Studi model struktur tegakan hutan tanaman pinus merkusii Jungh et de Vriese tanpa penjarangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat

(1)

1

HUTAN TANAMAN

Pinus merkusii

Jungh et de Vriese

TANPA PENJARANGAN

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

MUTIA ADIANTI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

2

HUTAN TANAMAN

Pinus merkusii

Jungh et de Vriese

TANPA PENJARANGAN

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

MUTIA ADIANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

3

MUTIA ADIANTI. E14062048. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Tanaman Pinus merkusii Jungh et de Vriese tanpa Penjarangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh BUDI PRIHANTO.

Kondisi suatu tegakan hutan selalu dipengaruhi oleh keadaan tempat tumbuhnya, perlakuan silvikultur, umur dan sifat genetik pohon, interaksi antara setiap individu pohon terhadap keadaan tempat tumbuhnya, serta interaksi yang terjadi antar individu-individu pohonnya. Pengaruh efektif dari faktor-faktor tersebut akan membawa suatu tegakan hutan ke dalam kondisi tegakan hutan yang sangat khas pada setiap daerah tertentu. Kondisi tegakan hutan tersebut pada hakikatnya dapat diketahui dengan melihat struktur tegakan hutannya. Untuk menerangkan kondisi struktur tegakan dapat menggunakan model-model famili sebaran, seperti famili sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model struktur tegakan hutan tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) dalam bentuk famili sebarannya, serta menganalisis nilai koefisien kemenjuluran kurva struktur tegakan hutan tanaman pinus.

Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulan Agustus 2010. Data yang digunakan adalah data pengukuran diameter pohon setinggi dada pada tegakan hutan tanaman P. merkusii yang tidak diketahui umur tanamnya. Metode yang digunakan untuk mengukur tegakan adalah metode jalur. Petak ukur yang disensus berukuran 1 hektar dengan panjang jalur 500 m dan lebar jalur 20 m. Pemilihan lokasi petak ukur dilakukan secara purposive. Pada penelitian ini, diambil lima petak ukur yang dianggap dapat mewakili struktur tegakan hutan di lokasi penelitian.

Hasil dari penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat dengan menggunakan metode fungsi kemungkinan maksimum menunjukkan bahwa model famili sebaran yang terbaik dalam menggambarkan struktur tegakan kelompok jenis pinus dan kelompok seluruh jenis adalah famili sebaran gamma, sedangkan untuk kelompok jenis lain adalah famili sebaran lognormal. Sementara itu, nilai koefisien kemenjuluran yang diperoleh cenderung menuju ke arah kemenjuluran positif, yang berarti bahwa kurva struktur tegakan menjulur ke kanan. Informasi tentang kondisi struktur tegakan ini dapat menjadi masukan bagi penentuan tindakan silvikultur, khususnya penjarangan dan penebangan, untuk mendapatkan kondisi struktur tegakan yang diinginkan pengelola.


(4)

4

SUMMARY

MUTIA ADIANTI. E14062048. Study on Pinus merkusii Jungh et de Vriese Plantation Forest without Thinning in Gunung Walat University Forest. Under Supervised by BUDI PRIHANTO.

Forest stand condition is influenced by habitat condition, silvicultur treatments, age and genetic properties of trees, the interaction between each individual tree to habitat condition, and also interactions among individual trees. Effective influence of these factors will make a forest stands into the condition which very typical in any particular area. In essence, the forest stand condition may be known by looking at its stand structure. To explain the structural condition of stands, it can use family distribution models, such as the normal family distribution, lognormal, gamma, and negative exponential. This research aims to obtain the stands structure model of pine (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) plantation forest on the family distribution, and analyze its curve skewness coefficient value.

This research was conducted at Gunung Walat University Forest in August 2010. The data used were the tree diameter measurement on breast height of P. merkusii plantation forest which the age is unknown. The sample method is purposive line or strip sampling. The sensused plots were about 1 hectare with 500 m length path and 20 m wide path. The plots location was selected through purposive sampling method. In this research, five plots which were considered for representing the structure of forest stands at the sites would be taken.

The results of research were conducted at Gunung Walat University Forest by using the maximum likelihood function shows that the family distribution model which was chosen as the best family distribution model for describing the stand structure of pine species and all species was the gamma family distribution, while for other species was the lognormal family distribution. Meanwhile, the skewness coefficient value which obtained tends on positive skewness, which means that curve is right skewed. The information of forest stand condition can be a suggestion to determine silviculture implementation, specially for thinning and felling, to get the expected forest stand condition.


(5)

5 Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Model Tegakan Hutan Tanaman Pinus merkusii Jungh et de Vriese tanpa Penjarangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Mutia Adianti NRP E14062048


(6)

6

Vriese TANPA PENJARANGAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

Nama : Mutia Adianti

Nrp : E14062048

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Budi Prihanto, MS NIP : 19641020 1989 03 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP: 19630401 1994 03 1 001


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan anugrah-Nya sehingga penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2010, dengan judul

Studi Model Struktur Tegakan Hutan Tanaman Pinus merkusii Jungh et de Vriese tanpa Penjarangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model struktur tegakan hutan tanaman pinus dalam bentuk famili sebarannya, serta menganalisis nilai koefisien kemenjuluran kurva struktur tegakan yang diharapkan dapat menjadi alat kontrol bagi tindakan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Penulis menyadari karya ilmiah ini tidak sempurna. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan adanya saran dan kritik demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian yang sama pada waktu yang akan datang. Harapan Penulis, karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama pihak HPGW, serta pihak lain yang membutuhkannya. Amin.

Bogor, Januari 2011


(8)

viii Penulis dilahirkan di Semarang, 7 Januari 1989. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Imam Nugroho dan Ibu Budi Andayani. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1994-2000 di Sekolah Dasar Negeri Mustikajaya, Bekasi.

Pada tahun 2000-2003, Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjut Tingkat Pertama Negeri 4 Tambun Selatan, Bekasi, kemudian pada tahun 2006, Penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bekasi, dan pada tahun yang sama, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun 2007, Penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB melalui sistem mayor minor.

Selama menuntut ilmu di IPB, Penulis aktif di organisasi International Forestry Student Assosiation (IFSA). Pada tahun 2008, Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Kamojang-Sancang, kemudian pada tahun 2009, Penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, dan pada tahun 2010, Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di Perum Perhutani II Jember. Selain itu, Penulis juga aktif menjadi asisten pada mata kuliah Inventarisasi Sumber Daya hutan (2008/2009) dan mata kuliah Dendrologi (2009/2010).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, Penulis menyelesaikan Skripsi dengan judul ”Studi Model Struktur Tegakan Hutan Tanaman Pinus merkusii Jungh et de Vriese tanpa Penjarangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat” dibawah bimbingan Ir. Budi Prihanto, MS.


(9)

ix Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hikmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Berbagai kendala dialami oleh Penulis sehingga membutuhkan bantuan, dukungan, dan semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Fakultas Kehutanan IPB kerjasama dengan pihak HPGW yang telah memfasilitasi sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

2. Bapak Ir. Budi Prihanto, MS., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam membimbing selama penelitian serta penyusunan skripsi.

3. Bapak Ir. Bintang CH. Simangunsong, MS, PhD., Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, MSi., Bapak Ir. Tutut Sunarminto, MSi. selaku Dosen Penguji. 4. Ibu, Bapak, Kakak, dan seluruh keluarga yang selalu memberikan doa dan

motivasi.

5. Rekan-rekan Manajemen Hutan 43 dan rekan-rekan Fahutan atas bantuan, doa, dan motivasinya.

6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuannya pada Penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2011


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ... x

DAFTAR TABEL... ... xii

DAFTAR GAMBAR... ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... ... xiv

I. PENDAHULUAN... .. 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 1

1.3. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Tinjauan Umum tentang P. merkusii ... 3

2.2. Struktur Tegakan Hutan ... 3

2.3. Kerapatan Pohon ... 5

2.4. Diameter Pohon ... 6

2.5. Hutan Normal Seumur ... 7

2.6. Kegunaan Struktur Tegakan Hutan ... 8

2.7. Permasalahan dalam Pemilihan Model ... 10

2.8. Metode Kemungkinan Maksimum ... 11

2.9. Ukuran Kemenjuluran Data ... 12

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

3.2. Bahan dan Alat ... 15

3.3. Metode Penelitian... 15

3.3.1. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 15

3.3.2. Cara Pengumpulan Data ... 15

3.4. Analisis Data.... ... 16

3.4.1. Pemeriksaan Data ... 16


(11)

xi

3.4.3. Analisis Nilai Koefisien Kemenjuluran ... 24

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 25

4.1. Letak dan Luas. ... 25

4.2. Topografi... ... 25

4.3. Tanah... ... 26

4.4. Vegetasi Hutan ... 26

4.5. Iklim dan Hidrologi ... 27

4.6. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Sekitar Hutan ... 27

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

5.1. Pemeriksaan Data ... 29

5.2. Pemilihan Model ... 34

5.3. Analisis Nilai Koefisien Kemenjuluran... ... 47

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

6.1. Kesimpulan... ... 50

6.2. Saran... ... 50

DAFTAR PUSTAKA... ... 51


(12)

xii

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Kerapatan tegakan pada masing-masing petak ukur menurut kelompok jenis dan tingkatan pertumbuhannya ... 30 2 Parameter sebaran pada setiap model famili sebaran di masing-masing

petak ukur... ... 35 3 Komposisi nilai fungsi kemungkinan maksimum (L) untuk setiap

famili sebaran pada masing-masing petak ukur kelompok jenis pinus .. 35 4 Komposisi nilai fungsi kemungkinan maksimum (L) untuk setiap

famili sebaran pada masing-masing petak ukur kelompok jenis lain ... 36 5 Komposisi nilai fungsi kemungkinan maksimum (L) untuk setiap

famili sebaran pada masing-masing petak ukur kelompok seluruh jenis 36 6 Jumlah peringkat dari komposisi fungsi kemungkinan maksimum (-(ln

L)) untuk setiap famili sebaran pada kelompok jenis pinus, jenis lain, dan seluruh jenis ... 40 7 Nilai koefisien kemenjuluran untuk kelompok jenis pinus, jenis lain,


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Histogram kerapatan tegakan berdasarkan kelas diameternya untuk kelompok jenis pinus, kelompok jenis lain, dan kelompok seluruh jenis pada (a) PU 1, (b) PU 2, (c) PU 3, (d) PU 4, (e) PU 5, dan (f) Keseluruhan PU ... 32 2 Grafik batang penduga kemungkinan maksimum pada: (a) kelompok

jenis pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis. ... 37 3 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili

Sebaran Normal, Lognormal, Gamma, dan Eksponensial Negatif) pada: (a) kelompok pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis di petak ukur 1 ... 41 4 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili

Sebaran Normal, Lognormal, Gamma, dan Eksponensial Negatif) pada: (a) kelompok pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis di petak ukur 2 ... 42 5 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili

Sebaran Normal, Lognormal, Gamma, dan Eksponensial Negatif) pada: (a) kelompok pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis di petak ukur 3 ... 43 6 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili

Sebaran Normal, Lognormal, Gamma, dan Eksponensial Negatif) pada: (a) kelompok pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis di petak ukur 4 ... 44 7 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili

Sebaran Normal, Lognormal, Gamma, dan Eksponensial Negatif) pada: (a) kelompok pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis di petak ukur 5 ... 45 8 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili

Sebaran Normal, Lognormal, Gamma, dan Eksponensial Negatif) pada: (a) kelompok pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis pada keseluruhan petak ukur ... 46


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Data hasil pengukuran luas stratum untuk masing-masing petak ukur .. 54 2 Data hasil pengukuran frekuensi pohon per hektar (f(x)) pada berbagai

ukuran diameter (x) untuk masing-masing petak ukur kelompok jenis pinus ... 55 3 Data hasil pengukuran frekuensi pohon per hektar (f(x)) pada berbagai

ukuran diameter (x) untuk masing-masing petak ukur kelompok jenis lain ... 57 4 Data hasil pengukuran frekuensi pohon per hektar (f(x)) pada berbagai

ukuran diameter (x) untuk masing-masing petak ukur kelompok seluruh jenis ... 59 5 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 1 kelompok jenis pinus ... 61 6 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 2 kelompok jenis pinus ... . 62 7 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 3 kelompok jenis pinus ... . 63 8 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 4 kelompok jenis pinus ... 64 9 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 5 kelompok jenis pinus ... . 65 10 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 1 kelompok jenis lain ... ... 66 11 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 2 kelompok jenis lain ... .... 67 12 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 3 kelompok jenis lain ... ... 68


(15)

No Halaman

13 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 4 kelompok jenis lain ... .... 69 14 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 5 kelompok jenis lain ... ... 70 15 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 1 kelompok seluruh jenis ... 71 16 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 2 kelompok seluruh jenis ... 72 17 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 3 kelompok seluruh jenis ... 73 18 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 4 kelompok seluruh jenis ... 74 19 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada petak ukur 5 kelompok seluruh jenis ... 75 20 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada keseluruhan petak ukur kelompok jenis pinus ... 76 21 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada keseluruhan petak ukur kelompok jenis lain ... 77 22 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili

sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada keseluruhan petak ukur kelompok seluruh jenis ... 78 23 Peta Areal Hutan Pendidikan Gunung Walat ... 79 24 Peta Kontur Hutan Pendidikan Gunung Walat ... 80


(16)

1

1.1. Latar belakang

Kondisi suatu tegakan hutan selalu dipengaruhi oleh keadaan tempat tumbuhnya, perlakuan silvikultur, umur dan sifat genetik pohon, interaksi antara setiap individu pohon terhadap keadaan tempat tumbuhnya, serta interaksi yang terjadi antar individu-individu pohonnya. Pengaruh efektif dari faktor-faktor tersebut akan membawa suatu tegakan hutan ke dalam kondisi tegakan hutan yang sangat khas pada setiap daerah tertentu. Kondisi tegakan hutan tersebut pada hakikatnya dapat diketahui dengan melihat struktur tegakan hutannya yang merupakan sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameter.

Untuk menggambarkan pola struktur tegakan hutan dapat dicobakan model-model famili sebaran peluang, antara lain famili sebaran normal, famili sebaran lognormal, famili sebaran gamma, dan famili sebaran eksponensial negatif. Dalam penelitian ini akan dicobakan keempat model tersebut untuk mendapatkan model terbaik yang dapat menggambarkan struktur tegakan.

Pada tegakan hutan tanaman seumur, selama ini sebaran normal dianggap sebagai bentuk dari struktur tegakannya. Namun demikian, perbedaan perlakuan silvikultur yaitu tidak mengalami penjarangan dan penebangan yang terjadi pada hutan tanaman pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) mengakibatkan diperlukannya penelaahan lebih lanjut mengenai bentuk dari struktur tegakannya. Koefisien kemenjuluran juga dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi struktur tegakan.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

a Mendapatkan model struktur tegakan hutan tanaman pinus dalam bentuk famili sebarannya.

b Menganalisis nilai koefisien kemenjuluran kurva struktur tegakan yang diharapkan dapat menjadi alat kontrol bagi tindakan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak HPGW.


(17)

1.3. Manfaat

Informasi tentang model struktur tegakan berdasarkan famili sebaran dapat bermanfaat untuk :

a Pendugaan potensi tegakan secara cepat jika total jumlah pohon diketahui. b Perencanaan tindakan silvikultur untuk mendapatkan bentuk struktur


(18)

3

2.1. Tinjauan Umum tentang P. merkusii

Menurut Heyne (1987) dalam Hidayat (2003), pinus dikenal dengan nama daerah Sala (Aceh), Uyeum (Gayo), Sulu (Alas), Tusam (Batak Karo dan Toba), Susugi (Minangkabau), dan Sigi (Kerinci). P. merkusii termasuk ke dalam genus Pinus Linn, Famili Pinaceae, Ordo Conifera, Subsidi Gymnospermae.

Menurut Beekman (1949), pohon pinus pada tegakan tertutup batangnya akan berbentuk langsing, lurus, dan bulat. Sedangkan pada tegakan yang terbuka atau jarang, bentuk batangnya akan berbengkok-bengkok. Diameter batangnya mencapai 70-90 cm dbh, bahkan pohon yang sangat tua dapat mencapai 100 - 145 cm dbh.

Menurut Darsidi (1983) dalam Hidayat (2003), pertumbuhan P. merkusii yang baik pada tiap iklim B menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dan curah hujan rata-rata 1.500 mm/tahun (akan tumbuh lebih baik di daerah yang sepanjang tahun mendapatkan hujan) serta kisaran suhu yang baik antara 17 0C – 27 0C. Menurut Darsidi (1983) dalam Junaidi (2003), P. merkusii dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur maupun pada iklim dengan curah hujan yang minim (iklim kering).

Pinus dapat tumbuh dari permukaan laut sampai pegunungan, akan lebih baik pada ketinggian tempat antara 200 m dpl – 2000 m dpl, tetapi untuk tumbuh baik jenis ini memerlukan ketinggian tempat di atas 400 m dpl. Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa pertumbuhan optimum dicapai pada ketinggian 400 m dpl – 1500 m dpl. Jarak tanam yang baik untuk tegakan P. merkusii yang diusahakan guna menghasilkan getah adalah 4 x 4 m, tetapi untuk pengusahaan kayu bangunan digunakan jarak tanam 3 x 1 m atau 3 x 2 m (De Hulster 1972 dalam Widodo 1989).

2.2. Struktur Tegakan Hutan

Istilah struktur tegakan banyak diterangkan dengan pengertian yang berbeda-beda oleh pakar kehutanan. Secara umum, definisi struktur tegakan dikemukakan oleh Oliver dan Larson (1990) dalam Ilyas (2006), yaitu sebagai penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan. Penyebaran


(19)

dapat berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horisontal, ukuran pohon atau bagian pohon, termasuk volume tajuk. Untuk pertimbangan ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan yang bersangkutan (Suhendang 1994 dalam Ilyas 2006).

Struktur tegakan menyatakan jumlah sebaran individu pohon pada berbagai kelas diameter pohonnya (Suhendang 1995 dalam Ermayani 2000). Sementara Meyer et. al. (1961) menyebutkan bahwa struktur tegakan hutan adalah sebaran jumlah pohon per satuan luas dalam berbagai kelas diameter atau hubungan fungsional antara kerapatan jumlah pohon dengan kelas diameternya.

Dalam pustaka-pustaka kehutanan struktur tegakan hutan sering digunakan untuk menggambarkan keadaan tegakan pada suatu saat. Umumnya hal ini dinyatakan dalam bentuk daftar frekuensi dari salah satu atau beberapa ciri pohon. Ciri-ciri pohon yang sering digunakan untuk itu biasanya adalah ciri pohon yang dapat diukur dan sangat berguna dalam kegiatan perencanaan hutan. Ciri pohon yang bersifat demikian itu adalah diameter dan tinggi pohon.

Dalam istilah struktur tegakan dikenal istilah lain, yaitu dinamika struktur tegakan. Menurut Oliver dan Larson (1990) dinamika struktur tegakan merupakan pertumbuhan yang terjadi pada struktur tegakan menurut waktu, yang meliputi perilaku tegakan selama dan setelah mengalami gangguan dan perlakuan tertentu. Davis dan Johnson (1987) dalam Ilyas (2006) menambahkan bahwa perubahan struktur ini memerlukan minimal dua kali pengukuran dimensi yang sama. Pengukuran dapat dilakukan pada awal siklus tebang untuk menduga pertumbuhan tegakan yang akan datang atau akhir siklus untuk menduga volume yang diperoleh.

Dinamika struktur tegakan dapat menunjukkan pola pertumbuhan tegakan pada masa yang akan datang (Boungiorno and Gilles 1987 dalam Ilyas 2006). Proses dinamika struktur tegakan dalam setiap tegakan merupakan hasil dari totalitas pengaruh setiap individu pohon yang terdapat dalam tegakan, sehingga proses pertumbuhan setiap individu pohon dalam tegakan tidak dapat berdiri sendiri (Suhendang 1994 dalam Ilyas 2006).


(20)

Struktur tegakan terbagi menjadi dua, yaitu struktur tegakan horisontal dan struktur tegakan vertikal. Meyer et. al. (1961) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal adalah sebaran jumlah pohon per satuan luas pada berbagai kelas diameter. Penyebaran diameter bergantung pada proporsi relatif dari pohon-pohon yang berdiameter kecil dan besar dalam hutan tersebut (Meyer et. al. 1961), selanjutnya struktur tegakan horisontal dikenal dengan struktur tegakan saja, sedangkan struktur tegakan vertikal adalah sebaran jumlah pohon pada berbagai lapisan tajuk (Richards 1964 dalam Ermayani 2000). Selanjutnya dalam tulisan ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah sebaran jumlah pohon per satuan luas pada berbagai kelas diameter.

