Efektivitas Minum Air Putih Setiap Pagi Yang Mengalami Konstipasi Pada Pasien Stroke Di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan
Skripsi
Oleh
ELISNAWATI AMBARITA 091121070
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
(3)
Segala puji syukur, hormat dan pujian penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Efektivitas Minum Air Putih Setiap Pagi Yang Mengalami Konstipasi Pada Pasien Stroke Di Ruang RA4 RSUP Haji Adam Malik Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Penyusunan skripsi ini telah banyak banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNs sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB, CWCC sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini dan juga memberi motivasi, semangat, dan dukungan kepada saya selama proses penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Nur Afi Darti, S,Kp, M.Kep selaku dosen Pembimbing Skripsi II yang telah banyak memberi masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini. 4. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen Penguji yang
(4)
yang telah banyak memberikan pendidikan kepada saya selama proses perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi saya secara administratif.
6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian, dan kepada seluruh perawat di RA4 terutama kepada kak Sherly yang membantu saya selama penelitian.
7. Teristimewa kepada seluruh keluargaku (Bapak M. Ambarita, Mama L. Simarmata, P. Ambarita (Abang), Melidawati Ambarita (Kakak), Risnauly Kristi Ambarita (Adik), Edi Antonius Ambarita (Adik) dan kepada seluruh keluargaku yang telah memberikan doa, cinta dan dorongan kepada saya. 8. Tersayang buat kekasihku Sahat Simanullang yang selalu berdoa dan
menyayangiku, memberi dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi. 9. Rekan-rekan mahasiswa/i S1 jalur B Fakultas Keperatawan Universitas
Sumatera Utara, stambuk 2009 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini, kepada sahabatku (Riris, Tiur, kak Erna Tarsi, Sarah dan kak Siska) serta seluruh orang-orang yang kusayangi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang tak pernah henti menasehatiku dan memberi motivasi untuk belajar dan segera menyelesaikan kuliah dengan baik. 10. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpartisipasi dalam
penelitian saya.
11. Semua Pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak membantu saya baik dalam
(5)
Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Semoga Tuhan Yesus Kristus melimpahkan berkat, rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu saya. Harapan saya semoga skripsi ini bermanfaat dalam memberikan informasi di bidang kesehatan terutama keperawatan.
Medan, Januari 2011
Penulis
(6)
Halaman
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Prakata ... iii
Daftar Isi ... vi
Daftar Tabel ... viii
Daftar Skema ... ix
Abstrak ... x
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1
2. Tujuan Penelitian ... 5
3. Pertanyaan Penelitian ... 5
4. Manfaat Penelitian ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Stroke 1.1 Pengertian Stroke ... 7
1.2 Klasifikasi Stroke ... 7
1.3 Etiologi Stroke ... 9
1.4 Patofisiologi Stroke ... 11
1.5 Manifestasi Klinis ... 13
1.6 Faktor Resiko Stroke ... 14
1.7 Pencegahan Resiko ... 15
2. Konstipasi 2.1 Pengertian Konstipasi ... 16
2.2 Patofisiologi Konstipasi ... 16
2.3 Penyebab Konstipasi ... 18
2.4 Bentuk dan Tekstur Feses ... 21
2.5 Warna feces ... 23
2.6 Bau Feces ... 24
2.7 Pengukuran Penilian Konstipasi ... 25
3. Air Putih 3.1 Penatalaksanaan konstipasi ... 25
3.2 Cairan Tubuh ... 26
3.3 Kerja Air Minum ... 28
3.4 Terapi Air Putih ... 29
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL 1. Kerangka Konseptual ... 33
2. Kerangka Penelitian ... 34
3. Definisi Operasional ... 35
(7)
2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 37
3. Lokasi dan Waktu penelitian ... 39
4. Pertimbangan Etik Penelitian ... 39
5. Instrumen Penelitian ... 40
6. Pengumpulan Data ... 41
7. Analisis data ... 43
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 45
2. Pembahasan ... 51
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan Hasil penelitian ... 56
2. Rekomendasi ... 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 2. Surat Izin penelitian
3. Jadwal tentative Penelitian 4. Taksasi Dana
5. Instrumen Penelitian 6. Curiculum Vitae 7. Pengolahan Data
(8)
Tabel
1. Definisi Operasional (Hal.35)
2. Karakteristik Responden Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi (Hal.46) 3. Karakteristik Skala Konstipasi Pre Intervensi Terapi Air Putih Pada
Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Pasien Stoke (Hal.48)
4. Karakteristik Konstipasi Post Intervensi Terapi Air Putih Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pasien Stroke (Hal.48)
5. Perbedaan Konstipasi Antara Pre dan Post Intervensi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol (Hal.49)
6. Perbedaan Konstipasi Antara Pre dan Post Intervensi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol (Hal.49)
7. Perbedaan Konstipasi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Terapi Air Pada Pasien Kanker Stroke (Hal.50)
(9)
DAFTAR SKEMA
Skema.1 Kerangka Penelitian Efektivitas Terapi Air Putih Setiap Pagi yang mengalami konstipasi pada pasien stroke (Hal.35)
(10)
Judul : Efektivitas Minum Air Putih Setiap Pagi Terhadap Konstipasi Pada pasien Stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan.
Nama : Elisnawati Ambarita
NIM : 091121070
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Abstrak
Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang dikarenakan berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Konstipasi hampir selalu dijumpai pada pasien stroke dikarenakan sistem saraf enterik usus pada saluran pencernaan terganggu atau mengalami penurunan fungsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas minum air putih setiap pagi yang mengalami konstipasi pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien stroke yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan jumlah sampel 26 orang (13 orang untuk masing-masing kelompok). Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 22 Juli sampai dengan 8 Oktober 2010. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Data dikumpul dengan menggunakan kuesioner demografi dan observasi konstipasi menggunakan instrumen konstipasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan uji Independent T-Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konstipasi yang signifikan antara kelompok terapi air putih dengan kelompok yang tidak diberikan terapi air putih (p = 0,08 ; p > 0,05). Peneliti menyarankan penggunaan terapi air sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah dan mengatasi konstipasi pada pasien di RS maupun di komunitas dalam proses penyembuhan.
Kata kunci: Stroke, Konstipasi, Terapi air putih
(11)
Judul : Efektivitas Minum Air Putih Setiap Pagi Terhadap Konstipasi Pada pasien Stroke di Ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan.
Nama : Elisnawati Ambarita
NIM : 091121070
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Abstrak
Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang dikarenakan berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Konstipasi hampir selalu dijumpai pada pasien stroke dikarenakan sistem saraf enterik usus pada saluran pencernaan terganggu atau mengalami penurunan fungsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas minum air putih setiap pagi yang mengalami konstipasi pada pasien stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien stroke yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan jumlah sampel 26 orang (13 orang untuk masing-masing kelompok). Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 22 Juli sampai dengan 8 Oktober 2010. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Data dikumpul dengan menggunakan kuesioner demografi dan observasi konstipasi menggunakan instrumen konstipasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan uji Independent T-Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konstipasi yang signifikan antara kelompok terapi air putih dengan kelompok yang tidak diberikan terapi air putih (p = 0,08 ; p > 0,05). Peneliti menyarankan penggunaan terapi air sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah dan mengatasi konstipasi pada pasien di RS maupun di komunitas dalam proses penyembuhan.
Kata kunci: Stroke, Konstipasi, Terapi air putih
(12)
1. Latar Belakang Masalah
Stroke adalah suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara lokal atau global, yang dapat menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskuler (WHO, 1982). Stroke atau Cerebro Vasculer Accident ( CVA )adalah kerusakan jaringan otak yang dikarenakan berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba (Adib, 2009).
Di dalam dunia kedokteran terjadinya stroke disebabkan oleh terganggunya peredaran darah diotak yang timbul secara mendadak (WHO, 1982 dalam Hartanti, 2002). Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang menyebabkan kematian. Setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 di antaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa serangan stroke berulang (Sutrisno, 2007). Pada tahun 2002, sebanyak 275.000 orang meninggal karena stroke di dunia. Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28.5 persen penderita stroke meninggal dunia (Sutrisno, 2007). Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyebutkan bahwa 63,52 per 100.000 penduduk Indonesia berumur di atas 65 tahun terjangkit stroke. Jumlah orang yang meninggal dunia di 0stroke
(13)
disebabkan oleh plak arterioskleriotik yang terbentuk di satu atau lebih arteri besar di otak (Muttaqin, 2008). Bahan plak memicu mekanisme pembekuan, yang dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah dan penyumbatan arteri. Saraf intramural bagian pleksus pada sistem saluran cerna, stimulasi simpatis dan parasimpatis dapat mempengaruhi aktivitas gastrointestinal terutama dengan meningkatkan atau menurunkan aktivitas sistem saraf enterik usus.. Ujung saraf simpatis mengeluarkan norepinefrin, yang menimbulkan efek melalui dua cara: (1) efek langsung (sebagian kecil) yang menghambat otot polos, dan (2) efek tak langsung (sebagian besar) dengan menghambat neuron-neuron sistem saraf enteric (Guyton & Hall, 2010).
Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi. Aktivitas juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi. Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise), imobilitas atau gangguan fungsi syaraf. (Guyton & Hall, 2010).
Penatalaksanaan yang dapat membantu mengatasi masalah akibat terjadinya salah satunya adalah penggunaan air panas dapat membantu memperkuat kembali otot-otot dan ligamen serta memperlancar sistem peredaraan darah. Efek panas menyebabkan pelebaran pembuluh darah, meningkatkan sirkulasi darah dan oksigenasi jaringan, sehingga mencegah kekakuan otot, menghilangkan rasa nyeri serta menenangkan pikiran (Diwanto, 2009).
