IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
Tahap pembuatan tepung ini adalah tahap yang umumnya dilakukan sebelum tahap pembuatan konsentrat. Tahap penepungan ini sangat penting
untuk mempermudah proses ekstraksi protein karena luas permukaan yang semakin besar. Terdapat beberapa tahap dalam pembuatan tepung ini, di
antaranya adalah tahap pengupasan kulit biji kecipir dan tahap ekstraksi lemak. Dengan adanya pengupasan kulit sebagian besar serat dapat dibuang,
sedangkan pada tahap ekstraksi lemak, lemak dapat dikurangi. Penggunaan tepung bebas lemak sangat penting pada tahap pembuatan konsentrat karena
lemak dapat membentuk kompleks dengan protein dan menghambat proses ekstraksi protein pada tahap berikutnya Leimena, 2000.
Tahap pengupasan dilakukan dengan metode pengupasan basah, meliputi perendaman dalam air selama 24 jam dan perebusan selama 30 menit.
Menurut penelitian Sambudi dan Buckle 1991, dengan perendaman dan perebusan tersebut, kulit kecipir dapat dikupas dengan cukup mudah, enzim
lipoksigenase dapat dihilangkan dengan adanya pemanasan, dan sifat fungsional dari protein tersebut dapat ditingkatkan, terutama daya serap
airnya. Tahap ekstraksi lemak dilakukan berdasarkan percobaan Handoko
2000, di mana perbandingan bahan dan heksana yang digunakan adalah 1:5 dengan waktu ekstraksi selama 2 jam. Pelarut heksana adalah pelarut non
polar yang umum digunakan untuk produksi konsentrat ataupun isolat protein. Pelarut heksana ini harus diuapkan setelah proses ekstraksi lemak untuk
meminimumkan residu heksana pada produk akhir. European Union 2009 menetapkan limit residu maksimum untuk beberapa produk defatted dan
produk pekatan protein kedelai yang biasa dijual sebagai produk akhir untuk konsumen. Nilai limit maksimum residu heksana untuk produk pekatan
protein kedelai adalah 30 ppm, sedangkan untuk produk defatted adalah 10 ppm.
Dalam tahap ekstraksi lemak ini ukuran bahan perlu diperhatikan. Ukuran bahan yang tepat akan menjadikan proses ekstraksi lemak efisien dan
tidak memakan waktu yang lama. Apabila ukuran bahan terlalu halus, bahan akan menggumpal sehingga akan sulit ditembus pelarut, sebaliknya jika
ukuran bahan terlalu besar, proses ekstraksi akan berlangsung lama Moestafa, 1981. Oleh karena itu, dipilih ukuran 60 mesh karena jika ukuran bahan di
atas 50 mesh sebenarnya tidak akan memberikan dampak yang nyata pada perbedaan kadar lemak yang terekstraksi Handoko, 2000. Berdasarkan
penelitian Handoko 2000, ekstraksi lemak selama 2 jam adalah waktu yang optimum, karena setelah waktu 2 jam, pelarut heksana akan menjadi jenuh dan
tidak mampu lagi melarutkan lemak. Berikut ini dapat dilihat hasil analisis proksimat dari tepung kecipir rendah lemak Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
Analisis Berat basah
Berat kering
Kadar air 7.19
7.75 Kadar abu
4.22 4.54
Kadar protein 40.72
43.87 Kadar lemak
5.26 5.67
Kadar karbohidrat 42.61
45.91 FAO menggolongkan tepung kedelai ke dalam beberapa kelas
berdasarkan kadar lemak yang terkandung FAO, 2009. Tepung kedelai dapat digolongkan sebagai tepung kedelai rendah lemak jika kandungan lemaknya
berkisar antara 4.5-9. Jika dilihat dari kadar lemak yang terkandung dalam tepung kecipir 5.67, tepung kecipir yang dihasilkan dapat digolongkan
sebagai tepung rendah lemak.
Gambar 7. Tepung Kecipir Rendah Lemak
2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir
Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi protein. Protein memiliki sifat kelarutan yang berbeda pada berbagai tingkatan pH yang
berbeda. Prinsip dari proses pembuatan konsentrat protein adalah dengan mengurangi dan menghilangkan komponen lain seperti karbohidrat, lemak dan
serat sehingga kadar proteinnya meningkat Lusas dan Rhee, 1995. Secara garis besar, konsentrat protein dibuat dengan melarutkan protein pada pH
kelarutan protein tertinggi, lalu protein terlarut tersebut dipisahkan dan diendapkan pada pH isoelektriknya. pH isoelektrik ditentukan berdasarkan
studi literatur, di mana Sathe et al 1982, Okezie dan Bello 1988 menyebutkan bahwa titik isoelektrik protein kecipir adalah pH 4.
Nilai pH kelarutan protein biji kecipir perlu ditentukan karena beberapa sumber menyatakan perbedaan titik kelarutan maksimum dari
protein kecipir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et al. 1982, kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah pH 6.37,
sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello 1989, kelarutan protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Kelarutan protein yang tinggi akan
menghasilkan rendemen protein yang tinggi pula. Berikut ini dapat dilihat perbandingan rendemen protein terekstrak pada pH yang berbeda.
