Kepadatan tanah akibat penyaradan oleh forwarder dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan semai: studi kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sematera Selatan

(1)

KEPADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN OLEH FORWARDER DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI

: STUDI KASUS DI HPHTI PT. MUSI HUTAN PERSADA SUMATERA SELATAN

Oleh : EDI WILSON

E02498005

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Edi Wilson, E02498005. Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan Oleh Forwarder Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai : Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F

RINGKASAN

Perkembangan sistem pemanenan hutan seiring dengan kemajuan teknologi serta konsep pengusahaan hutan modern memacu peningkatan penggunaan alat-alat berat kehutanan seperti traktor dalam kegiatan pengusahaan hutan. Terlepas dari beberapa kelebihan yang dimilikinya, penggunaan traktor dalam pemanenan hutan terutama dalam kegiatan penyaradan juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa kerusakan vegetasi hutan (tegakan tinggal dan tumbuhan bawah) dan kerusakan tanah terutama pemadatan tanah. Kontak yang terjadi antara permukaan tanah dengan tapak roda traktor akan mengkibatkan terjadinya pemadatan tanah.

Pemadatan tanah (Soil Compaction) merupakan proses pergerakan partikel-partikel tanah yang secara mekanis bergerak ke posisi keadaan yang lebih rapat satu sama lain. Pemadatan tanah terjadi karena adanya gaya tekan terhadap tanah (ground pressure) dan getaran yang dihasilkan oleh traktor. Semakin besar

ground pressure yang dihasilkan maka semakin intensif proses pemadatan tanah yang terjadi. Pemadatan tanah merupakan fungsi dari jenis tanah, kadar air dan jenis lalu lintas yang ada di permukaan tanah.

Penelitian ini bertujuan untuk ; memetakan pola jalan sarad forwarder dalam satu setting pemanenan di HTI, mengetahui tingkat kepadatan tanah pada jalan sarad akibat intensitas penggunaan forwarder dan menghitung persentase luas areal terpadatkan dalam satu setting pemanenan, mengetahui pengaruh pemberian serasah di jalur sarad terhadap kepadatan tanah, dan mengetahui respon pertumbuhan semai tanaman di tanah terpadatkan.

Penelitian dilaksanakan di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Wilayah II Benakat, Sumatera Selatan (Setting IX Blok Teras Unit VIII Tebing Indah) pada Bulan Juli – September 2003. Alat yang diamati dalam penelitian ini adalah 6-Wheel Forwarder Timberjack 1010D yang merupakan alat sarad di HPHTI tersebut. Contoh tanahdiambil dengan menggunakan ring sample, plastik, pisau. Tinggi dan panjang akar tanaman diukur dengan menggunakan mistar. Contoh tanah dan contoh tanaman diproses lebih lanjut di Laboratorium R&D PT. MHP dan Laboratorium Mekanika Tanah Fateta IPB. Sedangkan analisis sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Faperta IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ; 1) Tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol), 2) Serasah, 3) Bibit Acacia mangium, Swietenia macrophylla

dan Gmelina arborea.

Rancangan penelitian yang digunakan untuk mengolah data respon kepadatan tanah dan pertumbuhan tanaman adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan jumlah rit dan tempat tanam tanaman. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap respon kepadatan tanah dan pertumbuhan tanaman dilakukan analisis ragam dan Uji Beda Nyata Duncan.


(3)

ii Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penyaradan di HTI dengan menggunakan forwarder merupakan sistem penyaradan terencana dan terpola, dimana forwarder dalam menyarad sortimen kayu melewati tumpukan serasah (jalur sarad) yang telah disiapkan sebelumnya pada saat penebangan. Proses penyaradan dimulai dari ujung jalur sarad dan sortimen kayu disarad ke TPn yang berada di sekitar tepi jalan angkutan. Untuk rit selanjutnya, forwarder cenderung mengikuti jejak tapak roda dari rit penyaradan sebelumnya. Sortimen kayu disarad per jalur sarad dan baru pindah ke jalur sarad selanjutnya setelah semua sortimen kayu di jalur tersebut selesai disarad.

Luas setting IX adalah 10,4 ha. Lebar jalur sarad adalah ± 5 meter dan jarak antar jalur sarad berkisar antara 13,5 meter sampai 15 meter. Jalur sarad terpanjang adalah ± 290 meter dan diperlukan 8 rit untuk menyarad semua sortimen kayunya ke TPn. Jumlah rit maksimum yang diterima jalur sarad adalah 28 rit dan areal di sekitar TPn dilewati forwarder lebih dari 30 rit. Hal ini dikarenakan ada salah satu jalur sarad yang berfungsi sebagai jalur utama/koridor. Jumlah rit total yang diperlukan untuk menyarad semua sortimen kayu dari setting

IX adalah 108 rit.

Luas areal yang dilewati forwarder (mengalami kenaikan kepadatan tanah) adalah 16.504,80 m2 yaitu sekitar 16 % (15,87 %) dari luas total setting.

Hasil analisis data kerapatan massa tanah menunjukkan bahwa kepadatan tanah meningkat seiring dengan kenaikan intensitas penyaradan pada semua kedalaman baik pada jalur serasah maupun jalur tanpa serasah. Hal ini terlihat dengan naiknya nilai kerapatan massa tanah dan menurunnya nilai porositas tanah.

Nilai kerapatan massa tanah pada tanah kontrol pada lapisan permukaan 0-5 cm, kedalaman 0-5-10 cm, dan kedalaman 10-10-5 cm berturut-turut adalah 1,29 g/cm3, 1,33 g/cm3 dan 1,34 g/cm3. Nilai ini meningkat pada rit pertama penyaradan, berturut-turut adalah 1,40 g/cm3, 1,44 g/cm3 dan 1,44 g/cm3 pada jalur serasah dan 1,44 g/cm3, 1,45 g/cm3 dan 1,44 g/cm3 pada jalur tanpa serasah. Kerapatan massa tanah terus meningkat hingga rit kelima, berturut-turut adalah 1,53 g/cm3, 1,55 g/cm3 dan 1,55 g/cm3 pada jalur serasah dan 1,58 g/cm3, 1,57 g/cm3 dan 1,57 g/cm3 pada jalur tanpa serasah dan cenderung konstan untuk rit-rit selanjutnya.

Porositas tanah pada tanah kontrol adalah 51,41 % untuk lapisan permukaan 0-5 cm, 49,99% untuk kedalaman 5-10 cm dan 49,28% untuk kedalaman 10-15 cm. Porositas tanah mengalami penurunan pada rit pertama penyaradan, berturut-turut adalah 48,22%, 46,90% dan 46,98% pada jalur serasah dan 45,73%, 45,12% dan 45,50% pada jalur tanpa serasah. Nilai porositas terus menurun hingga rit kelima, berturut-turut adalah 42,35%, 41,70% dan 41,36% pada jalur serasah dan 40,42%, 40,77% dan 40,91% pada jalur tanpa serasah dan cenderung konstan untuk rit-rit selanjutnya.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa intensitas penyaradan (rit) berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 99 % terhadap kenaikan kepadatan tanah dan penurunan porositas tanah baik di jalur serasah maupun jalur tanpa serasah.

Dari uji beda nyata Duncan terlihat bahwa kepadatan tanah dan porositas tanah berbeda nyata dengan kontrol pada rit pertama penyaradan baik pada jalur serasah maupun jalur tanpa serasah. Setelah rit ke-4, nilai kepadatan tanah dan porositas tanah cenderung konstan (tidak berbeda jauh dengan rit ke-4).


(4)

iii Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian serasah terhadap kepadatan tanah menunjukkan bahwa pemberian serasah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepadatan tanah dan porositas tanah. Hal ini diduga karena kondisi serasah yang sudah mengering sebelum proses penyaradan, karena penyaradan dilakukan 2 bulan setelah penebangan dan bertepatan dengan musim kering sehingga serasah langsung hancur ketika dilewati forwarder pada rit pertama dan kedua. Selain itu serasah tidak diatur rapi sehingga bergeser ke kiri dan kanan jalur sarad ketika dilewati forwarder. Kondisi ini menyebabkan fungsi serasah tidak optimal.

Data hasil pengamatan respon pertumbuhan tiga jenis semai tanaman menunjukkan bahwa respon pertumbuhan semai pada tanah kontrol lebih baik dibandingkan dengan tanah bekas lintasan forwarder. Pertambahan tinggi Acacia mangium adalah 2,14 cm (kontrol) dan 1,49 cm (jalur sarad) ; pertambahan panjang akar adalah 3,45 cm (kontrol) dan 2,84 cm (jalur sarad) ; NPA adalah 2,197 (kontrol) dan 2,343 (jalur sarad). Pertambahan tinggi Swietenia macrophylla adalah 0,75 cm (kontrol) dan 0,56 cm (jalur sarad) ; pertambahan panjang akar adalah 1,57 cm (kontrol) dan 1,27 cm (jalur sarad) ; NPA adalah 1,544 (kontrol) dan 1,50 (jalur sarad). Pertambahan tinggi Gmelina arborea

adalah 1,37 cm (kontrol) dan 1,17 cm (jalur sarad) ; pertambahan panjang akar adalah 2,66 cm (kontrol) dan 1,76 cm (jalur sarad) ; NPA adalah 0,745 (kontrol) dan 0,86 (jalur sarad).

Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan untuk melihat pengaruh jalan sarad (tanah terpadatkan) terhadap respon pertumbuhan ketiga jenis semai tanaman terlihat bahwa tanah bekas jalan sarad forwarder tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hampir semua respon yang diamati, kecuali pada respon pertambahan panjang akar Gmelina arborea. Tanah bekas jalur sarad forwarder (tanah terpadatkan) memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan panjang akar Gmelina arborea.