(14)
Air memiliki pengaruh untuk melembutkan dan menenangkan tubuh (Hamidin, 2010). Salah satu manfaat air putih adalah memperlancar sistem pencernaan. Buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali. Konstipasi sebagai salah satu keluhan pada gangguan gastrointestinal sering dianggap sebagai masalah yang tidak serius, karena umumnya hanya bersifat temporer (APEC, 2008). Konstipasi terjadi kurang lebih 1-2% dari populasi umum yang mencari pengobatan (Simadibrata, 2006, dalam Sudoyo, dkk. 2006). Konstipasi yang tidak mendapatkan penanganan yang baik akan menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan lainnya. Hasil penelitian dokter di North Carolina Amerika Serikat menyebutkan bahwa konstipasi meningkatkan risiko kanker kolon hingga dua kali lipat (Diananda, 2007).
Masukan cairan yang tidak adekuat merupakan salah satu dari sekian banyak penyebab konstipasi (Djojoningrat, 2006). Terapi air yang merupakan bagian dari naturopati mulai banyak digunakan oleh masyarakat dan praktisi kesehatan. Terapi air merupakan terapi alami yang didasarkan pada penggunaan air secara internal dan eksternal sebagai pengobatan (Chaiton, 2002 dalam Amirta, 2007). Terapi air yang digunakan dalam mengatasi konstipasi adalah yang sifatnya internal, yaitu dengan minum air dalam jumlah tertentu (Amirta, 2007; Kompas.com, 2008; PDPERSI, 2005; Sakthi Foundation, 2007). Terapi air 1500 ml belum pernah diterapkan secara konseptual dan formal dalam asuhan keperawatan pasien konstipasi di rumah sakit, sehingga bagaimana pengaruh terapi air terhadap proses defekasi dan kapan proses defekasi terjadi setelah pemberian terapi masih belum dapat dijelaskan.
(15)
Pada orang tua, total body water (TBW) menyusun sekitar 45% sampai 50% berat badan (Narins,1994 dalam buku Sylvia A. Price & dkk, 2006). Contoh: dalam tubuh seseorang dewasa normal dengan berat badan 70 kg, cairan dalam tubuh 60% maka mengandung cairan tubuh kurang lebih 42 liter. Berat badan 70 kg dibagi jumlah cairan tubuh 42 menghasilkan 0,6 liter/kg (1 L = 1000; 600cc). Jadi cairan tubuh yang perlu ditambah agar sesuai dengan kebutuhan per KgBB adalah 4 ml/KgBB (Graber, 2003). Efek positif pemberian makanan yang mengandung serat sebanyak 25 gr juga akan meningkat melalui masukan cairan 1,5-2 liter per hari (Anti, et al. 1998).
Terapi air putih merupakan intervensi alami non invasif yang dapat diterapkan secara sederhana tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli terapi, harga terjangkau dan tidak menimbulkan efek samping (Samuel, 2007). Peryataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Rumah Sakit Umum Sembiring Delitua Deli Serdang. Penelitian menggunakan desain quasi-experimental dengan post-test only with control group. Responden berjumlah 50 orang (25 orang untuk masing-masing kelompok). Hasil penelitian menunjukkan terapi air berpengaruh terhadap frekuensi defekasi pasien konstipasi (P=0,022, α=0,05).
Sampel diambil dari pasien dengan metode non probability sampling teknik purposive sampling, berjumlah 26 orang yang terdiri dari 13 orang kelompok kontrol dan 13 orang kelompok perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian apakah terapi air puith juga efektif untuk mencegah konstipasi di Ruang Rindu A4 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
(16)
2. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengidentifikasi konstipasi sebelum dilakukan minum air putih setiap pagi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien stroke.
2. Untuk mengidentifikasi kontipasi sesudah dilakukan minum air putih setiap pagi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien stroke.
3. Untuk mengidentifikasi perbedaan tingkat konstipasi sebelum dan sesudah dilakukan terapi minum air putih pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pada pasien stroke yang mengalami konstipasi.
4. Untuk mengidentifikasi perbedaan konstipasi antar kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana keefektifan minum air putih setiap pagi yang mengalami konstipasi pada pasian stroke.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi intervensi keperawatan minum air putih setiap pagi yang mengalami konstipasi pada pasien stroke.
(17)
4.2 Pendidikan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berharga bagi peneliti. Dan menyediakan informasi mengenai hubungan air putih untuk mencegah konstipasi pada pasien stroke.
4.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai efektivitas minum air putih setiap pagi yang mengalami konstipasi pada pasien stroke dan dapat direkomendasikan pada pasien lain.
(18)
1. Stroke
1.1 Pengertian Stroke
Stroke atau disebut juga CVA (Cerebrovascular Accident) merupakan serangan yang ditakuti namun sebagian besar belum memahaminya dengan pasti. Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang dikarenakan berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba (Adib, 2009). Selanjutnya, Adib menyatakan bahwa otak mendapat aliran darah lebih kurang 55cc/100gr/menit (15% cardiak output) dan bila aliran darah menurun kurang dari 20cc/gr/menit akan mengakibatkan gangguan fungsi sel otak. Penghambatan aliaran oksigen ke sel otak selama 3 atau 4 menit saja sudah mulai menyebabkan kerusakan sel-sel otak.
1.2Klasifikasi Stroke
Menurut Muttaqin (2008), secara garis besar stroke dibagi dua yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragi. Stroke iskemik adalah paling sering dijumpai. Stroke iskemik meliputi kurang lebih 88% dari semua stroke. Stroke iskemik dibagi lagi berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu: stroke iskemik trombotik dan stroke iskemik terjadi karena adanya penggumpulan pada pembuluh darah ke otak. Serangan biasanya terjadi pada malam hari. Stroke iskemik trombotik secara klinis disebut juga sebagai serebral thrombosis. Serebral thrombosis diuraikan lagi berdasarkan jenis pembuluh darah tempat terjadinya penggumpalan. Pertama,
(19)
thrombosis pembuluh darah besar. Yang terjadi pada arteri besar di otak. Trombosis pembuluh darah besar merupakan 70 persen kasus stroke iskemik trombotik.
Kebanyakan kasus, thrombosis pembuluh darah besar diakibatkan oleh aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpulan darah yang cepat. Kadar kolesterol jahat (LDL) yang tinggi merupakan organik kristalin yang berwarna putih separti lilin terdapat dalam lemak, jaringan otak, empedu, dan darah yang dapat tertimbun di dinding pembuluh darah. Kedua, thrombosis pembuluh darah kecil. Terjadi ketika aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang, terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis. Biasanya penyakit stroke jenis ini muncul pada saat penderita menjalani aktivitas fisik, misalnya berolahraga. Akibatnya jantung gagal memompa darah ke otak. Atau adanya embolus yang terlepas didalam pembuluh darah di otak (Sutrisno, 2007).
Stroke hemoragi, atau biasa dikenal dengan stroke pendarahan, merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktifitas atau saat aktif, namun biasa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya menurun. Pendarahan otak dibagi dua (Muttaqin, 2008), yaitu: pertama, perdarahan intraserebral terjadi pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral
(20)
yang disebabkan karena hipertensi sering dijumpain di daerah putamen, thalamus, pons, dan serebelum.
Kedua, perdarahan subaraknoid, perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM (arteriovenous malformation). Aneurisma yang pecah ini berasal dari luar pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebral yang mengakibatkan disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan kesadaran) maupaun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia, dan lain-lain). Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subaraknoid mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak dan meregangkan struktur peka nyeri, sehingga timbul nyeri kepala yang hebat. Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran.
Menurut Sutrisno (2007), ada satu lagi jenis stroke yaitu transient ischemic attack (TIA) atau serangan iskemik sementara. Gejalanya sama dengan stroke, tapi hanya terjadi dalam beberapa menit, tidak sampai berjam-jam. Gejalanya akan menghilang tidak sampai satu jam.
1.3Etiologi
Menurut Mutaqqin (2008), etiologi stroke terbagi atas 4 yaitu: a. Trombosis serebral
(21)
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti disekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk pada 48 jam setelah thrombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan trombosis otak yaitu: aterosklerotik, hiperkoagulasi pada polisitemia, arteritis (radang pada arteri), dan emboli.
b. Hemoragi
Pendarahan intrakranial atau intraserebral termasuk pendarahan dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Pendarahan ini terjadi karena arterisklerotik dan hipertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan sehingga trejadiinfark otak, edema, dan mungkin herniasi otak.
c. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah: hipertensi yang parah; henti jantung-paru; curah jantung turun akibat aritmia.
(22)
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah: spasme arteri serebral, yang disertai pendarahan subaraknoid; vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.
1.4Patofiologi
Menurut Muntaqqin (2007), isnfark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infarj tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang suplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat makin cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Arterosklerotik sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya dalam edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi
(23)
akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalisitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh rupture arterisklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau foragmen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anaksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya hentinya jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relative banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif
(24)
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya terkena lagi.
Bahan plak memicu mekanisme pembekuan, yang dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah, penyumbatan arteri, dan fungsi otak yang mendapat darah dari pembuluh darah yang bersangkutan dan hilangnya daerah-daerah kontrol motorik lain di hemisfer dominan dapat menyebabkan paralisis otot-otot di sisi kontralateral. Pleksus saraf intramural pada sistem saluran cerna, stimulasi simpatis dan parasimpatis dapat mempengaruhi aktivitas gastrointestinal terutama dengan meningkatkan atau menurunkan aktivitas sistem saraf enteric usus. Sistem saraf simpatis biasanya menghambat aktivitas saluran cerna, menyebabkan banyak efek berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem saraf parasimpatis. Saraf simpatis lebih berperan mensyarafi bagian saluran cerna daripada mensyarafi bagian-bagian dekat rongga mulut dan anus secara lebih puas seperti pada sistem parasimpatis. Ujung saraf simpatis mengeluarkan norepinefrin, yang menimbulkan efek melalui dua cara: efek langsung (sebagian kecil) yang menghambat otot polos, dan efek tak langsung (sebagian besar) dengan menghambat neuron-neuron sistem saraf enteric (Guyton & Hall, 2010).