0.615 a
3.88 b
2.68 a,b
1 2
3 4
5
6.37 10
12
Nilai pH R
en d
em en
Gambar 8. Rendemen Konsentrat pada Berbagai Nilai pH Ekstraksi
Gambar 8 menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95, rendemen pada pH 6.37 dan 10 berbeda nyata, sedangkan rendemen pH 12
tidak berbeda nyata dengan rendemen pH 6.37 dan pH 10. Rendemen protein tertinggi diperoleh pada pH 10, karena itu untuk proses produksi konsentrat
protein biji kecipir digunakan pH 10 untuk ekstraksi protein. Okezie dan Bello 1989 melakukan percobaan dengan melarutkan
protein kecipir pada pH 10, meskipun pada percobaan tersebut rendemen pH 12 lebih tinggi. Pelarutan protein pada pH 10 lebih dipilih daripada pH 12
karena mempertimbangkan beberapa hal. Proses pelarutan protein sebaiknya tidak dilakukan di atas pH 10 karena terdapat kemungkinan terbentuknya
komponen antinutrisi seperti lisinoalanin Kinsella, 1979. Selain itu, dipertimbangkan juga banyaknya HCl yang dibutuhkan untuk mengendapkan
protein pada pH isoelektrik pH 4.
3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Metode pengeringan konsentrat protein dapat mempengaruhi warna dan sifat fungsional dari protein itu sendiri, karena sifat fungsional protein
sangat tergantung dari kondisi proses pembuatan konsentrat tersebut Fernandez-Quintella et al, 1997. Jenis pengeringan dipilih berdasarkan
parameter warna. Berdasarkan hasil pengeringan dengan empat jenis pengering diperoleh perbandingan warna konsentrat seperti berikut.
78.2591 d
51.0359 c
46.6907 b
52.2460 a
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Oven 50C
Oven vakum
70C Rumah
kaca Spray
dryer
Jenis Pengering D
er a
ja t
P u
ti h
Gambar 9. Perbandingan Derajat Putih Pada Berbagai Pengeringan Oven
50
o
C Oven
vakum 70
o
C
Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai derajat putih dengan berbagai jenis pengering berbeda nyata satu sama lain pada selang kepercayaan 95, di
mana pengeringan dengan spray dryer memberikan warna konsentrat yang paling cerah karena memiliki derajat putih paling tinggi. Data lengkap
mengenai nilai L, a dan b dari konsentrat dengan berbagai jenis pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Penelitian selanjutnya menggunakan metode pengeringan spray dryer. Selain
karena warna,
pemilihan spray
dryer dilakukan
karena mempertimbangkan efisiensi waktu. Pengeringan dengan spray dryer lebih
cepat daripada pengeringan dengan oven yang bersistem batch.
4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Konsentrat protein adalah pekatan protein dengan kadar protein 60- 70 berat kering Hanson, 1974. Tahap pembuatan konsentrat dimulai
dengan melarutkan tepung kecipir rendah lemak pada air dengan perbandingan 1:10 untuk memperoleh rendemen protein yang baik Smith, 1958 dan Circle,
1951. Peningkatan pH menjadi 10 adalah tahap ekstraksi protein, di mana pada pH 10, protein berada dalam posisi kelarutan tertinggi. Cheftel et al.
1985 menyebutkan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya, pada kondisi ini muatan sejenis
cenderung untuk tolak menolak sehingga interaksi antara residu asam amino minimum dan kelarutannya meningkat. Untuk meningkatkan rendemen
ekstraksi protein, proses ekstraksi pada pH 10 dilakukan dengan pemanasan 50
o
C, pemanasan merupakan kondisi optimum untuk mengekstrak protein Circle, 1951.
Proses pengendapan protein pada pH isoelektrik dapat juga disebut proses pencucian dengan asam, karena pada pH sekitar 4, komponen lain
karbohidrat, mineral terlarut dan protein mengendap. Proses isoelektrik ini sangat menguntungkan karena dapat menggunakan pelarut air yang tidak
berbahaya, murah dan tidak mudah terbakar. Kelemahan metode ini adalah sulitnya memisahkan padatan dari pelarut air FAO,2009. Oleh karena itu
pemisahan padatan dilakukan dengan menggunakan sentrifus.
Pengeringan slurry protein sesudah disentrifus dilakukan dengan menggunakan spray dryer pada suhu inlet 170
o
C dan suhu outlet 80
o
C seperti percobaan Zheng et al 2007. Dengan menggunakan spray dryer, warna
konsentrat yang dihasilkan menjadi lebih cerah karena protein dikeringkan dengan waktu yang singkat dan reaksi Maillard dapat dihindari. Menurut
Fernandez-Quintela et al. 1997, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada sifat fungsional konsentrat protein yang dikeringkan dengan spray dryer
dengan freeze dryer. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengeringan dengan spray dryer dapat diterapkan pada proses pembuatan konsentrat protein biji
kecipir.