(5)

iv

KEPADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN OLEH FORWARDER DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI

: STUDI KASUS DI HPHTI PT. MUSI HUTAN PERSADA SUMATERA SELATAN

Karya Ilmiah

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Oleh EDI WILSON

E02498005

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

v Judul : KEPADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN OLEH FORWARDER DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI : STUDI KASUS DI HPHTI PT. MUSI HUTAN PERSADA, SUMATERA SELATAN

Nama : EDI WILSON

Nrp : E02498005

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F Tanggal : Tanggal :

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Tanggal :


(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang Laweh, Kec. Lembah Gumanti, Kab. Solok, Sumatera Barat pada tanggal 01 Januari 1979 sebagai putra pertama dari empat bersaudara buah kasih dari pasangan Bapak Dahyurial dan Ibu Yurnita

Pendidikan formal penulis diawali dengan bersekolah pada sekolah dasar SD Inpres 5/81 - 4/82 Padang Laweh pada tahun 1985 dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMPN 1 Lembah Gumanti dan menyelesaikan studi pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan ke pendidikan menengah di SMUN 1 Lembah Gumanti dan lulus pada tahun 1998.

Pada tahun 1998 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Sebagai bidang minat penulis memilih Sub Program Studi Pemanenan Hasil Hutan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun skripsi dengan judul : ”Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan oleh Forwarder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai : Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan”, dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS (ketua komisi pembimbing) dan Ir. Ujang Suwarna, M.Sc (anggota komisi pembimbing).


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan karya ilmiah dengan judul : “Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan oleh Forwarder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai : Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan”.

Meningkatnya penggunaan alat-alat berat kehutanan dalam kegiatan pengusahaan hutan terutama dalam pemanenan hutan khususnya kegiatan penyaradan, menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan hutan seperti kerusakan vegetasi hutan (tegakan tinggal dan tumbuhan bawah) dan kerusakan tanah terutama pemadatan tanah. Kondisi ini tidak bisa diabaikan begitu saja karena akan merugikan dalam kegiatan pengusahaan hutan. Hal inilah yang mendasari penulis dalam melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan karya ilmiah ini.

Karya ilmiah ini membahas mengenai pola pergerakan forwarder Timberjack 1010D dalam menyarad kayu, dampak penggunaan forwarder dalam kegiatan penyaradan terhadap kepadatan tanah, pengaruh pemberian serasah di jalur sarad terhadap kepadatan tanah, serta respon pertumbuhan semai Acacia mangium, Swietenia macrophylla dan Gmelina arborea di tanah padat.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis dibantu oleh banyak pihak, mulai dari pelaksanaan penelitian di lapangan hingga rampungnya tulisan ini. Pada kesempatan ini, dengan segenap ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah, Ibu, Adik-adik (Izal, Iwal, Feny) tercinta serta segenap keluarga atas doa, dukungan moril dan materil, serta bimbingan dan nasehatnya kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS (ketua komisi pembimbing) dan Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F (anggota komisi pembimbing) atas bimbingan dan arahannya semenjak penyusunan rencana penelitian hingga selesainya karya ilmiah ini.


(9)

viii 3. Bapak Dr. Ir. Basuki Wasis, MS dan Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku

dosen penguji.

4. Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc (Sekretaris Departemen Hasil Hutan) atas semua bantuan dan dukungannya kepada penulis.

5. Seluruh pimpinan dan karyawan PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan.

6. Pimpinan dan karyawan PT. HALIDA atas fasilitas dan akomodasi selama pelaksanaan penelitian.

7. Seluruh pimpinan dan karyawan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

8. Seluruh pimpinan dan karyawan Yayasan KEKAL Indonesia atas dukungan dan fasilitasnya selama penyusunan karya ilmiah ini.

9. Keluarga Cinangneng (Mas Gembong, Akuwied, Bayu, Kecuk, Aan, Finto, Ade, Arie da Vhotqha, Kojek, Yophie) atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan mungkin mengandung banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang sangat diharapkan. Terima kasih.

Bogor, September 2006

Penulis


(10)

ix

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan... 2

C. Hipotesis ... 3

D. Manfaat Penelitian... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyaradan Dalam Pemanenan Kayu ... 4

1. Pengertian Penyaradan dan Sistem-Sistem Penyaradan Kayu... 4

2. Penyaradan dengan Menggunakan Traktor... 5

B. Pemadatan Tanah... 7

1. Sifat Fisik Tanah ... 7

2. Pengertian Pemadatan Tanah ... 8

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemadatan Tanah... 10

C. Pemadatan Tanah dan Pengaruhnya Terhadap Pemadatan Tanaman . 14 D. Sifat Fisik dan Biologi Tanaman... 15

1. Gmelina arborea... 15

2. Swietenia macrophylla King ... 17

3. Acacia mangium... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21


(11)

x

B. Bahan dan Alat Penelitian... 21

1. Bahan ... 21

2. Alat... 21

C. Pelaksanaan Penelitian ... 21

1. Memetakan Jalan Sarad Forwarder dalam Satu Setting Pemanenan ... 21

2. Perhitungan Jumlah Rit Penyaradan yang Diterima Jalan Sarad ... 23

3. Pengukuran Kepadatan Tanah... 24

4. Perhitungan Nilai Kepadatan Tanah ... 25

5. Penentuan Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Padat... 27

D. Analisis Data ... 29

1. Pengaruh Jumlah Rit Penyaradan Terhadap Tingkat Kepadatan Tanah ... 29

2. Pengaruh Kepadatan tanah/Jalan Sarad forwarder Terhadap Pertumbuhan Tanaman ... 30

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas dan Keadaan Wilayah... 32

B. Topografi... 33

C. Geologi dan Jenis Tanah ... 33

D. Hidrologi ... 34

E. Iklim ... 33

F. Kondisi Vegetasi Hutan ... 34

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemetaan Pola Jalan Sarad... 36

B. Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan ... 41

C. Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Padat... 55

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA... 66


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Teks Halaman

Gambar 1. Gaya Tekan Pada... 13

Gambar 2. Skema Jalan Sarad forwarder ... 22

Gambar 3. Bagan Tahapan Kegiatan Penelitian ... 24

Gambar 4. Titik-titik Pengambilan Sampel Tanah ... 25

Gambar 5. Bagan Alur Langkah Kerja Penelitian ... 31

Gambar 6. Penyaradan Dengan Menggunakan Forwarder 1010D ... 36

Gambar 7. Pola Jalur Sarad Forwarder ... 38

Gambar 8. Spesifikasi Forwarder 1010D... 41

Gambar 9. Grafik Hubungan Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Serasah Dengan Intensitas Penyaradan Pada Tiga Tingkat Kedalaman.. 45

Gambar 10. Grafik Hubungan Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Tanpa Serasah Dengan Intensitas Penyaradan pada Tiga Tingkat Kedalaman... 45

Gambar 11. Grafik Hubungan Porositas Dengan Intensitas Penyaradan pada Jalur Serasah pada Tiga Kedalaman ... 49

Gambar 12. Grafik Hubungan Porositas Dengan Intensitas Penyaradan pada Jalur Tanpa Serasah pada Tiga Kedalaman ... 50

Gambar 13. Respon Pertumbuhan Rata-rata Acacia mangium pada Tanah Bekas Jalur Sarad dan Tanah Tidak Terusik... 59

Gambar 14. Respon Pertumbuhan Rata-Rata Swietenia macrophylla Pada Tanah Bekas Jalur Sarad dan Tanah Tidak Terusik... 59

Gambar 15. Respon Pertumbuhan Rata-rata Gmelina arborea pada Tanah Bekas Jalur Sarad dan Tanah Tidak Terusik... 60

Gambar16. Lokasi Penanaman Tanaman Acacia Mangium ... 61

Gambar17. Lokasi Penanaman Tanaman Swietenia macrophylla ... 62

Gambar18. Lokasi Penanaman Tanaman Gmelina arborea ... 62

Gambar 19. Respon Pertumbuhan Tanaman Acacia mangium pada Bekas Jalan Sarad (bulk density 1,49 g/cm3) dan Tanah Tak Terusik (bulk density 1,32 g/cm3) Setelah 2 Bulan Penanaman... 63

Gambar 20. Respon Pertumbuhan Tanaman Swietenia macrophylla pada Bekas Jalan Sarad (bulk density 1,49 g/cm3) dan Tanah Tak Terusik (bulk density 1,32 g/cm3) Setelah 2 Bulan Penanaman.. 63


(13)

xii Gambar 21. Respon Pertumbuhan Tanaman Gmelina arborea pada Bekas

Jalan Sarad (bulk density 1,49 g/cm3) dan Tanah Tak Terusik (bulk density 1,32 g/cm3) Setelah 2 Bulan Penanaman... 64


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Teks Halaman

Tabel 1 Batas Areal Kerja Tiap Kelompok Hutan ... 32 Tabel 2 Luasan KH Berdasarkan Kelas Kemiringan Lahan ... 33 Tabel 3 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 37 Tabel 4 Perhitungan Luas Areal Terpadatkan Akibat Penyaradan pada

Setiap Intensitas Penyaradan... 39 Tabel 5 Rata-rata Kerapatan Massa Tanah dan Porositas Tanah pada

Berbagai Intensitas Penyaradan di Jalur Serasah ... 43 Tabel 6 Rata-rata Kerapatan Massa Tanah dan Porositas Tanah pada

Berbagai Intensitas Penyaradan di Jalur Tanpa Serasah ... 44 Tabel 7 Analisis Ragam Pengaruh Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

terhadap Tingkat Kepadatan Tanah pada Tiga Tingkat Kedalaman. 46 Tabel 8 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur Serasah. ... 46 Tabel 9 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur

Serasah. ... 47 Tabel 10 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur

Serasah. ... 47 Tabel 11 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur

Tanpa Serasah. ... 47 Tabel 12 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur

Tanpa Serasah. ... 48 Tabel 13 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur

Tanpa Serasah. ... 48 Tabel 14 Model Hubungan Antara Intensitas Penyaradan (rit) Dengan

Tingkat Kepadatan Tanah pada Jalur Serasah dan Jalur Tanpa

Serasah ... 49 Tabel 15 Model Hubungan Antara Intensitas Penyaradan (rit) Dengan


(15)

xiv Tabel 16 Analisis Ragam Pengaruh Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

terhadap Porositas Tanah pada Tiga Tingkat Kedalaman... 51 Tabel 17 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur Serasah. ... 51 Tabel 18 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur Serasah. ... 52 Tabel 19 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur Serasah. ... 52 Tabel 20 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur Tanpa Serasah. ... 52 Tabel 21 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur Tanpa Serasah. ... 53 Tabel 22 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)

Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur Tanpa Serasah. ... 53 Tabel 23 Analisis Ragam Pengaruh Penggunaan Serasah terhadap Tingkat