Anonim (1978) dalam Suhendang (1985) mengungkapkan hasil penelitian di hutan hujan tropika di Imataca (Venezuelan Guyana) yang mengungkapkan bahwa struktur tegakan untuk semua jenis berbentuk J terbalik, tetapi jika dilihat setiap jenisnya ternyata bentuknya bervariasi. Lebih jauh dikemukakan bahwa ada lima tipe bentuk sebaran, yaitu : bentuk tidak teratur (tipe 1), bentuk garis lurus dengan koefisien arah negatif (tipe 2), bentuk lonceng terbalik (tipe 3), bentuk J terbalik (tipe 4), dan bentuk J terbalik tetapi mendekati garis lurus dengan koefisien arah negatif (tipe 5).

Suhendang (1985) juga mengungkapkan hasil penelitiannya tentang model struktur tegakan hutan di hutan alam hujan tropika dataran rendah, di Bengkunat (propinsi Lampung). Dengan model acuan bentuk kurva J terbalik disimpulkan bahwa model terbaik bagi struktur tegakan untuk semua jenis adalah famili sebaran lognormal, demikian pula untuk jenis komersil dan meluang (Dipterocarpus sp). Jenis-jenis damar asam (Parinari corymbosum) dan simpur (Dillenia sp), keduanya mengikuti famili sebaran gamma. Selain pemilihan model ini, Suhendang (1985) juga mengemukakan beberapa kemungkinan penggunaan model struktur tegakan hutan yang bersangkutan untuk berbagai keperluan dalam pendugaan dimensi tegakan.

2.3. Kerapatan Pohon

Kerapatan pohon adalah jumlah pohon yang terdapat pada luasan tertentu (Spurr 1952), biasanya dinyatakan dalam hektar sehingga dikenal istilah kerapatan pohon per hektar. Kerapatan pohon pada hutan tanaman lebih teratur dibanding


(21)

pada hutan alam. Pengaturan kerapatan di hutan tanaman disesuaikan dengan tuntutan terhadap ruang tumbuhnya, yaitu dengan penjarangan dan pengaturan jarak tanam.

Manan (1976) dalam Prihanto (1987) menyatakan bahwa pengaturan kerapatan pohon dimaksudkan untuk mendapatkan pertumbuhan dan kualita tegakan akhir yang optimum. Bruce dan Schumacher (1950) juga menyatakan bahwa pertumbuhan pohon erat hubungannya dengan kerapatan, karena menyangkut keterbagian pengaruh totalitas keadaan tempat tumbuhnya pada setiap individu pohonnya. Pengaturan kerapatan untuk memberikan kesempatan hidup yang wajar menjadi penting.

Kerapatan secara tidak langsung juga turut menyumbangkan pengaruhnya dalam menentukan bentuk struktur tegakan, melalui pengaruhnya terhadap pertumbuhan individu pohon. Penentu lainnya diantaranya adalah umur dan sifat genetik pohon. Adanya kegiatan penjarangan dapat merubah bentuk sebaran dari beberapa dimensi tegakan (Prihanto 1987).

2.4. Diameter Pohon

Diameter pohon adalah panjang garis lurus yang menghubungkan dua buah titik pada lingkaran luar pohon dan melalui titik pusat penampang melintangnya. Besarnya diameter pohon bervariasi menurut ketinggian dari permukaan tanah. Oleh karena itu dikenal istilah diameter setinggi dada atau diameter breast height (dbh), yaitu diameter yang diukur pada ketinggian setinggi dada dari permukaan tanah (Bruce dan Schumacher 1950).

Loetsch et. al. (1973) dalam Suhendang (1985) memberikan batasan mengenai dbh yang dipakai di negara-negara yang menggunakan sistem metrik (termasuk Indonesia) sebagai diameter pada ketinggian 1.30 m di atas permukaan tanah (untuk pohon yang berbanir melebihi ketinggian tersebut). Untuk pohon yang berbanir melebihi ketinggian 1.30 m di atas permukaan tanah, pengukuran diameter dilakukan pada ketinggian 20 cm di atas banir (Anonim 1976 dalam Suhendang 1985).

Diameter pohon merupakan dimensi pohon yang penting. Alder (1980) dalam Prihanto (1987) mengungkapkan bahwa diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang berhubungan dengan volumenya, selain tinggi dan bentuk


(22)

pohon. Di hutan alam biasanya tidak pernah diketahui saat pohon mulai tumbuh, sehingga diameter pohon dipakai sebagai petunjuk untuk menduga umur pohon yang bersangkutan (Richards 1964 dalam Prihanto 1987).

2.5. Hutan Normal Seumur

Hutan seumur adalah hutan yang mempunyai perbedaan umur pohon relatif kecil pada luasan tertentu, sehingga bisa dikatakan seragam. Timbulnya hutan seumur bisa disebabkan oleh permudaan buatan atau alami setelah tebang habis, kebakaran atau kerusakan total akibat angin topan (Guise 1950 dalam Prihanto 1987). Dari segi manajemen, hutan seumur adalah hutan dimana pengelompokan dalam kelas-kelas umur dilakukan.

Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang mempunyai sebaran kelas umur normal, volume normal, dan pertumbuhan normal. Kenormalan hutan tersebut menentukan kontinuitas persediaan dan produksi. Dalam hutan normal, ketiga syarat tersebut harus terpenuhi (Meyer et. al. 1952 dalam Prihanto 1987). Sebaran kelas umur normal dalam tegakan seumur adalah terdapatnya tegakan secara kontinyu pada setiap kelas umur. Volume normal per hektar pada tegakan seumur adalah setengah dari volume per hektar tegakan seumur daur (Meyer et. al. 1952 dalam Prihanto 1987).

Pertumbuhan normal adalah pertumbuhan yang didukung oleh keadaan tempat tumbuh secara optimum. Pada hutan tanaman, dimana dilakukan pengelompokan tegakan dalam umur dan keadaan tempat tumbuh yang relatif sama maka kenormalan pertumbuhan dicirikan oleh tingkat pertumbuhan dan tingkat keseragaman pertumbuhannya (Prihanto 1987).

Hutan normal merupakan tujuan ideal dari pengelolaan hutan yaitu standar yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi tegakan aktual dalam menilai kekurangan-kekurangannya untuk tujuan manajemen kelestarian hasil (Osmaton 1968 dalam Ilyas 2006). Hutan normal merupakan hutan yang mendapat pengelolaan secara teratur dan memiliki kelas secara lengkap (beberapa kelas umur tumbuh bersama) dengan proporsi yang tepat sehingga penebangan tahunan atau periodik atas kayu-kayu yang telah masak tebang memberikan jumlah yang sama pada setiap tahun atau periodenya. Hutan normal merupakan konsep dasar dalam penerapan prinsip pengelolaan hasil.


(23)

Secara aktual hutan normal sulit ditemukan bahkan tidak ada. Seandainya ditemukan dengan kenormalan relatif sempurna secara aktual pasti tidak akan berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor pengganggu yang mempengaruhi derajat kenormalan hutan, diantaranya fluktuasi iklim dan kerusakan hutan (Ilyas 2006).

2.6. Kegunaan Struktur Tegakan Hutan

Bentuk struktur tegakan horizontal hutan alam pada umumnya mengikuti persamaan ekponensial negatif atau berbentuk huruf J terbalik, dengan model umumnya, yaitu N = N0e-kd, dimana N = kerapatan pohon per satuan luas, d = diameter pohon, dan N0 dan k = parameter. Suhendang (1994) dalam Ilyas (2006) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang struktur tegakan berguna untuk penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan, dan penentuan biomassa tegakan. Di hutan tanaman hal tersebut juga memungkinkan untuk diterapkan, akan tetapi perlu dimodifikasi sesuai dengan kondisi dan tuntutan informasinya.

Beberapa penerapan penggunaan struktur tegakan yang mungkin dapat dikembangkan di hutan tanaman adalah sebagai berikut :

1 Penentuan kerapatan pohon pada berbagai kelas diameter

Struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsional antara kerapatan pohon dengan diameternya. Oleh karena itu, struktur tegakan dapat dipakai untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya apabila model struktur tegakan beserta parameternya dan jumlah pohon total diketahui (Suhendang 1985). Jika kerapatan pohon total dinyatakan dengan N, sedang model struktur tegakan disandikan dengan f(x), dimana x adalah diameter (cm), maka kerapatan pohon pada kelas diameter ke-i dengan diameter tengah xi adalah sebagai berikut :

……… (1) dimana k adalah selang kelas diameter (Prihanto 1987).


(24)

2 Penentuan luas bidang dasar tegakan

Luas bidang dasar tegakan adalah jumlah luas penampang melintang pohon pada ketinggian tertentu (biasanya dbh) yang terdapat pada luasan tertentu. Penerapan di hutan alam biasanya pada batas diameter tertentu (Prihanto 1987).

Penggunaan struktur tegakan hutan dalam pendugaan luas bidang dasar tegakan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Rollet (1974) dalam Anonim (1978) yang dikutip Suhendang (1985) seperti di bawah ini :

…... (2) dimana xi adalah diameter tengah kelas dari kelas diameter ke-i, dan Ni adalah kerapatan pohon pada kelas diameter ke-i yang dapat dicari dengan persamaan (1), sedang p merupakan banyaknya kelas diameter.

3 Penentuan volume tegakan

Apabila vi adalah volume pohon pada diameter tengah kelas ke-i, sedang kerapatan pohon per hektar pada selang tersebut adalah Ni (didapat dari persamaan (1)), maka besarnya volume tegakan per hektar untuk kelas diameter ke-i adalah :

..…….. (3) Nilai vi dapat diperoleh dari tabel volume untuk diameter tengah xi.

Volume total per hektar dapat diperoleh dengan persamaan : ... (4) dimana p adalah banyaknya kelas diameter (Prihanto 1987).

4 Penentuan biomassa tegakan

Biomassa tegakan adalah jumlah biomassa pohon pada luasan tertentu dengan batas diameter tertentu. Jika biomassa rata-rata pohon dengan nilai tengah diameter Di adalah Bi, maka besarnya biomassa tegakan dapat ditentukan dengan persamaan :


(25)

dimana B = biomassa tegakan (kg/ha) dan p = banyaknya kelas diameter (Suhendang 1985).

Suhendang (1985) dan Prihanto (1987) mendapatkan fakta bahwa pendugaan potensi tegakan (kerapatan, luas bidang dasar, dan volume tegakan) dengan menggunakan model struktur tegakan memiliki keterandalan yang tinggi.

2.7. Permasalahan dalam Pemilihan Model

Apabila x1, x2, x3, … , xn adalah peubah acak bebas satu sama lain dan identik dengan sebaran tertentu, maka dalam pemilihan model ada tiga permasalahan yang dapat diidentifikasi (Kent 1979 dalam Suhendang 1985).