5. Analisis Proksimat
Terdapat beberapa jenis produk pekatan protein, salah satunya adalah konsentrat protein. Sampai saat ini belum ada standar baku yang ditetapkan
untuk mendefinisikan konsentrat protein. CODEX hanya menetapkan standar baku untuk mendefinisikan produk pekatan protein kedelai dan menetapkan
komposisi baku dari produk pekatan protein kedelai tersebut. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar protein,
kadar abu, kadar lemak dan kadar karbohidrat by difference. Berdasarkan hasil percobaan, kadar protein konsentrat protein kecipir adalah 65.69 berat basah
dan 71.47 berat kering seperti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Komposisi Konsentrat Protein Biji Kecipir
Analisis Berat Basah
Berat Kering
Kadar air 8.04
8.75 Kadar abu
3.73 4.05
Kadar protein 65.69
71.47 Kadar lemak
6.68 7.27
Kadar karbohidrat 15.87
17.21 Berdasarkan CODEX 1989, produk pekatan protein dapat dikatakan
sebagai konsentrat protein jika mengandung protein minimal 65 dan maksimal 90 berat kering. Adapun, produk pekatan protein harus memiliki
kadar air yang tidak melebihi 10 dan kadar abu yang kurang dari 8 berat kering. Jika dilihat dari tabel di atas, maka konsentrat protein biji kecipir yang
dihasilkan telah memenuhi standar CODEX 1989 yang biasanya hanya diterapkan pada pekatan protein kedelai.
Komposisi konsentrat
protein biji
kecipir yang
dihasilkan menunjukkan kadar protein yang sama, kandungan lemak dan abu yang lebih
kecil dan kadar air yang lebih besar dari percobaan yang dilakukan oleh Sathe et al. 1982. Perbedaan komposisi konsentrat protein kecipir yang dihasilkan
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan proses produksi konsentrat. Pada percobaan ini, kandungan lemak yang lebih rendah disebabkan oleh adanya
tahapan ekstraksi lemak pada tepung kecipir, sedangkan kadar air yang lebih tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan proses penyimpanan.
6. Analisis Sifat Fisikokimia a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Kromameter Minolta CR-200
Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting untuk diamati. Warna konsentrat protein yang tidak terlalu gelap dapat memperluas aplikasi
konsentrat pada berbagai jenis produk makanan. Proses pengolahan sangat berpengaruh terhadap warna konsentrat yang dihasilkan. Honestin 2007
menyatakan bahwa suhu pengeringan dan perlakuan pramasak berpengaruh terhadap kecerahan warna tepung-tepungan yang dihasilkan.
Gambar 10. Konsentrat Protein Biji Kecipir Warna konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan tidak terlalu gelap
seperti dapat dilihat pada Gambar 10 dan ditunjukkan oleh nilai derajat
putihnya sebesar 72.40 . Notasi warna konsentrat protein biji kecipir pada Tabel. 6 menunjukkan bahwa pigmen biji kecipir yang berpotensi
menghasilkan warna coklat pada konsentrat, dapat dihilangkan selama proses produksi. Selain itu, komponen gula yang dapat menyebabkan terjadinya
reaksi Maillard pada konsentrat juga dapat dikurangi. Parameter warna ini tidak menunjukkan pengaruh proses pengolahan terhadap sifat fisikokimia
dan fungsional lain dari konsentrat protein biji kecipir. Tabel 6 . Parameter Warna Konsentrat Protein Biji Kecipir
Parameter warna Nilai
L lightness 75.42
a warna merah 0.85
b warna kuning 12.52
Derajat putih 72.40
b. Particle Size Index PSI
Ukuran partikel mempengaruhi parameter penyerapan air, cooking loss dan
tekstur dari produk yang dihasilkan
.
Semakin halus ukuran partikel, semakin besar tingkat penyerapan air dan cooking loss ketika proses produksi
Hatcher et al., 2002. Distribusi ukuran partikel pangan berbentuk bubuk memiliki pengaruh yang nyata pada densitas kamba dan porositas bahan.
Semakin kecil ukuran partikel, semakin kecil densitas kamba dan semakin tinggi porositasnya.
Particle Size Index menunjukkan tingkat kehalusan dari konsentrat protein yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan dua ulangan, PSI dari
konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan adalah 63.05. Nilai PSI yang semakin besar menunjukkan semakin tingginya tingkat kehalusan dari partikel
tepung yang dihasilkan Bejarano et al., 2007. Cukup tingginya nilai PSI dari konsentrat protein biji kecipir ini dapat disebabkan oleh proses pengeringan
dengan spray dryer yang menghasilkan produk dengan ukuran partikel yang relatif halus.
c. Densitas kamba
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volum bahan yang dinyatakan dalam satuan gml. Peleg dan Bagley 1983
menyatakan bahwa densitas kamba tergantung dari beberapa faktor, yaitu gaya tarik antara partikel, ukuran partikel dan luas permukaan sentuh partikel.