Kepadatan dan Porositas Tanah ... 54 Tabel 11 Rata-rata Respon Pertumbuhan Semai pada Tanah Padat dan

Tanah Kontrol ... 56 Tabel 13 Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Tanaman di Tanah


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian ... 70 Lampiran 2. Data Pengukuran Pola Jalur Sarad Forwarder... 71 Lampiran 3. Jumlah Rit Penyaradan Tiap Jalur Sarad... 81 Lampiran 4. Hasil Kerapatan Massa Tanah pada Tanah Tidak Terusik

(Kontrol)... 82 Lampiran 5. Hasil Kerapatan Massa Tanah pada Berbagai Intensitas

Penyaradan pada Jalur Serasah ... 83 Lampiran 6. Hasil Kerapatan Massa Tanah pada Berbagai Intensitas

Penyaradan pada Jalur Tanpa Serasah ... 94 Lampiran 7. Data Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Tidak Terusik

(Kontrol)... 100 Lampiran 8. Data Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Bekas Jalur

Sarad Forwarder ... 101 Lampiran 9. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan

Tingkat Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Serasah... 102 Lampiran10. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan

Tingkat Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Tanpa Serasah.... 104 Lampiran11. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan

Porositas Tanah pada Jalur Serasah ... 106 Lampiran12. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan

Porositas Tanah pada Jalur Tanpa Serasah ... 108 Lampiran13. Analisis Ragam Hubungan Pemberian Serasah Dengan

Tingkat Kerapatan Massa Tanah... 110 Lampiran14. Analisis Ragam Hubungan Pemberian Serasah Dengan

Porositas Tanah ... 115 Lampiran15. Uji lanjut Duncan... 120 Lampiran16. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Acacia mangium

pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah yang Tidak Dilewati Forwarder. ... 124 Lampiran17. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Swietenia

macrophylla pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah

yang Tidak Dilewati Forwarder. ... 126 Lampiran18. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Gmelina

arborea pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah


(17)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemanenan hutan merupakan salah satu tahap penting dalam kegiatan pengelolaan hasil hutan, yang pada dasarnya merupakan proses pengaktualisasian nilai hutan (nilai kayu). Karena potensi kayu di dalam hutan belum bernilai ekonomi secara nyata sebelum kayu tersebut dikeluarkan dari dalam hutan (dipanen) dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan umat manusia.

Secara umum kegiatan pemanenan hutan terdiri dari tahapan perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH) seperti perencanaan jalan sarad dan penentuan lokasi TPn, penebangan, penyaradan, dan pengangkutan. Perencanaan pemanenan memiliki peranan yang sangat penting dalam pemilihan sistem pemanenan, alat yang digunakan, jumlah tenaga kerja, biaya, luas setting pemanenan, minimalisasi dampak sehingga tercapai proses pemanenan hutan yang optimal.

Perkembangan sistem pemanenan hutan dan kemajuan teknologi serta konsep pengusahaan hutan modern memacu peningkatan penggunaan alat-alat berat kehutanan seperti traktor dalam kegiatan pengusahaan hutan. Menurut Suparto (1979) penggunaan traktor dalam pemanenan hutan memiliki beberapa keuntungan dibanding cara manual antara lain :

1. Traktor dapat bergerak dengan leluasa di antara pohon inti pada sistem tebang pilih.

2. Traktor dapat digunakan dengan aman hingga kelerengan 40%. 3. Traktor dapat digunakan untuk jarak sarad yang cukup panjang. 4. Traktor memiliki titik berat yang rendah.

Walaupun memiliki beberapa kelebihan, penggunaan traktor dalam pemanenan hutan terutama dalam penyaradan juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa kerusakan vegetasi hutan (tegakan tinggal dan tumbuhan bawah) dan kerusakan tanah terutama pemadatan tanah. Kontak yang terjadi antara permukaan tanah dengan tapak traktor akan mengakibatkan pemadatan tanah.


(18)

2 Pemadatan tanah (Soil Compaction) merupakan proses pergerakan partikel-partikel tanah yang secara mekanis bergerak ke posisi keadaan yang lebih rapat satu sama lain (Markwick, 1944 dalam Matangaran, 1992). Kerusakan areal berupa pemadatan tanah ini dapat diakibatkan oleh aktivitas manusia dan aktivitas alat berat yang digunakan pada saat pemanenan baik pada tahap penyaradan maupun pengangkutan.

Pemadatan tanah terjadi karena adanya gaya tekan terhadap tanah (ground pressure) dan getaran yang dihasilkan oleh traktor. Ground pressure

yang dihasilkan oleh alat berat diukur dari berat alat rata-rata dibagi dengan setiap inchi kuadrat luas tanah yang menopang alat tersebut. Semakin kecil luas permukaan tanah yang menopang akan menyebabkan semakin besarnya

ground pressure yang dihasilkan dan semakin intensif proses pemadatan tanah yang terjadi.

Tingkat kepadatan tanah akan berkorelasi negatif dengan pertumbuhan tanaman. Pemadatan tanah akan mengganggu dan sangat berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Tanah yang terpadatkan akan mengganggu penetrasi akar tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan terhambat. Keadaan seperti ini memerlukan pemecahan yang serius karena sangat merugikan dalam kegiatan pengusahaan hutan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan alat berat kehutanan terhadap kerusakan tanah hutan.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memetakan pola jalan sarad forwarder dalam satu setting pemanenan HTI.

2. Mengetahui tingkat kepadatan tanah pada jalan sarad akibat intensitas penggunaan forwarder dan persentase luas tanah yang terpadatkan dalam satu setting pemanenan.

3. Mengetahui pengaruh pemberian serasah terhadap kepadatan tanah.


(19)

3

C. Hipotesis

1. Penggunaan alat berat penyaradan (forwarder) akan meningkatkan kepadatan tanah.

2. Pemberian serasah di jalan sarad akan mengurangi tingkat kepadatan tanah.

3. Pertumbuhan semai jenis cepat tumbuh di tanah padat akan terganggu.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penggunaan forwarder sebagai alat sarad pada kegiatan pemanenan hutan di HTI terhadap kerusakan tanah terutama pemadatan tanah dan pengaruhnya terhadap respon pertumbuhan tanaman sehingga pada akhirnya dapat dijadikan dasar untuk perencanaan pembuatan setting jalan sarad.


(20)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyaradan Dalam Pemanenan Kayu

1. Pengertian Penyaradan dan Sistem-Sistem Penyaradan Kayu

Brown (1958), mendefisinikan penyaradan sebagai suatu kegiatan pemindahan log dari tempat penebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) atau Landing. Juta (1954), mendefinisikan penyaradan sebagai suatu kegiatan pemindahan kayu dari tempat penebangan atau tunggak ke tempat pengumpulan kayu (TPn) di tepi jalan, jalan rel atau tepi sungai dan Wackerman (1949), mendefinisikan penyaradan sebagai kegiatan memindahkan kayu (log) dari lokasi yang tidak menguntungkan bagi kayu-kayu tersebut ke satu titik pengumpulan dari suatu sistem pengangkutan primer.

Penyaradan (minor transportation) dimulai saat kayu diikatkan ke rantai penyarad di tempat tebangan kemudian disarad ke tempat tujuannya (TPn, tepi sungai, tepi jalan rel atau tepi jalan mobil, landing) dan berakhir setelah kayu dilepaskan dari rantai penyarad (Elias, 1980). Secara umum berdasarkan sortimen kayu yang disarad dikenal tiga sistem penyaradan, yaitu :

1. Short wood system

2. Tree length system

3. Full tree system

Sistem penyaradan kayu ditinjau dari bentuk kayu yang dihasilkan (Suparto, 1979; Elias, 1980; United Tractor, 1993) dibagi menjadi :

1) Cut to length system (short wood method) adalah sistem penyaradan dimana kayu hasil tebangan disarad ke TPn dalam bentuk sortimen tertentu, cabang, ranting dan daun ditinggal di areal tebangan.

2) Tree length system adalah sistem penyaradan dimana kayu-kayu hasil tebangan cabang, ranting dan daunnya dipangkas di lokasi penebangan, kemudian disarad ke TPn dalam bentuk sortimen menurut panjang batang. 3) Full tree system adalah sistem penyaradan dimana kayu-kayu hasil tebangan masih berbentuk pohon utuh, kemudian disarad ke TPn,


(21)

5 sedangkan proses pemangkasan cabang dan pembagian batang menjadi sortimen tertentu dilakukan di TPn.

Juta (1954), mengemukakan bahwa berdasarkan tenaga kerja yang dipakai pada sistem penyaradan dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :

1) Penyaradan non mekanis, terdiri dari :

a) Penyaradan dengan tenaga manusia dengan dipikul, ditarik, digulingkan dan didorong.

b) Penyaradan dengan memakai tenaga hewan, yaitu : kuda, keledai, sapi dan gajah.

c) Penyaradan dengan menggunakan gaya berat. 2) Penyaradan mekanis, terdiri dari :

a) Penyaradan dengan kabel. b) Penyaradan dengan traktor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem penyaradan (Brown, 1958) adalah sebagai berikut :

1) Ukuran kayu dan sifat kayu. 2) Topografi.

3) Pertimbangan silvikultur. 4) Pertimbangan iklim.

5) Jarak ke tempat pengangkutan.

2. Penyaradan Dengan Menggunakan Traktor

Penyaradan kayu dengan traktor adalah proses pemindahan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan dengan menggunakan alat utama traktor atau skidder (Wackerman, 1949 ).

Simmons (1951), mengemukakan beberapa faktor ekonomi yang harus diperhatikan dalam penggunaan traktor sebagai alat sarad, yaitu :

1) Investasi besar.

2) Memerlukan kerja yang kontinyu untuk menghindari biaya penyusutan yang besar.

3) Untuk mengimbangi biaya traktor, pekerjaan penebangan dan pembagian batang harus ditingkatkan.


(22)

6 5) Biaya per unit tanpak lebih tinggi dibanding dengan sistem lain untuk

kegiatan kayu pendek.

