Produksi Konsentrat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Serta Analisis Sifat Fisikokimia dan Fungsionalnya
I. PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah salah satu negara yang menggunakan berbagai macam
produk pekatan kedelai sebagai bahan baku pengemulsi daging tiruan,
nugget,
sosis, kornet, dan bahan pangan lainnya. Namun, umumnya bahan baku pekatan
kedelai yang digunakan tersebut masih diimpor karena belum ada industri dalam
negeri yang memproduksi pekatan kedelai tersebut dalam skala yang cukup besar.
Hal ini disebabkan oleh kontinuitas bahan baku kedelai dari dalam negeri yang
tidak memadai. Kebutuhan kedelai pada tahun 2004 saja sudah mencapai 2,02 juta
ton, sedangkan produksi dalam negeri baru 0,71 juta ton dan kekurangannya
terpaksa diimpor. Hanya sekitar 35% dari total kebutuhan yang dapat dipenuhi
dari produksi dalam negeri (Departemen Pertanian, 2005)
a.
Harga kedelai yang melambung di Indonesia belakangan ini pun
menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Salah satu penyebab meningkatnya
harga berbagai produk kedelai ini adalah produktivitas kedelai yang rendah di
Indonesia dan tidak sebanding dengan konsumsinya. Hingga saat ini Indonesia
masih mengandalkan impor kedelai dari negara lain untuk memenuhi konsumsi
kedelai dalam negeri. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2005)
b,
rata-rata impor kedelai tahun 2002-2004 saja sudah mencapai satu juta ton.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya
akan potensi alamnya.
Sebagai negara tropis dengan curah hujan yang merata hampir sepanjang tahun,
terdapat keanekaragaman hayati Indonesia yang memiliki potensi. Salah satunya
adalah tanaman kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) yang merupakan
tanaman asli dari Papua New Guinea dan hanya tumbuh di daerah ekuator yang
bercurah hujan tinggi (Anonim, 2008)
a.
Tanaman kecipir (Psophocarpus tetragonolobus
(L.) DC) dikenal
masyarakat karena buah mudanya sering dibuat sayur dan bahan pecel. Tanaman
kecipir sangat mudah untuk dibudidayakan, namun belum diusahakan dengan
sungguh-sungguh. Masyarakat hanya menanamnya sebagai penutup pagar. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat akan manfaat dan cara
pengolahan biji kecipir (Nurchasanah, 2007). Padahal produksi tanaman kecipir
di tanah air lebih banyak jika dibandingkan dengan produksi kacang tanah dan
(2)
kedelai karena kemudahannya tumbuh di berbagai jenis lahan. Produksi biji
kecipir dapat mencapai 2380 kg/hektar, sedangkan produksi kacang tanah dan
kedelai masing-masing hanya 1000 kg/hektar dan 900 kg/hektar (Rismunandar,
1986).
Hampir semua bagian dari tanaman kecipir dapat dimanfaatkan dan
dikonsumsi. Daun dan buah mudanya dapat dijadikan sayuran, sedangkan akarnya
menggelembung membentuk
umbi
yang dapat dimakan. Bijinya yang sudah tua
dapat diolah menjadi tempe. Biji dari kecipir merupakan salah satu sumber protein
kacang-kacangan yang sedang ramai diteliti saat ini karena kandungan proteinnya
yang tinggi yaitu sekitar 29.8%-39.0%, hampir sama dengan kandungan protein
kedelai sekitar 30-40% (National Academy of Science, 1981 dan Winarno, 1974).
Menurut Ekpenyong (1978), biji kecipir memiliki komposisi asam amino yang
hampir sama dengan kedelai, dengan metionin dan sistein sebagai asam amino
pembatasnya. Salah satu kelebihan lain yang dimiliki oleh biji kecipir adalah
aktivitas lipoksigenasenya yang lebih rendah daripada kedelai yang berarti bahwa
akan menghasilkan bau langu yang lebih sedikit daripada kedelai selama
penanganan, penyimpanan dan pemrosesan (Van Den et al.,1981; de Lumen et al.,
1981).
Sebagai negara berkembang yang diikuti oleh perkembangan industri
pangannya, Indonesia perlu mengembangkan sumber protein alternatif sebagai
pengganti sumber protein hewani dan sumber protein nabati dari kedelai. Selama
ini, kedelai adalah salah satu pengganti sumber protein hewani yang unggul dan
banyak digunakan di Indonesia. Namun, seperti telah dikatakan sebelumnya,
produktivitas kedelai di Indonesia sangat rendah sehingga tak dapat memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Biji kecipir yang memiliki komposisi protein yang menyerupai kedelai dan
dapat dibudidayakan dengan mudah di Indonesia mempunyai potensi yang sangat
besar sebagai sumber protein hayati alternatif untuk menggantikan produk pekatan
kedelai. Biji kecipir dapat dijadikan produk pekatan protein untuk diaplikasikan
pada berbagai jenis produk pangan. Menurut CODEX (1989), produk pekatan
protein terdiri dari tepung protein (50-65% protein), konsentrat protein (65-90%
protein), dan isolat protein (lebih dari 90% protein). Konsentrat protein
(3)
merupakan salah satu produk pekatan protein yang banyak dimanfaatkan pada
produk
bakery, olahan daging dan
dairy product (FAO, 2009). Selain itu,
konsentrat protein memiliki sifat fungsional spesifik yang tidak dapat diperoleh
dari tepung kedelai serta memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan
dengan protein isolat (FAO, 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai berbagai sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat protein
biji kecipir.
B. PERUMUSAN MASALAH
Penelitian mengenai sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat
biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) ini dilakukan agar diketahui
pengolahan yang tepat dalam pemanfaatan konsentrat biji kecipir. Konsentrat
protein biji kecipir berpotensi digunakan sebagai sumber protein alternatif, dengan
adanya penelitian ini dapat juga diketahui aplikasi konsentrat protein biji kecipir
pada berbagai jenis produk pangan.
C. TUJUAN PENELITIAN
1.
Mengetahui sifat fisikokimia konsentrat protein biji kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus (L.) DC).
2.
Mengetahui sifat fungsional protein dari konsentrat protein biji kecipir
(Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC).
(4)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC)
Tanaman kecipir sudah lama dikenal di Indonesia dengan berbagai nama
yang berbeda. Nama lain dari kecipir adalah
jaat (
bahasa Sunda
),
kelongkang
(
bahasa Bali
), serta
biraro (
Ternate
) (Anonim, 2008)
b. Kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus (L.) DC) termasuk dalam genus
Psophocarpus, famili
Fabaceae,
ordo Leguminosa dan subklas Dicotyledonae (Kay, 1979).
Tanaman kecipir adalah tanaman setahun, berbentuk perdu, berakar
tunggang yang dapat membentuk umbi akar. Kecipir biasanya tumbuh membelit,
berdaun majemuk, berdaun banyak. Setiap tangkai daun memiliki tiga anak daun
yang berbentuk bulat, ujung daunnya runcing dan permukaannya licin. Buah
kecipir berbentuk empat sayap membujur, di antara biji-bijinya bersekat, tiap
polong mengandung 5-10 biji dan panjang polongnya sekitar 6-36 cm (National
Academy of Science, 1981). Berikut ini gambar biji kecipir dalam polongnya.
Gambar 1. Biji Kecipir dalam Polong (Lyra, 2008)
Daerah persebaran tanaman kecipir ini tersebar dari Afrika Timur, India
dan Papua New Guinea, sedangkan pusat asal usulnya dari Indocina-Indonesia
dan Afrika Timur (Anonim, 2008)
b. Kecipir dapat tumbuh sampai ketinggian
2000 meter di atas permukaan laut, antara 20
oLintang Utara dan 10
oLintang
Selatan dengan curah hujan sebesar antara 700-4000 mm (National Academy of
Science, 1981). Tanaman kecipir memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen
dari udara sehingga dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah, mulai dari tanah
(5)
berpasir, tanah lempung, tanah berat, tanah gambut, bahkan tanah yang tidak
subur (Soedarsono, 1979). Produktivitas tanaman kecipir ini cukup tinggi, dari
satu hektar tanah dapat dihasilkan dua hingga lima ton biji kecipir yang sudah
matang (Khan, 1976), dan 35 ton polong muda (Jiminez, 1976).
Hampir semua bagian tanaman kecipir dapat dimakan baik daun, bunga,
polong muda, umbi dan bijinya. Biji kecipir mengandung zat-zat gizi seperti
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan polong muda, umbi dan daunnya. Komposisi kimia dari
beberapa bagian tanaman kecipir dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Polong, Biji, Umbi, Daun dan Bunga Kecipir
Komponen
Polong
Biji Matang
Umbi
Daun
Air (%)
76.0-93.0
8.7-24.6
54.9-65.2
64.2-85.0
Protein (%)
1.9-4.3
29.8-39.0
3.0-15.0
5.0-7.6
Lemak (%)
0.1-3.4
15.0-20.4
0.4-1.1
0.5-2.5
Karbohidrat (%)
1.1-7.9
23.9-42.0
27.2-30.5
3.0-8.5
Serat (%)
0.9-3.1
3.7-16.1
1.6-17.0
3.0-4.2
Abu (%)
0.4-1.9
3.3-4.9
0.9-1.7
1.0-2.9
Sumber : (National Academy of Science, 1981)
Biji kecipir memiliki kadar protein yang tinggi sekitar 29.8-39.0 %
sehingga dapat dijadikan alternatif sumber protein nabati selain kedelai (National
Academy of Science, 1981). Berikut ini tabel perbandingan nilai gizi biji kecipir
dengan kacang-kacangan lain (Tabel 2).