Konsentrat protein biji kecipir mempunyai densitas kamba sebesar 0.5831 gml. Nilai densitas kamba dari konsentrat protein biji kecipir ini
sebanding dengan nilai densitas kamba tepung biji kecipir 0.5300 g ml yang diteliti oleh Okezie dan Bello 1988. Bahan pangan dengan bentuk bubuk
umumnya memiliki densitas kamba antara 0.3-0.8 gml Wirakartakusumah et al., 1992. Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki
porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80. Densitas kamba ini berhubungan dengan formulasi produk dan
pengemasan bahan pangan. Semakin tinggi nilai densitas kamba, menunjukkan bahwa produk semakin padat dan memiliki porositas yang
rendah. Pada formulasi produk, nilai densitas kamba berpengaruh terhadap jumlah konsentrat protein yang dapat ditambahkan ke dalam satu sajian
produk pangan. Konsentrat protein diharapkan memiliki nilai densitas kamba yang cukup tinggi karena dapat menghasilkan kekentalan pasta protein yang
rendah, hal ini merupakan faktor yang penting untuk aplikasi makanan yang berbentuk bubur untuk anak-anak dan orang sakit Padmashree et al., 1987.
d. Komposisi Asam Amino
Selain nilai nutrisi, komposisi asam amino suatu protein sangat menentukan sifat fungsional protein tersebut Philips dan Finley, 1989. Hal
ini terkait dengan tingkat kepolaran dari protein itu sendiri, di mana asam amino polar dan non polar memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat
fungsional protein seperti kelarutan protein, daya serap air, daya serap minyak dan sifat fungsional lainnya.
2.788 0.956
3.371 1.204
0.395 0.601
1.669 1.118
3.608
1.098 1.667
0.886 0.965
0.856 1.744
6.369
2.680
0.374
0.000 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000 7.000
T rp Asp
Glu Ser
Gly His
Arg T hr
Ala Pro
T yr Val
Met Cys
Ileu Leu
Phe Lys
Asam Amino P
er se
n ta
se
Gambar 11. Komposisi Asam Amino Konsentrat Protein Biji Kecipir Gambar 11 di atas menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir
dominan mengandung asam glutamat, diikuti oleh prolin, leusin, lisin dan asam aspartat. Dari komposisi tersebut dapat dilihat bahwa protein konsentrat
biji kecipir ini cenderung bersifat hidrofilik. Asam aspartat, asam glutamat dan lisin dapat mengikat sekitar 4-7 molekul air molekul asam amino, sedangkan
asam amino polar hanya 1-2 molekul air molekul asam amino, bahkan asam amino non polar hanya 1 molekul airmolekul asam amino atau tidak sama
sekali Zayas, 1997. Jika dilihat dari komposisi asam aminonya saja, konsentrat protein biji kecipir ini memiliki daya ikat air yang baik, sedangkan
daya ikat minyaknya tidak terlalu baik. Konsentrat protein biji kecipir mengandung semua asam amino esensial,
yaitu lisin, leusin, isoleusin, arginin, fenilalanin, valin, treonin, metionin, dan triptofan. Berdasarkan penelitian ini, sistein dan metionin menjadi asam amino
pembatas bagi konsentrat protein biji kecipir ini. Asam amino pembatas ditentukan dengan menghitung skor kimia untuk asam amino esensial yang
terkandung pada konsentrat protein biji kecipir. Skor kimia dapat dihitung dengan membandingkan jumlah asam amino
esensial pada sampel dengan pola kebutuhan asam amino yang diterapkan oleh FAO 1973. Okezie dan Bello 1988 membandingkan komposisi asam
amino dari konsentrat protein biji kecipir dengan isolat protein kedelai komersial Promine D. Kedua pekatan protein tersebut memiliki asam amino
pembatas yang sama, yaitu metionin dan sistein. Skor kimia untuk konsentrat protein kecipir adalah 58, sedangkan isolat kedelai memiliki skor kimia
sebesar 65.7. Penelitian yang dilakukan Okezie dan Bello 1988 ini menunjukkan bahwa komposisi asam amino dari protein kecipir sebanding
dengan isolat protein kedelai, terutama pada distribusi dan kandungan asam amino esensialnya.
7. Analisis Sifat Fungsional a. Protein Solubility
Kelarutan protein adalah jumlah protein sampel yang terlarut dalam larutan. Kelarutan protein dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal yang mempengaruhi adalah komposisi asam amino, berat molekul protein, dan konformasi protein. Adapun beberapa faktor eksternal
yang mempengaruhi kelarutan protein yaitu kekuatan ionik, tipe pelarut, pH, suhu dan kondisi pemrosesan tertentu Zayas, 1997. Profil kelarutan protein
ini sangat berhubungan dengan sifat fungsional protein lainnya, terutama sifat buih, emulsi dan gelasi Zayas, 1997.
0.000 0.100
0.200 0.300
0.400 0.500
0.600 0.700
2 4
6 8
10 12
14
K o
n se
n tr
a si
m g
m l
Nilai pH
Protein Solubility
Gambar 12. Kurva Kelarutan Protein pada Berbagai Nilai pH Protein Solubility
Gambar 12 menunjukkan profil kelarutan dari konsentrat protein biji kecipir membentuk kurva berbentuk huruf U antara pH 2-11. Kelarutan
protein mencapai titik terendah pada pH 4 dan naik perlahan-lahan hingga mencapai kelarutan maksimum pada pH 11 dan turun kembali pada pH 12.