Cara penyaradan yang sering digunakan dalam pemanenan kayu di luar Jawa adalah dengan menggunakan traktor. Pada penyaradan dengan traktor, posisi kayu yang disarad sebagian atau seluruhnya bersentuhan dengan tanah. Traktor yang digunakan adalah traktor berban karet (wheel skidder) atau traktor berban ulat (crawler) (Suparto, 1979).

Keuntungan penggunaan traktor menurut Suparto (1979) adalah : 1) Dapat bergerak leluasa di antara pohon inti pada sistem tebang pilih. 2) Dapat digunakan dengan aman sampai kelerengan 40%.

3) Dapat digunakan pada jarak sarad yang cukup panjang. 4) Traktor memiliki titik berat yang rendah.

Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan traktor berupa kerusakan vegetasi hutan dan kerusakan fisik tanah hutan. Kerusakan fisik tanah hutan berupa erosi dan run off lebih besar pada jalan sarad yang baru dilakukan penyaradan dibandingkan dengan jalan sarad yang telah ditinggalkan selama 2 tahun dan 3 tahun (Ruslan, 1979). Kerusakan berupa peningkatan kerapatan limbak tanah menyebabkan rusaknya habitat binatang tanah (Tinambunan, 1987). Kerapatan limbak tanah pada bekas jalan sarad ke dalaman 0-5 cm untuk jenis tanah podsolik merah kuning dapat mencapai 1,67 g/cm3.

Menurut Conway (1976) keuntungan dari forwarding adalah : 1) Dapat memuat sendiri, daya angkut besar dan jarak sarad lebih jauh. 2) Kerusakan log yang diangkut lebih rendah.

3) Dapat digunakan dalam kegiatan penjarangan.

4) Dapat mengangkut kayu dengan jalan angkutan yang lebih cepat bila dibanding dengan cara ground skidding.

5) Produktivitas dan biaya tidak disebabkan ukuran log yang disarad karena ukuran muatan relatif sama.


(23)

7

B. Pemadatan Tanah 1. Sifat fisik Tanah

Sifat fisik tanah hutan telah lama diyakini oleh para peneliti sebagai faktor yang penting dalam proses pertumbuhan tegakan. Tanah merupakan suatu sistem dinamis yang secara fisik terdiri dari tiga macam bahan yaitu padatan, cairan dan gas. Komposisi ketiga bahan penyusun tanah tergantung dari jenis tanah dan kondisi lingkungan, sehingga ketiga bahan penyusun tanah ini saling tergantung satu dengan yang lainnya. Hubungan ketiga bahan penyusun tanah tersebut menunjukkan sifat-sifat fisik tanah (Hillel, 1980).

Secara geologis tanah merupakan bahan organik pada suatu permukaan yang terpengaruh cuaca atau lapisan atas (Top soil) (Smith, 1992).

Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah berdasarkan perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu, dan liat. Dalam klasifikasi tanah (taksonomi tanah) tingkat famili, kasar halusnya tanah ditunjukkan oleh sebaran ukuran butir (particle size distribution) yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah. Menurut Soedarmo dan Prayoto (1985) bahwa terdapat hubungan yang erat antara tekstur tanah dengan sifat-sifat tanah lain, seperti kapasitas tukar kation, porositas, kecepatan infiltrasi dan permeabilitas.

Struktur tanah menurut Hardjowigeno (1992) adalah gumpalan kecil dari butir-butir pasir, debu dan liat yang terikat satu sama lainnya oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda. Tanah yang berstruktur baik (remah atau granuler) mempunyai tata udara yang baik, unsur-unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Struktur tanah yang baik adalah bentuknya membulat sehingga tidak dapat saling bersinggungan dengan rapat. Di samping itu struktur tanah halus tidak mudah rusak (mantap), sehingga pori-pori tanah tidak cepat tertutup bila terjadi hujan.

Porositas (porosity) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume atau isi dari butir tanah dengan volume dari tanah seluruhnya (Smith, 1992). Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik (porositas tanah


(24)

8 tinggi bila kandungan bahan organik tinggi), struktur tanah dan tekstur tanah. Tanah-tanah yang memiliki struktur remah (granuler) mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah yang memiliki struktur pejal (massive) (Hardjowigeno, 1992).

Kerapatan kering (dry density) merupakan keadaan khusus dari kerapatan menyeluruh (bulk density) suatu tanah, dengan menganggap air dihilangkan seluruhnya dari tanah tersebut. Nilai kerapatan kering dihitung dari nilai kerapatan menyeluruh dan nilai kadar air. Tingkat kepadatan tanah umumnya diukur dari nilai kerapatan kering (Smith, 1992). Tingkat pemadatan tanah diukur dari nilai kerapatan kering tanah yang dipadatkan. Nilai kerapatan kering dari suatu tanah akan naik bila kandungan air dalam tanah tersebut meningkat (Das, 1993).

2. Pengertian Pemadatan Tanah

Pemadatan tanah biasanya didefenisikan sebagai peningkatan kerapatan limbak tanah, merapatnya partikel-partikel solid tanah, dan penurunan nilai porositas tanah (Glinski and Lipiec,1990 dalam Jorge et. al, 1992). Pemadatan tanah dalam arti sebenarnya yang diinginkan adalah untuk fondasi jalan angkutan, sedangkan pemadatan tanah hutan atau pertanian akibat pergerakan kendaraan seperti traktor tidak diinginkan. Dari sudut pandang teknik (engineering) pemadatan tanah cenderung meningkatkan kekuatan tanah (shear strength) dan menurunkan kompresibilitas tanah (Craig, 1983 dalam Jorge et. al, 1992). Dari sudut pandang pertanian (agricultural), kepadatan tanah cenderung untuk menurunkan kuantitas air dan unsur hara yang dibutuhkan akar tanaman dalam tanah (Bowen, 1981 dalam Joerge et. al. 1992).

Kepadatan tanah (soil compaction) merupakan proses pergerakan partikel-partikel tanah yang secara mekanis bergerak ke posisi keadaan yang lebih rapat satu sama lain. Pemadatan tanah merupakan fungsi dari jenis tanah, kadar air dan jenis lalu lintas yang ada di permukaan tanah. Pada tiap lintasan traktor cenderung terjadi pemadatan tanah pada bekas lintasan ban dan akan semakin menjadi padat pada lintasan berikutnya. Pukulan air hujan dan injakan kaki hewan pada tanah merupakan gaya yang dapat memadatkan tanah (Miles


(25)

9 Menurut Markwick (1944) dalam Matangaran (1992), pemadatan tanah itu adalah proses dimana partikel-partikel tanah secara mekanis bergerak ke posisi yang lebih rapat satu sama lain. Tingkat kepadatan tanah yang yang dicapai dinyatakan dalam kg/m3. Herujito dalam Abbas (1990) mengistilahkan pemadatan tanah dengan “kekompakan” yaitu kenaikan kerapatan limbak tanah sebagai akibat dari beban atau tekanan yang dialami oleh tanah tersebut. Untuk menduga tingkat pemadatan tanah hutan yang terjadi, dilakukan dengan pengukuran kerapatan limbak tanahnya (Hamzah, 1983).

Poerwowidodo (1992) mengemukakan kerapatan limbak tanah dapat digunakan sebagai petunjuk tidak langsung aras kepadatan tanah. Kepadatan tanah akan langsung mengendalikan kesarangan tanah, kapasitas sekap air, dan penerobosan perakaran tanaman ke dalam tubuh tanah untuk mengintensifkan penyerapan udara, air dan hara. Pada aras kepadatan tanah yang tinggi, dapat mengganggu perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman.

Greacen dan Sans (1986) dalam Sambas (1994) mengatakan bahwa pemadatan tanah hutan setelah kegiatan pembalakan secara mekanik terjadi karena adanya gaya tekan dan getaran alat-alat seperti traktor.

Menurut Sowers dan Sowers dalam Gaultney et. al., (1982), perubahan tingkat kepadatan tanah disebabkan oleh gaya dari luar maupun dari dalam tanah sendiri. Gaya dari dalam berupa pengeringan, pengembangan maupun pendinginan tanah, sedangkan gaya dari luar dikenakan pada tanah oleh kegiatan yang ada pada permukaan tanah. Pemadatan tanah sebagai akibat bekerjanya suatu alat berat berkaitan erat dengan gaya tekan terhadap tanah dari alat yang bersangkutan. Gaya tekan terhadap tanah merupakan faktor kunci proses terjadinya pemadatan tanah. Gaya tekan (ground pressure) diukur dari berat alat rata-rata dibagi luas permukaan tanah yang menopang alat tersebut. Semakin kecil luas permukaan tanah yang menopang, akan semakin besar gaya tekan pada tanah yang dihasilkan. Semakin besar gaya tekan pada tanah semakin intensif proses pemadatan yang terjadi (Lowman et. al. dalam Matangaran, 1992).

Kepadatan tanah diketahui dari perhitungan pengaruh jumlah rit terhadap kerapatan limbak tanah. Hasil perhitungan tersebut dibandingkan dengan


(26)

10 kerapatan limbak tanah yang tidak dilalui traktor (tanah tidak terusik) sebagai gambaran tegakan hutan tumbuh pada kondisi kerapatan limbak tanah di TPn diukur juga. Kriteria Hovland et. al. (1966) dalam Hamzah (1983), yaitu hasil dari penyaradan 1-2 rit tergolong kerapatan longgar. Penyaradan 3-32 rit kerapatan sedang kecuali pada penyaradan 27 rit, dan lebih dari 33 rit termasuk tanah padat (compact soil).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemadatan Tanah

Pergerakan traktor melewati permukaan tanah akan menghasilkan tekanan ban atau roda traktor yang cenderung memadatkan lapisan atas tanah (topsoil). Tingkat kepadatan tanah yang disebabkan oleh traktor tergantung pada rit yang dilewati traktor, berat traktor, tipe ban atau roda, tekanan ban terhadap tanah, kandungan air tanah, dan kecepatan traktor (Glinski and Lipiec,1990 dalam Jorge et.al, 1992).

Efek utama yang dihasilkan oleh tekanan ban traktor terhadap tanah adalah penurunan daya aliran air tanah (hydraulic conductivity), peningkatan kepadatan tanah (bulk density) dan penurunan porositas tanah (Klute and Jacob, 1949 dalam Jorge, 1992) dan perubahan dalam status aerasi tanah, perubahan dalam karakteristik air tanah, dan menghalangi penetrasi akar (Glinski dan Lipiec, 1990 dalam Jorge et.al, 1992).