1.5Manisfestasi Klinis
Manifestasi stroke tergantung besarnya lesi bisa terjadi : hemiparese / hemiplegia, hemiparestesia, Afasia / diafasia motorik atau sensorik, hemianopsi, dysartria, muka tidak simetris, gangguan gerakan tangkas atau gerakan tidak terkordinasi. Tergantung dari lokasi lesi maka terjadi gangguan berupa : pertama, bila lesi terjadi di cerebrum maka gangguan gerakan tangkas diiringi dengan
(25)
tanda-tanda gangguan “upper motoneuron” seperti: a) meningkatnya tonus otot pada sisi yang lumpuh; b) meningkatnya refleks tendon pada sisi yang lumpuh; c) refleks patologis positif pada sisi yang lumpuh. Kedua, bila lesi terjadi di cerebelum maka gangguan ketangkasan gerakan diiringi tanda-tanda: a) Menurunnya tonus otot pada sisi terganggunya gerakan tangkas; b) Menurunnya refleks tendon pada sisi terganggunya gerakan tangkas; c) Refleks patologis negatif.
Penanganan yang sedini mungkin terhadap penderita stroke sangat berpengaruh terhadap penyembuhannya. Bilamana penderita ditolong pada saat timbulnya prodromal stroke, biasanya penderita tersebut dapat diselamatkan tanpa menjadi invalid.
1.6 Faktor Resiko Stroke
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, stroke memiliki hubungan erat dengan pembuluh darah di mana terjadi gangguan aliran darah ke otak. Ada berbagai hal yang menyebabkan atau memperberat stroke, yang disebut dengan faktor risiko. Faktor risiko stroke terdiri atas dua hal, yang pertama adalah faktor risiko mayor dan kedua adalah faktor minor (Adib,2009).
Faktor risiko mayor (faktor dominan) biasanya merupakan penyakit dan gangguan lain yang memang sudah ada di tubuh penderita stroke. Faktor-faktor tersebut adalah hipertensi, penyakit jantung, dan sudah ada manifestasi pembuluh darah klinis (gejala-gejala pengerasan pembuluh darah), gangguan pembuluh darah koroner, gangguan pembuluh darah karotis, klaudikasio intermitten (nyeri yang hilang timbul), denyut nadi perifer tidak ada, diabetes mellitus, polisitemia,
(26)
pernah terserang stroke, hiperlipidemia, tingginya sel darah merah, gangguan pembuluh darah, penyakit pada katup jantung atau otot jantung yang disebut endocarditis, mengerasnya pembuluh arteri (aterosklerosis, atau penumpukan kolesterol pada dinding arteri), ketidaknormalan irama jantung seperti atrial fibrillation (Sutrisno, 2007).
Faktor risiko minor ini antara lain adalah kadar lemak darah yang tinggi, hematokrit tinggi, kebiasaan merokok, kegemukan (obesitas), kadar asam urat tinggi, kurang gerak badan/olahraga, fibrinogen tinggi, suku bangsa (negro/spanyol), jenis kelamin (pria), penyalahan obat-obatan (narkoba). Bila faktor risiko ditanggulangi dengan baik, maka kemungkinan mendapatkan stroke dapat dikurangi.
1.7 Pencegahan Stroke
Pendekatan pada pencegahan primer stroke adalah mencegah dan mengobati factor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor risiko paling prevalen, dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah memiliki dampak yang sangat besar pada risiko stroke (Price et.al, 2006).
Lumbantobing (2007) mengatakan bahwa pada konsensus nasional pengelolahan stroke di Indonesia 2004, dikemukakan upaya dapat dilakukan untuk pencegahan primer penyakit stroke, yaitu memasyarakatkan gaya hidup sehat bebas stroke, gaya hidup sehat dapat dilakukan dengan menghindari merokok, stress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya, mengurangi kolesterol, lemak
(27)
dalam makanan. Mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang dan berolahraga secara teratur.
2. Konstipasi
2.1 Pengertian Konstipasi
Konstipasi adalah kondisi, dimana proses pengosongan isi usus besar atau feces tidak teratur dan sulit. Dalam kondisi tersebut, penampilan feses agak kering dan keras. Secara normal, besarnya volume feces dan frekuensi laju pergerakan isi usus besar tidak selalu sama antar individu. Lepas dari tingkat frekuensi keluarnya feces, tetapi bila terjadi kesakitan dan ketidaknyamanan sewaktu buang air besar, maka itulah gejala konstipasi dan karenanya memerlukan upaya pengobatan, atau langkah langkah penanganan yang lain (Winarno, 2006)
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering. Obstipasi bersinonim dengan konstipasi (Ulshen, 2000).
2.2Patofiologi
Karakteristik dinding saluran cerna mempunyai fungsi motorik usus dilakukan oleh berbagai lapisan otot polos. Dinding usus terdiri dari lapisan-lapisan berikut (dari permukaan luar ke arah dalam) yaitu: serosa, lapisan otot longitudinal, lapisan otot sirkular, submukosa, dan mukosa. Selain itu, lapisan-lapisan mukosa
(28)
yang lebih dalam terdapat lapisan serat otot polos yang tersusun longgar, muskularis mukosa (Guyton & Hall, 2010).
Otot polos gastrointestinal berfungsi sebagai suatu sinsitium. Serat-serat otot polos di lapisan otot longitudinal dan sirkular secara elektris dihubungkan melalui taut celah (gap junctions) yang memungkinkan ion-ion berpindah dari satu sel ke sel berikutnya. Setiap lapisan otot berfungsi sebagai suatu sinsitium: jika pada massa otot terpicu suatu potensial aksi, potensial aksi umumnya merambat ke semua arah di otot polos. Pengaturan fungsi gastrointestinal oleh saraf atau sistem saraf enterik, saluran cerna memiliki sistem sendiri yang dinamai sistem saraf enterik. Sistem ini berada seluruhnya dalam dinding usus, dimulai esophagus dan memanjang hingga ke anus. Sistem enterik terutama terdiri dari dua pleksus yaitu pleksus mienterikus, atau pleksus auerbach, adalah pleksus sebelah luar yang terletak antara lapisan-lapisan otot. Perangsangan menyebabkan meningkatnya tonus dinding usus, meningkatkan intesitas kontraksi ritmis, meningkatnya laju kontraksi, dan meningkatnya kecepatan hantaran. Pleksus mienterikus juga bermanfaat untuk menghambat sfingter pylorus yang mengontrol pengosongan lambung dan sfinter katup ileosekum yang mengontrol pengosongan usus halus ke dalam sekum. Pleksus submukosa, atau pleksus Meissner, adalah pleksus sebelah dalam yang terletak di submukosa. Berbeda dari pleksus mienterikus, pleksus ini berkaitan dengan pengendalian fungsi di dinding dalam setiap jengkal usus.
Pengaturan Otonom Saluran cerna adalah saraf parasimpatis meningkatkan aktivitas sistem saraf enterik. Persarafan parasimpatis ke usus terdiri dari divisi cranial dan sacral. Parasimpatis cranial mempersarafi melalui: vagus, esophagus,
(29)
lambung, pancreas, dan paruh pertama usus besar. Sedangkan parasimpatis sacral mempersarafi melalui: saraf panggul, paruh distal usus besar. Daerah sigmoid, rectum, dan anus banyak mengandung serat parasimpstis yang berfungsi pada reflex defekasi.
Sistem saraf simpatis biasanya menghambat aktivitas saluran cerna, menyebabkan banyak efek yang berlawanan dengan efek yang ditimbulkan oleh system parasimpatis. Saraf simpatis lebih mempersarafi semua bagian saluran cerna daripada mempersarafi bagian –bagian dekat rongga mulut dan anus. Ujung saraf parasimpatis mengeluarkan norepinefrin, yang menimbulkan efek melalui dua cara: efek langsung yang menghambat otot polos dan efek tak langsung dengan menghambat neuron-neuron system saraf enterik (Guyton & Hall, 2010).
Tanda dan gejala konstipasi menurut Johanson JF, (2007) yaitu kurang dari buang air besar, penurunan jumlah buang air besar, kotoran lebih keras daripada biasanya, usus masih merasa kenyang setelah buang air besar, merasa kembung, tegang selama buang air besar, gerakan usus tidak membaik setelah mengubah diet dan mendapatkan cukup latihan, sakit perut atau dubur sembelit bergantian dengan diare, berat badan menurun.
2.3 Penyebab Konstipasi
1. Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi adalah kebiasaan BAB yang tidak teratur. Refleks defekasi yang normal dihambat
(30)
atau diabaikan, refleks-refleks ini terkondisi untuk menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan untuk defekasi habis.
Anak pada masa bermain bisa mengabaikan refleks-refleks ini sedangkan pada orang dewasa mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan.
Klien yang dirawat inap bisa menekan keinginan buang air besar karena malu menggunakan pispot atau karena proses defekasi yang sangat tidak nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi adalah membiasakan BAB yang teratur. 2. Ketidaksesuaian diet
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses sehingga menghasilkan produk sisa yang tidak cukup untuk merangsang refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat seperti; beras, telur dan daging segar bergerak lebih lambat di saluran cerna. Meningkatnya asupan cairan dengan makanan seperti itu meningkatkan pergerakan makanan tersebut.
3. Peningkatan stres psikologi
Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
(31)
4. Latihan yang tidak cukup
Pada klien yang pada waktu yang lama otot secara umum melemah, termasuk otot abdomen, diafragma, dasar pelvik, yang digunakan pada proses defekasi. Secara tidak langsung kurangnya latihan dihubungkan dengan kurangnya nafsu
makan dan kemungkinan kurangnya jumlah serat, yang penting untuk merangsang refleks pada proses defekasi.
5. Penggunaan laxative yang berlebihan
Laxative sering digunakan untuk menghilangkan ketidakteraturan buang air besar. Penggunaan laxative yang berlebihan mempunyai efek yang sama dengan mengabaikan keinginan BAB – refleks pada proses defekasi yang alami dihambat. Kebiasaan pengguna laxative bahkan memerlukan dosis yang lebih besar dan kuat, sejak mereka mengalami efek yang semakin berkurang dengan penggunaan yang terus-menerus (toleransi obat).