Banyaknya protein terlarut pada medium cair adalah hasil gaya elektrostatik dan interaksi hidrofobik antara molekul protein. Kelarutan meningkat jika
gaya elektrostatik protein dan medium lebih besar daripada interaksi hidrofobik Zayas, 1997. Pada pH asam atau basa, protein bermuatan positif
atau negatif dan meningkatkan interaksi protein-air sehingga kelarutan protein meningkat. Pada pH isolektrik, muatan protein nol dan meningkatkan interaksi
antara protein itu sendiri sehingga kelarutannya menurun. Fenomena inilah yang menjelaskan kurva kelarutan protein terhadap pH membentuk huruf U
dengan kelarutan terendah pada titik isoelektrik Zayas, 1997. Percobaan Sathe et al. 1982 menggambarkan bahwa kelarutan terendah
konsentrat protein kecipir dicapai pada pH 4, dan seiring dengan meningkatnya pH, kelarutan pun meningkat dengan kelarutan maksimum pada
pH 12. Namun pada penelitian ini, kelarutan protein kecipir hanya meningkat hingga pH 11 dan menurun pada pH 12. Hal ini dapat terjadi karena pada pH
12, protein biji kecipir telah mengalami denaturasi sehingga kelarutannya menurun. Winarno 1997 menjelaskan bahwa protein yang terdenaturasi
berkurang kelarutannya, karena protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke
dalam. Nilai pH yang ekstrim dapat menyebabkan gaya tolak menolak antara
muatan sejenis pada intramolekul protein. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang ditandai dengan adanya pengembangan dan
pembukaan struktur protein Damodaran, 1996. Pada pH basa yang ekstrim, tingkat pembukaan struktur protein lebih tinggi daripada pH asam.
Sebenarnya, denaturasi yang disebabkan oleh pH ini bersifat reversibel, namun pada keadaan tertentu hidrolisis parsial dari ikatan peptida protein,
deamidasi aspartin dan glutamin, serta destruksi gugus sulfihidril pada pH
basa dapat menyebabkan denaturasi protein yang bersifat permanen Damodaran, 1996.
b. Daya Serap Air WHC
Daya serap air atau water holding capacity merupakan kemampuan protein untuk mengikat air selama diaplikasikannya gaya-gaya, tekanan,
sentrifugasi dan pemanasan Zayas, 1997. Daya serap air berhubungan dengan juiciness dan tekstur dari berbagai produk pangan, seperti daging,
bakery dan produk yang memiliki karakter gel Damodaran, 1996. Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir sebesar 1.6070 g air g
solid konsentrat. Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini sebanding dengan daya serap air dari tepung kedelai 1.3 g air g solid, namun
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrat protein kedelai 2.2 g air g solid seperti dilaporkan oleh Kinsella 1979. Nilai daya serap air dari
konsentrat protein biji kecipir ini masih termasuk dalam kisaran nilai daya serap air untuk konsentrat dan isolat protein komersial 1.5-2.5 g H
2
O g solid seperti dilaporkan oleh Lin dan Zayas 1987.
Daya serap air tergantung pada komposisi protein dan konformasi molekul protein itu sendiri Zayas, 1997. Karena itu, daya serap air
konsentrat protein biji kecipir ini pun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Jika ditinjau dari komposisi asam aminonya, konsentrat protein biji
kecipir seharusnya memiliki daya serap air yang baik, mengingat banyaknya asam amino ionik asam aspartat, asam glutamat dan lisin yang terkandung.
Interaksi air dengan gugus hidrofilik asam amino terjadi karena adanya ikatan hidrogen.
Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini masih dapat ditingkatkan dengan berbagai perbaikan proses produksi, seperti proses
penetralan konsentrat sebelum proses pengeringan ataupun adanya modifikasi proses seperti asilasi, asetilasi dan suksinilasi pada protein kecipir Narayana
dan Rao, 1984. Semakin tinggi nilai daya serap air menunjukkan bahwa protein tersebut potensial digunakan dalam pengolahan produk daging, roti
dan cake.
c. Daya Serap Minyak
Karakteristik produk pangan banyak melibatkan interaksi antara protein dan lemak, seperti pembentukan emulsi, emulsifikasi lemak pada daging,
absorpsi flavor dan tekstur adonan. Kinsella 1979 menjelaskan mekanisme absorpsi minyak sebagai fenomena terperangkapnya minyak secara fisik.
Selanjutnya Kinsella 1979 dan Sathe et al. 1982 menyatakan bahwa absorbsi lemak ditentukan oleh pengikatan lemak oleh gugus nonpolar pada
protein. Dalam produk pangan yang berbentuk bubuk, pengikatan lemak
dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk bubuk dengan densitas rendah dan ukuran partikel kecil mengabsorbsi dan memerangkap minyak
lebih banyak daripada protein dengan densitas yang tinggi Zayas, 1997. Kemampuan protein mengikat lemak sangat penting untuk aplikasi
protein sebagai meat replacer dan extender sehubungan dengan mouthfeel dan retensi flavor yang melibatkan daya ikat lemak pada produk. Daya serap
minyak dari konsentrat protein biji kecipir ini adalah 1.0194 g minyak g solid konsentrat. Nilai daya serap minyak dari konsentrat protein biji kecipir ini
sebanding dengan daya serap minyak dari konsentrat protein kedelai komersial ISOPRO sebesar 1.1704 g minyak g solid seperti dilaporkan oleh Lin et al.