Jumikis dalam Abbas (1990), menjelaskan pemadatan tanah tergantung kadar air, jumlah energi pemadatan dan sifat alami tanah. Menurut Raghavan

et. al; Mekyes dalam Abbas (1990), bahwa di samping jumlah lintasan, besar tekanan pada tanah setiap lintasannya menentukan besarnya kepadatan tanah yang terjadi. Gaultney et. al. dalam Solihin H. Z. (1995), menyatakan ada empat faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya pemadatan tanah yaitu penggunaan lahan untuk penanaman yang terus menerus, melakukan kegiatan pada lahan yang terlalu dini sementara kelembaban tanah tinggi, penggunaan traktor dan peralatannya yang terlalu berat dan kurangnya penggunaan limbah hewan pada pertanian.

Lenhard (1986) dalam Matangaran (1992), meneliti tingkat kepadatan tanah akibat intensitas penggunaan alat penyarad traktor beroda karet. Luas areal percobaan 0,25 ha, contoh tanah diambil dari bekas jejak roda traktor


(27)

11 tanpa muatan pada berbagai intensitas penyaradan yaitu 0, 1, 2, 4, 8, 16, dan 32 rit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerapatan limbak tanah menunjukkan nilai maksimum pada intensitas 4 rit. Di atas intensitas 4 rit tersebut ternyata nilai kerapatan limbak tanahnya menjadi konstan.

Markwick dalam Matangaran (1992) mengemukakan beberapa prinsip dasar dari pemadatan tanah, yaitu :

1) Kerapatan limbak tanah merupakan ukuran kerapatan partikel tanah. 2) Secara umum pengeluaran air tanah dapat meningkatkan volume bagian

padatnya dan pemadatan merupakan peningkatan kerapatan partikel tanah. 3) Pada kondisi kadar air tanah tertentu, kepadatan tanah akan bertambah jika

daya pemadatan bertambah dan laju pertambahannya akan menurun sampai udara sisa di dalam tanah kurang dari 3%.

4) Jika tanah diberi pemadatan pada variasi kadar air yang berbeda maka akan terdapat kerapatan limbak maksimum tanah tersebut pada kadar air tertentu. Kadar air ini merupakan kadar air optimum.

5) Kerapatan limbak tanah maksimum dan kadar air optimum bervariasi antara tipe tanah dan besarnya daya pemadatan tanah yang diberikan. 6) Penggilasan tanah bermanfaat bagi tanah yang relatif kering dan digilas

pada kadar air di bawah optimum.

7) Penggilasan terhadap tanah liat yang sangat lunak akan mengaduk tanah tersebut dan hasilnya akan merusak tanah.

8) Kenaikan kepadatan tanah akan meningkatkan pula kekuatan dan stabilitas tanah dan mengurangi penurunan tanah. Kemampuan menyerap air menjadi menurun dengan meningkatnya kepadatan tanah.

9) Umumnya efektivitas peralatan pemadatan tanah menurun dengan bertambah tebalnya/dalamnya lapisan tanah yang dipadatkan. Itulah sebabnya diperlukan pemadatan tanah lapis demi lapis dan tiap lapis tidak terlalu tebal.

10)Jika semua faktor sama, makin berat alat pemadat tanah makin efektif pemadatan tanah dan makin dalam tanah yang ikut terpadatkan.

Lowman et. al. dalam Matangaran (1992) mengemukakan bahwa tingkat pemadatan tanah yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu tergantung dari


(28)

12 sifat fisik tanah dan daya luar yang bekerja pada tanah tersebut. Sifat-sifat tanah hutan bervariasi dalam tekstur, struktur, kandungan mineral, kandungan bahan-bahan organik, dan kadar air. Interaksi dari sifat-sifat tersebut pada suatu tanah hutan tertentu menentukan perubahan tingkat kepadatan tanah yang akan terjadi akibat aktivitas pemanenan kayu.

Hamzah (1983) mengemukakan bahwa untuk menduga derajat pemadatan tanah hutan akibat pembalakan, dapat dilakukan dengan mengukur kerapatan limbak tanahnya. Kerapatan limbak tanah ada kaitannya dengan kedudukan alamiah, yaitu berat tanah itu tiap satuan volume (g/cm3) dalam keadaan belum terganggu. Hovland et. al., (1966) dalam Hamzah (1983) membedakan kelas pemadatan tanah sebagai berikut :

1) Tanah longgar (loose soil) dengan kerapatan limbak tanah 0,9-1,3 g/cm3 2) Tanah normal (normal soil) dengan kerapatan limbak tanah 1,3-1,5 g/cm3 3) Tanah padat (compact soil) dengan kerapatan limbak tanah 1,5-1,8 g/cm3

Menurut Buckman dan Brady (1964), tingkat kepadatan tanah erat kaitannya dengan kerapatan massa tanah (bulk density) dan kerapatan butir tanah (particle density). Semakin tinggi kerapatan massa tanah dan kerapatan butir tanah maka semakin padat tanah tersebut (Hamzah, 1983).

Gaya tekan pada tanah dari manusia, hewan dan beberapa tipe mesin penyarad dapat dilihat pada Gambar 1. (Adams dan Froehlich dalam

Matangaran, 1992), tetapi gaya tekan pada tanah tidak merupakan petunjuk penting tentang kepadatan yang diduga. Getaran, dynamic pressure selama bermuatan dapat menghasilkan tingkat pemadatan yang relatif tidak menunjukkan respon yang berbeda antara gaya tekan pada tanah oleh hewan dan alat mesin. Pemadatan tanah yang terjadi akibat pemanenan kayu ternyata menyebabkan kerusakan fisik tanah hutan. Bila hal ini terjadi dan diserahkan pada alam saja akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya.


(29)

13

Gaya Tekan Pada Tanah(lb/inc2)

0 5 10 15 20 25 30

Manusia Crawler Kuda Rubber Tire Skidder

Gambar 1. Gaya Tekan Pada Tanah Manusia, Crawler, Kuda dan Rubber Tired Skidder (Adams dan Froehlich dalam Matangaran, 1992)

Koshi dan Fryrear (1973) mengadakan penelitian tentang efek dari lintasan traktor, pemberian serasah (mulch) dan konfigurasi tempat tumbuh benih pada tanah. Kepadatan tanah dilihat pada tiga ke dalaman yaitu 0-7.5, 7.5-15, dan 22.5-30 cm pada lintasan traktor baik yang diberi serasah maupun yang tidak diberi serasah. Serasah terdiri dari tiga ukuran yaitu 0.56, 11.2, dan 22.4 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian serasah besar dari 11.2 ton/ha secara signifikan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan

hydraulic conductivity, porositas tanah, kandungan bahan organik tanah pada lintasan traktor pada ke dalaman 15 cm. Peningkatan kandungan bahan organik dan porositas, penurunan kepadatan tanah cenderung memperbaiki hubungan antara tanah-air-tanaman.

Faktor yang menyebabkan terjadinya pemadatan tanah pada tanah hutan adalah kegiatan pembalakan secara mekanis yang akan merusak struktur tanah. Penggunaan input tenaga mekanis dalam waktu tertentu dapat berakibat buruk terhadap produktivitas tanah dan pertumbuhan tanaman khususnya perakaran (Lumintang dan Hidayat, 1982).

Pengoperasian alat-alat berat menyebabkan perubahan sifat sifat tanah yang bervariasi pada berbagai jenis tanah. Perubahan ini akan menyebabkan pengaruh terhadap produktivitas hutan. Laju pertumbuhan benih dan tegakan akan berkurang, serta memberi pengaruh yang berjangka panjang terhadap produktivitas tanah hutan (Matangaran, 1992).

Pengawasan atau pembatasan lalu lintas traktor di atas permukaan tanah adalah metode manajemen yang penting yang bisa digunakan untuk


(30)

14 meminimalisasi pemadatan tanah (Gupta and Larson, 1985 dalam Jorge et. al, 1992).

C. Pemadatan Tanah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Tanaman

Traktor berban karet yang digunakan untuk pemanenan kayu bisa menyebabkan kepadatan tanah dan meninggalkan bekas tapak roda traktor yang mengganggu pertumbuhan pohon (Dickerson, 1976; Froehlich, 1978

dalam Wronski, 1984). Efek ini muncul dari meningkatnya kekuatan tanah (soil strength) dan menurunnya aerasi tanah, kedua hal ini akan menghalangi pertumbuhan akar baru (Russel and Goss, 1974; Greacen and Sands, 1980

dalam Wronski, 1984). Selain mengganggu pertumbuhan akar, pemadatan dan perusakan tanah akan merubah sifat/bentuk fisik tanah (physical properties) yang mengakibatkan terjadinya run off dan erosi tanah (Wooldridge, 1960

dalam Wronski, 1984).

Penggunaan traktor untuk menyarad kayu akan meningkatkan kepadatan tanah, dan diduga dengan meningkatnya kepadatan tanah ini menyebabkan pertumbuhan anakan pohon akan terganggu. Beberapa penelitian tentang hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kepadatan tanah dan pertumbuhan akar tanaman. Hill dan Cruse (1985) mengemukakan bahwa meningkatnya kepadatan tanah menyebabkan pertumbuhan akar tanaman terganggu, terutama untuk pertumbuhan anakan pohon sampai dengan kedalaman 5 cm.

Matangaran (1992) menyatakan bahwa nilai kritis kerapatan limbak tanah terhadap pertumbuhan benih adalah 1,4 g/cm3, sedangkan kerapatan limbak tanah 1,3 g/cm3 sudah memberikan respon yang jelek terhadap pertumbuhan benih. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sebaiknya hanya dilakukan penyaradan 2 rit saja. Jika lebih dari 2 rit pada jalan sarad yang sama maka benih alami yang jatuh dan berkecambah kemungkinan sangat terganggu pertumbuhannya dan kemungkinan akan mati.