Permasalahannya adalah :

1 Memutuskan apakah fungsi sebaran tertentu merupakan sebaran yang cocok untuk data pengamatan yang dikumpulkan (uji kesesuaian model, goodness of fit).

2 Memilih anggota famili sebaran yang terbaik untuk dipakai sebagai model bagi sekumpulan data pengamatan, di antara sesama anggota famili sebaran tertentu.

3 Memilih anggota sebaran yang terbaik untuk dipakai sebagai model bagi sekumpulan data pengamatan, di antara beberapa famili sebaran.

2.8. Metode Kemungkinan Maksimum

Metode kemungkinan maksimum adalah salah satu cara yang dapat ditempuh dalam penyusunan penduga titik parameter suatu model sebaran. Cara ini dicetuskan oleh R.A. Fisher (1890 – 1962). Pendugaan parameter dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan nilai fungsi kemungkinan maksimum (L), yaitu fungsi kepekatan bersama (joint probability function) dari sekumpulan data pengamatan. Penduga parameter θ yang diperoleh dengan cara ini adalah nilai Ô yang membuat nilai L maksimum, artinya peluang untuk menemukan susunan data pengamatan x1, x2, … , xn dari populasi yang menyebar tertentu tersebut maksimum (Anderson dan Bancroft 1952 dalam Prihanto 1987).

Penggunaan metode kemungkinan maksimum dalam pemilihan model adalah pemakaian kriteria nilai L tersebut dalam menentukan kesesuaian suatu model terhadap sekumpulan data pengamatan. Secara prasangka (intuitif) bisa diterima bahwa terambilnya susunan contoh acak x1, x2, … , xn dari populasi yang


(26)

menyebar tertentu yang paling sesuai akan memiliki kemungkinan tertinggi (Prihanto 1987).

Penggunaan metode kemungkinan maksimum dalam pemilihan model telah dilakukan oleh Siswadi (1981) dalam Suhendang (1985) dalam memilih famili sebaran weibull, lognormal, dan gamma untuk contoh tersensor (censored samples). Suhendang (1985) juga menggunakan metode ini dalam pemilihan famili sebaran gamma, eksponensial negatif, lognormal, dan weibull, sebagai model penduga bagi struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah di Bengkunat, Propinsi Lampung.

Kaidah dalam penentuan model yang terbaik dari beberapa pilihan famili sebaran adalah dengan memilih famili sebaran yang memiliki nilai L tertinggi. Misalkan x1, x2, x3, … , xn adalah data pengamatan yang bebas satu sama lain yang diambil dari populasi yang menyebar tertentu, tetapi tidak diketahui sebarannya. Jika data pengamatan tersebut diduga mengikuti famili sebaran yang memiliki fungsi kepekatan f(x,Ôj), maka nilai-nilai fungsi kemungkinan

maksimum bagi contoh acak tersebut adalah :

……… (6) dimana Ôj adalah penduga kemungkinan maksimum bagi parameter θj(Prihanto

1987). Sementara itu, famili sebaran ke-k, yaitu f (x, θk) ditentukan sebagai famili sebaran terbaik bagi sekumpulan data pengamatan apabila :

….…... (7)

untuk p adalah banyaknya famili sebaran yang diikutsertakan dalam pemilihan model.

2.9. Ukuran Kemenjuluran Data

Bentuk atau sebaran segugus pengukuran paling baik ditayangkan melalui sebuah histogram. Suatu sebaran dikatakan setangkup atau simetrik bila sebaran itu dapat dilihat sepanjang suatu sumbu tegak sehingga kedua belahannya saling menutupi. Suatu sebaran yang tidak setangkup terhadap sumbu tegak dikatakan menjulur. Sebaran dikatakan menjulur ke kanan atau menjulur positif apabila memiliki ekor kanan yang panjang dibandingkan dengan ekor kiri yang jauh lebih


(27)

pendek, sedangkan sebaran yang menjulur ke kiri atau yang menjulur negatif adalah yang sebaliknya, yaitu apabila sebaran tersebut memiliki ekor kiri yang panjang dibandingkan dengan ekor kanan yang jauh lebih pendek (Walpole 1997). Metode perhitungan nilai skewness ada beberapa macam (Pasaribu 1983 dalam Ikhsan 1987) diantaranya :

1 Berdasarkan Modus

dimana :

 = harga rata-rata hitung dari sebaran kelas umur Mo = modus

s = standard deviasi

SK = nilai koefisien skewness 2 Berdasarkan Median

dimana :

Md = median

Kedua metode ini dikemukakan oleh Pearson 3 Berdasarkan Quartil

dimana :

Q3 = Kuartil ketiga Q1 = Kuartil Kesatu 4 Berdasarkan Momen

SK =  – Mo s

SK =

3( – Md) s


(28)

dimana :

SK = nilai Koefisien Skewness c = interval Kelas

Fi = luas areal pada umur ke-i k = banyaknya kelas umur n = ∑ Fi = luas total areal

U = simpangan antara titik tengah ke-i dengan titik tengah kelas pertengahan dibagi dengan interval kelas

s = standard deviasi

Perhitungan nilai skewness untuk sebaran kelas umur lebih mudah menggunakan cara ini.

Bagi sebaran yang setangkup, nilai tengah dan mediannya terletak pada posisi yang sama pada sumbu datar. Tetapi, bila sebarannya menjulur ke kanan, nilai yang besar di ekor kanan tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai kecil di ekor kiri, sehingga akibatnya nilai-nilai tengahnya lebih besar daripada mediannya. Sebaliknya, bila sebarannya menjulur ke kiri, maka nilai-nilai kecil di ekor kiri akan membuat nilai tengahnya lebih kecil daripada mediannya. Dalam hal ini, ukuran kemenjuluran nantinya akan didefinisikan dengan menggunakan perilaku antara nilai tengah dan median relatif terhadap simpangan bakunya (Walpole 1997).

Untuk sebaran yang setangkup sempurna, nilai tengah dan mediannya identik dan oleh karena itu SK bernilai nol. Bila sebarannya menjulur ke kiri, nilai tengahnya lebih kecil daripada mediannya, sehingga nilai SK negatif. Tetapi bila sebarannya menjulur ke kanan, nilai tengahnya lebih besar daripada mediannya, sehingga nilai SK positif. Secara umum, nilai SK terletak antara -3 dan +3 (Walpole 1997).

Pada dasarnya, nilai koefisien ini hanya dapat digunakan sebagai alat kontrol saja dan tidak dapat digunakan sebagai alat operasional di lapangan,


(29)

karena pengelolaan secara operasional tidak hanya melihat sebaran kelas umur saja, namun banyak menyangkut segala aspek pengelolaan lainnya, sehingga penggunaan nilai koefisien skewness ini hanya digunakan oleh pengambil keputusan sebagai alat kontrol terhadap suatu tindakan pengelolaan yang akan dilaksanakan di lapangan (Ikhsan 1987).


(30)

15

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2010 dan bertempat di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Cibadak, Sukabumi.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan hutan tanaman Pinus merkusii Jungh et de Vriese yang tidak diketahui umur tanamnya. Alat yang digunakan adalah pita ukur (meteran), tambang (20 meter), kompas, peta kerja, GPS GARMIN 60 CSX, alat tulis, kalkulator, serta komputer dengan software Microsoft Office Word 2007, software Microsoft Office Excel 2007, dan software MATLAB Release 2008b.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Jenis Data yang Dikumpulkan

a. Data primer merupakan data lapangan mengenai ukuran diameter pohon setinggi dada.

b. Data sekunder yang berupa data potensi fisik lapangan yang meliputi luas lahan, ketinggian tempat, potensi tegakan, dan suhu. Kemudian data keadaan lokasi (letak, register kelas hutan, keadaan geografis, dan keadaan sosial ekonomi), pencatatan, dan pengutipan dari sumber-sumber pustaka dan instansi terkait.

3.3.2. Cara Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengukur tegakan adalah metode jalur. Petak ukur yang disensus berukuran 1 hektar dengan panjang jalur 500 m dan lebar jalur 20 m. Diambil lima petak ukur yang dianggap dapat mewakili struktur tegakan hutan di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini diperlukan observasi lapang terlebih dahulu untuk menentukan petak contoh yang akan dipilih agar dapat mewakili seluruh tegakan yang akan digambarkan. Pemilihan lokasi petak ukur dilakukan secara purposive sampling.


(31)

3.4. Analisis Data

Tahapan analisis data dalam penelitian ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

1 Pemeriksaan data 2 Pemilihan model

3 Analisis nilai koefisien kemenjuluran

3.4.1. Pemeriksaan Data

Dalam langkah ini terlebih dahulu dilakukan pengelompokan terhadap data hasil pengukuran. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan pertimbangan menurut jenis yang dominan berdasarkan komposisi hutan tanaman tersebut. Atas dasar tersebut, pengelompokan data dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok jenis pinus, kelompok jenis lain, dan kelompok seluruh jenis.

Langkah selanjutnya dalam pemeriksaan data ditujukan untuk melihat secara garis besar bentuk sebaran jumlah pohon pada berbagai kelas diameternya. Pada tahapan ini data pengamatan dipetakan pada koordinat salib sumbu dengan diameter (D) sebagai absis dan kerapatan pohon per hektar pada masing-masing kelas diameter (f(D)) sebagai ordinat. Kelas diameter yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah kelas diameter dengan selang 2 cm, 4 cm, dan 6 cm untuk kemudian dipilih yang paling baik dalam menggambarkan bentuk sebarannya (dipilih selang paling kecil yang sudah dapat menghilangkan pencilan atau loncatan data pengamatan).

Pembentukan kelas dapat pula mengikuti kaidah-kaidah pembentukan sebaran frekuensi yang merupakan cara penyajian data dengan cara mengelompokkan data tersebut ke dalam beberapa kelas, yakni dengan memperhatikan hal-hal seperti selang kelas yang pertama harus memuat data terkecil dan selang kelas terakhir memuat data terbesar, tidak boleh ada data yang tidak termasuk ke dalam salah satu kelas, tidak boleh ada data yang termasuk dalam dua kelas sekaligus, dan yang terakhir selang kelas tidak boleh terlalu sedikit atau terlalu banyak.


(32)

3.4.2. Pemilihan Model

Pada tahap ini data pengamatan untuk setiap petak ukur dianalisis dengan menggunakan pendekatan famili sebaran. Semua model yang diikutsertakan dicobakan sebagai model penduga bagi struktur tegakan. Model yang diikutsertakan adalah famili sebaran normal, famili sebaran lognormal, famili sebaran gamma, dan famili sebaran eksponensial negatif. Pemilihan model terbaik dilakukan dengan cara kemungkinan maksimum. Ada tiga tahapan yang dikerjakan dalam pemilihan model dengan prosedur ini, yaitu :

1 Penduga titik bagi parameter famili sebaran yang diikutsertakan. 2 Penentuan nilai kemungkinan maksimum.

3 Penentuan model terpilih, yaitu dengan memilih model yang mempunyai nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi.

