IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.   Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
Tahap  pembuatan  tepung  ini  adalah  tahap  yang  umumnya  dilakukan sebelum  tahap  pembuatan  konsentrat.  Tahap  penepungan  ini  sangat  penting
untuk  mempermudah  proses  ekstraksi  protein  karena  luas  permukaan  yang semakin  besar.  Terdapat  beberapa  tahap  dalam  pembuatan  tepung  ini,  di
antaranya  adalah  tahap  pengupasan  kulit  biji  kecipir  dan  tahap  ekstraksi lemak.  Dengan  adanya  pengupasan  kulit  sebagian  besar  serat  dapat  dibuang,
sedangkan  pada  tahap  ekstraksi  lemak,  lemak  dapat  dikurangi.  Penggunaan tepung  bebas  lemak  sangat  penting  pada  tahap  pembuatan  konsentrat  karena
lemak  dapat  membentuk  kompleks  dengan  protein  dan  menghambat  proses ekstraksi protein pada tahap berikutnya Leimena, 2000.
Tahap  pengupasan  dilakukan  dengan  metode  pengupasan  basah, meliputi perendaman dalam air selama 24 jam dan perebusan selama 30 menit.
Menurut  penelitian  Sambudi  dan  Buckle  1991,  dengan  perendaman  dan perebusan  tersebut,  kulit  kecipir  dapat  dikupas  dengan  cukup  mudah,  enzim
lipoksigenase  dapat  dihilangkan  dengan  adanya  pemanasan,  dan  sifat fungsional  dari  protein  tersebut  dapat  ditingkatkan,  terutama  daya  serap
airnya. Tahap  ekstraksi  lemak  dilakukan  berdasarkan  percobaan  Handoko
2000, di mana perbandingan bahan dan heksana yang digunakan adalah 1:5 dengan  waktu  ekstraksi  selama  2  jam.  Pelarut  heksana  adalah  pelarut  non
polar yang umum digunakan untuk produksi konsentrat ataupun isolat protein. Pelarut  heksana  ini  harus  diuapkan  setelah  proses  ekstraksi  lemak  untuk
meminimumkan  residu  heksana  pada  produk  akhir.  European  Union  2009 menetapkan  limit  residu  maksimum  untuk  beberapa  produk  defatted  dan
produk  pekatan  protein  kedelai  yang  biasa  dijual  sebagai  produk  akhir  untuk konsumen.  Nilai  limit  maksimum  residu  heksana  untuk  produk  pekatan
protein  kedelai  adalah  30  ppm,  sedangkan  untuk  produk  defatted  adalah  10 ppm.
Dalam  tahap  ekstraksi  lemak  ini  ukuran  bahan  perlu  diperhatikan. Ukuran bahan yang tepat akan menjadikan proses ekstraksi lemak efisien dan
tidak  memakan  waktu  yang  lama.  Apabila  ukuran  bahan  terlalu  halus,  bahan akan  menggumpal  sehingga  akan  sulit  ditembus  pelarut,  sebaliknya  jika
ukuran bahan terlalu besar, proses ekstraksi akan berlangsung lama Moestafa, 1981.  Oleh  karena  itu,  dipilih  ukuran  60  mesh  karena  jika  ukuran  bahan  di
atas  50  mesh  sebenarnya  tidak  akan  memberikan  dampak  yang  nyata  pada perbedaan  kadar  lemak  yang  terekstraksi  Handoko,  2000.  Berdasarkan
penelitian Handoko 2000, ekstraksi lemak selama 2 jam adalah waktu yang optimum, karena setelah waktu 2 jam, pelarut heksana akan menjadi jenuh dan
tidak  mampu  lagi  melarutkan  lemak.  Berikut  ini  dapat  dilihat  hasil  analisis proksimat dari tepung kecipir rendah lemak Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
Analisis Berat basah
Berat kering
Kadar air 7.19
7.75 Kadar abu
4.22 4.54
Kadar protein 40.72
43.87 Kadar lemak
5.26 5.67
Kadar karbohidrat 42.61
45.91 FAO  menggolongkan  tepung  kedelai  ke  dalam  beberapa  kelas
berdasarkan kadar lemak yang terkandung FAO, 2009. Tepung kedelai dapat digolongkan  sebagai  tepung  kedelai  rendah  lemak  jika  kandungan  lemaknya
berkisar antara 4.5-9. Jika dilihat dari kadar lemak yang terkandung dalam tepung  kecipir  5.67,  tepung  kecipir  yang  dihasilkan  dapat  digolongkan
sebagai tepung rendah lemak.
Gambar 7. Tepung Kecipir Rendah Lemak
2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir
Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi protein. Protein memiliki  sifat  kelarutan  yang  berbeda  pada  berbagai  tingkatan  pH  yang
berbeda.  Prinsip  dari  proses  pembuatan  konsentrat  protein  adalah  dengan mengurangi dan menghilangkan komponen lain seperti karbohidrat, lemak dan
serat  sehingga  kadar  proteinnya  meningkat  Lusas  dan  Rhee,  1995.  Secara garis  besar,  konsentrat  protein  dibuat  dengan  melarutkan  protein  pada  pH
kelarutan  protein  tertinggi,  lalu  protein  terlarut  tersebut  dipisahkan  dan diendapkan  pada  pH  isoelektriknya.    pH  isoelektrik  ditentukan  berdasarkan
studi  literatur,  di  mana  Sathe  et  al  1982,  Okezie  dan  Bello  1988 menyebutkan bahwa titik isoelektrik protein kecipir adalah pH 4.
Nilai  pH  kelarutan  protein  biji  kecipir  perlu  ditentukan  karena beberapa  sumber  menyatakan  perbedaan  titik  kelarutan  maksimum  dari
protein  kecipir.  Berdasarkan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Erlina  et  al. 1982,  kelarutan  maksimum  dari  protein  biji  kecipir  adalah  pH  6.37,
sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello 1989, kelarutan protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Kelarutan protein yang tinggi akan
menghasilkan  rendemen  protein  yang  tinggi  pula.  Berikut  ini  dapat  dilihat perbandingan rendemen protein terekstrak pada pH yang berbeda.