Tabel 2. Perbandingan Nilai Gizi Biji Kecipir, Kedelai, dan Kacang Tanah per
100 gram
Zat Gizi
Biji
Kecipir
Biji
Kedelai
Kacang
Tanah
Protein (g)
36.60
35.10
23.40
Karbohidrat (g)
35.60
32.00
21.60
Lemak (g)
15.30
17.70
45.30
Serat (g)
3.70
4.20
2.10
Abu (g)
3.80
5.00
2.40
Air (g)
8.70
10.20
7.30
(6)
B. KONSENTRAT PROTEIN
Konsentrat protein adalah produk pekatan protein yang memiliki
kandungan protein minimal 70%, sedangkan isolat protein memiliki kadar protein
minimal 90% (Waggle dan Kolar, 1979). Pemekatan kadar protein bahan pangan
dapat dilakukan dengan cara mengolahnya menjadi tepung, tepung rendah lemak,
konsentrat, dan isolat protein (Waggle dan Kolar, 1979). Konsentrat protein
umumnya memiliki kandungan protein sekitar 65-75%, 15-25% polisakarida tak
larut, 4-6% mineral, dan 0.3-1.2% minyak (Cheftel et al., 1985).
Kandungan gula pada konsentrat protein telah dikurangi, sehingga produk
yang menggunakan konsentrat protein lebih mudah dicerna dan lebih sedikit
menyebabkan flatulensi. Konsentrat protein dapat dengan mudah dibentuk
teksturnya, namun membutuhkan jumlah air dan energi mekanik yang lebih besar
daripada produk tepung rendah lemak (Riaz, 2004).
Pembuatan konsentrat protein dilakukan dengan ekstraksi mineral dan
karbohidrat yang larut air. Mineral dan karbohidrat larut air dapat diekstrak
dengan larutan asam, campuran air-etanol, atau air panas. FAO (2009)
mengklasifikasikan tiga cara yang umumnya digunakan dalam proses produksi
konsentrat protein, yaitu proses pencucian dengan alkohol, proses pencucian
dengan asam, proses denaturasi protein dengan panas. Proses pembuatan
konsentrat protein dengan pencucian alkohol didasarkan pada kemampuan alkohol
rantai pendek (metanol, etanol, atau isopropil alkohol) untuk mengekstrak fraksi
gula larut air tanpa melarutkan protein. Umumnya konsentrasi alkohol optimum
yang digunakan adalah 60%. Setelah proses ekstraksi gula, alkohol dievaporasi
dari protein dengan menggunakan prinsip destilasi dan protein dikeringkan (FAO,
2009).
Proses pencucian dengan asam menggunakan prinsip kelarutan protein
pada berbagai nilai pH. Saat protein dikondisikan pada pH isoelektrik, komponen
protein akan mengendap, sedangkan karbohidrat dan mineral akan larut dalam air.
Protein yang telah mengendap dipisahkan dengan sentrifugasi dan dikeringkan
(FAO, 2009). Penggunaan larutan asam pada pH isoelektrik dapat mengurangi
pembukaan lipatan protein (unfolding), agregasi, dan kehilangan sifat
fungsionalnya (Handoko, 2000).
(7)
Proses yang ketiga adalah denaturasi protein menggunakan uap panas,
yang dilanjutkan dengan ekstraksi komponen gula menggunakan air panas.
Protein yang telah terdenaturasi dipisahkan dan dikeringkan (FAO, 2009).
Denaturasi protein adalah modifikasi konformasi atau struktur sekunder, tersier,
atau kuarterner protein yang tidak disertai dengan pemutusan ikatan peptida yang
terdapat pada struktur primernya. Denaturasi protein ini dapat mengurangi
kelarutan protein karena bagian hidrofobiknya tidak terlindungi dan juga dapat
mengubah kapasitas pengikatan air (Cheftel
et al., 1985). Denaturasi protein
dapat disebabkan oleh proses panas (Pablo et al.,1981).
Denaturasi protein juga dapat disebabkan oleh ekstraksi menggunakan
pelarut. Denaturasi protein karena pelarut organik dipengaruhi oleh derajat
hidrofobisitas dan derajat pengencerannya dengan air. Pelarut organik yang
bersifat hidrofobik yang tidak bercampur dengan air, seperti n-heksana, memiliki
kemungkinan yang kecil untuk dapat mendenaturasi protein meskipun pada suhu
yang tinggi (Fukushima, 1969).
C. SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL KONSENTRAT
PROTEIN
1.
Warna dan Derajat Putih
Warna merupakan salah satu aspek penting dalam penerimaan produk
pangan. Jika warna produk tidak terlihat menarik, maka konsumen akan
menolak produk tersebut dan tidak akan memperhatikan faktor lainnya
(Francis, 2003).
Pentingnya faktor warna dalam hal penerimaan membuat teknologi uji
warna berkembang. Instrumen untuk menganalisis warna serupa mata manusia
telah dikembangkan. Salah satu instrumen dalam mengukur warna adalah
kromameter. Prinsip kerja dari kromameter adalah pemantulan cahaya oleh
sampel. Kromameter memiliki lampu getar yang ditangkap oleh fotosel dan
filter untuk mencocokkan dengan standar CIE (Commision Internasionale
d’Eclairage) dalam mengukur sinar yang dipantulkan oleh sampel. Sistem
(8)
output dapat berupa CIE-XYZ, Judd-Hunter L a b CIELAB, dan CIELCH
(Francis, 2003; Francis, 1996).
Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan b. Nilai
L menunjukkan tingkat kecerahan sampel dan memiliki skala dari 0 sampai
100, dimana 0 menyatakan sampel sangat gelap dan 100 menyatakan sampel
sangat cerah. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dimana a
positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau.
Nilai a memiliki skala dari -80 sampai 100. Nilai b positif menunjukkan warna
kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari -70
sampai 70 (Francis, 1996). Sistem atribut nilai Hunter Lab dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Sistem Warna Hunter Lab (MacEvoy, 2005)
Pengukuran warna dapat dilakukan dengan alat kromameter
Minolta
CR-200. Prinsip dari kromameter
Minolta
adalah pengukuran perbedaan
warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999).
Kromameter adalah suatu alat untuk analisis warna secara terstimulus untuk
mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Data pengukuran
berupa nilai L, a, dan b diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai
selisih dengan warna standar (Anonim,1997)
c. Dari pengukuran warna
menggunakan kromameter Minolta tersebut dapat dihitung nilai derajat putih.
Derajat putih dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut
(9)
2.
Particle Size Index (PSI)
Particle Size Index
(PSI) adalah suatu ukuran yang diperlukan untuk
mengetahui ukuran partikel suatu bahan. Ukuran ini umumnya digunakan
untuk bahan tepung-tepungan.
PSI dibutuhkan untuk menentukan kualitas penggilingan dan juga
merupakan parameter kerusakan pati, penyerapan air, dan produksi gas.
Indeks ini menunjukkan kekerasan relatif suatu bahan dengan cara
penggilingan dan separasi (Anonim, 2008)
d.
3.
Densitas Kamba (ρA)
Densitas merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan. Densitas
produk berbentuk bubuk (food powder) dipengaruhi oleh komposisinya
(Wirakartakusumah et al., 1992). Densitas kamba adalah massa partikel yang
menempati suatu unit volum tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat
wadah yang diketahui volumnya dan merupakan hasil pembagian dari berat
bubuk dengan volum wadah.
Nilai densitas kamba menunjukkan porositas suatu bahan. Bahan yang
lebih ringkas memiliki porositas yang lebih rendah. Jumlah rongga antar
partikel menentukan banyaknya ruang kosong yang terbentuk dan juga
menentukan nilai densitas kamba suatu bahan (Khalil, 1999). Nilai densitas
dari berbagai makanan berbentuk bubuk umumnya antara 0.3-0.8 g/cm
3. Hal
ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki porositas yang
tinggi, yaitu sekitar 40-80% (Wirakartakusumah et al., 1992).
Densitas kamba dari jenis pangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang saling berhubungan, yaitu intensitas gaya tarik-menarik antar partikel,
ukuran partikel, dan jumlah dari titik yang berhubungan. Perubahan densitas
kamba dapat menyebabkan perubahan sifat-sifat bubuk (Wirakartakusumah et
al., 1992).
4.
Asam Amino
Protein adalah suatu senyawa yang terdiri dari beberapa asam amino
yang diikat satu sama lain dengan ikatan peptida. Asam amino adalah satu
atom karbon yang mengikat gugus karboksilat (-COOH), atom hidrogen,
(10)
gugus amino dan satu rantai samping (-R). Bentuk molekul asam amino dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk Molekul Asam Amino (Winarno, 1997).
Terdapat 20 jenis asam amino yang berbeda ukuran, bentuk, muatan,
dan reaktivitasnya. Berbagai jenis asam amino dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Asam Amino
Asam Amino
Singkatan Tiga
Huruf
Lambang Satu
Huruf
Alanin (Alanine)
Ala
A
Arginin (Arginine)
Arg
R
Asparagin (Asparagine)
Asn
N
Asam Aspartat (Aspartic
Acid)
Asp
D
Sistein (Cysteine)
Cys
C
Glutamin (Glutamine)
Gln
Q
Asam Glutamat (Glutamic
Acid)
Glu
E
Glisin (Glysine)
Gly
G
Histidin (Histidine)
His
H
Isoleusin (Isoleucine)
Ile
I
Leusine (Leucine)
Leu
L
Lisin (Lysine)
Lys
K
Metionin (Methionine)
Met
M
Fenilalanin (Phenilalanine)
Phe
F
Prolin (Proline)
Pro
P
Serin (Serine)
Ser
S
Treonin (Threonine)
Thr
T
Triptofan (Tryptophane)
Trp
W
Tirosin (Tyrosine)
Tyr
Y
Valin (Valine)
Val
V
(11)
Keduapuluh asam amino dapat dibagi menjadi empat kelas
berdasarkan polaritas rantai sampingnya (Damodaran, 1996):
(1)
Asam amino dengan rantai samping nonpolar (hidrofobik)
Kelompok ini terdiri dari asam amino alanin, isoleusin, leusin, metionin,
fenilalanin, prolin, triptofan, serta valin yang bersifat tidak larut dalam air.