1974. Namun lebih kecil dari daya serap minyak protein kecipir yang diujicobakan oleh Sathe et al. 1982.
Jika dilihat berdasarkan struktur partikel konsentrat protein biji kecipir yang halus dan nilai densitas yang menunjukkan sifat porous, seharusnya
konsentrat protein biji kecipir memiliki daya serap minyak yang cukup tinggi. Namun daya serap minyak yang tidak terlalu tinggi pada konsentrat biji
kecipir ini dapat disebabkan oleh komposisi asam amino konsentrat protein biji kecipir yang cenderung polar dan sedikit mengandung asam amino
nonpolar yang dibutuhkan untuk mengikat lemak atau minyak.
d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi
Sifat emulsi protein merupakan kemampuan protein untuk membentuk emulsi. Aktivitas emulsi protein adalah kemampuan protein dalam
pembentukan emulsi dan menstabilkan emulsi tersebut Zayas, 1997. Nakai et al. 1980, melaporkan bahwa kelarutan protein, hidrofobisitas permukaan,
dan fleksibiltas molekul protein mempengaruhi sifat emulsi dari protein globular.
Banyak faktor yang mempengaruhi sifat emulsi dari protein, di antaranya adalah konsentrasi protein, pH medium, kekuatan ionik dan perlakuan panas.
Konsentrasi protein berpengaruh terhadap pembentukan emulsi. Adsorpsi permukaan interfasial terjadi secara difusi pada konsentrasi protein yang
rendah, namun pada konsentrasi protein yang tinggi adsorpsi pada permukaan membutuhkan energi aktivasi tertentu. Oleh karena itu, sifat emulsi biasanya
diamati pada konsentrasi protein yang rendah. Zayas 1997 menyatakan bahwa emulsi protein, air dan minyak dapat diperoleh pada konsentrasi antara
0.2-1. Percobaan aktivitas emulsi ini dilakukan pada konsentrasi 1. Sifat emulsi protein juga sangat bergantung pada pH, hal ini terkait
dengan profil kelarutan protein pada berbagai pH. Nilai pH mempengaruhi kelarutan protein, konformasi molekul protein dan sifat permukaan protein
yang secara tidak langsung mempengaruhi sifat emulsi protein Zayas, 1997. Pada gambar berikut dapat dilihat bahwa aktivitas emulsi dari konsentrat
protein biji kecipir ini sangat tergantung pada pH. Di mana pada pH yang berbeda, aktivitas emulsinya juga berbeda Gambar 13.
53.75 c
47.50 b
2.50 a
53.25 b,c
56.25 c
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
2 4
6 8
10
Nilai pH A
k ti
v it
a s
E m
u ls
i
Gambar 13 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir
pada Berbagai Nilai pH
Aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir tertinggi diperoleh pada pH 10, di mana aktivitasnya tidak berbeda nyata dengan aktivitas emulsi pH 2
dan pH 8, sedangkan aktivitas emulsi terendah terjadi pada pH 4 dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95 dengan pH lainnya. Aktivitas emulsi
pada pH 6 cukup tinggi dan tidak berbeda secara nyata dengan aktivitas emulsi pada pH 2, namun berbeda secara nyata dengan aktivitas emulsi pH 4,
8, dan 10. Olah data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Sifat emulsi dipengaruhi pH dan berkorelasi positif dengan profil
kelarutan protein tersebut. Hal tersebut terbukti, pada penelitian ini aktivitas emulsi yang terbentuk sesuai dengan profil kelarutan konsentrat protein biji
kecipir yang sangat rendah pada pH 4 dan memiliki kelarutan yang lebih tinggi pada pH asam atau basa.
Pembentukan film pada droplet minyak hanya dapat terjadi jika protein berada dalam keadaan terlarut Zayas, 1997. Pada pH isoelektrik, protein
yang teradsorbsi di permukaan minyak-air berada pada taraf terendah karena protein tidak dalam keadaan terlarut. Film yang tidak terbentuk pada
permukaan minyak-air menyebabkan droplet minyak bersatu kembali dan emulsi tidak dapat terbentuk. Oleh karena itu, protein dapat menjadi emulsifier
yang efektif pada pH yang jauh dari titik isolektriknya Damodaran, 1996. Emulsi yang terbentuk maksimum pada pH 10 disebabkan oleh tingginya nilai
kelarutan konsentrat protein biji kecipir pada pH tersebut.
Perlakuan panas pada protein juga sangat berpengaruh terhadap sifat emulsi dari protein. Sifat emulsi dari globular protein dapat ditingkatkan
dengan adanya pemanasan, hal ini terkait pembukaan rantai polipeptida protein Zayas, 1997. Sifat emulsi protein dapat lebih baik setelah
dipanaskan, berkorelasi positif dengan meningkatnya hidrofobisitas protein Kato et al., 1981,. Namun, pemanasan tersebut tidak boleh menyebabkan
protein terkoagulasi dan penurunan kelarutan protein. Kombinasi tingginya hidrofobisitas dan kelarutan protein dapat menghasilkan sifat emulsifier yang
baik Zayas, 1997. Pada penelitian ini diamati aktivitas emulsi setelah mendapat perlakuan panas 80
o
C selama 30 menit. Gambar 14 menunjukkan aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir setelah dipanaskan.