0.615 a
3.88 b
2.68 a,b
1 2
3 4
5
6.37 10
12
Nilai pH R
en d
em en
Gambar 8. Rendemen Konsentrat pada Berbagai Nilai pH Ekstraksi
Gambar  8  menunjukkan  bahwa  pada  selang  kepercayaan  95, rendemen  pada  pH  6.37  dan  10  berbeda  nyata,  sedangkan  rendemen  pH  12
tidak berbeda nyata dengan rendemen pH 6.37 dan pH 10. Rendemen protein tertinggi  diperoleh  pada  pH  10,  karena  itu  untuk  proses  produksi  konsentrat
protein biji kecipir digunakan pH 10 untuk ekstraksi protein. Okezie  dan  Bello  1989  melakukan  percobaan  dengan  melarutkan
protein kecipir pada  pH 10, meskipun pada percobaan tersebut rendemen  pH 12  lebih  tinggi.  Pelarutan  protein  pada  pH  10  lebih  dipilih  daripada  pH  12
karena  mempertimbangkan  beberapa  hal.  Proses  pelarutan  protein  sebaiknya tidak  dilakukan  di  atas  pH  10  karena  terdapat  kemungkinan  terbentuknya
komponen  antinutrisi  seperti  lisinoalanin  Kinsella,  1979.  Selain  itu, dipertimbangkan juga banyaknya HCl yang dibutuhkan untuk mengendapkan
protein pada pH isoelektrik pH 4.
3.  Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Metode  pengeringan  konsentrat  protein  dapat  mempengaruhi  warna dan  sifat  fungsional  dari  protein  itu  sendiri,  karena  sifat  fungsional  protein
sangat  tergantung  dari  kondisi  proses  pembuatan  konsentrat  tersebut Fernandez-Quintella  et  al,  1997.  Jenis  pengeringan  dipilih  berdasarkan
parameter  warna.  Berdasarkan  hasil  pengeringan  dengan  empat  jenis pengering diperoleh perbandingan warna konsentrat seperti berikut.
78.2591 d
51.0359 c
46.6907 b
52.2460 a
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Oven 50C
Oven vakum
70C Rumah
kaca Spray
dryer
Jenis Pengering D
er a
ja t
P u
ti h
Gambar 9. Perbandingan Derajat Putih Pada Berbagai Pengeringan Oven
50
o
C Oven
vakum 70
o
C
Gambar  9  menunjukkan  bahwa  nilai  derajat  putih  dengan  berbagai jenis pengering berbeda nyata satu sama lain pada selang kepercayaan 95, di
mana    pengeringan  dengan  spray  dryer  memberikan  warna  konsentrat  yang paling  cerah  karena  memiliki  derajat  putih  paling  tinggi.  Data  lengkap
mengenai nilai L, a  dan b dari konsentrat dengan berbagai  jenis pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Penelitian selanjutnya menggunakan metode pengeringan spray dryer. Selain
karena warna,
pemilihan spray
dryer dilakukan
karena mempertimbangkan  efisiensi  waktu.  Pengeringan  dengan  spray  dryer  lebih
cepat daripada pengeringan dengan oven yang bersistem batch.
4.   Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir
Konsentrat  protein  adalah  pekatan  protein  dengan  kadar  protein  60- 70  berat  kering  Hanson,  1974.  Tahap  pembuatan  konsentrat  dimulai
dengan melarutkan tepung kecipir rendah lemak pada air dengan perbandingan 1:10 untuk memperoleh rendemen protein yang baik Smith, 1958 dan Circle,
1951.  Peningkatan  pH  menjadi  10  adalah  tahap  ekstraksi  protein,  di  mana pada  pH  10,  protein  berada  dalam  posisi  kelarutan  tertinggi.  Cheftel  et  al.
1985  menyebutkan  bahwa  sebagian  besar  asam  amino  akan  bermuatan negatif  pada  pH  di  atas  titik  isoelektriknya,  pada  kondisi  ini  muatan  sejenis
cenderung  untuk  tolak  menolak  sehingga  interaksi  antara  residu  asam  amino minimum  dan  kelarutannya  meningkat.  Untuk  meningkatkan  rendemen
ekstraksi  protein,  proses  ekstraksi  pada  pH  10  dilakukan  dengan  pemanasan 50
o
C,  pemanasan  merupakan  kondisi  optimum  untuk  mengekstrak  protein Circle, 1951.
Proses  pengendapan  protein  pada  pH  isoelektrik  dapat  juga  disebut proses  pencucian  dengan  asam,  karena  pada  pH  sekitar  4,  komponen  lain
karbohidrat,  mineral  terlarut  dan  protein  mengendap.  Proses  isoelektrik  ini sangat  menguntungkan  karena  dapat  menggunakan  pelarut  air  yang  tidak
berbahaya,  murah  dan  tidak  mudah  terbakar.  Kelemahan  metode  ini  adalah sulitnya  memisahkan  padatan  dari  pelarut  air  FAO,2009.  Oleh  karena  itu
pemisahan padatan dilakukan dengan menggunakan sentrifus.
Pengeringan  slurry  protein  sesudah  disentrifus  dilakukan  dengan menggunakan spray dryer pada suhu inlet 170
o
C dan suhu outlet 80
o
C seperti percobaan  Zheng  et  al  2007.  Dengan  menggunakan  spray  dryer,  warna
konsentrat  yang  dihasilkan  menjadi  lebih  cerah  karena  protein  dikeringkan dengan  waktu  yang  singkat  dan  reaksi  Maillard  dapat  dihindari.  Menurut
Fernandez-Quintela  et  al.  1997,  tidak  terdapat  perbedaan  yang  nyata  pada sifat  fungsional  konsentrat  protein  yang  dikeringkan  dengan  spray  dryer
dengan  freeze dryer. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengeringan dengan spray  dryer  dapat  diterapkan  pada  proses  pembuatan  konsentrat  protein  biji
kecipir.