Sifat hidrofobik akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai
samping alifatik.
(2)
Asam amino dengan rantai samping polar (hidrofilik)
Asam amino yang termasuk dalam kelompok ini adalah asam amino yang
mempunyai gugus fungsional netral, polar, serta dapat membentuk ikatan
dengan molekul air. Serin, treonin, tirosin, asparagin, glutamin dan sistein
termasuk golongan hidrofilik karena memiliki gugus reaktif seperti gugus
hidroksil, gugus amida dan gugus tiol.
(3)
Asam amino dengan rantai samping yang bermuatan positif
Lisin dengan gugus epsilon NH
2, arginin dengan gugus guanidin dan
histidin dengan gugus imidasol digolongkan ke dalam kelompok ini.
(4)
Asam amino dengan rantai samping yang bermuatan negatif
Hanya terdapat dua asam amino yang memiliki rantai samping yang
bermuatan negatif, yaitu asam glutamat dan asam aspartat.
5.
Protein Solubility
Protein solubility merupakan sifat fungsional pertama yang biasanya
diuji pada pengembangan protein sebagai ingredien yang baru. Kelarutan
protein ini berhubungan dengan sifat fungsional protein yang lainnya,
terutama pada sifat buih, gel dan emulsi. Protein dengan kelarutan protein
yang tinggi memiliki dispersabilitas molekul protein yang baik dan dapat
membentuk sistem dispersi koloid yang baik pula.
Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino, berat
molekul, konformasi protein, dan keseimbangan antara gugus polar dan non
polar pada asam amino. Selain itu, terdapat beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi, yaitu kekuatan ion, tipe pelarut, pH, suhu dan kondisi
pemrosesan (Zayas, 1997).
(12)
Tingkat kelarutan protein dalam suatu medium cair merupakan hasil
interaksi elektrostatik dan hidrofobik antara molekul protein tersebut.
Kelarutan dapat meningkat jika gaya elektrostatik lebih tinggi daripada
interaksi hidrofobik. Umumnya kurva kelarutan protein terhadap pH
membentuk huruf U, di mana titik terendah berada pada pH isoelektrik. Pada
pH isoelektrik (pI) ini, muatan dari protein sama dengan nol. Hal ini
menyebabkan interaksi antar protein menjadi maksimum dan menyebabkan
ketidaklarutan protein (Zayas, 1997).
Faktor lainnya seperti kondisi pemrosesan, tipe pelarut dan suhu
berkaitan dengan struktur protein yang terbentuk. Jika semua faktor tersebut
menyebabkan terjadinya denaturasi protein, maka kelarutan dari protein akan
menurun.
6.
Daya Serap Air (WHC)
Daya serap air (water holding capacity) adalah jumlah air yang
terperangkap dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Daya serap air
berhubungan dengan jumlah gugus asam amino polar yang terdapat dalam
molekul protein. Gugus asam amino polar, seperti hidroksil, amino, karboksil,
dan sulfihidril memberikan sifat hidrofilik bagi molekul protein sehingga
dapat menyerap atau mengikat air (Suwarno,2003).
Kemampuan protein menyerap air berperan dalam pembentukan
tekstur produk pangan. Semakin banyak air yang diserap, maka semakin baik
tekstur dan
mouthfeel bahan pangan tersebut. Pengikatan air bergantung pada
komposisi dan konformasi antara molekul-molekul protein. Interaksi antara air
dan gugus hidrofilik dari rantai samping protein dapat terjadi melalui ikatan
hidrogen. Jumlah air yang dapat ditahan oleh protein bergantung pada
komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan proses pengolahan.
Jumlah air yang diikat akan meningkat jika kepolaran protein meningkat
(Suwarno, 2003).
Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi daya serap air
adalah pH, suhu, dan kekuatan ion. Hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya perubahan konformasi dan polaritas molekul protein (Hutton dan
(13)
Campbell, 1981). Daya serap air oleh protein juga dipengaruhi oleh
konsentrasi protein dan adanya komponen lain, seperti polisakarida hidrofilik,
lemak, garam, lamanya pemanasan dan kondisi penyimpanan. Semakin tinggi
konsentrasi protein dalam suatu bahan pangan, maka daya serap airnya pun
semakin baik (Zayas, 1997).
Garam dapat berkompetisi dengan protein dalam mengikat air.
Konsentrasi garam tinggi dapat menyebabkan dehidrasi protein karena adanya
kompetisi antara garam dan protein sehingga terjadi penekanan lapisan
elektrik di sekeliling molekul protein dan terjadi perubahan konformasi
protein, penurunan hidrasi protein, dan pengendapan (Suwarno, 2003).
Suhu tinggi dapat mengurangi daya serap air oleh protein. Adanya
pemanasan, pemekatan, pengeringan, atau pembentukan tekstur ini dapat
mengakibatkan denaturasi protein dan transisi konformasi sehingga terjadi
pembukaan rantai polipeptida dan jumlah asam amino polar pada protein
berkurang (Zayas, 1997). Namun, pemanasan, agregasi, dan denaturasi
tersebut dapat juga menyebabkan perubahan konformasi tertentu sehingga
daya serap air meningkat (Hutton dan Campbell, 1981).
7.
Daya Serap Minyak
Daya serap minyak adalah kemampuan protein untuk menyerap dan
menahan lemak. Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber
protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat aditif lain,
suhu, dan derajat denaturasi protein. Ukuran dan tekstur protein yang lebih
halus, lebih seragam, dan lebih
porous memudahkan penyerapan dan
pengikatan minyak. Denaturasi protein dapat meningkatkan daya serap
minyak karena terbukanya struktur protein sehingga asam amino non polarnya
terpapar. Namun, denaturasi yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan
protein mengikat lemak karena rusaknya rantai hidrofobik protein (Suwarno,
2003).
Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi
antar lipid. Ikatan yang berperan dalam interaksi tersebut adalah ikatan
hidrofobik, elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan non kovalen. Ikatan
(14)
hidrofobik penting untuk stabilitas kompleks lipid-protein. Interaksi antara
protein dengan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan
cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul.
Daya serap minyak suatu protein tergantung pada strukturnya. Struktur
yang bersifat lipolitik dengan kandungan cabang protein nonpolar yang lebih
dominan, berkontribusi terhadap peningkatan daya serap minyak (Lin
et al.,
1974). Daya serap minyak bermanfaat dalam aplikasi protein pada produk
daging sintetis dan berperan penting dalam memperbaiki karakteristik citarasa
(Suwarno, 2003).
8.
Aktivitas dan Stabilitas Emulsi
Emulsi adalah dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, di
mana molekul kedua cairan ini tidak saling berbaur, tetapi saling antagonis.
Tiga bagian utama dalam suatu sistem emulsi adalah bagian pendispersi juga
dikenal sebagai continuous phase yang biasanya berupa air, bagian terdispersi
yang biasanya terdiri dari butiran-butiran lemak, serta bagian emulsifier yang
berfungsi menjaga agar butir-butir lemak tetap tersuspensi dalam air
(Winarno, 1997).
Daya kerja
emulsifier dipengaruhi oleh bentuk molekul yang dapat
terikat, baik pada air (polar) dan pada minyak (non polar). Emulsi minyak
dalam air (
O/
W) terjadi bila emulsifier lebih terikat pada air (polar), sedangkan
emulsi air dalam minyak (
W/
O) terjadi bila emulsifier lebih terikat pada minyak
(non polar) (Winarno, 1997).
Sifat emulsifikasi protein dipengaruhi oleh laju adsorbsi antarmuka
minyak-air, jumlah protein teradsorbsi, serta kemampuan untuk membentuk
sebuah film yang kental, kohesif, dan kontinyu melalui interaksi kovalen dan
non kovalen (Widowati et al., 1998). Selain itu, sifat emulsi suatu protein juga
dipengaruhi oleh desain peralatan yang digunakan, suhu minyak, dan suhu
larutan protein (Zayas, 1997).
Daya emulsi bergantung pada bentuk, hidrasi grup polar, hidrofobisitas
molekul dan muatan. Emulsi yang stabil terbentuk karena protein yang larut
dan dapat teradsorbsi dalam lapisan, serta memiliki grup-grup bermuatan yang
(15)
terdistribusi merata dan mampu membentuk film yang kohesif dan kuat
(Zayas, 1997).
Daya dan stabilitas emulsi suatu protein disebabkan oleh aktivitasnya
yang menyerupai surfaktan, yaitu kemampuan untuk mengurangi tegangan
permukaan antara komponen hidrofobik dan hidrofilik (Macritche, 1978).
Selain itu, protein juga memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan
permukaan penyerap yang menyelubungi droplet minyak sehingga dapat
menahan minyak dan membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil.
Perbandingan jumlah asam amino hidrofilik-lipofilik yang seimbang
sangat menentukan kemampuan protein dalam membentuk emulsi karena
dapat menurunkan tegangan interfasial. Protein hidrofilik-lipolitik dapat
teradsobsi pada interfasial minyak-air dengan mekanisme lipofilik dengan
berikatan pada sisi minyak atau dengan mekanisme hidrofilik yaitu dengan
berikatan dengan fase air (Zayas, 1997).
Protein teradsorbsi dapat menurunkan tegangan permukaaan atau
interfasial sehingga dapat memfasilitasi pembentukan emulsi. Protein globular
dengan hidrofobisitas permukaan tinggi, seperti lisozim, ovalbumin, dan
protein
whey, akan mengalami peningkatan daya emulsi dengan pemanasan
sedang dan strukturnya sedikit terbuka (Zayas, 1997). Beberapa faktor yang
mempengaruhi stabilitas emulsi antara lain: (1) tegangan permukaan antara
dua fase, (2) karakteristik lapisan penyerap antara dua fase, (3) muatan pada
globular, (4) perbandingan antara ukuran dan permukaan globular dengan
volumenya, (5) perbandingan antara berat dengan volume fase terdispersi dan
pendispersi, dan (6) viskositas fase pendispersi (Morr, 1981).