Cara pendugaan titik bagi parameter famili sebaran, penentuan nilai kemungkinan maksimum, dan pemilihan model terbaiknya dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1 Famili sebaran normal a Batasan

Peubah acak x dikatakan menyebar normal jika mempunyai fungsi kepekatan dengan bentuk :

……… (8) Parameter μ biasanya dikenal dengan sebutan parameter skala atau nilai tengah, sedang σ merupakan parameter bentuk atau simpangan baku. Nilai σ2 biasa disebut sebagai keragaman. Peubah acak x yang menyebar normal dapat dinotasikan dengan x~N(μ,σ2) (Hoog dan Craig 1978 dalam Prihanto 1987).

b Pendugaan titik bagi parameter μ dan σ

Jika contoh acak x1, x2, …, xn ditarik dari suatu populasi yang menyebar normal dengan parameter μ dan σ, maka penduga kemungkinan maksimum bagi parameter tersebut masing-masing adalah :


(33)

……… (9) ….…. (10) (Anderson dan Bancroft 1952 dalam Prihanto 1987).

c Fungsi kemungkinan maksimum

Contoh acak pada butir (b) di atas dimana ditarik dari populasi yang mempunyai fungsi kepekatan (8), maka akan mempunyai fungsi kemungkinan maksimum :

…..… (11) Dalam bentuk ln (logarithmic natural) fungsi kemungkinan maksimum tersebut menjadi :

…….. (12) dimana μ dan σ disesuaikan dengan nilai dugaan dari persamaan (9) dan (10) (Prihanto 1987).

2 Famili sebaran lognormal a Batasan

Peubah acak x dikatakan menyebar lognormal apabila y = ln x menyebar normal. Maka fungsi kepekatan peubah acak x tersebut menurut Johnson dan Kotz (1970) dalam Prihanto (1987) adalah :

…..… (13) Parameter μ dan σ biasanya dikenal dengan sebutan parameter skala dan parameter bentuk. Peubah acak x yang menyebar lognormal biasanya dinotasikan dengan x~LN(μ,σ).


(34)

b Penduga titik bagi parameter μ dan σ

Jika contoh acak x1, x2, … , xn merupakan contoh acak berukuran n yang diambil dari populasi yang menyebar lognormal, maka penduga titik bagi parameter μ dan σ (Prihanto 1987) adalah:

.……. (14)

…….. (15) c Fungsi kemungkinan maksimum

Jika x1, x2, … , xn adalah contoh acak berukuran n yang ditarik dari populasi yang menyebar lognormal, maka fungsi kemungkinan maksimum bagi sekumpulan contoh acak tersebut adalah :

…….. (16) Dalam bentuk ln, persamaan tersebut menjadi :

…….. (17) Nilai μ dan σ dalam persamaan ini disesuaikan dengan nilai dugaan yang didapat melalui persamaan (14) dan (15) (Prihanto 1987). 3 Famili sebaran gamma

a Batasan

Peubah acak x dikatakan menyebar gamma jika mempunyai fungsi kepekatan dengan bentuk :


(35)

dengan > 0 dan > 0, sedangkan

(Johnson dan Kotz 1970 dalam Prihanto 1987). Parameter β dan dalam persamaan tersebut berturut-turut disebut dengan parameter skala dan parameter bentuk. Peubah acak x yang menyebar gamma dengan parameter skala β dan parameter bentuk dapat dinotasikan dengan x∼G(β, ).

b Pendugaan titik bagi parameter

Jika x1, x2, … , xn adalah contoh acak berukuran n dari populasi yang menyebar gamma, maka penduga kemungkinan maksimum bagi parameter β dan dapat dicari sebagai berikut :

……. (19)

dan  = β atau β =  / ……. (20) Untuk nilai yang cukup besar, nilai Ψ( ) dapat didekati dengan

persamaan .

Penduga kemungkinan maksimum bagi dapat diperoleh melalui pendekatan empiris (Johnson dan Kotz 1970 dalam Prihanto 1987). Rumus pendekatan tersebut adalah :

…….. (21)

…….. (22) sedangkan y = ln(rata-rata hitung/rata-rata geometrik)

…….. (23) Menurut Siswadi (1981) dalam Suhendang (1985) menemukan kesalahan yang terjadi akibat pemakaian rumus pendekatan ini tidak lebih dari 0.0088% untuk 0 < y 0.5772 dan 0.0054% untuk 0.5772 < y 17.0000. Rumus pendekatan ini akan


(36)

digunakan dalam pendugaan parameter sebaran gamma dalam penelitian ini.

c Fungsi kemungkinan maksimum

Jika x1, x2, … , xn adalah contoh acak berukuran n yang berasal dari populasi yang menyebar gamma, maka fungsi kemungkinan maksimum bagi contoh acak tersebut adalah :

…….. (24) Dalam bentuk ln persamaan tersebut menjadi :

…….. (25) Nilai dan β diperoleh melalui persamaan (19), (21), dan (22) (Prihanto 1987).

4 Famili sebaran eksponensial negatif a Batasan

Peubah acak x dikatakan menyebar eksponensial negatif (atau ‘eksponensial’ saja) apabila mempunyai fungsi kepekatan dengan bentuk :

…….. (26) dimana γ > 0 (Johnson dan Kotz 1970 dalam Prihanto 1987). Peubah acak x yang menyebar eksponensial negatif dapat pula dinyatakan dengan x∼E(γ).

b Pendugaan titik bagi parameter

Jika contoh acak x1, x2, … , xn merupakan contoh acak berukuran n yang ditarik dari populasi yang menyebar


(37)

eksponensial negatif, maka penduga kemungkinan maksimum bagi parameter (Prihanto 1987) adalah :

= 1/() ... (27)

c Fungsi kemungkinan maksimum

Jika x1, x2, … , xn merupakan contoh acak berukuran n yang ditarik dari populasi yang menyebar eksponensial negatif, maka fungsi kemungkinan maksimum bagi sekumpulan contoh acak tersebut adalah :

…….. (28) Dalam bentuk ln persamaan (28) menjadi :

…….. (29) Nilai γ disesuaikan dengan nilai dugaan yang diperoleh melalui persamaan (27) (Prihanto 1987).

5 Prosedur pemilihan model

Jika contoh acak x1, x2, … , Xn diduga menyebar menurut famili sebaran ke-i, maka akan mempunyai fungsi kemungkinan maksimum L(fi, x), dan selanjutnya kriteria pemilihan modelnya adalah sebagai berikut :

= maks (L(fi,x), i = 1, 2, …, k), maka x menyebar Fj Jika L(fj,x)

≠ maks (L(fi,x), i = 1, 2, …, k), maka x menyebar selain Fj

…….. (30) Sedangkan k (=4) adalah banyaknya famili sebaran yang diikutsertakan dalam pemilihan model dan Fj merupakan famili sebaran ke-j. Karena ln L (fi,x) bersifat monoton terhadap L(fi,x), maka maks L(fi,x) akan terjadi bersamaan dengan maks ln L(fi,x), sehingga :


(38)

= maks (ln L(fi,x), i = 1, 2, …, k). maka x menyebar Fj Jika ln L(fj,x)

≠ maks (ln L(fi,x), i = 1, 2, …, k). maka x menyebar selain Fj

…….. (31) Namun demikian, dalam penyajiannya nilai fungsi kemungkinan maksimum diduga akan berbentuk –(ln L), maka penilaian pada akhirnya menjadi terbalik, dimana maksimum (L) sama dengan minimum (-(ln L)), sehingga :

= min (-(ln L(fi,x), i = 1, 2, …, k)). maka x menyebar Fj

Jika (–(ln L(fj,x))

≠ min (-(ln L(fi,x), i = 1, 2, …, k)). maka x menyebar selain Fj

…….. (32)

3.4.3. Analisis nilai koefisien kemenjuluran

Penyebaran data disekitar ukuran pemusatannya membentuk bermacam-macam pola, yakni simetris, menjulur ke kiri, dan menjulur ke kanan. Data yang penyebarannya simetris dicirikan oleh nilai median dan nilai tengah yang berimpit. Ukuran kemenjuluran data (skewness) dirumuskan dalam Koefisien Kemenjuluran Pearson (SK) sebagai berikut (Prihanto dan Muhdin 2006) :

SK = 3(μ – Me)/σ

Jika SK ≈ 0, maka data dikatakan menyebar secara simetris. Jika SK > 0 dikatakan menjulur positif atau ke kanan, dimana sebagian besar data mengumpul di ekor sebelah kiri, sehingga di ekor sebelah kanan data tidak terlalu banyak. Kondisi sebaliknya, jika SK < 0 dikatakan menjulur negatif atau ke kiri. Untuk data contoh, nilai tengah populasi μ diduga oleh rata-rata contoh () dan simpangan baku populasi σ didekati oleh simpangan baku contoh s (Prihanto dan Muhdin 2006).


(39)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak dan Luas

Secara administratif, Hutan Pendidikan Gunung Walat yang merupakan laboratorium lapang Institut Pertanian Bogor (IPB) termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibadak dan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lereng sebelah Utara termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibadak dan lereng sebelah Selatan termasuk dalam wilayah Kecamatan Cikembar. Sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan pembagian wilayahnya, Hutan Pendidikan Gunung Walat termasuk dalam wilayah BKPH Cikawung, KPH Sukabumi.