Dengan adanya tekanan traktor pada tanah, elemen tanah akan tertekan sampai mencapai keseimbangan baru, sebagai akibatnya tanah menjadi padat dan kerapatan limbak tanahnya bertambah. Kepadatan adalah penyebab kerusakan fisik tanah. Pada tanah yang padat ruang pori yang berisi air dan


(31)

15 udara kecil, sehingga porositasnya rendah. Air dan udara sukar bergerak melalui tanah, karena hanya sedikit pori-pori yang berukuran besar. Penyediaan air dan oksigen untuk pertumbuhan tanaman sangat erat dengan jumlah dan ukuran pori-pori tanah. Di musim hujan, pada kerapatan limbak tanah yang tinggi menyebabkan aliran permukaan tinggi, akibatnya air tidak bisa diserap secara optimal oleh tanah.

Bertambahnya berat isi dan berkurangnya porositas total berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman (Lutz dan Chandler, 1985; Matangaran, 1992). Penurunan variabel respon pertumbuhan tanaman terjadi seiring dengan kepadatan tanah yang semakin tinggi dan porositas tanah yang semakin randah (Matangaran, 1992) .

Penetrasi akar yang terhambat akan mengakibatkan berat, volume dan panjang akar tanaman menurun dengan meningkatnya tingkat kepadatan tanah (Hamzah, 1983). Hill dan Cruise (1985) dalam Matangaran (1992) mengatakan bahwa ke dalaman penetrasi akar berkorelasi kuat dengan tingkat kepadatan tanah yaitu semakin tinggi tingkat kepadatan tanah maka penetrasi akar semakin dangkal. Tanah yang padat mengurangi kapasitas menyekap air, mengurangi kandungan udara dan memberikan hambatan fisik yang besar pada penerobosan akar sehingga mengendalikan kapasitas kemampuannya memanen air, udara dan hara, seperti: pengecilan matra daun dan batang, pemendekan ruas batang, pembesaran pangkal batang, pemudaran warna hijau daun dan pengguguran daun lebih dini sehingga tanaman berpenampilan kerdil dan memperlihatkan bentuk reset (Hasckaylo, 1960; Kramer dan Kozlowski, 1960; Grable dan Siemer, 1968; Champion dan Barley, 1969 dalam

Poerwowidodo, 1992).

D. Sifat Fisik dan Biologi Tanaman 1. Gmelina arborea

Gmelina arborea merupakan salah satu jenis kayu berdaun lebar dari famili Verbenaceae (Lamb, 1986). Menurut Al Rasyid (1991), Gmelina arborea dikenal dengan nama daerah gmelina (Indonesia), gambar (India) dan gamar (Bangladesh) sedangkan Lamb (1973) dalam Kamudjo (1990) menyatakan bahwa gmelina sering disebut dengan gumhar, gumari, gumadi,


(32)

16 yemane dan gamar tetapi lebih dikenal dengan nama gmelina, melina atau yemane.

Menurut Lamb (1968), Gmelina arborea tersebar di sepanjang Pegunungan Himalaya dari arah tenggara ke selatan, meliputi daerah India, Nepal, Siklim, Assam, Pakistan Timur, Burma, Thailand, Laos, Kamboja dan Cina bagian Selatan.

Gmelina arborea dapat tumbuh di daerah-daerah iklim basah sampai kering dengan curah hutan rata-rata tahunan berkisar antara 750-4.800 mm dan ketinggian tempat tumbuh antara 50-1.000 mdpl. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada tanah aluvial basah serta berkapur dengan lapisan permukaan bersifat basa dan semakin ke bawah semakin tinggi keasamannya (Soerianegara dan Indrawan, 1985).

Gmelina arborea mudah ditanam, pertumbuhannya cepat dan dapat ditanam secara campuran. Pohonnya lurus dengan batang bebas cabang antara 6-9 m. Tinggi pohon dapat mencapai 20-30 m dengan diameter setinggi dada sampai dengan 60 cm (Lamb, 1968). NAS (1980), Granes (1979), Palmer (1973) dan Al-Rasyid (1989) dalam Al-Rasyid (1991) mengatakan G. Arborea

memiliki kayu yang ringan dengan berat jenis medium (0.4-0.64). Pada mulanya gmelina dikenal sebagai pohon penghasil energi, tetapi kemudian pemanfaatannya semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi kayu dan kebutuhan kayu penghara industri yang terus meningkat. Dari berbagai penelitian, kayu gmelina dapat digunakan untuk keperluan pembuatan papan partikel, core kayu lapis, korek api, peti kemas, bahan kerajinan kayu dan kertas kraft (Brazil). Riap rata-rata Gmelina arborea sekitar 28 m3/ha/tahun (Kasmudjo, 1990). Menurut Kasmudjo (1990), kayu Gmelina arborea

berwarna kuning keabu-abuan dan tidak berbau khas. Tekstur kayu sedang sampai halus, kekerasan sedang, arah serat terpadu. Berat jenis kayu sedang antara 0.42-0.64 dan kekuatan kayu dikelompokkan ke dalam kelas menengah (kelas III) sehingga kayu gmelina memenuhi syarat sebagai bahan konstruksi ringan dan kayu petukangan (khususnya perabotan). Nilai keteguhan geser kayu gmelina baik sebagai bahan baku plywood, nilai keteguhan belah dan


(33)

17 kekerasannya baik sebagai bahan kerajinan kayu serta kandungan komponen kimia kayu gmelina sesuai sebagai bahan pulp dan kertas.

Selanjutnya Al-Rasyid (1991) menyatakan ketertarikan para pengusaha hutan untuk mengembangkan Gmelina arborea disebabkan rentang pemanfaatan dan tempat tumbuhnya yang cukup luas dan cepat tumbuh. Namun demikian tingkat pertumbuhan dan produksinya ditentukan oleh faktor kualitas lahan. Lamb (1968) dalam Al-Rasyid (1991) menyatakan bahwa unsur-unsur dari sifat tanah yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan atau produksi tanaman Gmelina arborea adalah kandungan unsur nitrogen dalam tanah yang tinggi, reaksi tanah lapisan olah sedikit asam sampai netral (pH 6-7), solum tanah dalam, kelembaban tanah tinggi, kejenuhan basa tinggi dan drainase tanah baik. Ditambahkan Al-Rasyid (1991) untuk pertumbuhan

Gmelina arborea juga diperlukan unsur fosfor dan kalsium. 2. Swietenia macrophylla King

Marga Swietenia yang termasuk dalam suku Meliaceae, terdiri dari tiga jenis, yaitu S. macrophylla King, S. humillis Zucc dan S. mahagoni (L) Jack. Pengenalan taksonomi dapat diamati melalui perbedaan-perbedaan fisik dari ketiga jenis tersebut. Penjelasan secara biologi sulit dilakukan, karena terjadinya persilangan bebas antara ketiga jenis tersebut (Mahyew dan Newton, 1998).

Tinggi pohon mencapai 35 meter, tajuk rapat, lebat, hijau tua. Kulit kelabu gelap, beralur, mengelupas dan cabang coklat kekelabuan, kuncup besar, tertutup oleh sisik tebal berwarna coklat muda dengan ujung berlipat, sering kali beresin, daun tua gugur dengan warna guram tidak berbulu (Samingan, 1982). Selanjutnya Martawijaya (1981) menambahkan, bahwa tinggi pohon mahoni daun besar sekitar 25 meter dengan diameter 125 cm, bentuk silindris, tidak berbanir, tajuk membulat. Kulit batang pohon mahoni daun besar mengandung tanin yang dapat berfungsi sebagai antipyretic, tonic

dan astrigent. Menurut Ardhikusumah dan Dilmy (1956) dalam Kusuma (1989), dibandingkan dengan mahoni daun kecil, mahoni daun besar lebih ringan, serat-seratnya kurang halus, lebih tahan terhadap hama penggerek pucuk, berwarna lebih muda dan serat-serat melintangnya lebih sedikit.


(34)

18 Menurut Sutisna, Purnadjaja dan Kalima (1998), tiga jenis Swietenia

tersebut, tersebar di Amerika Tropika, dari Mexico Tengah, Amerika Tengah, Hindia Barat termasuk Florida bagian selatan, Bolivia, Peru dan Brazil. Sekarang ini Mahoni datanam di seluruh daerah tropika, termasuk Malaysia, Indonesia dan Filipina. Heyne (1987) lebih spesifik mengatakan bahwa mahoni daun besar berasal dari daerah Honduras, sedangkan di Indonesia ditanam di Jawa dan Aceh. Mahoni daun besar merupakan jenis pohon yang berasal dari Amerika Tengah (Honduras, Meksiko, Kolombia, Venezuela, West Indies). Mahoni daun besar pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1872, dan mulai dikembangkan secara luas di Pulau Jawa pada tahun 1897-1902. Pada zaman penjajahan di Pulau Jawa, jenis ini ditanam pada lapangan yang telah menurun kesuburannya yang tidak baik ditanami dengan tanaman jati (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1980)

S. macrophylla King termasuk ke dalam pohon gugur daun dengan tajuk berbentuk tajuk menyerupai payung. Jenis ini dapat tumbuh mencapai ketinggian sampai lebih 30 meter dan diameter setinggi dada lebih dari 1,5 meter. Umur dari jenis ini belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa pohon yang mampu hidup hingga ratusan tahun (Mahyew dan Newton, 1998).

Di alam, Mahoni tumbuh baik di hutan gugur daun atau hutan yang selalu hijau, terpencar atau dalam kelompok kecil hingga 4-8 pohon/ha (Sutisna, dkk., 1998). Menurut Mahyew dan Newton (1998), S. macrophylla dapat tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan. Jenis ini dapat ditemukan pada tipe hutan tropis kering dan hutan tropis basah, dengan curah hujan tahunan 1.000-2.000 mm. Di Peru dan Bolivia, jenis ini ditemukan sampai di ketinggian lebih dari 1.400 mdpl dan mampu tumbuh pada tanah yang sedikit liat serta kurus. Tempat tumbuh mahoni daun besar adalah daerah beriklim basah maupun kering dengan tipe hujan A-D, tanah agak liat dan kurus, dengan ketinggian 0-800 mdpl (Martawijaya, 1981). Selanjutnya Tampubolon (1985) dalam

Kusuma (1989) menegaskan bahwa mahoni daun besar masih dapat tumbuh baik pada tanah dengan drainase terganggu. Pohon mahoni tahan terhadap naungan sehingga mahoni mampu bersaing dengan alang-alang atau belukar dalam mendapatkan sinar matahari, khususnya bila digunakan pada areal


(35)

19 alang-alang rapat. Daunnya sukar terbakar sehingga dapat dipakai sebagai tanaman sekat bakar bagi jenis tanaman reboisasi yang peka terhadap bahaya kebakaran (Anonim, 1980 dalam Kusuma, 1989).