5. Analisis Proksimat
Terdapat  beberapa jenis produk  pekatan  protein, salah  satunya  adalah konsentrat  protein.  Sampai  saat  ini  belum  ada  standar  baku  yang  ditetapkan
untuk mendefinisikan konsentrat protein. CODEX hanya menetapkan standar baku  untuk  mendefinisikan  produk  pekatan  protein  kedelai  dan  menetapkan
komposisi baku dari produk pekatan protein kedelai tersebut. Analisis  proksimat  yang  dilakukan  meliputi  kadar  air,  kadar  protein,
kadar abu, kadar lemak dan kadar karbohidrat by difference. Berdasarkan hasil percobaan, kadar protein konsentrat protein kecipir adalah 65.69 berat basah
dan 71.47 berat kering seperti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Komposisi Konsentrat Protein Biji Kecipir
Analisis Berat Basah
Berat Kering
Kadar air 8.04
8.75 Kadar abu
3.73 4.05
Kadar protein 65.69
71.47 Kadar lemak
6.68 7.27
Kadar karbohidrat 15.87
17.21 Berdasarkan CODEX 1989, produk  pekatan protein dapat dikatakan
sebagai  konsentrat  protein  jika  mengandung  protein  minimal  65  dan maksimal 90  berat kering. Adapun, produk pekatan protein harus memiliki
kadar air yang tidak melebihi 10 dan kadar abu yang kurang dari 8 berat kering. Jika dilihat dari tabel di atas, maka konsentrat protein biji kecipir yang
dihasilkan  telah  memenuhi  standar  CODEX  1989  yang  biasanya  hanya diterapkan pada pekatan protein kedelai.
Komposisi konsentrat
protein biji
kecipir yang
dihasilkan menunjukkan kadar protein yang sama, kandungan lemak dan abu yang lebih
kecil dan kadar air yang lebih besar dari percobaan yang dilakukan oleh Sathe et al. 1982. Perbedaan komposisi konsentrat protein kecipir yang dihasilkan
dapat  disebabkan  oleh  adanya  perbedaan  proses  produksi  konsentrat.  Pada percobaan  ini,  kandungan  lemak  yang  lebih  rendah  disebabkan  oleh  adanya
tahapan ekstraksi lemak pada tepung kecipir, sedangkan kadar air yang lebih tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan proses penyimpanan.
6. Analisis Sifat Fisikokimia a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Kromameter Minolta CR-200
Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting untuk diamati. Warna konsentrat protein yang tidak terlalu gelap dapat memperluas aplikasi
konsentrat  pada  berbagai  jenis  produk  makanan.    Proses  pengolahan  sangat berpengaruh  terhadap  warna  konsentrat  yang  dihasilkan.  Honestin  2007
menyatakan  bahwa  suhu  pengeringan  dan  perlakuan  pramasak  berpengaruh terhadap kecerahan warna tepung-tepungan yang dihasilkan.
Gambar 10. Konsentrat Protein Biji Kecipir Warna konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan tidak terlalu gelap
seperti  dapat  dilihat  pada  Gambar  10  dan  ditunjukkan  oleh  nilai  derajat
putihnya  sebesar  72.40  .  Notasi  warna  konsentrat  protein  biji  kecipir  pada Tabel.  6  menunjukkan  bahwa  pigmen  biji  kecipir  yang  berpotensi
menghasilkan warna coklat pada konsentrat, dapat dihilangkan selama proses produksi.  Selain  itu,  komponen  gula  yang  dapat  menyebabkan  terjadinya
reaksi  Maillard  pada  konsentrat  juga  dapat  dikurangi.  Parameter  warna  ini tidak  menunjukkan  pengaruh  proses  pengolahan    terhadap  sifat  fisikokimia
dan fungsional lain dari konsentrat protein biji kecipir. Tabel 6 . Parameter Warna Konsentrat Protein Biji Kecipir
Parameter warna Nilai
L lightness 75.42
a warna merah 0.85
b warna kuning 12.52
Derajat putih 72.40
b. Particle Size Index PSI
Ukuran  partikel  mempengaruhi  parameter  penyerapan  air,  cooking  loss dan
tekstur  dari  produk  yang  dihasilkan
.
Semakin  halus  ukuran  partikel, semakin besar tingkat penyerapan air dan cooking loss ketika proses produksi
Hatcher  et  al.,  2002.  Distribusi  ukuran  partikel  pangan  berbentuk  bubuk memiliki  pengaruh  yang  nyata  pada  densitas  kamba  dan  porositas  bahan.
Semakin  kecil  ukuran  partikel,  semakin  kecil  densitas  kamba  dan  semakin tinggi porositasnya.
Particle  Size  Index  menunjukkan  tingkat  kehalusan  dari  konsentrat protein yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan dua ulangan, PSI dari
konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan adalah 63.05. Nilai PSI yang semakin besar menunjukkan semakin tingginya tingkat kehalusan dari partikel
tepung yang dihasilkan Bejarano et al., 2007. Cukup tingginya nilai PSI dari konsentrat  protein  biji  kecipir  ini  dapat  disebabkan  oleh  proses  pengeringan
dengan  spray  dryer  yang  menghasilkan  produk  dengan  ukuran  partikel  yang relatif halus.
c.  Densitas kamba
Densitas  kamba  merupakan  perbandingan  antara  berat  bahan  dengan volum  bahan  yang  dinyatakan  dalam  satuan  gml.  Peleg  dan  Bagley  1983
menyatakan bahwa densitas kamba tergantung dari beberapa faktor, yaitu gaya tarik antara partikel, ukuran partikel dan luas permukaan sentuh partikel.