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi-Bogor (Desa Segog), 46 km dari simpang Ciawi, serta 12 km dari Sukabumi. Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada 106°48'27''BT sampai 106°50'29''BT dan -6°54'23''LS sampai -6°55'35''LS. Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 ha, terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 ha (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

Dalam SK Menhut No. 188/Menhut – II/2005 ditetapkan bahwa fungsi hutan kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaanya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB. KHDTK Hutan Pendidikan Gunung Walat mengemban tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan dan Pelatihan (Hutan Diklat). Selanjutnya Hutan Pendidikan Gunung Walat dikelola sebagai media implementasi Tridharma Fakultas Kehutanan IPB yang meliputi fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

4.2. Topografi

Hutan Pendidikan Gunung Walat yang terletak pada ketinggian 460 - 715 m dpl. merupakan punggung bukit yang memanjang dari ujung timur sampai ujung barat. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di


(40)

bagian selatan, sedangkan ke bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

Kondisi topografi pada areal Hutan Pendidikan Gunung Walat tersebut terdiri dari areal bergunung dengan luas areal lebih kurang 98 ha (56 %), areal berbukit lebih kurang 42 ha (24 %), areal bergelombang lebih kurang 23 ha (13 %), areal berombak lebih kurang 9 ha (5 %), dan areal datar lebih kurang 4 ha (2 %). Dengan tingkat kecuraman agak curam (15 – 25 %) sampai sangat curam (>40 %) (Hidayat 2003). Pada punggung bukit kawasan ini terdapat dua patok triangulasi KN 2.212 (670 m dpl.) dan KN 2.213 (720 m dpl.) (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

4.3. Tanah

Jenis tanah di Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah kompleks dari podsolik, latosol, dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan pada bagian barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst (gamping) (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

4.4. Vegetasi Hutan

Tegakan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat didominasi oleh tanaman damar (Agathis lorantifolia), pinus (P. merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla), dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), Dalbergia latifolia, Gliricidae sp, Shorea sp, dan akasia (Acacia mangium). Di Hutan Pendidikan Gunung Walat paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

Potensi tegakan hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat lebih kurang sebesar 10.855 m3 untuk kayu damar, 9.471 m3 untuk kayu pinus, 464 m3 untuk kayu puspa, 132 m3 untuk kayu sengon, dan 88 m3 untuk kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di Hutan Pendidikan Gunung Walat juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus jenis damar,


(41)

pinus, dan kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

4.5. Iklim dan Hidrologi

Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dalam Rencana Pembangunan Hutan Pendidikan Gunung Walat, daerah Hutan Pendidikan Gunung Walat termasuk dalam tipe B dengan nilai Q antara 14,31 – 33,30 %, serta dengan curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara 1600 – 4400 mm. Suhu udara minimum terjadi pada malam hari, yaitu lebih kurang 19 °C dan suhu maksimum terjadi pada siang hari, yaitu lebih kurang 29 °C (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

Dengan kondisi iklim yang dimiliki Hutan Pendidikan Gunung Walat, maka hutan ini dapat dikembangkan menjadi obyek studi hutan tropika basah yang cukup representatif. Selebihnya, fungsi hidrologi dari Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah sebagai sumber air bersih yang penting bagi masyarakat sekitarnya, terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas, dan Legok Pusar. Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat pun termasuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

4.6. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Sekitar Hutan

Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian, dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan lahan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program agroforestri Hutan Pendidikan Gunung Walat sebanyak 300 orang petani penggarap. Hasil-hasil pertanian dari lahan agroforestri adalah singkong, kapolaga, pisang, cabe, padi gogo, kopi, sereh, dan lain-lain. Jumlah ternak domba atau kambing di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat sebanyak 1875 ekor. Hijauan pakan ternak tersebut sebagian besar berasal dari Hutan Pendidikan Gunung Walat (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).

Kecamatan Cicantayan, khususnya desa Hegarmanah juga merupakan desa penghasil manggis dengan mutu eksport. Jumlah pohon manggis di desa


(42)

Hegarmanah sebanyak 12.800 batang dan akan terus bertambah. Untuk menjadi sentra produksi diperlukan 40.000 pohon (Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009).


(43)

28

5.1. Pemeriksaan Data

Pengamatan struktur tegakan dilakukan di lima petak ukur dengan luasan masing-masing satu hektar. Petak ukur yang terpilih merupakan petak ukur yang dianggap memiliki perbedaan strata tegakan hutan. Dalam setiap petak ukur, data hasil pengamatan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kolompok jenis pinus, kelompok jenis lain, dan kelompok seluruh jenis. Setiap kelompok ini dicobakan empat model famili sebaran, yaitu famili sebaran normal, famili sebaran lognormal, famili sebaran gamma, dan famili sebaran eksponensial negatif.

Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan dari ke lima petak ukur, didapatkan data hasil pengamatan terhadap pohon dengan pembagian berdasarkan masing-masing kelompok jenis sebagai berikut : (a) kelompok jenis pinus, terdiri dari 2 jenis pinus, yaitu P. merkusii, dan Pinus oocarpa, (b) kelompok jenis lain, hutan tanaman pinus di HPGW memiliki komposisi jenis yang cukup beranekaragam, diantaranya agatis (A. lorantifolia), caratan, cempedak (Artocarpus integer), cianjing, dara uncal, huru (Litsia chinensis), jambu bol (Eugenia malaccensis), jangkurang, kayu afrika (M. eminii), ki hu’ud, ki sireum (Eugenia cymosa), ki teja, ki terasi, kopo (Physalis angulata), laban (Vitex pubescens), mahoni (S. macrophylla), peuris, puspa (S. wallichii), ramogiling, simpur (Dillenia exelsa), sengon (P. falcataria), suren (Toona sureni), teureup,

dan beberapa jenis tanaman liar lainnya yang tidak diketahui jenisnya, (c) kelompok seluruh jenis, kelompok ini mencakup seluruh jenis pohon

berdasarkan hasil pengumpulan data yang diamati.

Pada Tabel 1 menunjukkan struktur tegakan dilihat dari kerapatan (N/ha) yang terdapat pada masing-masing petak ukur untuk kelompok jenis pinus, kelompok jenis lain, dan kelompok seluruh jenis.


(44)

29 Diameter

(cm) Pinus

Jenis Lain

Seluruh

Jenis Pinus

Jenis Lain

Seluruh

Jenis Pinus

Jenis Lain

Seluruh

Jenis Pinus

Jenis Lain

Seluruh

Jenis Pinus

Jenis Lain

Seluruh Jenis

10-19 5 144 149 1 16 17 11 11 22 17 118 135 4 69 73

20-29 17 60 77 24 4 28 38 18 56 43 23 66 9 22 31

30-39 58 12 70 82 9 91 60 47 107 60 4 64 35 9 44

40-49 74 1 75 94 6 100 69 33 102 53 1 54 39 3 42

50-59 49 1 50 53 4 57 37 20 57 38 0 38 42 2 44

60-69 26 0 26 29 0 29 11 16 27 12 0 12 10 0 10

70-79 6 0 6 3 0 3 6 3 9 2 0 2 3 1 4

80-89 0 0 0 1 1 2 0 1 1 2 0 2 1 0 1

90-99 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

100 up 1 0 1 0 1 1 2 1 3 1 0 1 0 0 0


(45)

Jika digambarkan ke dalam bentuk histogram, maka data kerapatan tegakan akan membentuk pola yang berbeda-beda dalam menggambarkan struktur tegakan untuk kelompok jenis pinus, kelompok jenis lain, dan kelompok seluruh jenis pada masing-masing petak ukurnya. Pola tersebut dapat berupa pola J terbalik atau pun pola yang mendekati pola lonceng telungkup (Gambar 1). Dari hasil penyajian histogram (Gambar 1) diketahui bahwa pola J terbalik lebih dominan ditemukan dalam menggambarkan struktur tegakan untuk kelompok jenis lain pada masing-masing petak ukurnya, sedangkan untuk pola yang mendekati pola lonceng telungkup lebih dominan ditemukan dalam menggambarkan struktur tegakan untuk kelompok jenis pinus pada masing-masing petak ukurnya.

Pola J terbalik biasanya terbentuk pada hutan tidak seumur, yaitu hutan yang memiliki beberapa kelompok umur atau ukuran (Arief 2001 dalam Patrycia 2010). Hutan tidak seumur biasanya memiliki pola penyebaran yang khas, menurut Daniel et al (1987) dalam Patrycia (2010), pada tegakan tidak seumur jumlah pohon tersebar berada dalam kelas diameter terkecil, jumlahnya menurun lebih kurang sebanding dengan bertambahnya ukuran.

Hal itu dikarenakan, individu pohon yang tumbuh pada masa awal pertumbuhan cukup banyak dan seiring berjalannya waktu energi yang diperlukan untuk pertumbuhan akan semakin besar, karena adanya persaingan antar individu untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup, air, mineral, dan pertahanan terhadap gangguan luar seperti hama dan penyakit. Persaingan seperti ini akan terus berlanjut dan terjadilah proses seleksi alam, yaitu kematian pada individu yang tidak dapat bersaing. Secara alami persaingan ini akan mengakibatkan pengurangan jumlah individu yang bertahan hidup pada setiap tingkat kelas diameter (Patrycia 2010).

Sementara itu, terlihat pula pada histogram, bentuk struktur tegakan untuk kelompok jenis pinus yang mendekati pola lonceng telungkup, hal ini sesuai dengan pernyataan Daniel et al (1992) dalam Payungallo (2010) mengenai bentuk distribusi pada tipe tegakan hutan tanaman (seumur) yang mendekati kurva bentuk lonceng telungkup, yaitu mendekati sebaran normal.


(46)

(a)

(b)


(47)

(d)

(e)

(f)

Gambar 1 Histogram kerapatan tegakan berdasarkan kelas diameternya untuk kelompok jenis pinus, kelompok jenis lain, dan kelompok seluruh jenis pada (a) PU 1, (b) PU 2, (c) PU 3, (d) PU 4, (e) PU 5, dan (f) Keseluruhan PU.


(48)

Pada Gambar 1, terlihat bahwa struktur tegakan kelompok jenis lain memiliki pola yang lebih tidak teratur daripada kelompok jenis pinus. Struktur tegakan pada kelompok jenis pinus terlihat lebih rapat satu sama lain dengan bentuk grafik yang hampir sama untuk setiap petak ukurnya, sedangkan untuk kelompok jenis lain walaupun lebih didominasi oleh grafik dengan pola J terbalik, namun masih ditemui pola yang mendekati pola lonceng telungkup pada salah satu petak ukurnya (PU 3). Pada histogram juga terlihat bahwa pada masing-masing petak ukur, jumlah individu lebih didominasi oleh kelompok jenis pinus. Hal ini berarti potensi untuk kelompok jenis pinus kedepannya akan lebih besar daripada kelompok jenis lain.

Pada kondisi normal, menurut Ermayani (2000), struktur tegakan yang lebih tua biasanya berada di atas struktur tegakan yang lebih muda. Namun pada tegakan hutan yang dijadikan petak ukur penelitian ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya, hal itu dikarenakan pada tegakan hutan di HPGW tidak diketahui secara pasti mengenai ketentuan tahun tanam pada masing-masing petak ukur.

5.2. Pemilihan Model

Walaupun Meyer et al (1952) dalam Prihanto (1987) telah mengungkapkan bahwa bentuk lonceng terbalik merupakan bentuk khas bagi struktur tegakan hutan seumur, namun bila model disajikan dalam bentuk famili sebaran, maka masih ada berbagai kemungkinan akan famili sebaran mana yang terbaik bagi struktur tegakan yang bersangkutan. Ditambah lagi dengan kondisi tegakan tiap petak ukur yang tidak diketahui umur tanamnya, memungkinkan hutan tanaman yang diperkirakan memiliki bentuk lonceng terbalik mengalami penyimpangan, atau mungkin dengan kondisi hutan yang tanpa penjarangan dan tanpa penebangan, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan bentuk struktur tegakan.