6. Obat-obatan
Banyak obat menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa di antaranya seperti ; morfiin, codein, sama halnya dengan obat-obatan adrenergik dan antikolinergik, melambatkan pergerakan dari colon melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan konstipasi yang lainnya seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang.
(32)
7. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.
8. Proses penyakit
Beberapa penyakit pada usus dapat menyebabkan konstipasi, beberapa di antaranya obstruksi usus, nyeri ketika defekasi berhubungan dengan hemorhoid, yang membuat orang menghindari defekasi; paralisis, yang menghambat kemampuan klien untuk buang air besar; terjadinya peradangan pelvik yang menghasilkan paralisis atau atoni pada usus.
Konstipasi bisa jadi beresiko pada klien, regangan ketika BAB dapat menyebabkan stres pada abdomen atau luka pada perineum (post operasi). Ruptur merusak mereka jika tekanan cukup besar. Ditambah lagi peregangan sering bersamaan dengan tertahannya napas. Gerakan ini dapat menciptakan masalah yagn serius pada orang dengan sakit jantung, trauma otak, atau penyakit pada pernapasan. Tertahannya napas meningkatkan tekanan intratorakal dan intrakranial. Pada beberapa tingkatan, tingkatan ini dapat dikurangi jika seseorang mengeluarkan napas melalui mulut ketika regangan terjadi. Bagaimanapun, menghindari regangan merupakan pencegahan yang terbaik.
2.4 Bentuk dan Tekstur Feses
Hino (1989), berdasarkan penampakannya feces dapat dikelompokan, menjadi enam kelompok yaitu : feces bola keras, feces keras, feces normal seperti pisang,
(33)
feces lunak seperti pasta, feces muddy seperti lumpur, serta feces berair. Pada umunya feces normal mengandung air sebanyak 70 sampai 80%, dan memiliki bentuk seperti pisang, atau buah durian petruk, sedikit berekor, atau berupa pasta karena dipaksa keluar dari suatu tabung (pencernaan). Isi colon (bowel) bergerak ke bawah dengan kecepatan 10 cm per jam.
Bila laju pergerakan tersebut lebih lambat dari itu, air akan terserap terlalu banyak oleh colon, dengan hasil fesesnya akan berbentuk keras. Kondisi tersebut dinamakan konstipasi. Feces yang keras dan kering, ada kaitannya dengan kesakitan pada saat buang air besar, suatu tanda konstipasi, bahkan bila hal itu terjadi setiap hari. Feces yang berbentuk pisang, merupakan tanda bahwa pergerakan fecesnya telah berlangsung secara normal, meskipun hal itu hanya terjadi sekali dalam tiga hari. Bila kadar air feces melewati 80%, fesesnya akan menjadi lunak dan muddy, dan dengan kadar air 90% fecesnya sudah nampak berair, yang dinamai feces diare. Berat maupun volume dari feces sangat berbeda dari seorang individu ke individu lain. Pada umumnya menu makanan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi. Menu makanan yang mengandung serat tinggi, akan menghasilkan feces yang kamba (bulky) dan dalam jumlah yang banyak (± 300 - 500 gr), dengan berat jenis sekitar 0,89, artinya mengapung diatas air. Feces biasanya dinilai baik dan sehat. Sebaliknya menu yang tinggi kadar dan tinggi kadar daging dagingan, seperti halnya dengan menu masyarakat barat menghasilkan feces yang langsing dan jumlahnya sedikit (± 100 - 250 gr), dengan berat jenis di atas 1.0, jadi tenggelam dalam air ( Winarno, 2006).
(34)
2.5Warna Feces
Warna pigmen empedu, yaitu bilirubin, yang menyebabkan feces berwarna hijau, kuning, coklat, sampai hitam. Empedu secara rutin diproduksi oleh hati dan secara temporer disimpan dalam kantung empedu, dan kemudian dikeluarkan kedalam usus kecil duodenum. Bilirubin berasal dari hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah, yang telah mengalami degenerasi. Sebetulnya warna asli pigment empedu adalah hijau, tetapi karena berasosiasi dengan kegiatan bakteri usus, maka memberi warna feces kuning sampai coklat tua.
Warna bilirubin bervariasi berdasarkan derajat keasaman lingkungan (feces). Bila fecesnya bersifat asam, feces berwarna kuning, dan bila feces mendekati kuning, dan neutral, warna berubah dari orange menjadi coklat dan bila bersifat alkali (base) fecesnya berwarna hijau atau hitam kecoklatan. Menu yang kala pati dan dietary fiber akan menyebabkan bakteri asam laktat berkembang pesat. Dan hal itu menyebabkan saluran usus bersifat asam, dan menghasilkan feses yang kekuningan, sebaliknya menu yang tinggi kadar dagingnya, merangsang pertumbuhan bakteri pembuat warna feces yang gelap pada saat seseorang mengalami konstipasi, menandakan saluran usus telah dikuasai, sehingga saluran usus bersifat basa dan menghasilkan feces yang berwarna hijau coklat. Terjadinya perubahan warna yang menyimpang dari feces, kemungkinan besar merupakan tanda adanya abnormalitas dalam tubuh. Warna feces putih keabu abuan, kemungkinan merupakan tanda, bahwa seseorang sedang terserang penyakit jaundice. Sedang warna merah darah, kemungkinan sedang terjadi hemorrhoids,
(35)
warna hitam seperti tar menandakan sedang menderita kanker colon, tukak lambung atau tukak duodenum.
2.6 Bau Feces
Senyawa yang menyebabkan bau feces sama dengan yang menyebabkan bau kentut yaitu : indole, skatol, hydrogen sulfida, amine,asam asetat dan asam butirat. Asam asetat dan asam butirat, terbentuk terutama dari hasil fermentasi gula yang terjadi didalam saluran pencernaan oleh bakteri usus. Hal itu menyebabkan feces berbau sedikit asam yang tidak begitu menjijikan.
Namun demikian, bila di dalam usus terjadi fermentasi yang abnormal, maka akan menghasilkan bau yang tajam, pedas, dan sangat asam, yang mudah dideteksi oleh indera penghidung kita Sumber bau tak enak yang keras, berasal dari senyawa indole, skatol, hydrogen sulfide dan amine, yang diproduksi oleh pembusukan protein yang terjadi dalam usus, khususnya oleh bakteri perusak atau pembusuk. Bau ofensif yang menusuk hidung dari feces dan bau kentut, yang terjadi dikala seseorang menderita konstipasi, merupakan tanda terjadinya peningkatan kegiatan bakteri yang tidak dikehendaki atau sering disebut sebagai bakteri jahat. Diare, fecesnya kadang-kadang tidak berbau atau barangkali hanya berbau sedikit gosong atau bau ikan. Hal itu merupakan tanda, bahwa telah terjadi salah pencernaan atau terjadinya kelainan dalam usus kecil. Berdasarkan kondisi ini maka : bentuk, warna dan bau dari feces seseorang dapat memberikan banyak informasi mengenai kondisi ususnya. Adanya pen5u yimpangan dari flora usus
(36)
dapat dideteksi secara sederhana bila penampakan feces memperlihatkan terjadinya deviasi dari kondisi feces normal dari seseorang yang kondisinya sehat.
2.7Pengukuran Penilaian Konstipasi
Menurut Craven. R.F dan Hirnle C.J, (2007) dalam menilai konstipasi pasien yang perlu diperhatikan adalah kriteria-kriteria penilaian konstipasi yaitu:
1. Distensi abdomen
2. Keinginan buang air besar 3. Bising usus meningkat
4. Frekuensi buang air besar kurang dari 3x dalam seminggu 5. Perasaan buang air besar ada atau tidak
6. Feces lunak atau keras
Kategori dalam skala konstipasi memiliki 2 kategori dengan menggunakan skala 1-6. Kriteria konstipasi pada skala ini yaitu:
1-3 : konstipasi ringan 4-6 : konstipasi berat
3. Air Putih
3.1 Penatalaksanaan Konstipasi
Air adalah salah satu nikmat anugrah yang diberikan oleh Tuhan kepada makhluknya terutama umat manusia. Air putih memiliki daya penyembuhan (Hamidin, 2010). Air adalah cairan tidak berwarna dan tidak berbau terdiri dari molekul yang mengandung dua atom hidrogen dan satu atom oksigen.
(37)
Walaupun tubuh manusia lebih banyak terdiri atas air, tapi setiap harinya kehilangan banyak air. Manusia kehilangan sekitar 1,5 liter air sehari meskipun hanya duduk-duduk. Air akan semakin tercurah keluar dari tubuh bila melakukan aktivitas yang menguras tenaga. Menurut Hamidin, (2010) kehilangan 4 persen cairan akan mengakibatkan penurunan kinerja sebanyak 22 persen. Jika kehilangan cairan lebih dari 7 persen, mulai merasa lemah, lesu, dan pusing-pusing.
3.2 Cairan Tubuh
Dalam tubuh seorang individu yang sehat sekitar 60% dari berat badannya terdiri dari air dan secara umum dianggap terdapat dalam dua kompartemen utama yaitu cairan intraselular dan ekstraselular. Kompartemen cairan ekstraselular dapat dibagi menjadi cairan interstisial dan intravascular. Kurang lebih 2/3 dari jumlah air tubuh adalah cairan intraselular dan sisanya adalah cairan ekstraselular ; 2/3 dari cairan ekstraselular adalah cairan intertisial dan sisanya cairan intravaskulelar.