56.25 b
59.50 b
57.75 b
6.50 a
60.00 b
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
2 4
6 8
10
Nilai pH V
o l
em u
ls i
m l
Gambar 14 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir Setelah Pemanasan pada Berbagai Nilai pH
Setelah dipanaskan, aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir mengalami peningkatan. Di mana aktivitas emulsi pada pH 4 paling rendah
dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95 dengan aktivitas emulsi yang lebih tinggi pada pH 2, 6, 8, 10. Olah data mengenai aktivitas emulsi
setelah dipanaskan dapat dilihat pada Lampiran 7. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas pada aktivitas emulsi, data
diolah menggunakan Paired Sample T-test. Uji pada masing-masing pH menunjukkan kecenderungan bahwa perlakuan panas tidak menyebabkan
peningkatan yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 95 pada berbagai nilai pH. Olah data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Data
peningkatan aktivitas emulsi setelah dipanaskan menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir tetap memiliki aktivitas emulsi yang baik
setelah pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir dapat diterapkan sebagai emulsfying agent pada produk pangan yang
membutuhkan proses pemanasan sekalipun. Diamati juga aktivitas emulsi selama beberapa waktu untuk diketahui
stabilitasnya. Emulsi yang terbentuk dengan protein sebagai emulsifier dapat memiliki stabilitas selama beberapa hari jika disimpan pada keadaan atmosfer
Damodaran, 1996. Dari Gambar 15 di bawah dapat diketahui bahwa emulsi yang terbentuk cenderung stabil jika disimpan pada suhu ruang.
Gambar 15. Stabilitas Emulsi Selama 6 Jam pada Suhu Ruang Pembentukan emulsi oleh protein dipengaruhi oleh faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal meliputi pH, kekuatan ion, suhu, berat molekul surfaktan, dan tipe protein. Faktor eksternal meliputi jenis peralatan
yang digunakan, dan kecepatan pengadukan. Sampai saat ini belum ditetapkan metode yang baku untuk mengukur sifat emulsifier ini, oleh karena itu hasil
pengamatan dari berbagai laboratorium sangat bervariasi satu sama lain dan tidak dapat dibandingkan Damodaran, 1996.
e. Daya Gelasi
Daya gelasi adalah salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi suatu jenis protein. Kualitas suatu produk pangan, khususnya
tekstur dan juiciness dapat ditentukan berdasarkan kapasitas gelasi suatu jenis protein. Gel dapat terbentuk ketika struktur protein setengah membuka
membentuk polipeptida yang dapat berinteraksi membentuk ikatan cross- linked tiga dimensi Zayas, 1997. Pembukaan parsial struktur protein dengan
sedikit perubahan pada struktur sekunder protein dibutuhkan untuk membentuk gel Clark dan Tuffnell,1986.
Tabel 7. Daya Gelasi Konsentrat Protein Kecipir pada Berbagai Konsentrasi dan Nilai pH
Keterangan: 0 = gel tidak terbentuk
1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan 2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal
3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali 4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak 5 kali
Pembentukan gel dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu pH dan konsentrasi protein, namun hidrofobisitas, komposisi asam amino dan berat
molekul protein juga memegang peranan yang penting dalam pembentukan gel Zayas, 1997. Proses gelasi tergantung pada pembentukan jaringan tiga
dimensi protein sebagai hasil interaksi protein-protein dan protein-pelarut. Interaksi ini semakin cepat pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena
kontak intermolekular yang juga lebih tinggi Zayas, 1997. Penelitian Okezie dan Bello 1988 menunjukkan bahwa isolat protein
kedelai Promine D membutuhkan konsentrasi inisial 14 untuk membentuk gel dengan pemanasan 1 jam dan pendinginan 4
o
C selama 2 jam. Tabel 7 di
Konsen- trasi
gel bv
pH 4 pH 7
pH 10 peng-
amatan kualitatif
penam- pakan
peng- amatan
kualitatif penam-
pakan peng-
amatan kualitatif
penam- pakan
6 cair dan
terpisah kental
cair 8
cair dan terpisah
kental cair
10 cair dan
terpisah kental
cair 12
cair dan terpisah
kental cair
14 cair dan
terpisah kental
cair 16
cair dan terpisah
1 gel
kental 18
cair dan terpisah
3 gel
kental 20
cair dan terpisah
2 gel
kental
atas menunjukkan gel terbentuk pada konsentrasi inisial 16 dan hanya terjadi pada pH netral pH 7. Protein kecipir dominan berbentuk globular,
sehingga konsentrasi inisial yang dibutuhkan untuk pembentukan gel cukup tinggi Schmidt, 1981.