Indikator kapasitas emulsi adalah kelarutan dan hidrofobisitas.
Kapasitas emulsi berhubungan dengan kelarutan protein (Volkert dan Klein ,
1979). Semakin tinggi kelarutan suatu protein, maka kemampuannya untuk
membentuk lapisan yang menyelubungi droplet minyak juga semakin tinggi
sehingga aktivitas emulsinya meningkat.
9. Gelasi
Gel adalah suatu gejala agregasi protein, yaitu terjadinya interaksi
antara polimer-polimer dan polimer-pelarut di mana gaya tarik-menarik dan
(16)
tolak-menolak seimbang sehingga terbentuk matriks yang dapat menarik air
dalam jumlah besar (Schmidt, 1981). Daya gelling adalah kemampuan protein
dalam membentuk suatu jaringan kohesif yang kaku dan dapat mengikat air.
Daya
gelling dipengaruhi oleh interaksi antara protein-protein dan juga
interaksi antara protein dan air (Cheftel et al., 1985).
Gelasi adalah salah satu sifat protein yang berkaitan dengan penarikan
air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Sifat ini berperan dalam
pembentukan dan pengendapan matriks protein. Gel protein merupakan hasil
dari interaksi intermolekuler yang menghasilkan jaringan tiga dimensi
serat-serat protein. Gel dibentuk saat protein membuka sebagian, mengembangkan
segmen polipeptida terurai yang berinteraksi pada titik-titik spesifik untuk
membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Cairan dapat mencegah
pembentukan jaringan tiga dimensi dengan
collapsing (melipat). Sifat-sifat
tekstural gel ditentukan oleh interaksi protein-protein, protein-pelarut, dan
fleksibilitas rantai-rantai polipeptida. Interaksi protein-protein yang sangat
kuat akan mengakibatkan jaringan tiga dimensi melipat dan air akan keluar
dari struktur (Suwarno, 2003).
Mekanisme pembentukan gel karena pemanasan terjadi dalam dua
tahap, yaitu tahap asosiasi dan agregasi yang mengakibatkan terbentuknya
formasi gel pada kondisi yang sesuai. Suhu gelasi bergantung pada karakter
dan konsentrasi protein. Waktu dan suhu pemanasan umumnya berkurang
dengan meningkatnya konsentrasi protein. Peningkatan suhu ini juga dapat
menyebabkan kekeruhan gel (Schmidt, 1981).
Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan
hidrofobik, gaya
Van der Walls, serta ikatan disulfida kovalen. Gel dengan
kekuatan dan stabilitas tinggi terbentuk karena ikatan silang yang memberi
fluiditas, elastisitas, dan perilaku aliran gel (Zayas, 1997). Selain itu, gel yang
lebih teguh juga dihasilkan dengan meningkatnya konsentrasi protein sehingga
lebih banyak air yang dapat diikat oleh protein (Suwarno, 2003). Gelasi
merupakan sifat hidrasi yang dipengaruhi oleh konsentrasi protein, pH,
komponen lain, dan perlakuan panas yang dialami (Damodaran dan Kinsella,
1982). Kekeruhan gel akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
(17)
protein, namun dengan rendahnya konsentarsi protein gel terbentuk dalam
waktu pemanasan yang lebih lama (Schmidt, 1981).
Penurunan pH dari pH tinggi ke pH netral juga dapat menyebabkan
terjadinya perubahan aktivitas molekul protein sehingga kemampuan
membentuk gel dan kemampuan aktivasi ikatan sulfihidril yang penting dalam
agregasi pun berubah. Ukuran agregat yang terbentuk akan semakin kecil
dengan naiknya pH dari 5 menjadi 10 karena adanya gaya tolak-menolak
antara molekul protein meningkat (Suwarno, 2003).
10. Kapasitas dan Stabilitas Buih
Buih adalah struktur terdispersi di mana cairan koloid seperti larutan
protein bertindak sebagai medium pendispersi dan gas sebagai fase terdispersi.
Mekanisme
pembentukan
buih
diawali
dengan
terbukanya
ikatan
intramolekuler protein sehingga rantai protein memanjang, kemudian udara
masuk di antara molekul protein yang terbuka dan bertahan sehingga protein
mengembang (Cherry dan Watters, 1981). Buih adalah campuran kompleks
yang terdiri dari gas, cairan, padatan, dan surfaktan. Kapasitas busa suatu
protein sangat kritis dalam aplikasi pangan, protein dari sumber yang berbeda
memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam menstabilkan busa karena
perbedaan komposisi, konformasi, fleksibilitas molekuler, dan sifat-sifat
fisikokimianya (Elizade et al., 1991).
Buih terbentuk dengan tiga tahapan utama, yaitu: (1) difusi protein
globular yang larut ke antarfase udara atau air sehingga terjadi konsentrasi
protein dan tegangan permukaannya berkurang, (2) pembukaan protein
antarfase dengan orientasi molekul polar ke air, dan (3) interaksi polipeptida
membentuk lapisan antarmuka. Daya buih suatu protein bergantung pada
kemampuannya membentuk lapisan yang kohesif, elastis, dan fleksibel, serta
kemampuannya memerangkap dan menahan udara, serta tahan terhadap
perlakuan mekanik. Terbukanya konformasi protein-protein di antara fase
udara atau air akan memaparkan bagian hidrofobiknya sehingga memicu
akselerasi asosiasi polipeptida antarfase dan membentuk lapisan kontinyu
yang kohesif (Suwarno, 2003).
(18)
Daya buih protein menunjukkan kemampuan produksi suatu area
permukaan dari buih per unit berat protein dan kemampuan protein untuk
menstabilkan lapisan permukaan tersebut.
Foaming agent harus memiliki
sifat-sifat menstabilkan buih secara cepat dan efektif pada konsentrasi rendah,
efektif pada berbagai kisaran pH pangan, dan efektif dalam media dengan
foam inhibitor, seperti alkohol, lemak, dan bahan-bahan flavor.
Foam
inhibitor adalah bahan tidak larut air yang dapat mengganggu lapisan protein
pada gelembung-gelembung udara (Suwarno, 2003). Lemak dapat
melemahkan interaksi antara protein-protein dengan mengganggu permukaan
hidrofobik (Zayas, 1997).
Daya buih dipengaruhi oleh sumber protein alami, metode dan proses,
termasuk di dalamnya adalah proses pembuatan konsentrat protein, pH,
konsentrasi protein, suhu dan waktu pembuihan, serta metode pembuihan.
Daya buih meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi protein karena
terjadi peningkatan ketebalan lapisan pada interfasial, stabilitas buih maksimal
diperoleh saat elastisitas permukaan juga maksimal (Suwarno,2003).
Kapasitas dan stabilitas buih suatu protein dipengaruhi oleh kelarutan
protein, laju difusinya ke arah permukaan, dan penyerapannya. Faktor-faktor
tersebut bergantung pada sifat-sifat hidrofobik, orientasi, asosiasi polipeptida,
viskoelastisitas, kesetimbangan agregasi-konjugasi, muatan permukaan, dan
hidrasi. Selain itu, kapasitas dan stabilitas buih juga dipengaruhi oleh pH,
suhu, garam, gula, lemak, dan sumber protein. Kapasitas dan stabilitas buih
bertambah dengan meningkatnya konsentrasi protein. Buih yang terbentuk
pada konsentrasi tinggi bersifat padat dan stabil karena lapisan yang terbentuk
tebal (Kinsella dan Damodaran, 1981).
Stabilitas buih dipengaruhi oleh ketebalan lapisan yang terbentuk,
kekuatan mekanis, interaksi protein, serta faktor lingkungan, seperti pH dan
suhu. Lapisan dengan viskositas permukaan yang tinggi membentuk busa
yang kuat sebagai hasil dan gaya kohesif antar molekul protein.
(19)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kecipir yang
diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Bandung. Bahan kimia yang
diperlukan untuk ekstraksi protein dan analisis ialah heksana, HCl 1 N, NaOH
1 N, air destilata, minyak kedelai, K
2SO
4, HgO, H
2SO
4pekat, NaOH-Na
2S
2O
3pekat, H
3BO
3, HCl 0.02 N, batu didih, indikator metil merah serta metil biru, HCl
6 N, kertas saring, kapas, HCl 0.01 N, NaOH 0.01 N, larutan pengering (metanol,
picolotiocianat, trietilamin), larutan derivatisasi (metanol, natrium asetat,
trietilamin), asetonitril 60%, buffer natrium asetat 1M, natrium karbonat, NaOH
0.1N, Na K tartarat 1%, dan CuSO
4.
Alat yang digunakan dalam pembuatan sampel konsentrat protein biji
kecipir adalah antara lain
abrasive peeler, oven pengering,
pin disc mill,
mini
spray dryer BUCHI B190, sentrifus, loyang, panci, wadah perendam, dan
saringan 60 mesh. Alat yang dibutuhkan untuk analisis adalah Chromameter
CR-200 Minolta, tanur, alat ekstraksi Soxhlet, alat destilasi, labu Kjeldahl 100 ml,
neraca analitik, HPLC dengan kolom
pico tag 3.9 x 150 mm,
water bath,
refrigerator, waring blender, spektrofotometer Spectronic 20D+, pHmeter Orion
model 210A, cawan aluminium, desikator, cawan porselen, sudip, pipet tetes,
pipet Mohr, alat destilasi, labu lemak, gelas piala, gelas arloji, gelas ukur 10 ml,
tabung reaksi, labu Erlenmeyer 250 dan 500 ml, batang gelas,
magnetic stirer,
tabung sentrifus, vorteks, tabung reaksi bertutup, dan hot plate.