Jadi dalam tubuh seseorang dewasa normal dengan berat badan 70 kg mengandung cairan tubuh kurang lebih 42 liter, 26,04 liter adalah cairan intraselular dan 15,96 liter cairan ekstraselular, 12,6 liter adalah cairan interstitial dan 3,36 liter adalah cairan intravascular (volume plasma) (Norman Muirhead, 2000). Pada orang tua, total body water (TBW) menyusun sekitar 45% sampai 50% berat badan (Narins,1994 dalam buku Sylvia A. Price & dkk, 2006). Setiap orang mempunyai kebutuhan cairan berbeda-beda. Contoh: dalam tubuh seseorang dewasa normal dengan berat badan 70 kg, cairan dalam tubuh 60%
(38)
maka mengandung cairan tubuh kurang lebih 42 liter. Berat badan 70 kg dibagi jumlah cairan tubuh 42 menghasilkan 0,6 liter/kg (1 L = 1000 cc; 600cc). Jadi cairan tubuh yang perlu ditambah agar sesuai dengan kebutuhan adalah 4 ml/KgBB (Graber, 2003).
Menurut Graber (2003), kebutuhan cairan dalam tubuh setiap orang berbeda-beda dengan rumus 4 : 2 : 1 dimana rumatan/biasa tanpa dehidrasi, 10 kg pertama : 4 Ml/Kg/jam ; 11 – 20 Kg : ± 2 Ml/Kg/jam ; > 20 Kg : ± 1 Ml/Kg/jam. Sebagai contoh berat badan seseorang 60 Kg = ( 4 x 10 ) + ( 2 x 20 ) + ( 1 x 30 ) = 40 + 40 + 3 = 110 Kg/ 1 jam = 2640/24 jam.
Pengertian dari cairan tubuh adalah air dan unsur-unsurnya yang diperlukan untuk menjaga kesehatan tubuh. Unsur selain air contohnya adalah ion tubuh, misalkan ion natrium dan kalium. Cairan tubuh biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu cairan yang berada di dalam sel (intraseluler) dan cairan yang berada di luar sel (ekstraseluler). Cairan intraseluler mengisi sitoplasma dan cairan ekstraseluler mengisi ruang antar sel dan rongga pembuluh darah. Dalam situasi normal, kadar cairan dalam tubuh kita berada dalam keseimbangan. Keseimbangan cairan tubuh memiliki perngertian bahwa jumlah cairan yang masuk dan yang keluar memiliki jumlah yang sama. Hal ini juga menunjukkan bahwa jumlah cairan yang ada dalam tubuh akan selalu konstan. Proses fisiologis tubuh untuk menyeimbangkan cairan dan elektrolit yang ada dalam tubuh inilah yang dinamakan dengan homeostatis.
Sumber cairan tubuh, cairan pada tubuh kita sebagaimana telah deskripsikan secara singkat di atas bersumber dari: air minum (1500-2000cc/hari), air yang ada
(39)
dalam makanan (700cc/hari), air yang dihasilkan oleh proses metabolisme (200cc/hari). Jadi total kira-kira ada 2400-2900 cc cairan yang masuk pada tubuh kita tiap hari. Sedangkan cairan keluar dari tubuh, ekskresi ginjal, berupa urine (1400-1900 cc/hari), udara ekspirasi pernafasan, berbentuk uap air (350 cc/hari), kulit ada dua macam: a. difusi (350cc/hari) b. keringat (100 cc/hari), air dalam feces atau tinja (200 cc/hari). Jadi total ada sekitar 2400-2900 cc cairan yang keluar dari tubuh tiap harinya. Jumlah cairan yang masuk dan keluar memiliki jumlah yang sama pada keadaan normal.
3.3 Kerja Air Minum
Meminum air putih dengan metode benar akan memurnikan tubuh manusia. Hal itu membuat usus besar bekerja lebih efektif dengan cara membentuk darah baru atau yang lebih dikenal aematopaises. Bahwa mucousal fold (proses penghancuran bahan yang masuk ke saluran pencernaan)pada usus besar dan usus kecil diaktifkan. Teori yang menyatakan bahwa darah segar baru diproduksi oleh mucousal fold dan dengan kerja mucousal fold (proses penghancuran bahan yang masuk ke saluran pencernaan), gizi makanan itu diubah menjadi darah baru. Karena darah merupakan hal terpenting dalam menyembuhkan penyakit dan memilihara kesehatan, dan karena itu air seharusnya dikonsumsi dengan teratur (Hamidin, 2010).
Dalam tubuh manusia terdapat usus yang panjangnya 8 meter, menyerap sari makanan (nutrisi). Bila usus bersih maka setelah makan sari makanan dapat diserap semua oleh usus sehingga terjadi proses pembentukan darah, selanjutnya darah sebagai pendorong untuk kesehatan.
(40)
3.4 Terapi Air Putih
Pelaksanaan terapi 1,5 L air putih dapat dilaksanakan tanpa menggangu fisiologi tubuh karena berdasarkan anatomi fisiologi manusia kapasitas lambung orang dewasa mencapai 1,5-2 L (Price & Wilson, 2002). Selain itu, pelaksanaan terapi air ini juga telah menjadi sebuah budaya di India yang disebut “usha kaala chikitsa”, sebuah istilah bahasa Sansekerta untuk terapi air. Tradisi ini dilakukan dengan minum 1,5 liter air putih setelah bangun tidur tanpa menggosok gigi telebih dahulu. Setengah jam sampai satu jam sebelum dan sesudah minum air ini tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi minuman lainnya, seperti teh, kopi, atau susu (Sakthi Foundation, 2007). Dengan demikian, peneliti yakin bahwa terapi air ini dapat dan baik digunakan sebagai salah satu pilihan intervensi pada asuhan keperawatan pasien konstipasi.
Dalam usus besar, bagian air yang diserap ke dalam aliran darah dan sisanya mencapai rektum mana mendorong kotoran keluar dari tubuh. Peneliti menyadari bahwa minum sedikit air hangat sepenuhnya flushes kotoran di dubur hampir seperti mengambil enema.
Jumlah cairan yang banyak sesuai kapasitas lambung (1,5 L) diperlukan dalam satu kali pemberian di pagi hari untuk proses pembersihan organ tubuh. Masuknya cairan dalam jumlah yang banyak ke dalam lambung akan menimbulkan efek gastrokolik yang kemudian merangsang terjadinya peristaltik usus (Price & Wilson, 2002). Air mengisi lambung, mengalir ke usus dan membersihkan rongga usus. Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada
(41)
ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon (Guyton & Hall, 2010).
Pelaksanaan terapi air dengan minum 1,5 L air di pagi hari segera setelah bangun tidur memang bukanlah hal yang mudah, khususnya bagi individu yang tidak terbiasa mengkonsumsi air dengan jumlah yang banyak (>300 ml) sekaligus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 68% responden kelompok intervensi yang mengalami keluhan mual selama pemberian minum 1,5 liter, tetapi muntah maupun komplikasi yang berat tidak terjadi selama pelaksanaan intervensi. Keluhan mual yang dialami pasien sebenarnya bersifat ringan dan wajar karena lambung terisi penuh dengan cairan. Penggunaan air minum yang lebih hangat dan minum 1,5 L air secara bertahap dalam rentang 15-20 menit dapat dilakukan untuk meminimalkan rasa mual tersebut (William, 2007). Keluhan mual juga akan semakin berkurang apabila individu/ pasien sudah terbiasa melaksanakan terapi tersebut, karena manusia memiliki respon adaptasi. Oleh karena itu, penggunaan terapi air sebagai intervensi keperawatan pada pasien konstipasi tergolong aman karena hanya menimbulkan efek mual yang ringan yang dapat diatasi dengan berbagai cara.
Minum air putih 1,5 L di pagi hari segera setelah bangun tidur adalah hal yang dianggap sulit bagi sebagian orang. Beberapa perawat yang peneliti temui justru merasa ragu dengan jumlah cairan yang dianjurkan karena khawatir pasien maupun individu lainnya tidak akan sanggup melakukannya. Melalui hasil
(42)
penelitian ini, peneliti dapat membuktikan bahwa pelaksanaan terapi 1,5 L air putih sangat mungkin dan dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
Minum air putih harus dilakukan sebelum berkumur, karena saliva yang mengendap di mulut semalam banyak mengandung enzim-enzim dan antibiotik alami yang diperlukan tubuh. Jadi menelan air saliva sendiri adalah sehat. Setelah minum air putih, gosok dan bersihkan mulut tetapi jangan makan ataupun minum apapun selama 45 menit sesudahnya. Lebih baik menunggu 45 menit untuk makan setelah minum 8 gelas air putih. Maksudnya memberikan kesempatan kepada air putih untuk membersihkan 8 meter usus halus. Setelah usus halus bersih, makanan dibiarkan masuk untuk diproses. Setelah 45 menit kemudian, boleh makan dan minum seperti biasa. Lima belas menit setelah sarapan, atau makan siang atau makan malam jangan minum apapun selama 2 jam sesudahnya. Untuk yang berusia lanjut ataupun yang sedang sakit dan tidak dapat minum 4 gelas air sekaligus, dapat digantikan dengan meminum air terlebih dahulu dan secara bertahap ditingkatkan sedikit demi sedikit hingga mampu meminum 4 gelas air.
Metode di atas adalah untuk mengobati orang yang sedang sakit, bagi orang yang sedang tidak sakit dapat menikmati hidup sehat, antara lain: pagi hari ketika bangun tidur (bahkan tanpa gosok gigi terlebih dahulu) minumlah 1,5 liter air, yaitu 6 sampai 8 gelas. Lebih baik air ditakar dahulu sebanyak 1.5 liter. Setelah itu boleh melanjutkan kegiatan pagi hari. Hal sangat penting diketahui bahwa jangan minum atau makan apapun satu jam sebelum dan sesudah minum 1,5 liter air, tidak boleh minum minuman beralkohol pada malam sebelumnya, bila memungkinkan, gunakanlah air hangat, air rebus atau air jernih yang sudah
(43)
disaring, khusus para pekerja atau para pelajar (yang pagi-pagi sudah harus berangkat), bangun lebih awal sehingga memberikan sela 1 jam sebelum sarapan. Untuk bergadang hingga pagi, minum 1,5 liter air putih dilakukan setelah bangun dari tidur yang lama (Diwanto, 2009).