Konsentrat  protein  biji  kecipir  mempunyai  densitas  kamba  sebesar 0.5831  gml.  Nilai  densitas  kamba  dari  konsentrat  protein  biji  kecipir  ini
sebanding dengan nilai densitas kamba tepung biji kecipir 0.5300 g ml yang diteliti  oleh  Okezie  dan  Bello  1988.  Bahan  pangan  dengan  bentuk  bubuk
umumnya memiliki densitas kamba antara 0.3-0.8 gml Wirakartakusumah et al.,  1992.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  makanan  berbentuk  bubuk  memiliki
porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80. Densitas  kamba  ini  berhubungan  dengan  formulasi  produk  dan
pengemasan  bahan  pangan.  Semakin  tinggi  nilai  densitas  kamba, menunjukkan  bahwa  produk  semakin    padat  dan  memiliki  porositas  yang
rendah.  Pada  formulasi  produk,  nilai  densitas  kamba  berpengaruh  terhadap jumlah  konsentrat  protein  yang  dapat  ditambahkan  ke  dalam  satu  sajian
produk pangan.  Konsentrat protein diharapkan memiliki nilai densitas kamba yang  cukup  tinggi  karena  dapat  menghasilkan  kekentalan  pasta  protein  yang
rendah,  hal  ini  merupakan  faktor  yang  penting  untuk  aplikasi  makanan  yang berbentuk bubur  untuk anak-anak dan orang sakit Padmashree et al., 1987.
d. Komposisi Asam Amino
Selain  nilai  nutrisi,  komposisi  asam  amino  suatu  protein  sangat menentukan  sifat  fungsional  protein  tersebut  Philips  dan  Finley,  1989.  Hal
ini  terkait  dengan  tingkat  kepolaran  dari  protein  itu  sendiri,  di  mana  asam amino  polar  dan  non  polar  memberikan  pengaruh  terhadap  beberapa  sifat
fungsional protein seperti kelarutan protein, daya serap air, daya serap minyak dan sifat fungsional lainnya.
2.788 0.956
3.371 1.204
0.395 0.601
1.669 1.118
3.608
1.098 1.667
0.886 0.965
0.856 1.744
6.369
2.680
0.374
0.000 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000 7.000
T rp Asp
Glu Ser
Gly His
Arg T hr
Ala Pro
T yr Val
Met Cys
Ileu Leu
Phe Lys
Asam Amino P
er se
n ta
se
Gambar 11. Komposisi Asam Amino Konsentrat Protein Biji Kecipir Gambar  11  di  atas  menunjukkan  bahwa  konsentrat  protein  biji  kecipir
dominan  mengandung  asam  glutamat,  diikuti  oleh  prolin,  leusin,  lisin  dan asam aspartat. Dari komposisi tersebut dapat dilihat bahwa protein konsentrat
biji kecipir ini cenderung bersifat hidrofilik. Asam aspartat, asam glutamat dan lisin dapat mengikat sekitar 4-7 molekul air molekul asam amino, sedangkan
asam amino polar hanya 1-2 molekul air molekul asam amino, bahkan asam amino  non  polar  hanya  1  molekul  airmolekul  asam  amino  atau  tidak  sama
sekali  Zayas,  1997.  Jika  dilihat  dari  komposisi  asam  aminonya  saja, konsentrat protein biji kecipir ini memiliki daya ikat air yang baik, sedangkan
daya ikat minyaknya tidak terlalu baik. Konsentrat protein biji kecipir mengandung semua asam amino esensial,
yaitu lisin, leusin, isoleusin, arginin, fenilalanin, valin, treonin, metionin, dan triptofan. Berdasarkan penelitian ini, sistein dan metionin menjadi asam amino
pembatas  bagi  konsentrat  protein  biji  kecipir  ini.  Asam  amino  pembatas ditentukan  dengan  menghitung  skor  kimia  untuk  asam  amino  esensial  yang
terkandung pada konsentrat protein biji kecipir. Skor  kimia  dapat  dihitung  dengan  membandingkan jumlah asam amino
esensial  pada  sampel  dengan  pola  kebutuhan  asam  amino  yang  diterapkan oleh FAO 1973. Okezie dan Bello 1988 membandingkan komposisi asam
amino  dari  konsentrat  protein  biji  kecipir  dengan  isolat  protein  kedelai komersial Promine D. Kedua pekatan protein tersebut memiliki asam amino
pembatas yang sama, yaitu metionin dan sistein. Skor kimia untuk konsentrat protein  kecipir  adalah  58,  sedangkan  isolat  kedelai  memiliki  skor  kimia
sebesar  65.7.  Penelitian  yang  dilakukan  Okezie  dan  Bello  1988  ini menunjukkan  bahwa  komposisi  asam  amino  dari  protein  kecipir  sebanding
dengan  isolat  protein  kedelai,  terutama  pada  distribusi  dan  kandungan  asam amino esensialnya.
7. Analisis Sifat Fungsional a. Protein Solubility
Kelarutan  protein  adalah  jumlah  protein  sampel  yang  terlarut  dalam larutan.  Kelarutan  protein  dipengaruhi  oleh  faktor  internal  dan  eksternal.
Faktor  internal  yang  mempengaruhi  adalah  komposisi  asam  amino,  berat molekul  protein,  dan  konformasi  protein.  Adapun  beberapa  faktor  eksternal
yang  mempengaruhi kelarutan  protein  yaitu  kekuatan  ionik,  tipe  pelarut,  pH, suhu dan kondisi pemrosesan tertentu Zayas, 1997.  Profil kelarutan protein
ini sangat berhubungan dengan sifat fungsional protein lainnya, terutama sifat buih, emulsi dan gelasi Zayas, 1997.
0.000 0.100
0.200 0.300
0.400 0.500
0.600 0.700
2 4
6 8
10 12
14
K o
n se
n tr
a si
m g
m l
Nilai pH
Protein Solubility
Gambar 12. Kurva Kelarutan Protein pada Berbagai Nilai pH Protein Solubility
Gambar  12  menunjukkan  profil  kelarutan  dari  konsentrat  protein  biji kecipir  membentuk  kurva  berbentuk  huruf  U  antara  pH  2-11.  Kelarutan
protein  mencapai  titik  terendah  pada  pH  4  dan  naik  perlahan-lahan  hingga mencapai  kelarutan  maksimum  pada  pH  11  dan  turun  kembali  pada  pH  12.