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: (1) pembuatan
tepung biji kecipir rendah lemak, (2) penentuan pH kelarutan maksimum dari
protein biji kecipir (3) penentuan metode pengeringan konsentrat protein biji
kecipir, (4) pembuatan konsentrat protein biji kecipir, (5) analisis proksimat, (6)
analisis sifat fisikokimia, dan (7) analisis sifat fungsional protein.
(20)
1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
Pembuatan tepung biji kecipir dilakukan dengan merendam biji kecipir
selama 24 jam, kemudian direbus selama 30 menit lalu dilakukan pengupasan.
Setelah itu dikeringkan dalam oven 50
oC selama 9-11 jam. Biji kemudian
ditepungkan dengan
pin disc mill dan diayak pada saringan 60
mesh. Untuk
menghilangkan sebagian lemak pada tepung, dilakukan ekstraksi lemak dengan
menggunakan metode maserasi heksana. Proses maserasi dengan heksana
dilakukan pada suhu ruang selama 2 jam dengan perbandingan 1:5 sesuai
dengan percobaan yang dilakukan oleh Handoko (2000). Tahapan lengkap
pembuatan tepung kecipir rendah lemak dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir
Titik kelarutan maksimum dari protein biji kecipir perlu ditentukan
untuk efisiensi proses ekstraksi protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Erlina et al. (1982), kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah
pH 6.37, sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1989), kelarutan
Biji kecipir
Dikeringkan dalam oven 50
oC selama 9-11 jam
Ditepungkan dengan pin disc mill
Diayak 60 mesh
Direndam dalam air selama 24 jam
Direbus 70-80
oC selama 30 menit
Diekstraksi lemaknya dengan maserasi heksana (1:5)
selama 2 jam pada suhu ruang
Tepung kecipir rendah lemak
Dikeringkan 50
oC selama 5 jam untuk menghilangkan sisa heksana
Dikupas dengan abrasive peeler
(21)
protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Oleh karena itu akan diuji
kelarutan protein kecipir pada ketiga pH tersebut dan diukur rendemennya.
Percobaan ini diujicobakan dengan melarutkan tepung kecipir rendah
lemak pada ketiga pH tersebut, lalu protein terlarut dipisahkan dan diendapkan
pada pH isoelektriknya. Protein yang mengendap dipisahkan dan dikeringkan
dengan menggunakan spray dryer, lalu rendemen protein dari tepung dihitung
dan dibandingkan. Rendemen protein yang tertinggi menggambarkan titik
kelarutan maksimum dari protein biji kecipir.
3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Sebelum konsentrat protein diproduksi, dilakukan penelitian untuk
menentukan metode pengeringan konsentrat. Parameter warna adalah parameter
yang cukup penting dalam penerimaan suatu produk. Oleh karena itu,
diperlukan pemilihan metode pengeringan yang tepat agar diperoleh warna
konsentrat protein yang dapat diaplikasikan pada berbagai jenis produk.
Penelitian pendahuluan ini mengujicobakan 4 jenis pengeringan, yaitu
pengeringan dengan oven vakum, oven biasa, rumah kaca dan
spray dryer.
Metode pengeringan akan dipilih berdasarkan warna konsentrat protein yang
telah dikeringkan. Protein yang telah diendapkan pada pH isoelektriknya
dikeringkan dengan empat jenis pengering dan dibandingkan warnanya secara
objektif dengan menggunakan kromameter MINOLTA CR-200. Metode
pengeringan yang dibandingkan adalah pengeringan dengan oven pada suhu
50
oC, pengeringan dengan oven vakum pada suhu 70
oC dan tekanan 60 psi,
spray dryer dengan suhu outlet 80
oC, serta rumah kaca yang bersuhu antara
50-70
oC.
4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Pembuatan konsentrat protein biji kecipir ini dilakukan dengan merujuk
pada salah satu metode pembuatan konsentrat protein menurut Lusas dan Rhee
(1995), yaitu dengan menggunakan titik isoelektrik dari protein kecipir agar
kemudian proteinnya mengendap dan dapat dipisahkan dengan sentrifus.
(22)
Prinsip pembuatan konsentrat protein biji kecipir adalah melarutkan tepung biji
kecipir pada pH kelarutan protein maksimum, kemudian protein diendapkan
pada pH isoelektriknya dan dikeringkan. Menurut Erlina (1982), titik
isoelektrik kecipir terdapat pada rentang
pH 3.87-4.87, sedangkan pada
penelitian Okezie dan Bello (1988) titik isoelektrik yang digunakan ialah pH 4.
Proses pelarutan protein dilakukan pada pH yang menghasilkan rendemen
protein terbesar yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu pada pH 10.
Proses
recovery dilakukan untuk mengekstrak protein yang masih
terkandung dalam residu awal. Residu awal dilarutkan kembali proteinnya dan
digabungkan dengan filtrat yang telah diendapkan. Campuran filtrat larutan
tersebut diendapkan proteinnya, dipisahkan dari filtratnya dan dikeringkan.
Pengeringan dengan spray dryer dilakukan berdasarkan percobaan sebelumnya
yang menunjukkan bahwa pengeringan dengan
spray dryer menghasilkan
konsentrat dengan derajat putih yang paling tinggi. Secara lengkap, proses
pembuatan konsentrat protein ini dapat dilihat pada Gambar 5.
@
Gambar 5. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir
@
Dilarutkan lagi dengan air destilata dengan
jumlah sama seperti sebelumnya
Filtrat diendapkan di
refrigerator semalaman
Filtrat diambil
Dicampur dan diendapkan pada pH
Protein dilarutkan lagi pada pH 10 dengan NaOH 1N
Dipanaskan suhu 50
oC selama 1 jam
Residu
Filtrat
Tepung kecipir rendah lemak
Dipanaskan suhu 50
oC selama 1 jam dengan pengadukan
Dilarutkan dalam air destilata dengan perbandingan 1:10
(23)
Gambar 5. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir
5. Analisis Proksimat
Penelitian utama yang dilakukan adalah analisis proksimat, sifat
fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat protein kecipir yang sudah
diproduksi sebelumnya.
a. Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105
oC selama 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang
menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam
cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan
berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105
oC selama 3 jam.
Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian
ditimbang. Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih
bobot
≤
0.0005 gram).
Perhitungan :
Kadar air (g/100 g bahan basah) = W – (W1-W2) x 100
W
Kadar air (g/100 g bahan kering) = W – (W1-W2) x 100
W1-W2
(24)
Keterangan : W= bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1= bobot contoh + cawan kering kosong (g)
W2= bobot cawan kosong (g)
b. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl Mikro (AOAC 960.52 yang
dimodifikasi)
Sejumlah kecil sampel (100-250mg) ditimbang dan dipindahkan ke
dalam labu Kjedahl. Setelah itu, ditambahkan 1.0 ± 0.1 gram K
2SO
4, 40 ± 10
mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H
2SO
4. Dua sampai tiga butir batu didih dimasukkan
ke labu Kjedahl dan dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.
Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan
ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian
didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian
dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air destilata.
Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H
3BO
3dan 2-4 tetes
indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu
bagian metilen biru 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor.
Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H
3BO
3kemudian di
tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na
2S
2O
3dan dilakukan destilasi sampai
tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung
kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang
sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan
kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi
abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko. Cara perhitungan
kadar protein :
Kadar N (%) = (ml HCl contoh- ml HCl blanko)x N HCl x 14.007 x 100%
mg contoh
Kadar protein (%) = %N x faktor konversi
c. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)
Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi Soxhlet
dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian
(25)
ditimbang. Selongsong kertas saring yang berisi contoh dengan kapas
dikeringkan pada suhu 80
oC selama ± 1 jam. Selongsong kertas tersebut
dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak.
Ekstraksi lemak dengan heksana dilakukan selama ± 6 jam. Selanjutnya, labu
lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu
105°C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang hingga
bobotnya tetap. Cara perhitungan kadar lemak:
Kadar lemak (g/100 g bahan basah) = (W1-W2) x 100
W
Kadar lemak (g/100 g bahan kering) = kadar lemak (%BB) x 100
(100-kadar air (%BB))
Keterangan : W = Bobot sampel (g)
W1= Bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
W2= Bobot labu lemak kosong (g)
d. Analisis Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven 105
oC selama 15 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 2-3
gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel
padat diarangkan dahulu sebelum dimasukkan ke dalam tanur. Pengabuan
dilakukan dalam tanur pada suhu maksimum 550
0C hingga pengabuan
sempurna. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian
ditimbang dengan neraca analitik hingga bobotnya tetap.
Perhitungan :
Kadar abu (g/100 g bahan basah) = (W1-W2) x 100
W
Kadar abu (g/100 g bahan kering) = kadar abu (%BB) x 100
(100-kadar air (%BB))
Keterangan : W = Bobot sampel sebelum diabukan (gram)
W1= Bobot cawan + sampel setelah diabukan (gram)
W2= Bobot cawan kosong (gram)
e. Analisis Kadar Karbohidrat by difference
(26)
6. Analisis Sifat Fisikokimia
a.
Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Chromameter Minolta
CR-200 (modifikasi Hutching, 1999)
Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah
sampel yang sudah tersedia dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala
nilai L, a, b. Selanjutnya dihitung nilai derajat putih dengan persamaan:
Derajat putih = 100 - √{(100-L)
2+ (a
2+ b
2)}
b. Particle Size Index (PSI) (modifikasi Bejarano et al., 2007)
Sampel sebanyak 5 gram diayak menggunakan ayakan dalam berbagai
ukuran (mesh) yaitu 40 mesh (420 m), 60 mesh (318 m), 80 mesh (180 m),
dan 100 mesh (150 m). Sampel diayak menggunakan alat selama 10 menit.
Material yang tersisa dalam ayakan dinyatakan dalam percent over.
