% memiliki sikap positif, 1 responden atau 6,2% memiliki sikap negatif. Untuk lebih jelasnya tentang distribusi frekuensi jawaban responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(61)

Tabel 5. Distribusi frekuensi jawaban responden tentang sikap mengenai pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke di RSUP H. Adam Malik Medan 2015

No Pernyataan Selalu Sering Kadang-

Kadang

Tidak Pernah

Frek % Frek % Frek % Frek %

1 2 3 4 5 6 7 8

Saya mengevaluasi atrofi otot pasien

Saya mengkaji pola makan

pasien untuk menjaga

keseimbangan nutrisi

Saya mengubah posisi

pasien minimal setiap 2 jam

untuk mencegah

penumpukan sekret di

bronkus dan paru

Saya memotivasi pasien bernafas dalam dan batuk untuk mengeluarkan sekret yang menumpuk

Saya memantau tanda vital

pasien tiap kali ada

perubahan posisi pasien (dari posisi telentang ke posisi duduk ke posisi

berdiri dst) untuk

mengetahui indikasi

hipotensi ortostatik

Saya mengatur posisi

pasien disertai terapi lain

(heparin atau stoking

elastik) untuk mengurangi pembentukan trombus pada pasien imobilisasi

Saya membantu pasien

melakukan latihan rentang gerak pasif untuk mencegah

kontraktur sendi ketika

memandikan pasien

Saya mengintegrasikan

latihan aktif ke dalam

kehidupan sehari-hari

9 6 5 8 10 5 8 6 56,2 37,5 31,2 50,0 62,5 31,2 50,0 37,5 3 9 10 8 5 5 4 8 18,8 56,2 62,5 50,0 31,2 31,2 25,0 50,0 4 1 1 0 1 6 4 2 25,0 6,2 6,2 0 6,2 37,5 25,0 12,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(62)

9 10 11 12 13 14 15

pasien (mis: mengajar

pasien untuk

menganggukkan kepala

“ya” untuk melatih leher fleksi dan ekstensi)

Jika salah satu ekstremitas paralisis, saya mengajarkan pasien untuk menggunakan

tiap sendinya secara

mandiri

Saya melakukan

pemeriksaan kulit pasien secara sistematik minimal satu kali sehari, khususnya di bagian penonjolan tulang

Saya segera mengganti

sprei dan popok pasien jika sudah kotor dan basah Saya memindahkan pasien dengan hati-hati agar tidak terjadi cedera kulit

Saya mengkaji asupan dan

haluaran cairan untuk

mempertahankan fungsi

optimal pada perkemihan Saya mencatat frekuensi dan konsistensi defekasi

untuk mempertahankan

pasien dalam pola eliminasi bowel normal

Saya melakukan perawatan perineal setelah defekasi terutama pada wanita untuk mencegah infeksi 8 9 7 5 9 9 10 50,0 56,2 43,8 31,2 56,2 56,2 62,5 7 7 8 10 6 6 5 43,8 43,8 50,0 62,5 37,5 37,5 31,2 1 0 1 1 1 1 1 6,2 0 6,2 6,2 6,2 6,2 6,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0


(63)

2. Pembahasan

2.1 Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi Pada Pasien Stroke

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh data bahwa lebih dari setengah responden memiliki usia >40 tahun yaitu 62,5% (n=10) dan sisanya yaitu 37,5% (n=6) berada pada rentang usia 30-39 tahun. DEPKES RI (2009) menyatakan bahwa usia >30 tahun adalah masa dewasa awal. Budiman & Agus (2013) menyatakan bahwa usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir seseorang sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Berdasarkan tingkat pendidikan responden terbanyak adalah lulusan SPK yaitu sebesar 43,8% (n=7) disusul dengan responden terbanyak kedua adalah lulusan S1 yaitu sebesar 31,2% (n=5) dan selebihnya adalah lulusan DIII yaitu sebesar 25% (n=4). Budiman & Agus ((2013) menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Namun, perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah


(64)

pula. Hal ini didukung oleh pernyataan Nurhidayah (2009) yaitu bagi orang dewasa yang penting adalah bagaimana mengaplikasikan sesuatu dan bagaimana memecahkan masalah bukan sekedar pengetahuan dan teori-teori.