Banyaknya  protein  terlarut  pada  medium  cair  adalah  hasil  gaya  elektrostatik dan  interaksi  hidrofobik  antara  molekul  protein.  Kelarutan  meningkat  jika
gaya  elektrostatik  protein  dan  medium  lebih  besar  daripada  interaksi hidrofobik Zayas, 1997. Pada pH asam atau basa, protein bermuatan positif
atau negatif dan meningkatkan interaksi protein-air sehingga kelarutan protein meningkat. Pada pH isolektrik, muatan protein nol dan meningkatkan interaksi
antara  protein  itu  sendiri  sehingga  kelarutannya  menurun.  Fenomena  inilah yang  menjelaskan  kurva  kelarutan  protein  terhadap  pH  membentuk  huruf  U
dengan kelarutan terendah pada titik isoelektrik Zayas, 1997. Percobaan Sathe et al. 1982 menggambarkan bahwa kelarutan terendah
konsentrat  protein  kecipir  dicapai  pada  pH  4,  dan  seiring  dengan meningkatnya pH, kelarutan pun meningkat dengan kelarutan maksimum pada
pH 12. Namun pada penelitian ini, kelarutan protein kecipir hanya meningkat hingga pH 11 dan menurun pada pH 12. Hal ini dapat terjadi karena pada pH
12,  protein  biji  kecipir  telah  mengalami  denaturasi  sehingga  kelarutannya menurun.  Winarno  1997  menjelaskan  bahwa  protein  yang  terdenaturasi
berkurang kelarutannya, karena protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik  keluar,  sedangkan  bagian  luar  yang  bersifat  hidrofilik  terlipat  ke
dalam. Nilai  pH  yang  ekstrim  dapat  menyebabkan  gaya  tolak  menolak  antara
muatan  sejenis  pada  intramolekul  protein.  Hal  ini  dapat  menyebabkan denaturasi  protein  yang  ditandai  dengan  adanya  pengembangan  dan
pembukaan struktur protein Damodaran, 1996. Pada pH basa yang ekstrim, tingkat  pembukaan  struktur  protein  lebih  tinggi  daripada  pH  asam.
Sebenarnya,  denaturasi  yang  disebabkan  oleh  pH  ini  bersifat  reversibel, namun  pada  keadaan  tertentu  hidrolisis  parsial  dari  ikatan  peptida  protein,
deamidasi  aspartin  dan  glutamin,  serta  destruksi  gugus  sulfihidril  pada  pH
basa  dapat  menyebabkan  denaturasi  protein  yang  bersifat  permanen Damodaran, 1996.
b. Daya Serap Air WHC
Daya  serap  air  atau  water  holding  capacity  merupakan  kemampuan protein  untuk  mengikat  air  selama  diaplikasikannya  gaya-gaya,  tekanan,
sentrifugasi  dan  pemanasan  Zayas,  1997.    Daya  serap  air  berhubungan dengan  juiciness  dan  tekstur  dari  berbagai  produk  pangan,  seperti  daging,
bakery dan produk yang memiliki karakter gel Damodaran, 1996. Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir sebesar 1.6070 g air g
solid  konsentrat.  Daya  serap  air  dari  konsentrat  protein  biji  kecipir  ini sebanding dengan daya serap air dari tepung kedelai 1.3 g air g solid, namun
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrat protein kedelai 2.2 g air g solid seperti dilaporkan oleh Kinsella 1979. Nilai daya serap air dari
konsentrat  protein  biji  kecipir  ini  masih  termasuk  dalam  kisaran  nilai  daya serap air untuk konsentrat dan isolat protein komersial 1.5-2.5 g H
2
O g solid seperti dilaporkan oleh Lin dan Zayas 1987.
Daya  serap  air  tergantung  pada  komposisi  protein  dan  konformasi molekul  protein  itu  sendiri  Zayas,  1997.  Karena  itu,  daya  serap  air
konsentrat  protein  biji  kecipir  ini  pun  sangat  dipengaruhi  oleh  faktor-faktor tersebut.  Jika  ditinjau  dari  komposisi  asam  aminonya,  konsentrat  protein  biji
kecipir  seharusnya  memiliki  daya  serap  air  yang  baik,  mengingat  banyaknya asam  amino  ionik  asam  aspartat, asam  glutamat  dan  lisin  yang terkandung.
Interaksi air dengan gugus hidrofilik asam amino terjadi karena adanya ikatan hidrogen.
Daya  serap  air  dari  konsentrat  protein  biji  kecipir  ini  masih  dapat ditingkatkan  dengan  berbagai  perbaikan  proses  produksi,  seperti  proses
penetralan konsentrat sebelum proses pengeringan ataupun adanya modifikasi proses seperti asilasi, asetilasi dan suksinilasi pada protein kecipir Narayana
dan  Rao,  1984.  Semakin  tinggi  nilai  daya  serap  air  menunjukkan  bahwa protein  tersebut  potensial  digunakan  dalam  pengolahan  produk  daging,  roti
dan cake.
c. Daya Serap Minyak
Karakteristik produk pangan banyak melibatkan interaksi antara protein dan  lemak,  seperti  pembentukan  emulsi,  emulsifikasi  lemak  pada  daging,
absorpsi  flavor  dan  tekstur  adonan.  Kinsella  1979  menjelaskan  mekanisme absorpsi  minyak  sebagai  fenomena  terperangkapnya  minyak  secara  fisik.
Selanjutnya  Kinsella  1979  dan  Sathe  et  al.  1982  menyatakan  bahwa absorbsi  lemak  ditentukan  oleh  pengikatan  lemak  oleh  gugus  nonpolar  pada
protein. Dalam  produk  pangan  yang  berbentuk  bubuk,  pengikatan  lemak
dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk bubuk dengan densitas rendah  dan  ukuran  partikel  kecil  mengabsorbsi  dan  memerangkap  minyak
lebih banyak daripada protein dengan densitas yang tinggi Zayas, 1997. Kemampuan  protein  mengikat  lemak  sangat  penting  untuk  aplikasi
protein sebagai meat replacer dan extender sehubungan dengan mouthfeel dan retensi  flavor  yang  melibatkan  daya  ikat  lemak  pada  produk.  Daya  serap
minyak dari konsentrat protein biji kecipir ini adalah 1.0194 g minyak g solid konsentrat.  Nilai  daya  serap  minyak  dari  konsentrat  protein  biji  kecipir  ini
sebanding dengan daya serap minyak dari konsentrat protein kedelai komersial ISOPRO sebesar 1.1704 g minyak g solid seperti dilaporkan oleh Lin et al.