PSI = Σ a
ib
iKeterangan : a
i= percent over pada ayakan
b
i= koefisien relatif ayakan (40, 60, 80, 100 mesh dinyatakan
dalam 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0)
c. Densitas Kamba (ρA) (Okezie dan Bello, 1988)
Sampel dimasukkan ke dalam sebuah gelas ukur 10 ml yang telah
diketahui beratnya. Gelas ukur yang telah dimasukkan sampel diketuk-ketukkan
ke meja > 30 kali hingga tak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi
10 ml. Gelas ukur yang berisi sampel tersebut kemudian ditimbang. Densitas
kamba dapat dihitung dari hasil pembagian berat sampel dengan volumenya (10
ml). Pengukuran densitas kamba dilakukan dua kali ulangan.
Densitas kamba (g/ml) = (a-b) x 100%
10
Keterangan : a = berat gelas ukur berisi 10 ml sampel (g)
b = berat gelas ukur kosong (g)
d. Komposisi Asam Amino (AOAC 982.30)
Sebanyak 0.25-0.5 gram sampel konsentrat protein biji kecipir
ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung 25 ml untuk ditambahkan 5-10 ml
(27)
HCl 6 N (khusus untuk asam amino triptofan, HCl diganti dengan NaOH). Lalu
sampel tersebut dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100
oC, kemudian
disaring. Sampel diambil sebanyak 30 ml dan ditambahkan larutan pengering
(metanol, picolotiocianat, dan trietilamin). Sampel dikeringkan dengan pompa
vakum dan ditambahkan lagi dengan 30 ml larutan derivatisasi (metanol,
natrium asetat, dan trietilamin).
Sampel didiamkan 20 menit, kemudian ditambahkan 200 ml natrium
asetat sebelum diinjek ke alat HPLC. Kolom HPLC yang digunakan adalah
kolom
pico tag 3.9x150 mm dengan fase gerak asetonitril 60% dan buffer
natrium asetat 1M. Detektor yang digunakan adalah detektor UV dengan
panjang gelombang 254 nm. Kadar asam amino dihitung dengan rumus berikut:
Kadar asam amino = Luas area contoh x konsentrasi standar x BM x FK x 100
Luas area standar bobot sampel
Keterangan: BM= Berat molekul asam amino
FK = Faktor konversi
7. Analisis Sifat Fungsional
a.
Protein solubility (Sathe et al., 1982)
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui profil kelarutan protein biji
kecipir pada berbagai pH. Profil mengenai kelarutan protein ini penting untuk
diketahui karena berpengaruh terhadap sifat fungsional protein lainnya (Zayas,
1997). Kelarutan protein ini dapat diamati dengan melarutkan 10 mg sampel ke
dalam 10 ml air, lalu pH larutan ditepatkan. Larutan disentrifus dan supernatan
diambil untuk dianalisis konsentrasi protein terlarutnya dengan metode Lowry.
Pengujian dilakukan dua ulangan.
0.5 ml supernatan diambil dan ditambahkan 3.5 ml akuades
Ditambahkan 5.5 ml pereaksi Lowry*
10 mg konsentrat protein biji kecipir dilarutkan dalam 10 ml air
Larutan tersebut ditepatkan pH 2-12 dengan
menggunakan HCl dan NaOH 1N
(28)
Gambar 6. Penentuan Kurva Protein Solubility
*Pereaksi Lowry adalah campuran 50 ml NaOH 0.1 N yang mengandung 2%
Natrium karbonat dan 1 ml Na-K-tartarat yang mengandung CuSO
45%.
b. Daya Serap Air (WHC) (Sathe et al., 1982)
Sebanyak 1 g sampel dan 10 ml air destilata dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus kemudian dikocok dengan vorteks selama dua menit.
Campuran kemudian didiamkan selama satu jam pada suhu ruang, kemudian
disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 25 menit. Filtrat dipisahkan
secara hati-hati dan diukur dengan gelas ukur 10 ml untuk diketahui volum air
bebas yang tidak terikat. Pengukuran daya serap air dilakukan dua kali ulangan,
di mana densitas air diasumsikan 1 g/ml. Daya serap air dapat dihitung dengan
persamaan berikut.
Daya Serap Air (g/g) = (10 ml – volum air tidak terikat (ml)) x densitas air
berat sampel kering
c. Daya Serap Minyak (Chakraborty, 1986 dalam Zheng et al, 2007)
Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan
ditambahkan 10 ml minyak kedelai. Campuran tersebut dikocok dengan vorteks
selama 30 detik dan didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah itu,
Divorteks dan disimpan 15 menit pada suhu ruang
Ditambahkan 0.5 ml Folin Ciocalteu
Divorteks dan disimpan 30 menit pada ruang gelap hingga warna biru terbentuk
Absorbansi protein terlarut diukur pada panjang gelombang 650 nm
Nilai absorbansi dimasukkan ke persamaan kurva
standar untuk diketahui konsentrasi protein terlarut
(29)
disentrifus pada kecepatan 3600 rpm selama 20 menit. Supernatan dituang ke
gelas ukur 10 ml dan diamati volum minyak bebas. Pengukuran dilakukan dua
kali ulangan, di mana densitas minyak kedelai diasumsikan sebesar 0.88 g/ml
(Sathe et al, 1982). Daya serap minyak dihitung dengan persamaan berikut.
Daya Serap Minyak = (10 ml – volum minyak bebas (ml)) x densitas minyak
(g/g)
berat sampel
d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi (modifikasi Franzen & Kinsella, 1976)
Pengukuran aktivitas emulsi dilakukan dengan mencampur sebanyak
0.25g sampel dan 25 ml air. Sebanyak 25 ml larutan sampel ditambah 25 ml
minyak kedelai. Campuran didispersikan dengan blender selama 1 menit, lalu
diambil sebanyak 5 ml untuk ditepatkan pHnya sambil diaduk dengan magnetic
stirer. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
sehingga volume emulsi dapat diukur. Aktivitas emulsi dapat dihitung dengan
persamaan berikut
Aktivitas Emulsi (%) = volum campuran teremulsi x 100%
volum total dalam tabung
Pengamatan juga dilakukan pada aktivitas emulsi setelah dilakukan
pemanasan terhadap sampel. Larutan sampel dan minyak yang sudah
didispersikan, dipanaskan 80
oC selama 30 menit (Neto
et al., 2001 dalam
Lawal et al., 2007), disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
dan diamati lagi volume emulsinya. Untuk mengamati stabilitas emulsi selama
waktu tertentu, emulsi yang sudah terbentuk disimpan selama beberapa lama
pada suhu ruang. Volume emulsi diamati pada jam ke-0.5, 1, 2, 4, 6 kemudian
dicatat dan dibuat kurva kestabilan emulsinya (Okezie dan Bello, 1988).
Percobaan kapasitas dan stabilitas emulsi ini dilakukan pada pH 2, 4, 6, 8, dan
10 sebanyak dua kali ulangan.
e. Daya Gelasi (Coffman dan Garcia, 1977)
Suspensi sampel dengan konsentrasi 6-20% disiapkan dan ditepatkan
pHnya. Suspensi sampel lalu dipanaskan pada suhu 80
oC selama 30 menit dan
setelah diangkat dialiri dengan air mengalir. Setelah mencapai suhu ruang,
suspensi ditaruh di refrigerator bersuhu 4
oC selama 1 jam. Berdasarkan
(30)
penelitian Okezie dan Bello (1988), gel dapat terbentuk dengan pemanasan
minimal 80
oC 30 menit yang diikuti oleh pendinginan 4
oC selama 1 jam.
Kekuatan gel yang terbentuk diukur secara kualitatif dan dicatat
penampakannya. Pengukuran sifat gelasi ini dilakukan dua ulangan. Skala yang
digunakan untuk pengukuran gel adalah:
0 = gel tidak terbentuk
1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan
2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal
3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali
4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak > 5 kali
f.
Kapasitas dan Stabilitas Buih (Coffman dan Garcia, 1977)
Sebanyak 2 g sampel dilarutkan dalam 20 ml akuades dan
dihomogenkan dengan
magnetic stirer selama ± 1 menit. Larutan tersebut
kemudian diatur pHnya dan dikocok dengan
waring blender selama 2 menit.
Volume busa sebelum dan sesudah dikocok dicatat, kemudian kapasitas buih
dihitung dengan persamaan berikut:
Kapasitas Buih (%) = volum busa sesudah dikocok x 100%
volum awal larutan protein
Studi terhadap kapasitas buih ini dilakukan pada pH 4, 7 dan 10
sebanyak 2 kali ulangan. Selain itu juga diamati stabilitas buih pada jam ke-0.5,
1, 1.5, 2, 3, 4 dan dibuat kurva stabilitas buih terhadap waktu.
(31)
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
Tahap pembuatan tepung ini adalah tahap yang umumnya dilakukan
sebelum tahap pembuatan konsentrat. Tahap penepungan ini sangat penting
untuk mempermudah proses ekstraksi protein karena luas permukaan yang
semakin besar. Terdapat beberapa tahap dalam pembuatan tepung ini, di
antaranya adalah tahap pengupasan kulit biji kecipir dan tahap ekstraksi
lemak. Dengan adanya pengupasan kulit sebagian besar serat dapat dibuang,
sedangkan pada tahap ekstraksi lemak, lemak dapat dikurangi. Penggunaan
tepung bebas lemak sangat penting pada tahap pembuatan konsentrat karena
lemak dapat membentuk kompleks dengan protein dan menghambat proses
ekstraksi protein pada tahap berikutnya (Leimena, 2000).
Tahap pengupasan dilakukan dengan metode pengupasan basah,
meliputi perendaman dalam air selama 24 jam dan perebusan selama 30 menit.
Menurut penelitian Sambudi dan Buckle (1991), dengan perendaman dan
perebusan tersebut, kulit kecipir dapat dikupas dengan cukup mudah, enzim
lipoksigenase dapat dihilangkan dengan adanya pemanasan, dan sifat
fungsional dari protein tersebut dapat ditingkatkan, terutama daya serap
airnya.