Kotoran akan bereaksi dengan asam dipecah dan diserap oleh instetine lebih cepat daripada makanan padat. Kotoran akan berbaris dalam usus besar dengan cepat akan berubah menjadi lemak dan menjadi pemicu kanker. Dianjurkan untuk meminum air putih hangat untuk memperlancar pencernaan (Hamidin, 2010).
(44)
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi, 2007).
Stroke atau disebut juga CVA ( Cerebrovascular Accident ) merupakan serangan yang ditakuti namun sebagian besar belum memahaminya dengan pasti. Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang dikarenakan berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba (Adib, 2009). Menurut Adib, otak mendapat aliran darah lebih kurang 55cc/100gr/menit (15% cardiak output) dan bila aliran darah menurun kurang dari 20cc/gr/menit akan mengakibatkan gangguan fungsi sel otak. Penghambatan aliran oksigen ke sel-sel otak selama 3 atau 4 menit saja sudah mulai menyebabkan kerusakan sel-sel otak.
Air putih adalah cairan tidak berwarna dan tidak berbau terdiri dari molekul yang mengandung dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Konsumsi air yang cukup membuat fungsi organ tubuh berjalan lancar. Caranya saat bangun pagi, sebelum mencuci muka atau menggosok gigi diharuskan minum air putih sekaligus 8 gelas (1500 cc). Setelah minum, mulut dibersihkan tanpa makan ataupun minum apapun selama 45 menit. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada air putih untuk membersihkan 8 meter usus halus. Setelah usus halus bersih, makanan dibiarkan masuk untuk diproses. Air diminum setelah
(45)
45 menit yang bertujuan untuk sisa-sisa makanan yang diserap oleh tubuh (sampah).
Konstipasi adalah kondisi, dimana proses pengosongan isi usus besar atau feces tidak teratur dan sulit. Dalam kondisi tersebut, penampilan feses agak kering dan keras. Secara normal, besarnya volume feces dan frekuensi laju pergerakan isi usus besar tidak selalu sama antar individu. Lepas dari tingkat frekuensi keluarnya feces, tetapi bila terjadi kesakitan dan ketidak nyamanan sewaktu buang air besar, maka itulah gejala konstipasi dan karenanya memerlukan upaya pengobatan, atau langkah langkah penanganan yang lain.
Keadaan dinilai kembali setelah dilakukan intervensi. Dengan melakukan observasi dan pengukuran langsung kembali yang sama dengan pre-test.
2. Kerangka Penelitian
Berdasarkan kerangka konsepual diatas, maka dibawah ini dapat dilihat skema kerangka penelitian efektivitas terapi air putih setiap hari yang mengalami konstipasi pada pasien stroke di Ruang Rindu A4 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
(46)
Skema 1. Kerangka Penelitian Efektivitas Terapi Air Putih Setiap Pagi Yng
Mengalami Konstipasi Pada Pasien Stroke.
3. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur Hasil Ukur
Skala
Konstipasi Konstipasi atau susah buang air besar adalah gangguan buang air besar berupa berkurangnya
frekuensi buang air besar, kesulitan keluarnya feses, harus mengejan, jumlah feses yang kurang,
konsistensinya keras dan kering, tiga kali dalam seminggu di RSUP. H Adam Malik Medan. Lembar observasi oleh peneliti 1. Distensi abdomen 2. Keinginan buang air besar. 3. Bising usus meningkat 4. Frekuensi BAB kurang dari 3 x seminggu 5. Perasaan BAB ada atau tidak 6. Feses lunak atau keras 1-3= konstipasi berat 4-6= konstipasi ringan Nominal Terapi Air Putih Pasien stroke yang mengalami konstipasi Pre intervensi
Terapi Air Putih Terapi Musik
Post Intervensi Terapi Air Putih
(47)
Terapi Air Putih
Air putih adalah cairan tidak berwarna, cairan yang tidak dicampur dengan cairan lain/pewarna dan tidak berbau. Pelaksanaan terapi air dengan minum 1,5 L air di pagi hari setelah bangun tidur. Lembar observasi oleh peneliti Peneliti mengoberva si keberhasilan dari terapi air putih yang dilakukan pasien. Jawaban responde: terjadinya perubahan setelah melakuka n terapi air putih setiap pagi.
Rasio
4. Hipotesa Penelitian
Hipotesa alternative (Ha1) penelitian ini adalah terdapat perbedaan konstipasi antara pre dan post intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hipotesa alternative (Ha2) penelitian ini adalah terdapat perbedaan konstipasi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Hipotesa nol (Ho1) penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan konstipasi antara pre dan post intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hipotesa nol (Ho2) penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan konstipasi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
(48)
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimen dengan metode pengumpulan data observasi eksperimental pendekatan pretest-posttest untuk mengidentifikasi efektivitas minum air putih setiap pagi yang mengalami konstipasi pada pasien stroke yang melibatkan dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kedua kelompok diawali dengan pemberian pendidikan kesehatan pada pasien. Kemudian kelompok intervensi dilakukan terapi air minum setiap pagi sebanyak 1,5 liter air (1500 cc), setiap pagi pada pemberian terapi 500 cc/ 20menit dalam waktu sebulan. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya diberikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya minum air putih pada pasien stroke. Setelah intervensi, diakhiri dengan pengukuran kembali konstipasi pasein stroke pada kedua kelompok.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
2.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien stroke yang mengalami konstipasi yang dirawat inap di Ruang R4 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sebanyak 45 orang.
(49)
2.2 SampelPenelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2003). Penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan tabel power analyze karena jumlah populasi belum diketahui, dengan mengggunakan efek size 0,80; level of significant (α) 0,05; dan power of test 0,80. Dari tabel power analyze ditetapkan jumlah sampel minimal 13 orang. Kemudian 26 orang ini akan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 13 orang untuk kelompok intervensi dan 13 orang untuk kelompok kontrol.
Pada perkembangan selanjutnya, seorang responden penelitian pada kelompok intervensi mengalami drop out dengan alasan responden meminum obat pencahar/laksative atau alasan lain sehingga tidak dapat melaksanakan intervensi terapi air minum setiap pagi.
Kriteria sampel yang digunakan adalah kriteria inklusi yaitu karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003). Karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau yang layak untuk diteliti terdiri dari:
a. Pasien stroke yang mengalami konstipasi lebih dari 3 hari. b. Pasian stroke dengan kondisi sadar, dengan atau tanpa NGT. c. Pasien stroke yang tidak menggunakan obat laksative (pencahar).
(50)
e. Bersedia menjadi responden penelitian dan melakukan minum air putih setiap pagi dalam waktu sebulan tanpa henti pada kelompok intervensi.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di ruang RA4 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Alasan peneliti memilih rumah sakit ini sebagai lokasi penelitian, karena rumah sakit ini adalah rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa keperawatan Universitas Sumatera Utara dan menjadi rumah sakit rujukan tertinggi diantara rumah sakit umum di Sumatera Utara, sehingga diperkirakan akan didapat subjek penelitian.
Alokasi waktu untuk penelitian sampai dengan laporan hasil penelitian adalah mulai pada tanggal 22 Juli 2010 sampai 8 Oktober 2010.
4. Pertimbangan Etik Penelitian
Penelitian dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan USU dan direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Peneliti mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan atau ketidaksediaan untuk dijadikan subjek penelitian. Jika responden bersedia diteliti maka terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan (Informed Concent). Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. Penelitian ini, juga memperhatikan etik yaitu sebagai berikut:
(51)
a. Informed Concent
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subjek menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak subjek.
b. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.
c. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil peneliti.
5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang pertama berisi tentang data demografi dan bagian yang kedua berisi lembar jadwal terapi air putih untuk responden. Dan untuk peneliti instrumen yang digunakan adalah lembar observasi skala konstipasi.
1. Data Demografi
Data demografi meliputi nomor responden, nama responden, usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan/aktivitas, suku bangsa. Data demografi ini berguna untuk membantu penelitian mengetahui latar belakang dari responden yang bisa berpengaruh terhadap penelitian.
(52)
2. Lembar Jadwal Pelaksanaan Terapi Air Putih
Responden penelitian pelaksanaan minum air putih diperoleh dengan menggunakan lembar observasi yang dilakukan peneliti untuk mengamati pelaksanaan minum air putih setiap pagi yaitu membuat tanda checklis pada kolom “ya” jika minum air putih setiap pagi dilaksanakan. Dalam pemberian air minum perlu diperhatikan: waktu minum, jumlah air putih yang diminum dan waktu untuk memulai buang air besar. Pada penelitian ini menggunakan alat dan bahan yaitu gelas ukur (dalam ukuran cc atau ml) dan air putih.
3. Lembar pengukuran skala konstipasi pre dan post intervensi
Hasil pengukuran skala konstipasi pre dan post intervensi dilakukan dengan menggunakan skala. Skala (1-3) menyatakan konstipasi ringan dan skala (4-6) menyatakan konstipasi berat. Pengukuran ini dilakukan pada masing-masing kelompok dengan tujuan untuk melihat efektivitas terapi air putih setiap pagi yang mengalami konstipasi pada pasien stroke
6. Pengumpulan Data
Sebelum pengumpulan data, peneliti menjalankan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengajukan surat permohonan izin untuk melakukan penelitian kepada institusi pendidikan yakni fakultas keperawatan.
2. Mengirim surat izin penelitian yang diperoleh ketempat dimana akan dilakukan penelitian.
(53)
4. Peneliti meminta kesediaan calon responden untuk mengikuti penelitian secara sukarela, kerahasiaan informasi mengenai responden dijaga oleh peneliti. Sebelum kegiatan penelitian nama responden tidak dicantumkan dan sebagai gantinya peneliti menggunakan nomor responden.
5. Sebelum meminta calon responden mengisi kuesioner data demografi penelitian, peneliti menjelaskan terlebih dahulu manfaat penelitian dan cara pengisian kuesioner dan meminta responden yang bersedia untuk menandatangani informed concent.