1974.  Namun  lebih  kecil  dari  daya  serap  minyak  protein  kecipir  yang diujicobakan oleh Sathe et al. 1982.
Jika  dilihat  berdasarkan  struktur  partikel  konsentrat  protein  biji kecipir yang  halus  dan  nilai  densitas  yang  menunjukkan  sifat  porous,  seharusnya
konsentrat protein biji kecipir memiliki daya serap minyak yang cukup tinggi. Namun  daya  serap  minyak  yang  tidak  terlalu  tinggi  pada  konsentrat  biji
kecipir  ini  dapat  disebabkan  oleh  komposisi  asam  amino  konsentrat  protein biji  kecipir  yang  cenderung  polar  dan  sedikit  mengandung  asam  amino
nonpolar yang dibutuhkan untuk mengikat lemak atau minyak.
d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi
Sifat  emulsi  protein  merupakan  kemampuan  protein  untuk  membentuk emulsi.  Aktivitas  emulsi  protein  adalah  kemampuan  protein  dalam
pembentukan emulsi dan menstabilkan emulsi tersebut Zayas, 1997. Nakai et al.  1980,  melaporkan  bahwa  kelarutan  protein,  hidrofobisitas  permukaan,
dan  fleksibiltas  molekul  protein  mempengaruhi  sifat  emulsi  dari  protein globular.
Banyak faktor yang mempengaruhi sifat emulsi dari protein, di antaranya adalah konsentrasi protein, pH medium, kekuatan ionik dan perlakuan panas.
Konsentrasi  protein  berpengaruh  terhadap  pembentukan  emulsi.  Adsorpsi permukaan  interfasial  terjadi  secara  difusi  pada  konsentrasi  protein  yang
rendah, namun pada konsentrasi protein yang tinggi adsorpsi pada permukaan membutuhkan energi  aktivasi  tertentu.  Oleh  karena  itu,  sifat emulsi  biasanya
diamati  pada  konsentrasi  protein  yang  rendah.  Zayas  1997  menyatakan bahwa emulsi protein, air dan minyak dapat diperoleh pada konsentrasi antara
0.2-1. Percobaan aktivitas emulsi ini dilakukan pada konsentrasi 1. Sifat  emulsi  protein  juga  sangat  bergantung  pada  pH,  hal  ini  terkait
dengan  profil  kelarutan  protein  pada  berbagai  pH.  Nilai  pH  mempengaruhi kelarutan  protein,  konformasi  molekul  protein  dan  sifat  permukaan  protein
yang secara tidak langsung mempengaruhi sifat emulsi protein Zayas, 1997. Pada  gambar  berikut  dapat  dilihat  bahwa  aktivitas  emulsi  dari  konsentrat
protein  biji  kecipir  ini  sangat  tergantung  pada  pH.  Di  mana  pada  pH  yang berbeda, aktivitas emulsinya juga berbeda Gambar 13.
53.75 c
47.50 b
2.50 a
53.25 b,c
56.25 c
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
2 4
6 8
10
Nilai pH A
k ti
v it
a s
E m
u ls
i
Gambar 13 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir
pada Berbagai Nilai pH
Aktivitas  emulsi  konsentrat protein  biji  kecipir tertinggi  diperoleh  pada pH 10, di mana aktivitasnya tidak berbeda nyata dengan aktivitas emulsi pH 2
dan pH 8, sedangkan aktivitas emulsi terendah terjadi pada pH 4 dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95 dengan pH lainnya. Aktivitas emulsi
pada  pH  6  cukup  tinggi  dan  tidak  berbeda  secara  nyata  dengan  aktivitas emulsi pada pH 2, namun berbeda secara nyata dengan aktivitas emulsi pH 4,
8, dan 10.  Olah data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Sifat  emulsi  dipengaruhi  pH  dan  berkorelasi  positif  dengan  profil
kelarutan  protein  tersebut.  Hal  tersebut  terbukti,  pada  penelitian  ini  aktivitas emulsi  yang  terbentuk  sesuai  dengan  profil  kelarutan  konsentrat  protein  biji
kecipir  yang  sangat  rendah  pada  pH  4  dan  memiliki  kelarutan  yang  lebih tinggi pada pH asam atau basa.
Pembentukan film pada droplet minyak hanya dapat terjadi jika  protein berada  dalam  keadaan  terlarut  Zayas,  1997.    Pada  pH  isoelektrik,  protein
yang  teradsorbsi  di permukaan  minyak-air  berada  pada  taraf  terendah  karena protein  tidak  dalam  keadaan  terlarut.  Film  yang  tidak  terbentuk  pada
permukaan  minyak-air  menyebabkan  droplet  minyak  bersatu  kembali  dan emulsi tidak dapat terbentuk. Oleh karena itu, protein dapat menjadi emulsifier
yang  efektif  pada  pH  yang  jauh  dari  titik  isolektriknya  Damodaran,  1996. Emulsi yang terbentuk maksimum pada pH 10 disebabkan oleh tingginya nilai
kelarutan konsentrat protein biji kecipir pada pH tersebut.
Perlakuan  panas  pada  protein  juga  sangat  berpengaruh  terhadap  sifat emulsi  dari  protein.  Sifat  emulsi  dari  globular  protein  dapat  ditingkatkan
dengan  adanya  pemanasan,  hal  ini  terkait  pembukaan  rantai  polipeptida protein  Zayas,  1997.  Sifat  emulsi  protein  dapat  lebih  baik  setelah
dipanaskan,  berkorelasi  positif  dengan  meningkatnya  hidrofobisitas  protein Kato  et  al.,  1981,.  Namun,  pemanasan  tersebut  tidak  boleh  menyebabkan
protein  terkoagulasi  dan  penurunan  kelarutan  protein.  Kombinasi  tingginya hidrofobisitas dan kelarutan protein dapat menghasilkan sifat emulsifier yang
baik  Zayas,  1997.  Pada  penelitian  ini  diamati  aktivitas  emulsi  setelah mendapat perlakuan panas 80
o
C selama 30 menit. Gambar 14 menunjukkan aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir setelah dipanaskan.