Tahap ekstraksi lemak dilakukan berdasarkan percobaan Handoko
(2000), di mana perbandingan bahan dan heksana yang digunakan adalah 1:5
dengan waktu ekstraksi selama 2 jam. Pelarut heksana adalah pelarut non
polar yang umum digunakan untuk produksi konsentrat ataupun isolat protein.
Pelarut heksana ini harus diuapkan setelah proses ekstraksi lemak untuk
meminimumkan residu heksana pada produk akhir. European Union (2009)
menetapkan limit residu maksimum untuk beberapa produk
defatted dan
produk pekatan protein kedelai yang biasa dijual sebagai produk akhir untuk
konsumen. Nilai limit maksimum residu heksana untuk produk pekatan
protein kedelai adalah 30 ppm, sedangkan untuk produk
defatted adalah 10
ppm.
(32)
Dalam tahap ekstraksi lemak ini ukuran bahan perlu diperhatikan.
Ukuran bahan yang tepat akan menjadikan proses ekstraksi lemak efisien dan
tidak memakan waktu yang lama. Apabila ukuran bahan terlalu halus, bahan
akan menggumpal sehingga akan sulit ditembus pelarut, sebaliknya jika
ukuran bahan terlalu besar, proses ekstraksi akan berlangsung lama (Moestafa,
1981). Oleh karena itu, dipilih ukuran 60 mesh karena jika ukuran bahan di
atas 50 mesh sebenarnya tidak akan memberikan dampak yang nyata pada
perbedaan kadar lemak yang terekstraksi (Handoko, 2000). Berdasarkan
penelitian Handoko (2000), ekstraksi lemak selama 2 jam adalah waktu yang
optimum, karena setelah waktu 2 jam, pelarut heksana akan menjadi jenuh dan
tidak mampu lagi melarutkan lemak. Berikut ini dapat dilihat hasil analisis
proksimat dari tepung kecipir rendah lemak (Tabel 4).
Tabel 4. Komposisi Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
Analisis
Berat basah
Berat kering
Kadar air (%)
7.19
7.75
Kadar abu (%)
4.22
4.54
Kadar protein (%)
40.72
43.87
Kadar lemak (%)
5.26
5.67
Kadar karbohidrat (%)
42.61
45.91
FAO menggolongkan tepung kedelai ke dalam beberapa kelas
berdasarkan kadar lemak yang terkandung (FAO, 2009). Tepung kedelai dapat
digolongkan sebagai tepung kedelai rendah lemak jika kandungan lemaknya
berkisar antara 4.5%-9%. Jika dilihat dari kadar lemak yang terkandung dalam
tepung kecipir (5.67%), tepung kecipir yang dihasilkan dapat digolongkan
sebagai tepung rendah lemak.
(33)
2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir
Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi protein. Protein
memiliki sifat kelarutan yang berbeda pada berbagai tingkatan pH yang
berbeda. Prinsip dari proses pembuatan konsentrat protein adalah dengan
mengurangi dan menghilangkan komponen lain seperti karbohidrat, lemak dan
serat sehingga kadar proteinnya meningkat (Lusas dan Rhee, 1995). Secara
garis besar, konsentrat protein dibuat dengan melarutkan protein pada pH
kelarutan protein tertinggi, lalu protein terlarut tersebut dipisahkan dan
diendapkan pada pH isoelektriknya. pH isoelektrik ditentukan berdasarkan
studi literatur, di mana Sathe
et al (1982), Okezie dan Bello (1988)
menyebutkan bahwa titik isoelektrik protein kecipir adalah pH 4.
Nilai pH kelarutan protein biji kecipir perlu ditentukan karena
beberapa sumber menyatakan perbedaan titik kelarutan maksimum dari
protein kecipir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erlina
et al.
(1982), kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah pH 6.37,
sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1989), kelarutan protein
maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Kelarutan protein yang tinggi akan
menghasilkan rendemen protein yang tinggi pula. Berikut ini dapat dilihat
perbandingan rendemen protein terekstrak pada pH yang berbeda.
0.615 a
3.88 b
2.68 a,b
0
1
2
3
4
5
6.37 10 12
Nilai pH
R
en
d
em
en
(
%)
(34)
Gambar 8 menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%,
rendemen pada pH 6.37 dan 10 berbeda nyata, sedangkan rendemen pH 12
tidak berbeda nyata dengan rendemen pH 6.37 dan pH 10. Rendemen protein
tertinggi diperoleh pada pH 10, karena itu untuk proses produksi konsentrat
protein biji kecipir digunakan pH 10 untuk ekstraksi protein.
Okezie dan Bello (1989) melakukan percobaan dengan melarutkan
protein kecipir pada pH 10, meskipun pada percobaan tersebut rendemen pH
12 lebih tinggi. Pelarutan protein pada pH 10 lebih dipilih daripada pH 12
karena mempertimbangkan beberapa hal. Proses pelarutan protein sebaiknya
tidak dilakukan di atas pH 10 karena terdapat kemungkinan terbentuknya
komponen antinutrisi seperti lisinoalanin (Kinsella, 1979). Selain itu,
dipertimbangkan juga banyaknya HCl yang dibutuhkan untuk mengendapkan
protein pada pH isoelektrik (pH 4).
3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Metode pengeringan konsentrat protein dapat mempengaruhi warna
dan sifat fungsional dari protein itu sendiri, karena sifat fungsional protein
sangat tergantung dari kondisi proses pembuatan konsentrat tersebut
(Fernandez-Quintella
et al, 1997). Jenis pengeringan dipilih berdasarkan
parameter warna. Berdasarkan hasil pengeringan dengan empat jenis
pengering diperoleh perbandingan warna konsentrat seperti berikut.
78.2591 d 51.0359 c 46.6907 b 52.2460 a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Oven 50C Oven vakum 70C Rumah kaca Spray dryer Jenis Pengering D er a ja t P u ti h
Gambar 9. Perbandingan Derajat Putih Pada Berbagai Pengeringan
Oven
50
oC
Oven
vakum
(35)
Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai derajat putih dengan berbagai
jenis pengering berbeda nyata satu sama lain pada selang kepercayaan 95%, di
mana pengeringan dengan
spray dryer memberikan warna konsentrat yang
paling cerah karena memiliki derajat putih paling tinggi. Data lengkap
mengenai nilai L, a dan b dari konsentrat dengan berbagai jenis pengeringan
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Penelitian selanjutnya menggunakan metode pengeringan spray dryer.
Selain
karena
warna,
pemilihan
spray
dryer
dilakukan
karena
mempertimbangkan efisiensi waktu. Pengeringan dengan
spray dryer lebih
cepat daripada pengeringan dengan oven yang bersistem batch.
4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Konsentrat protein adalah pekatan protein dengan kadar protein
60-70% berat kering (Hanson, 1974). Tahap pembuatan konsentrat dimulai
dengan melarutkan tepung kecipir rendah lemak pada air dengan perbandingan
1:10 untuk memperoleh rendemen protein yang baik (Smith, 1958 dan Circle,
1951). Peningkatan pH menjadi 10 adalah tahap ekstraksi protein, di mana
pada pH 10, protein berada dalam posisi kelarutan tertinggi. Cheftel
et al.
(1985) menyebutkan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan
negatif pada pH di atas titik isoelektriknya, pada kondisi ini muatan sejenis
cenderung untuk tolak menolak sehingga interaksi antara residu asam amino
minimum dan kelarutannya meningkat. Untuk meningkatkan rendemen
ekstraksi protein, proses ekstraksi pada pH 10 dilakukan dengan pemanasan
50
oC, pemanasan merupakan kondisi optimum untuk mengekstrak protein
(Circle, 1951).
Proses pengendapan protein pada pH isoelektrik dapat juga disebut
proses pencucian dengan asam, karena pada pH sekitar 4, komponen lain
(karbohidrat, mineral) terlarut dan protein mengendap. Proses isoelektrik ini
sangat menguntungkan karena dapat menggunakan pelarut air yang tidak
berbahaya, murah dan tidak mudah terbakar. Kelemahan metode ini adalah
sulitnya memisahkan padatan dari pelarut air (FAO,2009). Oleh karena itu
pemisahan padatan dilakukan dengan menggunakan sentrifus.
(36)
Pengeringan
slurry
protein sesudah disentrifus dilakukan dengan
menggunakan spray dryer pada suhu inlet 170
oC dan suhu outlet 80
oC seperti
percobaan Zheng
et al (2007). Dengan menggunakan
spray dryer, warna
konsentrat yang dihasilkan menjadi lebih cerah karena protein dikeringkan
dengan waktu yang singkat dan reaksi
Maillard dapat dihindari. Menurut
Fernandez-Quintela
et al. (1997), tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
sifat fungsional konsentrat protein yang dikeringkan dengan
spray dryer
dengan freeze dryer. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengeringan dengan
spray dryer dapat diterapkan pada proses pembuatan konsentrat protein biji
kecipir.
5.
Analisis Proksimat
Terdapat beberapa jenis produk pekatan protein, salah satunya adalah
konsentrat protein. Sampai saat ini belum ada standar baku yang ditetapkan
untuk mendefinisikan konsentrat protein. CODEX hanya menetapkan standar
baku untuk mendefinisikan produk pekatan protein kedelai dan menetapkan
komposisi baku dari produk pekatan protein kedelai tersebut.
Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar protein,
kadar abu, kadar lemak dan kadar karbohidrat by difference. Berdasarkan hasil
percobaan, kadar protein konsentrat protein kecipir adalah 65.69% berat basah
dan 71.47% berat kering seperti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Komposisi Konsentrat Protein Biji Kecipir
Analisis
Berat Basah
Berat Kering
Kadar air (%)
8.04
8.75
Kadar abu (%)
3.73
4.05
Kadar protein (%)
65.69
71.47
Kadar lemak (%)
6.68
7.27
Kadar karbohidrat (%)
15.87
17.21
Berdasarkan CODEX (1989), produk pekatan protein dapat dikatakan
sebagai konsentrat protein jika mengandung protein minimal 65% dan
maksimal 90% berat kering. Adapun, produk pekatan protein harus memiliki
kadar air yang tidak melebihi 10% dan kadar abu yang kurang dari 8% berat
kering. Jika dilihat dari tabel di atas, maka konsentrat protein biji kecipir yang
(37)
dihasilkan telah memenuhi standar CODEX (1989) yang biasanya hanya
diterapkan pada pekatan protein kedelai.
Komposisi
konsentrat
protein
biji
kecipir
yang
dihasilkan
menunjukkan kadar protein yang sama, kandungan lemak dan abu yang lebih
kecil dan kadar air yang lebih besar dari percobaan yang dilakukan oleh Sathe
et al. (1982). Perbedaan komposisi konsentrat protein kecipir yang dihasilkan
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan proses produksi konsentrat. Pada
percobaan ini, kandungan lemak yang lebih rendah disebabkan oleh adanya
tahapan ekstraksi lemak pada tepung kecipir, sedangkan kadar air yang lebih
tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan proses penyimpanan.
6. Analisis Sifat Fisikokimia
a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Kromameter Minolta CR-200
Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting untuk diamati.
Warna konsentrat protein yang tidak terlalu gelap dapat memperluas aplikasi
konsentrat pada berbagai jenis produk makanan. Proses pengolahan sangat
berpengaruh terhadap warna konsentrat yang dihasilkan. Honestin (2007)
menyatakan bahwa suhu pengeringan dan perlakuan pramasak berpengaruh
terhadap kecerahan warna tepung-tepungan yang dihasilkan.
Gambar 10. Konsentrat Protein Biji Kecipir
Warna konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan tidak terlalu gelap
seperti dapat dilihat pada Gambar 10 dan ditunjukkan oleh nilai derajat
(1)
Lampiran 8. Hasil Pengolahan Data Pengaruh Panas pada Aktivitas Emulsi
1. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 2
Variable 1 Variable 2
Mean 53.25 60
Variance 22.25 16.66666667
Observations 4 4
Pearson Correlation -0.865484645
Hypothesized Mean Difference 0
df 3
t Stat -1.588235294
P(T<=t) one-tail 0.105219849
t Critical one-tail 2.353363435
P(T<=t) two-tail 0.210439698
t Critical two-tail 3.182446305
2. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 4
Variable 1 Variable 2
Mean 2.5 6.5
Variance 3.666666667 23
Observations 4 4
Pearson Correlation 0.980037912
Hypothesized Mean Difference 0
df 3
t Stat
-2.717464882
P(T<=t) one-tail 0.036352356
t Critical one-tail 2.353363435
P(T<=t) two-tail 0.072704713
t Critical two-tail 3.182446305
3. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 6
Variable 1 Variable 2
Mean 47.5 57.75
Variance 19 10.25
Observations 4 4
Pearson Correlation -0.561316585
Hypothesized Mean Difference 0
df 3
t Stat -3.058793098
P(T<=t) one-tail 0.027522658
t Critical one-tail 2.353363435
P(T<=t) two-tail 0.055045315
t Critical two-tail 3.182446305
(2)
5. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 10
Variable 1 Variable 2
Mean 56.25 56.25
Variance 22.91666667 6.25
Observations 4 4
Pearson Correlation 0.522232968
Hypothesized Mean Difference 0
df 3
t Stat 0
P(T<=t) one-tail 0.5
t Critical one-tail 2.353363435
P(T<=t) two-tail 1
t Critical two-tail 3.182446305
Variable 1 Variable 2
Mean 53.75 59.5
Variance 6.25 1
Observations 4 4
Pearson Correlation -0.333333333
Hypothesized Mean Difference 0
df 3
t Stat -3.851204448
P(T<=t) one-tail 0.015457604
t Critical one-tail 2.353363435
P(T<=t) two-tail 0.030915207
(3)
Lampiran 9. Data Aktivitas Emulsi Selama 6 Jam Aktivitas emulsi U1 selama 6 jam
pH Vol emulsi jam ke -0 Vol emulsi jam ke-0.5 Vol emulsi jam ke-1 Vol emulsi jam ke-2 Vol emulsi jam ke-4 Vol emulsi jam ke-6
2 5.15 5.00 4.75 4.75 4.75 4.75
4 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10
6 4.50 4.40 4.15 4.00 4.00 4.00
8 5.50 5.50 5.50 5.50 5.50 5.50
10 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00
Aktivitas emulsi U1 selama 6 jam
pH Vol emulsi jam ke -0 Vol emulsi jam ke-0.5 Vol emulsi jam ke-1 Vol emulsi jam ke-2 Vol emulsi jam ke-4 Vol emulsi jam ke-6
2 5.50 5.50 5.50 5.50 5.50 5.50
4 0.40 0.40 0.40 0.40 0.35 0.35
6 5.00 5.00 4.75 4.75 4.75 4.75
8 5.25 5.25 5.25 5.25 5.25 5.25
10 5.25 5.25 5.25 5.25 5.25 5.00
Rata-rata aktivitas emulsi setelah 6 jam
pH Vol emulsi jam ke -0 Vol emulsi jam ke-0.5 Vol emulsi jam ke-1 Vol emulsi jam ke-2 Vol emulsi jam ke-4 Vol emulsi jam ke-6
2 5.33 5.25 5.13 5.13 5.13 5.13
4 0.25 0.25 0.25 0.25 0.23 0.23
6 4.75 4.70 4.45 4.38 4.38 4.38
8 5.38 5.38 5.38 5.38 5.38 5.38
(4)
Lampiran 10. Hasil Pengolahan Data Kapasitas Buih
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
pH 4 2
7 2
10 2
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kapasitas_buih
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 3796.374(a) 2 1898.187 53.409 .005 Intercept 7822.870 1 7822.870 220.110 .001 pH 3796.374 2 1898.187 53.409 .005
Error 106.622 3 35.541
Total 11725.866 6
Corrected Total 3902.996 5 a R Squared = .973 (Adjusted R Squared = .954)
Post Hoc Tests
pH
Homogeneous Subsets
Kapasitas_buihDuncan
pH
N Subset
1 2 3 1
4 2 2.3800
7 2 43.1800
10 2 62.7650
Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 35.541. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
(5)
(6)
Catherine Haryasyah. F24052763. Produksi Konsentrat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Serta Analisis Sifat Fisikokimia dan Fungsionalnya. Di bawah bimbingan C. C. Nurwitri dan Slamet Budijanto
RINGKASAN
Biji kecipir merupakan tanaman yang tumbuh dengan baik pada iklim tropis dan memiliki kandungan protein yang tinggi. Biji kecipir yang memiliki komposisi protein menyerupai kedelai dan dapat dibudidayakan dengan mudah di Indonesia ini mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber protein alternatif untuk menggantikan produk pekatan kedelai seperti konsentrat protein. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai berbagai sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat protein biji kecipir ini.
Metode penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: (1) pembuatan tepung biji kecipir rendah lemak, (2) penentuan pH kelarutan maksimum dari protein biji kecipir, (3) penentuan metode pengeringan konsentrat protein biji kecipir, (4) pembuatan konsentrat protein biji kecipir, (5) analisis proksimat, (6) analisis sifat fisikokimia, dan (7) analisis sifat fungsional protein.
Konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan dengan metode isoelektrik dan pengeringan dengan spray dryer ini memiliki kadar air 8.75 (%BK), kadar protein 71.47 (%BK), kadar lemak 7.27 (%BK), kadar abu 4.05 (%BK), dan kadar karbohidrat 17.21 (%BK). Warna konsentrat yang dihasilkan tidak terlalu gelap (derajat putih sebesar 72.40), nilai Particle Size Index yang cukup tinggi (63.05%) dan densitas kamba sebesar 0.5831 g/ml. Konsentrat protein biji kecipir ini juga mengandung asam amino yang lengkap, namun asam amino sistein dan metionin menjadi asam amino pembatasnya. Asam glutamat, prolin, leusin, lisin dan asam aspartat merupakan asam amino dominan, sedangkan metionin, sistein dan triptofan berada dalam jumlah yang sangat sedikit. Konsentrat protein biji kecipir ini memiliki kandungan asam glutamat sebesar 6.37%, prolin 3.61%, leusin 3.37%, lisin 2.79%, asam aspartat 2.68%, metionin 0.60%, sistein 0.40%, dan triptofan 0.37%.
Kelarutan terendah konsentrat berada pada pH 4 yang diketahui sebagai titik isoelektrik protein kecipir, sedangkan kelarutan tertingginya berada pada pH 11. Pada pH 12, kelarutannya proteinnya menurun. Sifat kelarutan ini berhubungan dengan sifat fungsional lainnya. Sifat fungsional protein sangat menentukan potensi aplikasi konsentrat protein biji kecipir ini. Daya serap air dari konsentrat biji kecipir sebesar 1.6070 g air/ g solid, sedangkan daya serap minyaknya 1.0194 g minyak/g solid. Aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir sangat dipengaruhi oleh pH, di mana aktivitas emulsi terendah terjadi pada pH isoelektriknya yaitu sebesar 2.50%. Konsentrat protein biji kecipir dapat membentuk gel pada konsentrasi inisial 16% dan hanya dapat terbentuk pada pH netral. Konsentrat protein biji kecipir ini juga dapat membentuk buih, namun tidak sebaik protein telur ataupun kedelai.
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, konsentrat protein biji kecipir ini cocok diaplikasikan pada produk pangan yang bersifat netral dan cenderung basa. Konsentrat protein biji kecipir dapat diaplikasikan pada produk pangan yang berinteraksi dengan air membentuk emulsi ataupun gel, dan bukan produk pangan yang membutuhkan daya buih yang tinggi.