6. Setelah mendapat persetujuan, pengumpulan data dimulai, kuesioner data demografi diisi oleh peneliti dengan melakukan wawancara pada responden atau keluarganya. Kemudian peneliti membagi responden menjadi dua kelompok. Responden yang pertama dimasukkan ke kelompok intervensi, responden berikutnya kemudian dimasukkan ke kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan terapi air putih sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan terapi air putih. Sebelum pemberian terapi air putih pada kelompok intervensi, peneliti terlebih dahulu mewawancarai responden mengenai konstipasinya kemudian terapi air putih diberikan sebanyak 500 cc pada pemberian pertama setelah 15-20 menit kemudian diberikan kembali terapi air putih sebanyak 500 cc sampai responden mengkonsumsi air putih sebanyak 1500 cc tanpa makan dan gosok gigi setelah bangun tidur. Setelah satu jam kemudian responden dapat makan ataupun gosok gigi. Kemudian peneliti mengobservasi abdomen responden apakah distensi abdomen, keinginan buang air besar,
(54)
bising usus meningkat, frekuensi buang air besar kurang dari 3x dalam seminggu, perasaan buang air besar ada atau tidak, feces lunak atau keras setelah pemberian terapi air putih.
7. Pemberian terapi ini dilakukan dalam 1 hari setiap responden. Dan dalam 24 jam jika responden tidak ada tanda-tanda buang air besar setelah diberikan terapi air putih maka dapat dikategorikan konstipasi ringan atau konstipasi berat.
7. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisa data dengan memeriksa kembali semua data satu persatu yakni nama dan identitas serta data responden serta hasil pengukuran skala konstipasi sebelum dilakukan intervensi terapi air putih dan sesudah dilakukan terapi air putih. Hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan menguji hipotesa penelitian sehingga diketahui efektivitas terapi air putih tehadap intensitas konstipasi pasien stroke selanjutnya dilakukan pengolahan data.
Analisa data melalui beberapa tahap, dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan data, kemudian coding dengan memberi kode untuk memudahkan melakukan tabulasi, selanjutnya entry dengan memasukkan data ke komputer dan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan tehnik komputerisasi analisis statisitik.
Statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan data-data demografi pasien stroke yang mengalami konstipasi pre dan post intervensi. Uji paired t-test dilakukan untuk mengetahui konstipasi pre dan post intervensi apabila datanya
(55)
berdistribusi normal. Sedangkan statistik inferensial digunakan untuk mengetahui perbedaan skala konstipasi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang di uji dengan menggunakan uji satistik independent t-test.
Menurut Wahyuni (2008), dari uji tersebut akan diperoleh nilai p, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian (misalnya adanya perbedaan mean). Kesimpulan hasilnya dinterpretasikan dengan membandingkan niali p dan nilai alpha ( = 0.05). Bila nilai p ≤ , maka keputusannya adalah Ha gagal ditolak sedangkan bila nilai p > , maka keputusannya adalah Ha ditolak.
Hipotesa penelitian ini adalah untuk membuktikan kebenaran Ha, yaitu terapi air putih setiap pagi efektif mengatasi konstipasi pada pasien stroke.
(56)
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai efektivitas terapi air putih untuk menurunkan konstipasi pada pasien stroke. Dalam penelitian ini ada kelompok pasien yang diberikan terapi air putih dan kelompok pasien yang tidak diberikan terapi air putih.
1. Hasil Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan mulai tanggal 22 Juli sampai dengan 8 Oktober 2010. Penelitian ini melibatkan 26 orang pasien stroke yang terbagi dalam kedua kelompok yaitu kelompok intervensi yang dilakukan terapi air putih sebanyak 1500 cc dan pemberian pertama diberikan 500 cc dengan selang waktu 15-20 menit kemudian diberikan kembali air putih sebanyak 500 cc sampai 1500 cc untuk setiap responden dan kelompok kontrol yang tidak dilakukan terapi air putih, masing-masing kelompok terdiri dari 13 orang pasien storke.
Hasil penelitian ini akan menguraikan karakteristik demografi responden, analisis konstipasi pada pasien stroke sebelum dan sesudah diberi terapi air putih pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol serta analisis perbedaan intensitas konstipasi sebelum dan sesudah diberi terapi air putih.
(57)
1.1 Karakteristik Demografi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terdapat pada usia 49-57 (38,5%). Lebih dari setengah berjenis kelamin laki-laki (61,5%). Agama responden hampir seluruhnya beragama Islam (84,6%). Dari kategori suku, responden kurang dari setengahnya bersuku Aceh (38,4%). Tingkat pendidikan responden adalah SMP (46,2%), dan pekerjaan responden kurang dari setengahnya adalah petani masing-masing (46,2%)..
Sedangkan untuk kelompok kontrol lebih dari setengah responden berumur 49-57 tahun (53,8%). Lebih dari setengah berjenis kelamin perempuan (53,8%). Agama responden lebih dari setengah Protestan (53,8%), dari kategori suku responden lebih dari setengahnya bersuku Batak (61,5%), Tingkat pendidikan SMP dan SMA masing-masing (38,5%). Pekerjaan responden sebagai wiraswasta kurang dari setengahnya (46,2%). Untuk lebih jelasnya, karakteristik demografi responden dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
No Karakteristik
Responden
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol
Frekuensi % Frekuensi %
1. Usia
- 40-48 tahun - 49-57 tahun - 58-66 tahun - 67-76 tahun
3 5 2 3 23,1 38,5 15,4 23,1 3 7 3 - 23,1 53,8 23,1 - 2. Jenis Kelamin
- Laki-laki - Perempuan
8 5 61,5 38,5 6 7 46,2 53,8
(58)
3. Agama - Protestan - Islam - Katolik 2 11 - 15,4 84,6 - 7 5 1 53,8 38,5 7,7 4. Suku - Jawa - Batak - Aceh - Melayu 3 4 5 1 23,1 30,8 38,4 7,7 2 8 2 1 15,4 61,5 15,4 7,7 5. Pendidikan
- SD - SMP - SMA - Sarjana 3 6 3 1 23,1 46,2 23,1 7,7 - 5 5 3 - 38,5 38,5 23,1 6. Pekerjaan
- Pegawai - Wiraswasta - Petani 2 5 6 15,4 38,4 46,2 3 6 4 23,1 46,2 23,1
1.2 Karakteristik Skala Konstipasi Pre Intervensi Terapi Air Putih Pada
Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Pasien Stoke
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi pre intervensi semua responden mengalami konstipasi dengan tingkat berat terdapat 11 orang (84,6%), sedangkan responden dengan tingkat ringan terdapat 2 orang (15,4%).
Pada kelompok kontrol pre intervensi semua responden yang mengalami konstipasi dengan tingkat berat terdapat 12 orang (92,3%), sedangkan responden dengan tingkat ringan terdapat 1 orang (7,7%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. berikut ini :
(59)
Tabel 2. Karakteristik Skala Konstipasi Pre Intervensi Terapi Air Putih Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Pasien Stoke
Skala Konstipasi Pre Intervensi
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol
F % F %
Ringan Berat 2 11 15,4% 84,6% 1 12 7,7% 92,3%
1.3 Karakteristik Skala Konstipasi Post Intervensi Terapi Air Putih Pada
Kelompok Intervensi dan Kontrol Pasien Stroke
Pada kelompok intervensi post intervensi lebih dari setengah responden mengalami konstipasi dengan tingkat ringan terdapat 9 orang (69,2%), sedangkan dengan konstipasi dengan tingkat berat terdapat 4 orang (30,8%).
Pada kelompok kontrol post kontrol lebih dari setengah responden mengalami konstipasi dengan tingkat berat terdapat 10 orang (76,9%), dan konstipasi dengan tingkat ringan terdapat 3 orang (21,3%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. berikut ini :
Tabel 3. Karakteristik Konstipasi Post Intervensi Terapi Air Putih Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pasien Stroke
Skala Konstipasi Post Intervensi
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol
F % F % Ringan Berat 9 4 69,2% 30,8% 3 10 23,1% 76,9%
(60)
1.4 Perbedaan Konstipasi Pre dan Post Intervensi Pada Kelompok Intervensi
dan Kelompok Kontrol Pasien Stroke
1.4.1 Kelompok Intervensi
Untuk melihat perbedaan konstipasi antara pre dan post intervensi pada kelompok intervensi digunakan uji Paired sample. Dari hasil perhitungan tersebut diketahui antara pre dan post nilai t sebesar -3,453 dan nilai signifikansi sebesar 0,005. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Perbedaan Konstipasi Antara Pre dan Post Intervensi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Kelompok Mean Standar
Deviasi
Standar
Error t Sig
Pre-intervensi 2,4615 1,05003 0,29123
-3,453 0,005 Post-intervensi 3,8462 1,34450 0,37290
1.4.2 Kelompok Kontrol
Untuk melihat perbedaan konstipasi antara pre dan post pada kelompok kontrol digunakan uji Paired sample, diketahui perbedaan nilai mean pada pre dan post nilai t sebesar -2,250 dan nilai signifikansi sebesar 0,044. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini :
Tabel 5. Perbedaan Konstipasi Antara Pre dan Post Intervensi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Kelompok Mean Standar
Deviasi
Standar
Error t Sig
Pre-kontrol 2,3846 0,76795 0,21299
-2,250 0,044 Post-kontrol 3,0769 0,86232 0,23916
(61)
1.5 Perbedaan Konstipasi Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi Pada
Pasien Stroke Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan
Untuk uji statistik Independent t-test digunakan untuk mengetahui perbedaan konstipasi pada kelompok kontrol dan intervensi terapi air putih pada pasien stroke. Penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa teratasinya konstipasi berbeda antara pada kelompok kontrol nilai mean sebesar 2,5385 dan standar deviasi 1,05003. Pada kelompok intervensi nilai mean sebesar 3,7692 dan standar deviasi sebesar 0,86232. Sedangkan pada nilai t pada kedua kelompok sebesar -1,500 dan nilai signifikansi (p) = 0,08 (p > 0,05). Hal ini berarti terdapat tidak terdapat perbedaan konstipasi yang signifikan dengan terapi air putih pada kelompok kontrol dan intervensi pada pasien stroke. Untuk lebih jelasnya, perbedaan intensitas nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini :
Tabel 6. Perbedaan Konstipasi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok
Kontrol Terapi Air Pada Pasien Kanker Stroke
Kelompok Mean Standar Deviasi
Standar Error
t Sig
-1,500 0 ,08
Kontrol 2,5385 1,05003 0,29123
(62)
2. Pembahasan
2.1 Data Demografi
Penelitian ini membandingkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan terapi air putih dan kelompok kontrol tidak diberikan terapi air putih. Konstipasi sebelum intervensi diukur terlebih dahulu dan setelah intervensi dilakukan, kemudian intensitas konstipasi diukur kembali. Jumlah responden terdiri dari 26 orang pasien kanker nyeri kronis yang berada di RSUP H. Adam Malik Medan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terdapat pada usia 49-57 tahun (38,5%). Menurut Hurlock (1996) usia 49-57 tahun termasuk lanjut usia awal (Old Early), dimana sering terjadi konstipasi pada lansia. Lebih dari setengah berjenis kelamin laki-laki (61,5%). Sedangkan untuk kelompok kontrol lebih dari setengah responden berumur 49-57 tahun (53,8%). Lebih dari setengah berjenis kelamin perempuan (53,8%). Data ini menunjukkan bahwa konstipasi dipengaruhi oleh perbedaan usia pada setiap responden dan jenis kelamin. Menurut Adib (2009) Faktor risiko antara lain adalah kadar lemak darah yang tinggi, hematokrit tinggi, kebiasaan merokok, kegemukan (obesitas), kadar asam urat tinggi, kurang gerak badan/olahraga, fibrinogen tinggi, suku bangsa (negro/spanyol), usia, jenis kelamin (pria), penyalahan obat-obatan (narkoba). Bila faktor risiko ditanggulangi dengan baik, maka kemungkinan mendapatkan stroke dapat dikurangi. Namun dalam penelitian ini faktor-faktor dalam penalitian tersebut tidak dibahas lebih mendalam, karena fokus utama penelitian ini adalah
(63)
keefektifan minum terapi air putih setiap pagi. Namun tidak mengabaikan faktor-faktor tersebut.