Dalam pendugaan model struktur tegakan untuk setiap famili sebaran menggunakan parameter-parameter yang berbeda. Parameter-parameter tersebut yang kemudian akan digunakan untuk mendapatkan nilai peluang pada kelas diameter yang terdapat pada Lampiran 5-22. Parameter-parameter yang digunakan pada setiap model famili sebaran dapat dilihat pada Tabel 2.


(49)

Tabel 2 Parameter sebaran pada setiap model famili sebaran di masing-masing petak ukur Petak Ukur Kelompok Jenis Parameter Sebaran

Normal Lognormal Gamma Eks.

Negatif

µ σ L σL α β θ

Petak Ukur 1

Pinus 45.1186 12.9465 3.7654 0.3036 11.5574 3.9039 45.1186

Jenis Lain 18.5642 6.2837 2.8713 0.3092 10.1852 1.8227 18.5642 Seluruh Jenis 32.3678 16.7957 3.3361 0.5426 3.7029 8.7413 32.3678 Petak

Ukur 2

Pinus 44.2153 11.8999 3.7518 0.2789 13.5762 3.2568 44.2153

Jenis Lain 32.2927 20.3053 3.3054 0.5821 3.1080 10.3901 32.2927 Seluruh Jenis 42.7295 13.8148 3.6962 0.3622 8.6775 4.9242 42.7295 Petak

Ukur 3

Pinus 41.0940 14.1412 3.6526 0.3703 8.0648 5.0955 41.0940

Jenis Lain 41.1267 15.5423 3.6381 0.4169 6.5302 6.2980 41.1267 Seluruh Jenis 41.1068 14.7044 3.6469 0.3887 7.3849 5.5663 41.1068 Petak

Ukur 4

Pinus 39.4737 14.2940 3.6074 0.3802 7.4949 5.2668 39.4737

Jenis Lain 15.8562 5.5307 2.7137 0.3035 10.1935 1.5555 15.8562 Seluruh Jenis 30.2540 16.4086 3.2585 0.5607 3.4673 8.7254 30.2540 Petak

Ukur 5

Pinus 44.9720 12.4305 3.7612 0.3196 11.3258 3.9708 44.9720

Jenis Lain 19.6698 10.6077 2.8739 0.4329 4.9147 4.0022 19.6698 Seluruh Jenis 34.2008 17.1218 3.3835 0.5754 3.5194 9.7177 34.2008

Pemilihan model untuk mengetahui pola struktur tegakan di lapangan dilakukan dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum, yaitu dengan memilih famili sebaran yang mempunyai nilai fungsi kemungkinan maksimum tertinggi sebagai model penduga terbaik bagi struktur tegakan yang bersangkutan.

Hasil dari pengamatan yang dilakukan pada setiap petak ukur untuk masing-masing famili sebaran menunjukkan komposisi nilai fungsi kemungkinan (L) yang berbeda.

Tabel 3 Komposisi nilai fungsi kemungkinan maksimum (-(ln L)) untuk setiap famili sebaran pada masing-masing petak ukur kelompok jenis pinus Petak Ukur Normal Lognormal Gamma Eks. Negatif

(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) Petak 1 939.2 2 943.8 3 938.1 1 1135.0 4 Petak 2 1121.9 3 1120.9 2 1117.1 1 1379.3 4 Petak 3 951.9 2 953.8 3 947.3 1 1103.5 4 Petak 4 930.0 3 925.0 2 921.5 1 1066.0 4 Petak 5 563.3 1 577.1 3 569.3 2 687.3 4 Keterangan : (1) Nilai fungsi kemungkinan maksimum ; (2) Nomor urut terbesar


(50)

Tabel 4 Komposisi nilai fungsi kemungkinan maksimum (-(ln L)) untuk setiap famili sebaran pada masing-masing petak ukur kelompok jenis lain Petak Ukur Normal Lognormal Gamma Eks. Negatif

(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) Petak 1 710.0 3 678.9 1 685.9 2 854.8 4 Petak 2 181.6 3 171.0 1 172.6 2 183.5 4 Petak 3 624.4 2 626.8 3 621.7 1 707.5 4 Petak 4 456.9 3 428.8 1 436.3 2 549.5 4 Petak 5 400.7 3 365.8 1 374.2 2 421.8 4 Keterangan : (1) Nilai fungsi kemungkinan maksimum ; (2) Nomor urut terbesar

Tabel 5 Komposisi nilai fungsi kemungkinan maksimum (-(ln L)) untuk setiap famili sebaran pada masing-masing petak ukur kelompok seluruh jenis Petak Ukur Normal Lognormal Gamma Eks. Negatif

(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) Petak 1 1925.0 3 1880.7 1 1882.0 2 2032.6 4 Petak 2 1330.7 1 1348.2 3 1333.7 2 1564.4 4 Petak 3 1577.1 2 1581.9 3 1570.1 1 1811.0 4 Petak 4 1577.1 3 1532.5 1 1534.7 2 1649.2 4 Petak 5 1060.6 3 1057.7 2 1050.9 1 1128.5 4 Keterangan : (1) Nilai fungsi kemungkinan maksimum ; (2) Nomor urut terbesar

Pada penyajian Tabel 3, 4, dan 5, nilai fungsi kemungkinan maksimum disajikan dalam bentuk –(ln L), sehingga penilaian menjadi terbalik, dimana maksimum (L) akan sama dengan minimun (-(ln L)). Berdasarkan hasil dari pengamatan, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan yang berbeda dalam hal urutan besarnya nilai L.

Pada kelompok jenis pinus, famili sebaran gamma memiliki nilai L tertinggi pada hampir setiap petak ukur yang dibuat, kemudian disusul oleh famili sebaran normal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa famili sebaran gamma merupakan model penduga terbaik bagi struktur tegakan hutan yang bersangkutan untuk kelompok jenis pinus. Kemudian, untuk kelompok jenis lain, famili sebaran lognormal memiliki nilai L tertinggi pada hampir setiap petak ukur yang dibuat, kemudian disusul oleh famili sebaran gamma. Sehingga dapat dikatakan bahwa famili sebaran lognormal merupakan model penduga terbaik bagi struktur tegakan hutan yang bersangkutan untuk kelompok jenis lain.


(51)

Perbandingan nilai-nilai penduga kemungkinan maksimum setiap kelompok jenis dalam bentuk grafik batang dapat dilihat pada Gambar 2.

(a)

(b)

(c)

Gambar 2 Grafik batang penduga kemungkinan maksimum pada: (a) kelompok jenis pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis.


(52)

Sementara itu, pada kelompok seluruh jenis, nilai L tertinggi dimiliki oleh famili sebaran gamma dan lognormal (Tabel 5), kemudian disusul oleh famili sebaran normal dan famili sebaran eksponensial negatif. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa famili sebaran lognormal dan famili sebaran gamma merupakan model penduga terbaik bagi struktur tegakan hutan yang bersangkutan untuk kelompok seluruh jenis.

Prihanto (1987) mengungkapkan gambaran mengenai keempat famili sebaran yang dicobakan sebagai berikut :

1 Famili sebaran normal

Famili sebaran normal memiliki model yang cukup sederhana jika dibanding dengan famili sebaran lainnya. Selama ini struktur tegakan hutan tanaman (seumur) selalu dianggap mengikuti model famili sebaran normal. Pendugaan parameter famili sebaran ini relatif mudah dan sudah banyak dikenal. Dalam penerapan pemakaiannya, famili sebaran normal memiliki peubah acak normal baku (z) dimana sebaran peluangnya dapat dicari melalui bantuan tabel. Transformasi peubah acak x ke peubah acak normal baku z adalah , sehingga :

2 Famili sebaran lognormal

Model famili sebaran ini merupakan model konversi peubah acak yang menyebar normal. Oleh karena itu, pendugaan parameter famili sebaran ini hampir sama dengan pendugaan parameter famili sebaran normal. Perbedaannya adalah terdapat pada transformasi peubah acak ke dalam bentuk ln (logaritmik natural), sehingga dalam hal ini menurunkan kepraktisannya dibanding pada famili sebaran normal.

3 Famili sebaran gamma

Famili sebaran gamma merupakan model yang paling rumit diantara empat famili sebaran yang diikutsertakan dalam pemilihan model


(53)

ini. Kerumitannya disamping tidak praktis juga memungkinkan terjadinya kesalahan-kesalahan. Sumber kesalahan dapat terjadi pada pendugaan parameter bentuk yang menggunakan pendekatan empiris, perhitungan Г , serta pengaruh pembulatan yang lebih besar karena banyaknya fungsi-fungsi yang harus dilalui dalam penyusunan model.

4 Famili sebaran eksponensial negatif

Famili sebaran eksponensial negatif sebenarnya masih merupakan anggota famili sebaran gamma. Untuk parameter , maka fungsi kepekatan sebaran gamma identik dengan fungsi kepekatan famili sebaran eksponensial negatif dengan sepadan dengan . Oleh karena itu, L gamma selalu ≥ L eksponensial negatif. L gamma sama dengan L eksponensial negatif pada saat parameter , dan akan selalu lebih besar dari L eksponensial negatif untuk tidak sama dengan 1. Pengikutsertaan famili sebaran eksponensial negatif dalam pemilihan model ini diharapkan dapat menggantikan famili sebaran gamma yang sangat rumit apabila famili sebaran gamma terpilih sebagai model terbaik dan selisih L gamma dan L eksponensial negatif relatif kecil. Hal ini mengingat bahwa famili sebaran eksponensial negatif memiliki model yang sangat sederhana (berparameter tunggal) dan praktis dalam penyusunan modelnya. Tetapi pada kenyataannya, L eksponensial negatif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan L gamma maupun kedua famili sebaran lainnya. Nilai L eksponensial negatif yang lebih kecil tersebut disebabkan oleh adanya pemaksaan besarnya parameter . Parameter untuk famili sebaran eksponensial negatif memiliki nilai yang sama dengan rata-rata. Walaupun demikian, bentuk kurva famili sebaran eksponensial negatif berbeda dengan famili sebaran normal. Bentuk famili sebaran normal menyerupai lonceng telungkup, sedangkan eksponensial negatif mempunyai bentuk J terbalik (Walpole 1992 dalam Payungallo 2010). Dari gambaran-gambaran tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa famili sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif memiliki kualitas yang relatif sama sebagai penduga bagi struktur tegakan di HPGW. Famili sebaran yang pada mulanya dianggap rumit, seperti pada famili


(54)

sebaran gamma, sudah tidak lagi dianggap sebagai masalah yang berat seiring dengan tersedianya software-software pembantu, dalam penelitian ini software yang dimaksud adalah software MATLAB Release 2008b.