Mahoni daun besar merupakan salah satu jenis pohon komersial yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan perkakas. Tanaman mahoni daun besar adalah salah satu jenis tanaman yang digunakan untuk mereboisasi lahan kering yang tidak cocok untuk tanaman jati (Al-Rasyid dan Mangsud, 1973).

3. Acacia mangium

Acacia mangium ditemukan pertama kali oleh Rumphius pada tahun 1653 dan baru dipublikasikan pada tahun 1753. Nicholson pada tahun 1966 pertama kali memperkenalkan tanaman ini di Irian Jaya bagian selatan (Fak-fak, Merauke, Manokwari, Serdai, dan sepanjang Sungai Digul), Kepulauan Aru (Pulau Pragan, Kepalauan Kaiber), Maluku Selatan, Kepulauan Sula, Taliabu, Tege, serta Pulau Seram (Kaiaratu dan Waesalan). Untuk di Luar Indonesia penyebaran alami di Australia, yaitu sepanjang pantai Queensland dan terdapat mulai dari pantai sampai ketinggian 720 mdpl (Nicholson, 1981).

Pada tahun 1966 tanaman Acacia mangium diperkenalkan di Sabah, Malaysia, dari habitat alaminya sepanjang hutan tropika basah di Queensland, Australia. Tanaman ini tumbuh sangat baik sehingga dicoba dilakukan penanaman. Di sana, mangium tumbuh cepat, atau lebih cepat daripada

Gemelina arborea ataupun Eucalyptus deglupta, keduanya merupakan tanaman paling cepat tumbuh, dengan diameter batang 40 cm. Tanaman ini tumbuh sangat cepat dan baik, areal bekas jalur sarad di Sabah dapat tertutup setelah satu tahun penanaman dengan jarak 3 x 3 meter.

Satu keistimewaan yang perlu diperhatikan adalah kemampuan mangium untuk tumbuh pada tanah dengan pH rendah 4,2. Hal ini penting karena tanah asam seperti itu tersebar luas di daerah tropis dan keadaan inilah yang membedakan mangium dengan beberapa tumbuhan famili Leguminoceae yang lain seperti Leucena yang membutuhkan pH di atas 5,5.

Pada tempat yang baik tumbuh sangat cepat. Di Sabah beberapa spesimen mencapai tinggi 23 meter dalam 9 tahun. Pada umumnya rata-rata


(36)

20 pertumbuhan diameter adalah 2-3 cm per tahun. Tegakan yang tidak terawat mampu manghasilkan 415 m3 kayu setelah 9 tahun, memenuhi hasil panen tahunan sebesar 46 m3 per hektar.

Pada tempat tumbuh yang kurang baik seperti tanah dangkal, rendah nutrisi, areal terganggu, terpadatkan, atau terendam air secara musiman, produksi kayunya lebih sedikit. Namun hasil tahunan sering mencapai lebih dari 20 m3 per hektar. Pada peta percobaan terdahulu, pohon ini mencapai tinggi rata-rata 25 meter dan diameter rata-rata 27 cm pada umur 13 tahun.

Mangium tumbuh dengan baik pada tanah yang tererosi, bebatuan, tanah miskin hara mineral dan juga pada cuaca yang tinggi atau tanah aluvial. Di Queensland tanaman ini secara umum ditemukan pada tanah ultisol masam dan hanya jarang terdapat pada tanah yang terbentuk dari batuan dasar. Di Pulau Seram (Indonesia) jenis ini dilaporkan tumbuh pada tanah ultisol (podsolik merah kuning) (National Research Council, 1983).


(37)

21

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Wilayah II Benakat, Sumatera Selatan pada Bulan Juli sampai September 2003.

B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1) Tanah jenis Podsolik Merah Kuning (Ultisol).

2) Serasah (daun, ranting, cabang, dan batang dengan diameter kurang dari 8 cm dan panjang kurang dari 0,5 m yang merupakan kayu sisa pemanenan).

3) Bibit Acacia mangium, Swietenia machrophylla, Gmelina arborea. 2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 6-Wheel Forwarder Timberjack 1010D, ring sample, plastik, isolasi, timbangan, kompas, oven, pisau, golok, mistar, meteran, kamera, kalkulator, komputer, dan alat-alat tulis.

C. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data penelitian dilakukan dalam satu setting pemanenan yang sedang dilakukan kegiatan penyaradan. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Memetakan Pola Jalan Sarad Forwarder Dalam Satu Setting Pemanenan

Pemanenan hutan di HTI menggunakan sistem tebang habis, dimana proses penebangan dilakukan per jalur dan langsung diproses sebelum penebangan di jalur selanjutnya. Proses tersebut adalah pembersihan cabang dan ranting serta pembagian batang dengan menggunakan chain saw. Selanjutnya sisa batang pohon yang tidak terpakai dengan diameter kurang dari


(38)

22 8 cm beserta cabang dan ranting pohon dipotong-potong dengan panjang kurang dari 0,5 m dan disusun sedemikian rupa di antara tumpukan kayu sehingga membentuk suatu jalur yang akan dilewati forwarder dalam menyarad kayu.

a

b

Gambar 2. Skema Jalan Sarad forwarder

Keterangan : a = jalur serasah sebagai jalan sarad forwarder

b = tumpukan kayu/log

Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam memetakan pola jalan sarad forwarder adalah sebagai berikut :

1) Mengumpulkan data tentang setting pemanenan yang akan dilakukan penelitian antara lain; luas setting pemanenan, potensi tegakan, umur tegakan, jarak tanam, lokasi dan luas TPn, arah jalur sarad, lebar jalur sarad, jarak antara jalur sarad dengan jalur sarad selanjutnya.

2) Mengumpulkan data tentang tipe forwarder dan spesifikasinya, kualifikasi operator, dan mekanisme penyaradan (SOP penyaradan).

3) Membuat pancang/patok sebagai alat bantu dalam pengambilan data pergerakan forwarder dan untuk menandai jumlah rit yang dilewati forwarder.


(39)

23 4) Memulai pengukuran dengan terlebih dahulu menentukan titik ikat atau titik awal pengukuran (titik awal pergerakan forwader ketika memasuki

setting pemanenan).

5) Memperhatikan pergerakan forwarder dari titik awal sampai jarak tertentu hingga forwarder tersebut berbelok dan menandai titik belokan tersebut dengan pancang.

6) Membidik dengan kompas kemudian mencatat azimut yang tertera pada kompas dan mengukur jarak dari titik awal ke titik belokan forwarder dengan menggunakan meteran dan memasukkannya ke tally sheet (tally sheet terlampir)

7) Melanjutkan pengukuran pergerakan forwarder dari titik belokan ke titik (belokan) selanjutnya dengan cara yang sama sampai rit tersebut selesai. 8) Melakukan pengukuran untuk rit selanjutnya dengan cara yang sama

sampai penyaradan di jalur sarad tersebut selesai dan pindah ke jalur sarad selanjutnya.

9) Menandai jalan sarad yang dilewati forwarder dengan pancang yang sudah disiapkan sebelumnya untuk tiap-tiap rit yang diterima jalan sarad. Hal ini untuk mempermudah dalam pengambilan contoh tanah tiap rit.

10)Kegiatan di atas dilakukan tiap hari sampai kegiatan penyaradan dalam

setting pemanenan tersebut selesai.

11)Memplotkan data yang diperoleh ke dalam bentuk gambar (kertas milimeter blok) yang hasilnya adalah peta pola jalan sarad forwarder. 12)Dari peta tersebut dapat dilakukan perhitungan persentase luas areal

terpadatkan (jalan sarad) terhadap luas total setting pemanenan dan persertase luas areal terpadatkan berdasarkan rit terhadap luas total setting

pemanenan.

2. Perhitungan Jumlah Rit Penyaradan yang Diterima Jalan Sarad

Kegiatan ini dapat dilakukan setelah data pengukuran pemetaan pola jalan sarad forwarder diplotkan ke dalam bentuk peta. Tahap kegiatannya adalah sebagai berikut :


(40)

24 Gambar 3. Bagan Tahapan Kegiatan Penelitian

3. Pengukuran Kepadatan Tanah

Pengukuran kepadatan tanah dilakukan setelah kegiatan penyaradan selesai. Kegiatan ini dilakukan di setting pemanenan yang sebelumnya telah ditandai untuk tiap-tiap rit yang dilalui forwarder pada saat memetakan pola jalan sarad forwarder. Contoh tanah diambil di jalan sarad yang dilalui forwarder tepat dibekas tapak roda kanan dan roda kiri forwarder baik untuk jalur serasah maupun jalur tanpa serasah. Contoh tanah diambil tiap rit dengan 10 ulangan dengan jarak ulangan 10 m dan diambil untuk tiga ke dalaman yaitu 0-5, 5-10, 10-15 cm. Diambil juga contoh tanah ditanah tidak terusik sebagai kontrol dan contoh tanah di jalan sarad yang akan ditanami tanaman cepat tumbuh dengan cara yang sama.

Tahap-tahap pengambilan datanya adalah sebagai berikut :

1) Menimbang tabung silinder serta mengukur dimensinya dan menandainya dengan penomoran.

Menggambarkan data yang diperoleh ke dalam kertas millimeter blok (peta pola

jalan sarad forwarder).

Menandai dan membagi areal penyaradan (jalan sarad) berdasarkan jumlah rit yang

diterima oleh jalan sarad tersebut.

Menghitung persentase luas areal terpadatkan (jalan sarad ) terhadap luas

total setting pemanenan.

Menghitung persentase luas areal terpadatkan (jalan sarad) berdasarkan

jumlah rit terhadap luas setting pemanenan.

Pengambilan data pola pergerakan forwarder dalam menyarad kayu.


(41)

25 2) Menandai titik titik pengambilan contoh tanah tiap rit dengan jarak 10 m

sebagai ulangan.