2.2 Perbedaan Karakteristik Konstipasi Pre Intervensi Terapi Air putih
Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Stroke
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi pre intervensi semua responden mengalami konstipasi dengan tingkat berat terdapat 11 orang (84,6%), sedangkan responden dengan tingkat ringan terdapat 2 orang (15,4%).
Pada kelompok kontrol pre intervensi semua responden yang mengalami konstipasi dengan tingkat berat terdapat 12 orang (92,3%), sedangkan responden dengan tingkat ringan terdapat 1 orang (7,7%).
Berdasarkan hasil analisa pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang signifikan dari teratasinya konstipasi (p > 0,05). Kondisi perubahan perasaan buang air besar, sangatlah berhubungan dengan kondisi psikologis dari pasien, karena menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis (Guyton & Hall, 2010). . Stress juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon). Tidak hanya itu, ketidaksesuaian diet, latihan yang tidak cukup, obat-obatan, dan umur (Diwanto, 2009).
Kelompok kontrol melaporkan bahwa mereka tidak merasakan adanya penurunan konstipasi. Bahkan konstipasi yang dirasakan meningkat. Keluarga pasien dari kelompok kontrol melaporkan bahwa mereka berusaha untuk
(64)
mengatasi konstipasinya dengan cara lain keluarga pasien memberikan mereka memakan buah-buah seperti papaya.
2.3 Perbedaan Karakteristik Konstipasi Post Intervensi Terapi Air putih
Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Pada Pasien Stroke
Masukan cairan yang tidak adekuat merupakan salah satu dari sekian banyak penyebab konstipasi (Djojoningrat, 2006). Pada kelompok intervensi post intervensi lebih dari setengah responden mengalami konstipasi dengan tingkat ringan terdapat 9 orang (69,2%), sedangkan dengan konstipasi dengan tingkat berat terdapat 4 orang (30,8%).
Pada kelompok kontrol post kontrol lebih dari setengah responden mengalami konstipasi dengan tingkat berat terdapat 10 orang (76,9%), dan konstipasi dengan tingkat ringan terdapat 3 orang (21,3%).
Air putih telah lama digunakan untuk membantu dalam penurunan susah buang air besar. Pasien yang diberikan terapi air putih melaporkan bahwa konstipasi yang dirasakan menurun dibandingkan pada pasien yang tidak dilakukan terapi yang sama. Terapi air merupakan terapi alami yang didasarkan pada penggunaan air secara internal dan eksternal sebagai pengobatan (Chaiton, 2002 dalam Amirta, 2007).
Beberapa fakta membuktikan bahwa terapi air putih dapat menjaga sistem metabolisme, memperlancar pencernaan makanan, meninggkatkan stamina, meningkatkan kekebalan tubuh, serta menaikkan status kesehatan badan (Diwanto, 2009). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lainnya yang mengemukakan bahwa persentase individu yang mengalami konstipasi semakin
(65)
berkurang dengan minum cairan 6 gelas per hari (Robson, et al, 2000). Sanjoaquin, et al (2004) mengemukakan bahwa masukan cairan yang lebih banyak akan meningkatkan peristaltik usus harian jika dibandingkan dengan masukan cairan yang sedikit.
2.4 Perbedaan Konstipasi Antara Kelompok Terapi Air Putih Dan Kelompok
Kontrol Pada Pasien Stroke
Perbedaan teratasinya konstipasi antara kelompok terapi air putih dan kelompok kontrol pada pasien stroke berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan uji statistik t-test Independent kelompok kontrol mempunyai rata-rata sebesar 2,5385 dan standar deviasi 1,05003. Pada kelompok intervensi nilai mean sebesar 3,7692 dan standar deviasi sebesar 0,86232. Pada kedua kelompok antara kelompok terapi air putih dengan kelompok kontrol mempunyai nilai t sebesar -1,500 dan nilai signifikansi (p) = 0,08 (p > 0,05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan konstipasi akibat terapi air putih pada kelompok kontrol dan intervensi pada pasien stroke. Dikarenakan pada kelompok kontrol ada intervensi lain yang dilakukan keluarga dalam mengatasi konstipasi yaitu memakan buah-buahan seperti buah pepaya.
Sedangkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lindawati Farida Tampubolon di Rumah Sakit Umum Sembiring Delitua Deli Serdang menunjukkan terapi air berpengaruh terhadap frekuensi defekasi pasien konstipasi (P=0,022, α=0,05) dengan responden berjumlah 50 orang (25 orang untuk masing-masing kelompok).
(66)
Pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan dalam mengatasi konstipasi dinilai dengan menggunakan penilaian konstipasi karena tidak diberikan intervensi. Sedangkan pada kelompok intervensi (kelompok terapi air putih) terjadi perubahan dilihat dari penilaian konstipasi yaitu perubahan bising usus yang meningkat, responden mengatakan adanya keinginan buang air besar dan adanya perasaan buang air besar, terjadinya distensi abdomen, dan feses lunak.
Selain dengan menggunakan terapi air putih keluarga juga mengkonsumsi makan yang bergizi dan dilakukannya latihan gerakan ringan (seperti miring kanan dan miring kiri ataupun latihan jalan disekitar ruangan) untuk meningkatkan kerja sistem saraf enterik yang terganggu sehingga melancarkan buang air besar (Guyton & Hall, 2010).
Kotoran akan bereaksi dengan asam dipecah dan diserap oleh instetine lebih cepat daripada makanan padat. Kotoran akan berbaris dalam usus besar dengan cepat akan berubah menjadi lemak dan menjadi pemicu kanker. Dianjurkan untuk meminum air putih hangat untuk memperlancar pencernaan (Hamidin, 2010).
(1)
PAIRED T-TEST INTERVENSI
Notes
Output Created 15-Dec-2010 21:37:33
Comments
Input Data D:\Mata Kuliah Elliz\Skripsi Elliz\SPSS\XL Paired T-Test Px.Intervensi.sav
Active Dataset DataSet3
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 13
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as missing. Cases Used Statistics for each analysis are based on the cases with
no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax T-TEST PAIRS=Pre WITH Post (PAIRED)
/CRITERIA=CI(.9500) /MISSING=ANALYSIS.
Resources Processor Time 0:00:00.015
Elapsed Time 0:00:00.011
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Pre Intrevensi 2.4615 13 1.05003 .29123
(2)
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig. Pair 1 Pre Intrevensi & Post Intervensi 13 .291 .335
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper Pair 1 Pre Intrevensi -
Post Intervensi
(3)
INDEPENDENT T-TEST KONTROL-INTERVENSI
Notes
Output Created 16-Dec-2010 01:06:25
Comments
Input Data D:\Mata Kuliah Elliz\Skripsi Elliz\SPSS\XL Independent T-Test Px.Kontrol-Intervensi.sav
Active Dataset DataSet9
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 26
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as missing. Cases Used Statistics for each analysis are based on the cases with
no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax T-TEST GROUPS=Kelompok(1 2)
/MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=Pre Post /CRITERIA=CI(.95).
Resources Processor Time 0:00:00.016
Elapsed Time 0:00:00.020
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Pre Kelompok Kontrol 13 2.5385 1.05003 .29123
Kelompok Intervensi 13 2.4615 1.05003 .29123
Post Kelompok Kontrol 13 3.0769 .86232 .23916
(4)
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence Interval of the
Difference
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error
Difference Lower Upper Pre Equal variances
assumed
.000 1.000 .187 24 .853 .07692 .41186 -.77311 .92695
Equal variances not assumed
.187 24.000 .853 .07692 .41186 -.77311 .92695
Post Equal variances assumed
8.448 .008 -1.500 24 .147 -.69231 .46154 -1.64488 .26026
Equal variances not assumed
(5)
(6)