56.25 b
59.50 b
57.75 b
6.50 a
60.00 b
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
2 4
6 8
10
Nilai pH V
o l
em u
ls i
m l
Gambar 14 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir Setelah Pemanasan pada Berbagai Nilai pH
Setelah  dipanaskan,  aktivitas  emulsi  konsentrat  protein  biji  kecipir mengalami  peningkatan.  Di  mana  aktivitas  emulsi  pada  pH  4  paling  rendah
dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95 dengan aktivitas emulsi yang  lebih  tinggi  pada  pH  2,  6,  8,  10.  Olah  data  mengenai  aktivitas  emulsi
setelah dipanaskan dapat dilihat pada Lampiran 7. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas pada aktivitas emulsi, data
diolah  menggunakan  Paired  Sample  T-test.  Uji  pada  masing-masing  pH menunjukkan  kecenderungan  bahwa  perlakuan  panas  tidak  menyebabkan
peningkatan  yang  berbeda  nyata  pada  taraf  signifikansi  95  pada  berbagai nilai  pH.  Olah  data  secara  lengkap  dapat  dilihat  pada  Lampiran  8.  Data
peningkatan  aktivitas  emulsi  setelah  dipanaskan  menunjukkan  bahwa konsentrat  protein  biji  kecipir  tetap  memiliki  aktivitas  emulsi  yang  baik
setelah pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir dapat  diterapkan  sebagai  emulsfying  agent  pada  produk  pangan  yang
membutuhkan proses pemanasan sekalipun. Diamati  juga  aktivitas  emulsi  selama  beberapa  waktu  untuk  diketahui
stabilitasnya.  Emulsi  yang  terbentuk  dengan  protein  sebagai  emulsifier  dapat memiliki stabilitas selama beberapa hari jika disimpan pada keadaan atmosfer
Damodaran, 1996. Dari Gambar 15 di bawah dapat diketahui bahwa emulsi yang terbentuk cenderung stabil jika disimpan pada suhu ruang.
Gambar 15. Stabilitas Emulsi Selama 6 Jam pada Suhu Ruang Pembentukan  emulsi  oleh  protein  dipengaruhi  oleh  faktor  internal
maupun  eksternal.  Faktor  internal  meliputi  pH,  kekuatan  ion,  suhu,  berat molekul  surfaktan,  dan  tipe  protein.  Faktor  eksternal  meliputi  jenis  peralatan
yang digunakan, dan kecepatan pengadukan. Sampai saat ini belum ditetapkan metode  yang  baku  untuk  mengukur  sifat  emulsifier  ini,  oleh  karena  itu  hasil
pengamatan  dari  berbagai  laboratorium  sangat  bervariasi  satu  sama  lain  dan tidak dapat dibandingkan Damodaran, 1996.
e. Daya Gelasi
Daya  gelasi  adalah  salah  satu  kriteria  yang  sering  digunakan  untuk mengevaluasi  suatu  jenis  protein.  Kualitas  suatu  produk  pangan,  khususnya
tekstur dan juiciness dapat ditentukan berdasarkan kapasitas gelasi suatu jenis protein.  Gel  dapat  terbentuk  ketika  struktur  protein  setengah  membuka
membentuk  polipeptida  yang  dapat  berinteraksi  membentuk  ikatan  cross- linked tiga dimensi Zayas, 1997. Pembukaan parsial struktur protein dengan
sedikit  perubahan  pada  struktur  sekunder  protein  dibutuhkan  untuk membentuk gel Clark dan Tuffnell,1986.
Tabel 7. Daya Gelasi Konsentrat Protein Kecipir pada Berbagai Konsentrasi dan Nilai pH
Keterangan: 0 = gel tidak terbentuk
1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan 2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal
3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali 4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak  5 kali
Pembentukan  gel  dipengaruhi  oleh  dua  faktor  utama,  yaitu  pH  dan konsentrasi  protein,  namun  hidrofobisitas,  komposisi  asam  amino  dan  berat
molekul  protein  juga  memegang  peranan  yang  penting  dalam  pembentukan gel  Zayas,  1997.  Proses  gelasi  tergantung  pada  pembentukan  jaringan  tiga
dimensi  protein  sebagai  hasil  interaksi  protein-protein  dan  protein-pelarut. Interaksi ini semakin cepat pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena
kontak intermolekular yang juga lebih tinggi Zayas, 1997. Penelitian  Okezie  dan  Bello  1988  menunjukkan  bahwa  isolat  protein
kedelai Promine D membutuhkan konsentrasi inisial 14 untuk membentuk gel  dengan  pemanasan  1  jam  dan  pendinginan  4
o
C  selama  2 jam.  Tabel  7 di
Konsen- trasi
gel bv
pH 4 pH 7
pH 10 peng-
amatan kualitatif
penam- pakan
peng- amatan
kualitatif penam-
pakan peng-
amatan kualitatif
penam- pakan
6 cair dan
terpisah kental
cair 8
cair dan terpisah
kental cair
10 cair dan
terpisah kental
cair 12
cair dan terpisah
kental cair
14 cair dan
terpisah kental
cair 16
cair dan terpisah
1 gel
kental 18
cair dan terpisah
3 gel
kental 20
cair dan terpisah
2 gel
kental
atas  menunjukkan  gel  terbentuk  pada  konsentrasi  inisial  16  dan  hanya terjadi  pada  pH  netral  pH  7.  Protein  kecipir  dominan  berbentuk  globular,
sehingga  konsentrasi  inisial  yang  dibutuhkan  untuk  pembentukan  gel  cukup tinggi Schmidt, 1981.