Berdasarkan hasil penelitian, kekuatan gel yang terbentuk lebih baik pada konsentrasi protein di atas 18. Semakin tinggi konsentrasi, interaksi
protein intramolekular semakin baik sehingga menghasilkan gel dengan tekstur yang semakin firm yang disebabkan oleh banyaknya jumlah air yang
terikat pada molekul protein. Pembentukan gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik
dan hidrofobik, gaya Van der Waals, dan ikatan disulfida kovalen Zayas, 1997. Oleh karena itu, pembentukan gel secara tidak langsung dipengaruhi
oleh pH. Pada pH isoelektrik pH 4, interaksi antara protein menjadi maksimum dan protein tidak memerangkap air. Sesuai dengan hasil penelitian,
pada pH 4 protein mengendap dan terpisah sehingga sama sekali tidak membentuk struktur gel. Gel tidak dapat terbentuk dengan baik pada pH 10
karena protein bermuatan sehingga cenderung menarik air dan kurang interaksi antar protein. Akibatnya pada pH tersebut, struktur tiga dimensi
protein tidak terbentuk.. Nilai pH yang optimum untuk pembentukan gel berkisar antara pH 7-8 bagi semua jenis protein Damodaran, 1996.
f. Kapasitas dan Stabilitas Buih
Kemampuan protein untuk membentuk buih yang stabil sangat diperlukan dalam produksi berbagai bahan pangan, seperti es krim, cake, roti,
whipped cream dan mousse. Buih merupakan suatu struktur terdispersi yang menggabungkan dua cairan koloid, seperti larutan protein sebagai medium
pendispersi dan gas sebagai fase terdispersinya. Sifat pembentukan buih merupakan suatu sifat permukaan protein di mana sifat permukaan
dipengaruhi oleh tegangan permukaan. Pembentukan buih berhubungan dengan menurunnya tegangan permukaan pada sistem udara-air akibat adanya
adsorpsi oleh molekul protein Okezie dan Bello,1988. Berdasarkan penelitian Okezie dan Bello 1988 konsentrasi protein kecipir sangat
mempengaruhi pembentukan buih, di mana pembentukan buih maksimum pada konsentrasi 10 seperti diujicobakan pada penelitian ini. Damodaran
1996 menyatakan bahwa kapasitas dan stabilitas buih lebih baik dilakukan pada konsentrasi yang tinggi karena adanya peningkatan viskositas protein dan
memfasilitasi pembentukan multilayer dan film yang bersifat kohesif pada permukaan interfasial.
62.77 c
43.18 b
2.38 a
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
4 7
10
Nilai pH K
a p
a si
ta s
B u
ih
Gambar 16. Kapasitas Buih pada Berbagai Nilai pH Gambar di atas menunjukkan bahwa nilai pH berpengaruh nyata
terhadap kapasitas buih pada selang kepercayaan 95, di mana kapasitas buih pada nilai pH 4 2.38, pH 7 43.18, dan tertinggi pada pH 10 62.77.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian kapasitas buih pada protein kedelai oleh Kinsella 1979, di mana kapasitas buih maksimum diperoleh
pada pH 2 dan 9, sedangkan kapasitas buih minimum diperoleh pada pH 4-6 ketika kelarutan protein berada pada titik terendah. Pada nilai pH 4 kelarutan
protein berada pada titik minimum sehingga hanya sedikit fraksi protein terlarut yang terlibat dalam pembentukan buih. Keterlibatan fraksi protein
terlarut sangat penting dalam pembentukan buih sehingga pada nilai pH isoelektrik kapasitas buih yang terbentuk sangat minimum Damodaran,
1996. Peningkatan nilai pH berkorelasi positif dengan peningkatan kelarutan protein dan kapasitas buih konsentrat protein biji kecipir. Cherry dan
McWatters 1981 menyatakan bahwa ketika muatan protein meningkat, kapasitas buih juga meningkat.
Gambar 17. Stabilitas Buih pada Berbagai Nilai pH Terhadap Waktu
Studi yang dilakukan oleh Adebowale dan Lawal 2003 menyatakan bahwa ketidakstabilan buih dapat disebabkan disprosporsionasi gelembung,
penggabungan gelembung yang disebabkan ketidakstabilan film yang terbentuk, dan hilangnya air dari gelembung yang menyebabkan film terlalu
tipis untuk menstabilkan gelembung. Dari gambar di atas dapat dilihat pada pH 4 buih sudah hilang pada jam ke-0.5, pada pH 7 buih pada jam ke-1.5,
sedangkan pada pH 10 buih hilang setelah jam ke-3. Hal ini disebabkan oleh kemampuan protein menahan air pada pH 10. Semakin lama protein menahan
air, semakin baik stabilitas buihnya. Hilangnya air dari struktur buih dapat dikurangi jika ada sisi polar polipeptida yang berinteraksi dengan molekul air
pada struktur lamela Zayas, 1997. Pada pH 4 dan 7, protein dengan cepat kehilangan air dan tidak mampu menstabilkan gelembung udara.
Berbagai jenis protein memiliki kapasitas buih yang berbeda, protein yang paling banyak digunakan sebagai pembentuk buih adalah putih telur,
gelatin, kasein, protein kedelai dan gluten Zayas, 1997. Protein-protein tersebut memiliki kemampuan membentuk buih yang sangat baik. Foaming
power protein kedelai pada konsentrasi 0.5 mencapai 500, sedangkan gelatin 760 Damodaran, 1996. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
konsentrat protein biji kecipir tidak memiliki kapasitas buih yang baik, terkait dengan struktur globular protein kecipir yang sulit didenaturasi pada
permukaan dan mengakibatkan rendahnya kapasitas buih.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.