dapat dikatakan menderita anemia gizi besi apabila kadar hemoglobinnya kurang dari 11 gdl, umur 6-14 tahun kurang dari 12 gdl, dewasa laki-laki kurang dari 13 gdl,
dewasa perempuan tidak hamil kurang dari 12 gdl, dan dewasa perempuan hamil kurang dari 11 gdl Soekirman, 2000.
2.2. Luasan Masalah Anemia Gizi Besi
Iron Deficiency Anemia
IDA atau lebih dikenal dengan sebutan anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi yang penting di Indonesia. Masalah anemia
gizi besi ini tidak hanya dijumpai dikalangan rawan seperti anak-anak, ibu hamil, dan ibu yang sedang menyusui, tetapi juga diantara orang dewasa terutama golongan
karyawan dengan penghasilan rendah Djojosoebagio,
et al.
1986. Menurut De Maeyer dan Adielstegman 1985 dalam Ross dan Horton 1998, pada tahun 1985,
sekitar 30 persen penduduk dunia 1.3 milyar menderita anemia gizi besi. Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian 1992,
berdasarkan hasil-hasil penelitian di beberapa tempat di Indonesia pada tahun 1980- an menunjukan bahwa prevalensi anemia pada wanita dewasa tidak hamil berkisar
30-40, pada wanita hamil 50-70, anak balita 30-40, anak sekolah 25-35, pria dewasa 20-30 dan pekerja berpenghasilan rendah 30-40. Sedangkan menurut
Soekirman et al. 2003 menyatakan bahwa prevalensi anemia gizi besi mengalami penurunan dari 50,9 pada tahun 1995 menjadi 40 pada tahun 2001. Begitupun
pada wanita usia 14-44 tahun mengalami penurunan dari 39,5 pada tahun 1995 menjadi 27,9 pada tahun 2001. Akan tetapi, untuk anak dibawah usia lima tahun
Universitas Sumatera Utara
angka anemia gizi besi meningkat dari 40,0 pada tahun 1995 menjadi 48,1 pada tahun 2001.
2.3. Penyebab Anemia Gizi Besi
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian 1992, anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor
penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah, kebutuhan naik serta kehilangan darah,
sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe zat besi dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal
ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan. Di dalam tubuh, zat
besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut mioglobin di dalam
sel-sel otot. Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel
tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot. Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari
hasil perusakan sel-sel darah merah hemolisis, besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari saluran pencernaan Soekirman, 2000.
Dari ketiga sumber tersebut, besi hasil hemolisis merupakan sumber utama. Pada manusia yang normal, kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi
hemolisis, dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan. Di dalam tubuh manusia,
Universitas Sumatera Utara
jumlah zat besi sangat bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari
4000 mg dengan sekitar 2500 mg ada dalam hemoglobin. Sebagian zat besi dalam tubuh sekitar 1000 mg disimpan di dalam hati dengan bentuk ferritin. Pada saat
konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat besi ferritin dikeluarkan untuk memproduksi hemoglobin Winarno, 2002.
Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang
sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik
heme iron
jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan Dep Kes. RI, 1998 dalam Hulu, 2004. Menurut Almatsier 2001, pada umumnya, besi di
dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang,
dan besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.
Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor penyebab tidak langsung, yang meliputi praktek pemberian makanan yang kurang
baik, komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan kesehatan yang rendah,
terdapatnya zat penghambat absorbsi, serta keadaan sosial ekonomi masyarakat rendah Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian, 1992. Keadaan sosial
ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Winarno 1993, tingkat ekonomi pendapatan yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah, sebagian besar
pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan yang mengandung banyak
karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan dapat berdampak pada terjadinya anemia
gizi besi. Seperti yang telah disebutkan bahwa salah satu penyebab anemia gizi besi
adalah adanya zat penghambat absorbsi. Menurut Almatsier 2001, terdapat beberapa makanan yang mengandung zat penghambat absorbsi besi diantaranya adalah
beberapa jenis sayuran yang mengandung asam oksalat, beberapa jenis serealia dan protein kedelai yang mengandung asam fitat, serta teh dan kopi yang mengandung
tanin. Bila besi tubuh tidak terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi pada waktu makan. Selain itu, kalsium dosis tinggi berupa suplemen juga dapat
menghambat absorbsi besi. Dalam kaitannya dengan mekanisme absorbsi, dikenal ada dua macam besi
dalam makanan, yaitu besi
heme
dan besi non
heme
. Besi
heme
diambil oleh sel mukosa dan dipecah di dalam sel oleh suatu enzim pembelah
heme
. Adapun besi
non heme
mungkin diambil dalam bentuk ion oleh penerima pada sel mukosa usus atau oleh pengangkut protein yang berada di permukaan luminal sel. Absorbsi besi
non heme
sangat dipengaruhi oleh status gizi serta oleh berbagai faktor makanan. Sedangkan absorbsi besi
heme
tidak dipengaruhi status gizi serta tidak dipengaruhi
Universitas Sumatera Utara
oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorbsi besi
non heme
Almatsier, 2001.
2.4. Dampak Anemia Gizi Besi