Berdasarkan lamanya bekerja seluruh responden yaitu 100% (n=16) sudah bekerja lebih dari >6 tahun. Nurhidayah (2010) menyatakan bahwa dalam proses belajar, seorang dewasa cenderung berkeinginan untuk menentukan apa yang ingin dipelajarinya serta membandingkan dan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman-pengalaman belajar yang telah dimiliki sebelumnya. Peneliti berasumsi bahwa semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin banyak pula pengalaman yang memperluas pengetahuannya.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pengetahuan perawat tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi pada pasien stroke berada pada rentang baik lebih dari setengah responden yaitu sebesar 56,2% sementara sisanya yaitu 43,8% memiliki tingkat pengetahuan cukup dan 0% memiliki tingkat pengetahuan kurang.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa lebih dari setengah responden yaitu 56,2% memiliki tingkat pengetahuan baik dipengaruhi oleh lamanya bekerja dan usia responden. Seluruh responden telah bekerja >6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perawat telah memiliki banyak pengalaman yang memperluas pengetahuannya karena semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin banyak pula pengalaman yang dimilikinya. Untuk usia responden yaitu seluruh responden telah berusia >30 tahun dimana usia ini adalah masa dewasa dini dan


(65)

telah tercapai kematangan fungsi kognitif. Untuk tingkat pendidikan responden, peneliti berasumsi bahwa hal ini tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan mayoritas perawat berada dalam rentang baik karena hampir setengah perawat adalah lulusan SPK. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budiman & Agus (2013) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan, informasi/media massa, sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia.

Apabila dilihat dari jawaban responden atas pertanyaan kuesioner, terlihat bahwa terdapat 3 pertanyaan yang lebih banyak dijawab salah, yaitu pertanyaan nomor 7, 11 dan 17.

Untuk pertanyaan nomor 7 yaitu ciri hipotensi ortostatik pada pasien imobilisasi, mayoritas responden atau 75% menjawab dengan salah. (Gilden, 1993) dalam (Potter & Perry, 2006) menyatakan bahwa klien yang tirah baring atau imobilisasi untuk waktu lama beresiko terjadi hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik (postural) adalah suatu kondisi ketidakmampuan berat dengan karakteristik tekanan darah yang menurun ketika klien berdiri. Ditandai dengan sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan energi, gangguan visual, dispnea, ketidaknyamanan kepala atau leher, dan hampir pingsan ataupun pingsan.

Untuk pertanyaan nomor 11 yaitu kelainan muskuloskeletal yang terjadi pada pasien imobilisasi, mayoritas responden atau 87,5% menjawab salah. (Potter & Perry, 2006) menyatakan bahwa kelainan muskuloskeletal utama dapat


(66)

diidentifikasi selama pengkajian keperawatan meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot, dan kontraktur. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi.

Untuk pertanyaan nomor 17 yaitu ciri statis urin pada imobilisasi, mayoritas responden atau 87,5% menjawab salah. Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa eliminasi urin klien berubah oleh adanya imoblisasi. Pada posisi tegak lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang membentuk urin harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urin masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urin dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.

Hariyati (2006) menyatakan bahwa perawat merupakan salah satu pemberi pelayanan kesehatan yang mempunyai kontribusi dalam meningkatkan status kesehatan bangsa. Perawat mempunyai peran diantaranya sebagai pemberi

pelayanan (care provider), pendidik, konselor, advocate, kolaborator dan change

agent (Helvie, 1998). Dalam melaksanakan peran ini perawat harus selalu meningkatkan pengetahuannya.

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan menuntut perawat untuk memberi kenyamanan dan rasa aman bagi klien, melindungi hak dan kewajiban


(67)

klien agar tetap terlaksana dengan seimbang antara lain, memfasilitasi klien dengan anggota tim kesehatan lainnya, dan berusaha mengembalikan kesehatan klien (DEPKES, 2004)

2.2 Sikap Perawat Tentang Pengurangan Bahaya Fisiologis Imobilisasi Pada Pasien Stroke

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa ternyata hampir 100% responden atau 93,8% memiliki sikap positif dan hanya 6,2% responden memiliki sikap negatif. Bila dikaitkan dengan teori Green (1980) dalam Handayani (2004), maka tingkat pengetahuan merupakan faktor predisposisi dalam perilaku positif, karena dengan pengetahuan, seseorang akan mulai mengenal dan mencoba atau melakukan suatu tindakan. Peneliti berasumsi bahwa hampir 100% responden memiliki sikap positif didukung oleh tingkat pengetahuan responden yang berada pada rentang baik lebih dari setengah responden. Hal ini menunjukkan bahwa perawat telah memiliki dasar pengetahuan tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi sehingga hal inilah yang memicu perawat untuk bersikap positif dalam hal pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi

Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Peneliti berasumsi bahwa saat perawat telah memiliki pengetahuan tentang pengurangan bahaya fisiologis imobilisasi, komponen pikiran, keyakinan dan emosi turut bekerja sehingga akhirnya perawat dapat memunculkan sikap positif atau negatif akan hal tersebut. Jadi perawat memiliki


(68)

karena mayoritas perawat memiliki pengetahuan yang baik tapi juga karena faktor lain yaitu pikiran, keyakinan, dan emosi.

Apabila dilihat dari jawaban responden atas pertanyaan kuesioner, terlihat bahwa terdapat 3 pertanyaan yang lebih banyak disikapi negatif yaitu pertanyaan nomor 3, dan 6.

Untuk pernyataan nomor 3 yaitu saya mengubah posisi pasien minimal setiap 2 jam untuk mencegah penumpukan sekret di bronkus dan paru, sebanyak 31,2% responden menjawab selalu, 62,5% menjawab sering, 6,2% menjawab kadang-kadang dan 0% menjawab tidak pernah. Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa sekret yang menetap menumpuk di bronkus dan paru menyebabkan pertumbuhan bakteri yang selanjutnya berkembang menjadi pneumonia. Infeksi pulmonal tetap berkembang meskipun dilakukan intervensi untuk pencegahannya. Sekret yang stagnasi dapat dikurangi dengan mengubah posisi klien setiap 2 jam. Perubahan mereposisikan paru yang menggantung dan memobilisasikan sekret.

Untuk pernyataan nomor 6 yaitu saya mengatur posisi pasien disertai terapi lain (heparin atau stoking elastik) untuk mengurangi pembentukan trombus pada pasien imobilisasi, sebanyak 31,2% responden menjawab selalu, 31,2% menjawab sering, 37,5% menjawab kadang-kadang dan 0% menjawab tidak pernah. Potter & Perry (2006) menyatakan bahwa trombus adalah akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen darah.


(69)

Menurut Goucke (1989, dikutip dari Potter & Perry, 2006) heparin adalah obat yang banyak digunakan pada profilaksis DVT (Deep Vein Trombosis). Heparin menjadi standar emas pada area ini karena telah dipelajari dan tervalidasi dengan baik. Dosis umum untuk terapi heparin dosis rendah adalah 5000 unit melalui subkutan dua jam sebelum operasi dan dilanjutkan sampai klien benar-benar dapat mobilisasi atau sampai klien pulang.

Menurut Evans (1991, dikutip dari Potter & Perry, 2006) stoking elastik membantu mempertahankan tekanan luar otot ekstremitas bawah dan selanjutnya mendukung aliran balik vena. Perawat terlebih dahulu mengkaji kesesuaian pada penggunaan klien ketika mempertimbangkan pemasangan penekanan stoking bertahap. Stoking seharusnya tidak dipakaikan jika terdapat kondisi lokal yang mempengaruhi kaki (mis. lesi kulit, gangren, atau menerima ligasi vena), yang memungkinkan sirkulasi.

Sikap positif dapat memberikan sesuatu yang sangat berguna baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Oleh karena perawat bekerja untuk memberikan asuhan keperawatan pada klien, keluarga, kelompok, maupun masyarakat; maka menjaga sikap positif menjadi sangat penting untuk dipahami. Sikap adalah dasar dan pendukung segala sesuatu yang dilakukan, merupakan elemen kunci dalam proses pengendalian, terutama yang terkait dengan keperawatan (Harrel, K. 2007) dalam (Sumijatun, 2011).


(1)

Lampiran 11. Surat izin reliabilitas


(2)

Lampiran 12. Surat selesai reliabilitas


(3)

Lampiran 13. Surat izin pengambilan data


(4)

Lampiran 14. Surat izin pengambilan data dari RSUP Haji Adam Malik


(5)

Lampiran 15. Surat selesai pengambilan data dari RSUP Haji Adam Malik


(6)