Berdasarkan hasil dari penyajian jumlah peringkat yang berasal dari komposisi fungsi kemungkinan maksimum untuk setiap famili sebaran pada seluruh kelompok jenis (Tabel 6), dapat ditarik kesimpulan bahwa model famili sebaran yang terbaik akan terpilih berdasarkan jumlah peringkat yang terkecil. Dalam hal ini dapat berarti bahwa model yang terpilih sebagai model yang terbaik dalam menggambarkan struktur tegakan kelompok jenis pinus dan kelompok seluruh jenis adalah model famili sebaran gamma, sementara model yang terbaik dalam menggambarkan struktur tegakan kelompok jenis lain adalah model famili sebaran lognormal.

Tabel 6 Jumlah peringkat dari komposisi fungsi kemungkinan maksimum (-(ln L)) untuk setiap famili sebaran pada kelompok jenis pinus, jenis lain, dan seluruh jenis

Kelompok Jenis Jumlah Peringkat pada Famili Sebaran

Normal Lognormal Gamma Eks. Negatif

Pinus 11 13 6 20

Jenis Lain 14 7 9 20

Seluruh Jenis 12 10 8 20

Total 37 30 23 60

Penyajian model dalam bentuk fungsi kepekatan sebaran terlampir pada Lampiran 5-22. Perbandingan bentuk struktur tegakan hutan pada masing-masing petak ukur untuk setiap kelompok jenis yang dibuat berdasarkan famili sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif akan digambarkan secara grafis pada Gambar 3-8. Dari gambar tersebut terlihat bahwa kurva fungsi kepekatan sebaran normal, lognormal, dan gamma memiliki bentuk yang relatif sama, terutama antara fungsi kepekatan sebaran lognormal dan gamma. Sedangkan kurva fungsi kepekatan sebaran eksponensial negatif memiliki bentuk yang jauh berbeda dengan ketiga sebaran lainnya yang berarti model eksponensial negatif kurang dapat menggambarkan kondisi lapang yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh pemaksaan besarnya parameter bentuk . Padahal kenyataannya besarnya berkisar antara 3.1080 sampai 13.5762.


(55)

Berikut adalah gambar perbandingan antara data aktual dengan model pada petak ukur 1.

(a)

(b)

(c)

Gambar 3 Perbandingan data aktual dengan model (Model-model Famili Sebaran Normal, Lognormal, Gamma, dan Eksponensial Negatif) pada: (a) kelompok pinus, (b) kelompok jenis lain, dan (c) kelompok seluruh jenis di petak ukur 1.


(1)

negatif pada petak ukur 5 kelompok seluruh jenis

Kelas Diameter (xa-xb)

untuk famili sebaran :

Normal Lognormal Gamma Eks. Neg.

less 0.0151 0.0159 0.0180 0.0456

11.5 0.0388 0.0628 0.0565 0.0836

15.5 0.0514 0.0951 0.0794 0.0744

19.5 0.0644 0.1093 0.0939 0.0662

23.5 0.0766 0.1089 0.0996 0.0589

27.5 0.0862 0.1000 0.0981 0.0524

31.5 0.0918 0.0874 0.0916 0.0466

35.5 0.0927 0.0742 0.0821 0.0414

39.5 0.0887 0.0617 0.0712 0.0369

43.5 0.0803 0.0508 0.0602 0.0328

47.5 0.0689 0.0415 0.0498 0.0292

51.5 0.0559 0.0337 0.0405 0.0260

55.5 0.0430 0.0273 0.0324 0.0231

59.5 0.0314 0.0222 0.0256 0.0205

63.5 0.0216 0.0180 0.0200 0.0183

67.5 0.0142 0.0146 0.0154 0.0163

71.5 0.0088 0.0119 0.0118 0.0145

75.5 0.0051 0.0097 0.0090 0.0129

79.5 0.0029 0.0079 0.0068 0.0114

83.5 0.0015 0.0065 0.0051 0.0102

87.5 0.0007 0.0053 0.0038 0.0091

more 0.0002 0.0023 0.0015 0.0041

Keterangan :

Fungsi Kepekatan Sebaran : a. Normal :

b. Lognormal : c. Gamma : d. Eks. Neg. :


(2)

74

Lampiran 20 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada keseluruhan petak ukur kelompok jenis pinus

Kelas Diameter (xa-xb)

untuk famili sebaran :

Normal Lognormal Gamma Eks. Neg.

less 0.0022 0.0000 0.0001 0.0382

11.5 0.0077 0.0005 0.0017 0.0713

15.5 0.0148 0.0057 0.0085 0.0650

19.5 0.0260 0.0231 0.0245 0.0592

23.5 0.0418 0.0537 0.0495 0.0539

27.5 0.0616 0.0872 0.0780 0.0491

31.5 0.0829 0.1119 0.1025 0.0448

35.5 0.1022 0.1222 0.1172 0.0408

39.5 0.1152 0.1189 0.1201 0.0371

43.5 0.1189 0.1064 0.1126 0.0338

47.5 0.1122 0.0896 0.0982 0.0308

51.5 0.0969 0.0721 0.0804 0.0281

55.5 0.0765 0.0559 0.0625 0.0256

59.5 0.0553 0.0423 0.0465 0.0233

63.5 0.0366 0.0313 0.0332 0.0212

67.5 0.0221 0.0228 0.0229 0.0193

71.5 0.0122 0.0165 0.0153 0.0176

75.5 0.0062 0.0118 0.0100 0.0160

79.5 0.0029 0.0083 0.0064 0.0146

83.5 0.0012 0.0059 0.0040 0.0133

87.5 0.0005 0.0041 0.0024 0.0121

91.5 0.0002 0.0029 0.0014 0.0111

95.5 0.0001 0.0020 0.0008 0.0101

99.5 0.0000 0.0014 0.0005 0.0092

103.5 0.0000 0.0010 0.0003 0.0084

more 0.0000 0.0004 0.0001 0.0039

Keterangan :

Fungsi Kepekatan Sebaran : a. Normal :

b. Lognormal : c. Gamma : d. Eks. Neg. :


(3)

negatif pada keseluruhan petak ukur kelompok jenis lain

Kelas Diameter (xa-xb)

untuk famili sebaran :

Normal Lognormal Gamma Eks. Neg.

less 0.0309 0.0397 0.0418 0.0583

11.5 0.0750 0.1356 0.1165 0.1031

15.5 0.0912 0.1676 0.1398 0.0873

19.5 0.1030 0.1571 0.1402 0.0740

23.5 0.1080 0.1285 0.1256 0.0627

27.5 0.1053 0.0979 0.1042 0.0531

31.5 0.0954 0.0717 0.0818 0.0450

35.5 0.0803 0.0514 0.0615 0.0381

39.5 0.0628 0.0365 0.0447 0.0323

43.5 0.0456 0.0258 0.0316 0.0273

47.5 0.0308 0.0182 0.0219 0.0232

51.5 0.0193 0.0129 0.0149 0.0196

55.5 0.0113 0.0092 0.0099 0.0166

59.5 0.0061 0.0066 0.0065 0.0141

63.5 0.0031 0.0047 0.0043 0.0119

67.5 0.0014 0.0034 0.0028 0.0101

71.5 0.0006 0.0025 0.0018 0.0086

75.5 0.0003 0.0018 0.0011 0.0073

79.5 0.0001 0.0013 0.0007 0.0061

83.5 0.0000 0.0010 0.0004 0.0052

87.5 0.0000 0.0007 0.0003 0.0044

91.5 0.0000 0.0005 0.0002 0.0037

95.5 0.0000 0.0004 0.0001 0.0032

99.5 0.0000 0.0003 0.0001 0.0027

103.5 0.0000 0.0002 0.0000 0.0023

107.5 0.0000 0.0002 0.0000 0.0019

111.5 0.0000 0.0001 0.0000 0.0016

more 0.0000 0.0001 0.0000 0.0007

Keterangan :

Fungsi Kepekatan Sebaran : a. Normal :

b. Lognormal : c. Gamma : d. Eks. Neg. :


(4)

76

Lampiran 22 Nilai peluang pada berbagai kelas diameter untuk penggunaan famili sebaran normal, lognormal, gamma, dan eksponensial negatif pada keseluruhan petak ukur kelompok seluruh jenis

Kelas Diameter (xa-xb)

untuk famili sebaran :

Normal Lognormal Gamma Eks. Neg.

less 0.0122 0.0075 0.0108 0.0439

11.5 0.0325 0.0401 0.0401 0.0808

15.5 0.0450 0.0759 0.0653 0.0723

19.5 0.0588 0.1004 0.0856 0.0647

23.5 0.0725 0.1094 0.0977 0.0579

27.5 0.0844 0.1066 0.1015 0.0518

31.5 0.0927 0.0968 0.0984 0.0463

35.5 0.0961 0.0841 0.0905 0.0415

39.5 0.0940 0.0710 0.0799 0.0371

43.5 0.0867 0.0587 0.0682 0.0332

47.5 0.0755 0.0480 0.0566 0.0297

51.5 0.0620 0.0388 0.0459 0.0266

55.5 0.0481 0.0312 0.0366 0.0238

59.5 0.0352 0.0251 0.0286 0.0213

63.5 0.0243 0.0201 0.0221 0.0190

67.5 0.0158 0.0161 0.0168 0.0170

71.5 0.0097 0.0129 0.0126 0.0152

75.5 0.0056 0.0103 0.0094 0.0136

79.5 0.0031 0.0083 0.0070 0.0122

83.5 0.0016 0.0067 0.0051 0.0109

87.5 0.0008 0.0054 0.0037 0.0098

91.5 0.0004 0.0043 0.0027 0.0087

95.5 0.0002 0.0035 0.0019 0.0078

99.5 0.0001 0.0028 0.0014 0.0070

103.5 0.0000 0.0023 0.0010 0.0063

107.5 0.0000 0.0019 0.0007 0.0056

111.5 0.0000 0.0015 0.0005 0.0050

more 0.0000 0.0007 0.0002 0.0023

Keterangan :

Fungsi Kepekatan Sebaran : a. Normal :

b. Lognormal : c. Gamma : d. Eks. Neg. :


(5)

77 Sumber : Quickbird 2007

1

3 4

5 2


(6)

78 Lampiran 24 Peta Kontur Hutan Pendidikan Gunung Walat

Sumber : Quickbird 2007

1

3 4

5 2