Berdasarkan  hasil  penelitian,  kekuatan  gel  yang  terbentuk  lebih  baik pada  konsentrasi  protein  di  atas  18.  Semakin  tinggi  konsentrasi,  interaksi
protein  intramolekular  semakin  baik  sehingga  menghasilkan  gel  dengan tekstur  yang  semakin  firm  yang  disebabkan  oleh  banyaknya  jumlah  air  yang
terikat pada molekul protein. Pembentukan  gel  merupakan  hasil  dari  ikatan  hidrogen,  interaksi  ionik
dan  hidrofobik,  gaya  Van  der  Waals,  dan  ikatan  disulfida  kovalen  Zayas, 1997.  Oleh  karena  itu,  pembentukan  gel  secara  tidak  langsung  dipengaruhi
oleh  pH.  Pada  pH  isoelektrik  pH  4,  interaksi  antara  protein  menjadi maksimum dan protein tidak memerangkap air. Sesuai dengan hasil penelitian,
pada  pH  4  protein  mengendap  dan  terpisah  sehingga  sama  sekali  tidak membentuk  struktur  gel.  Gel  tidak  dapat  terbentuk  dengan  baik  pada  pH  10
karena  protein  bermuatan  sehingga  cenderung  menarik  air  dan  kurang interaksi  antar  protein.  Akibatnya  pada  pH  tersebut,  struktur  tiga  dimensi
protein  tidak  terbentuk..  Nilai  pH  yang  optimum  untuk  pembentukan  gel berkisar antara pH 7-8 bagi semua jenis protein Damodaran, 1996.
f.  Kapasitas dan Stabilitas Buih
Kemampuan  protein  untuk  membentuk  buih  yang  stabil  sangat diperlukan dalam produksi berbagai bahan pangan, seperti es krim, cake, roti,
whipped  cream  dan  mousse.  Buih  merupakan  suatu  struktur  terdispersi  yang menggabungkan  dua  cairan  koloid,  seperti  larutan  protein  sebagai  medium
pendispersi  dan  gas  sebagai  fase  terdispersinya.  Sifat  pembentukan  buih merupakan  suatu  sifat  permukaan  protein  di  mana  sifat  permukaan
dipengaruhi  oleh  tegangan  permukaan.  Pembentukan  buih  berhubungan dengan menurunnya tegangan permukaan pada sistem udara-air akibat adanya
adsorpsi  oleh  molekul  protein  Okezie  dan  Bello,1988.  Berdasarkan penelitian  Okezie  dan  Bello  1988  konsentrasi  protein  kecipir  sangat
mempengaruhi  pembentukan  buih,  di  mana  pembentukan  buih  maksimum pada  konsentrasi  10  seperti  diujicobakan  pada  penelitian  ini.  Damodaran
1996  menyatakan  bahwa  kapasitas  dan  stabilitas  buih  lebih  baik  dilakukan pada konsentrasi yang tinggi karena adanya peningkatan viskositas protein dan
memfasilitasi  pembentukan  multilayer  dan  film  yang  bersifat  kohesif  pada permukaan interfasial.
62.77 c
43.18 b
2.38 a
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
4 7
10
Nilai pH K
a p
a si
ta s
B u
ih
Gambar 16. Kapasitas Buih pada Berbagai Nilai pH Gambar  di  atas  menunjukkan  bahwa  nilai  pH  berpengaruh  nyata
terhadap kapasitas buih pada selang kepercayaan 95, di mana kapasitas buih pada nilai pH 4 2.38, pH 7 43.18, dan tertinggi pada pH 10 62.77.
Hasil  penelitian  ini  sesuai  dengan  penelitian  kapasitas  buih  pada  protein kedelai  oleh  Kinsella  1979,  di  mana  kapasitas  buih  maksimum  diperoleh
pada pH 2 dan 9, sedangkan kapasitas buih minimum diperoleh pada pH  4-6 ketika kelarutan protein berada pada titik terendah.  Pada nilai pH 4 kelarutan
protein  berada  pada  titik  minimum  sehingga  hanya  sedikit  fraksi  protein terlarut  yang  terlibat  dalam  pembentukan  buih.  Keterlibatan  fraksi  protein
terlarut  sangat  penting  dalam  pembentukan  buih  sehingga  pada  nilai  pH isoelektrik  kapasitas  buih  yang  terbentuk  sangat  minimum  Damodaran,
1996.  Peningkatan nilai pH berkorelasi positif dengan peningkatan kelarutan protein  dan  kapasitas  buih  konsentrat  protein  biji  kecipir.  Cherry  dan
McWatters  1981  menyatakan  bahwa  ketika  muatan  protein  meningkat, kapasitas buih juga meningkat.
Gambar 17.  Stabilitas Buih pada Berbagai Nilai pH Terhadap Waktu
Studi  yang  dilakukan  oleh  Adebowale  dan  Lawal  2003  menyatakan bahwa  ketidakstabilan  buih  dapat  disebabkan  disprosporsionasi  gelembung,
penggabungan  gelembung  yang  disebabkan  ketidakstabilan  film  yang terbentuk,  dan  hilangnya  air  dari  gelembung  yang  menyebabkan  film  terlalu
tipis  untuk  menstabilkan  gelembung.  Dari  gambar  di  atas  dapat  dilihat  pada pH  4  buih  sudah  hilang  pada  jam  ke-0.5,  pada  pH  7  buih  pada  jam  ke-1.5,
sedangkan pada pH 10 buih hilang setelah jam ke-3. Hal ini disebabkan oleh kemampuan protein menahan air pada pH 10. Semakin lama protein menahan
air,  semakin  baik  stabilitas  buihnya.  Hilangnya  air  dari  struktur  buih  dapat dikurangi jika ada sisi polar polipeptida yang berinteraksi dengan molekul air
pada  struktur  lamela  Zayas,  1997.  Pada  pH  4  dan  7,  protein  dengan  cepat kehilangan air dan tidak mampu menstabilkan gelembung udara.
Berbagai  jenis  protein  memiliki  kapasitas  buih  yang  berbeda,  protein yang  paling  banyak  digunakan  sebagai  pembentuk  buih  adalah  putih  telur,
gelatin,  kasein,  protein  kedelai  dan  gluten  Zayas,  1997.  Protein-protein tersebut  memiliki  kemampuan  membentuk  buih  yang  sangat  baik.  Foaming
power  protein  kedelai  pada  konsentrasi  0.5    mencapai  500,  sedangkan gelatin  760  Damodaran,  1996.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  sebenarnya
konsentrat protein biji kecipir tidak memiliki kapasitas buih yang baik, terkait dengan  struktur  globular  protein  kecipir  yang  sulit  didenaturasi  pada
permukaan dan mengakibatkan rendahnya kapasitas buih.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.