3) Mengambil contoh tanah pada titik yang telah ditentukan, caranya dengan membersihkan permukaan tanah dari serasah, kemudian tabung silinder diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah dan ditekan perlahan lahan sampai seluruh tabung silinder masuk. Bila tanah terlalu keras maka tanah di sisi luar tabung silinder dilukai sedikit demi sedikit dengan menggunakan pisau sambil terus menekan tabung silinder.

4) Mengeluarkan tabung silinder dengan cara membersihkan tanah di sekelilingnya, kemudian bagian atas dan bawah tabung silinder diratakan dengan pisau dan ditutup agar kadar airnya tidak berubah.

5) Menimbang contoh tanah dengan tabung silinder untuk mengetahui berat contoh tanah basah.

6) Mengeluarkan contoh tanah dari dalam tabung silinder dan dimasukkan ke dalam plastik kemudian diikat rapat untuk dihitung berat contoh keringnya.

7) Meneliti sifat fisik dan kimia contoh tanah untuk mengetahui jenis tanah (di laboratorium).

8) Mengeringkan dengan oven pada suhu 1050C sampai beratnya konstan. Selanjutnya dilakukan perhitungan kerapatan limbak, kadar air, dan porositas tanah.

Gambar 4. Titik-titik Pengambilan Sampel Tanah

Jalur serasah Jalur tanpa serasah


(42)

26

4. Perhitungan Nilai Kepadatan Tanah

Perhitungan nilai kepadatan tanah dilakukan setelah diperoleh berat tanah basah dan berat tanah kering dari contoh tanah yang diambil. Dari data tersebut dapat dihitung kerapatan limbak tanah , kadar air tanah, dan porositas tanah yang menggambarkan tingkat kepadatan tanah.

Kerapatan limbak tanah dihitung berdasarkan rumus (Lambe, 1951 dan Direktorat Bina Marga, 1973 dalam Matangaran et. al., 1995) sebagai berikut :

1) µs =

V W

W2 1

Keterangan :

µs = kerapatan limbak tanah basah (g/cm3) W2 = berat tanah dan tabung silinder (g) W1 = berat tabung silinder (g)

V = Volume contoh tanah basah (cm3) 2) µd =

W 100

µs 100

+

x

Keterangan :

µd = kerapatan limbak tanah (g/cm3) µs = kerapatan limbak tanah basah (g/cm3) W = kadar air contoh tanah (%

3) W =

3 3 ) 1 2 (

W W W

W

Keterangan :

W = kadar air contoh tanah (%) W2-W1 = berat contoh basah (g) W3 = berat contoh kering (g)

Porositas tanah dihitung berdasarkan rumus Hamzah (1983) sebagai berikut :

4) P = 100%

2,65 µd 65 , 2

x


(43)

27 Keterangan :

P = porositas tanah (%)

µd = kerapatan limbak tanah (g/cm3) 2,65 = berat jenis tanah umum kecuali pasir

Tingkat kepadatan tanah akibat penyaradan kayu oleh forwarder dianalisis berdasarkan nilai rata-rata kerapatan limbak tanah dan porositas tanah tiap rit penyaradan.

5. Penentuan Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Padat

Untuk mengetahui respon pertumbuhan tanaman di tanah padat maka dilakukan penanaman tiga jenis cepat tumbuh (fast growing species) di areal bekas tebangan. Penanaman dilakukan di bekas jalan sarad forwarder yang telah dihitung tingkat kepadatan tanahnya, serta di tanah tidak terusik sebagai kontrol. Jenis yang ditanam adalah Acacia mangium, Swietenia macrophylla, dan Gmelina arborea

Tahap-tahap kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1) Penyediaan Bibit

Bibit diperoleh dari lokasi penelitian yaitu dari kebun pembibitan Unit VI Lubuk Guci Wilayah II Benakat. Kondisi bibit sudah siap tanam dengan umur yang sama dan dalam kondisi sehat.

2) Penanaman

Penanaman dilakukan di bekas jalan sarad forwarder dan di tanah tidak terusik dengan masing-masing 10 ulangan. Proses penanaman menggunakan sistem penugalan, di mana tanah dilubangi dengan ukuran lubang yang hampir sama ukuran akar tanaman, dan diusahakan tidak mempengaruhi kondisi kepadatan tanah. Sedangkan jarak tanam disesuaikan dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Setelah bibit selesai ditanam, dipasangi ajir yang sudah ditandai dengan penomoran untuk memudahkan dalam pengukuran data.


(44)

28

3) Pemeliharaan

Setelah tanaman ditanam dilakukan pengamatan dan pemeliharaan sampai tanaman mampu beradaptasi dengan lingkungan. Setelah itu tanaman dibiarkan sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiraman dan pencegahan hama jika diperlukan. Penyiraman dilakukan sesuai dengan kondisi tanaman dan cuaca (suhu, curah hujan, angin, kelembaban) dan diusahakan tidak mempengaruhi kepadatan tanah.

4) Pengambilan Data

Data yang diambil adalah sebagai berikut :

a. Pertambahan Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman diukur setiap minggu dengan menggunakan mistar sampai tanaman dipanen. Pengukuran awal dilakukan pada saat menanam yang merupakan tinggi awal tanaman. Tinggi tanaman yang diukur mulai dari batas antara batang dengan akar sampai dengan pangkal daun terakhir. Data yang akan dianalisis adalah pertambahan tinggi tanaman yang merupakan pengurangan dari tinggi pengukuran akhir dengan tinggi pengukuran awal, kemudian dibandingkan dengan kontrol.

b. Pertambahan Panjang Akar

Pertambahan panjang akar diukur dua kali yaitu sebelum tanaman ditanam dan setelah tanaman dipanen. Untuk mengukur panjang akar awal dibutuhkan tanaman pengganti dengan kondisi dan ukuran yang sama dengan tanaman yang akan diukur. Jadi akan ada tanaman yang dikorbankan. Pengukuran menggunakan mistar.

c. Perhitungan Berat Kering Total (BKT) Dan Nisbah Pucuk Akar (NPA)

Setelah kurang lebih dua bulan semenjak tanaman ditanam kemudian tanaman dipanen. Bagian batang dan akar tanaman dipisahkan kemudian kedua bagian tanaman dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 2 x 24 jam. Setelah itu kedua bagian tanaman ditimbang dengan timbangan. Selanjutnya dilakukan perhitungan berat


(45)

29 kering total dan nisbah pucuk dan akar. Berat kering total adalah penjumlahan dari berat kering batang dan berat kering akar. Sedangkan nisbah pucuk akar adalah perbandingan antara berat kering pucuk dan berat kering akar, kemudian hasil perhitungan dibandingkan dengan kontrol.

D. Analisis Data

Data dianalisis berdasarkan nilai rata-rata dari data yang diperoleh, yaitu nilai rata-rata tingkat kepadatan tanah tiap rit penyaradan dan nilai rata-rata respon pertumbuhan tanaman. Data tersebut dibandingkan dengan data kontrol.

Analisis data menggunakan persamaan rancangan acak lengkap (RAL). 1. Pengaruh Jumlah Rit Penyaradan Terhadap Tingkat Kepadatan

Tanah

Model umum dari Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan adalah :

Y(ij) = U + Pi + Eij

Dimana : Y(ij) = Tingkat kepadatan tanah pada faktor jumlah rit ke-i, ulangan ke-j

U = Rata-rataan umum dari data yang diperoleh Pi = Pengaruh jumlah rit ke-i

Eij = Galat dari jumlah rit ke-i, dan ulangan ke-j

Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan uji F. Hipotesa yang digunakan adalah sebagai berikut :

H0 = Jumlah rit/pemberian serasah tidak berpengaruh terhadap tingkat kepadatan tanah

H1 = Jumlah rit/pemberian serasah berpengaruh terhadap tingkat kepadatan tanah

Kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah : F hitung F tabel, maka terima H0


(1)

Lampiran 16. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Acacia mangium pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah yang Tidak Dilewati Forwarder.

1. Respon Pertambahan Tinggi Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti respon pertambahan tinggi semai pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti respon pertambahan tinggi semai pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05

Perlakuan 1 2,112 2,112 1,335 8,29 4,41

Sisa 18 28,493 1,583

Total 19 30,605

Karena Fhitung < Ftabel, maka respon pertambahan tinggi semai Acacia manium pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %.

2. Respon Pertambahan Panjang Akar Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti respon pertambahan panjang akar pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti respon pertambahan panjang akar semai pada tanah yang dilewati forwarder

dan tidak dilewati forwarder berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05

Perlakuan 1 1,861 1,861 0,744 8,29 4,41

Sisa 18 45,029 2,502

Total 19 46,890

Karena Fhitung < Ftabel, maka respon pertambahan panjang akar Acacia mangium pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %.


(2)

Lampiran 16. (lanjutan)

3. Respon Nisbah Pucuk dan Akar (NPA) Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti nilai NPA pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak dilewati forwarder

tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti nilai NPA pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak dilewati forwarder

berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05

Perlakuan 1 0,106 0,106 0,146 8,29 4,41

Sisa 18 13,130 0,729

Total 19 13,237

Karena Fhitung < Ftabel, maka NPA semai Acacia mangium pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %.


(3)

Lampiran 17. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Swietenia macrophylla pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah yang Tidak Dilewati Forwarder.

1. Respon Pertambahan Tinggi Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti respon pertambahan tinggi semai pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti respon pertambahan tinggi semai pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05

Perlakuan 1 0,181 0,181 0,921 8,29 4,41

Sisa 18 3,529 0,196

Total 19 3,710

Karena Fhitung < Ftabel, maka respon pertambahan tinggi Swietenia macrophylla pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %. 2. Respon Pertambahan Panjang Akar

Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti respon pertambahan panjang akar pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti respon pertambahan panjang akar semai pada tanah yang dilewati forwarder

dan tidak dilewati forwarder berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05

Perlakuan 1 0,450 0,450 0,517 8,29 4,41

Sisa 18 15,662 0,870

Total 19 16,112

Karena Fhitung < Ftabel, respon pertambahan panjang akar Swietenia macrophylla pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %.


(4)

Lampiran 17. (lanjutan)

3. Respon Nisbah Pucuk dan Akar (NPA) Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti nilai NPA pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak dilewati forwarder

tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti nilai NPA pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak dilewati forwarder

berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05 Perlakuan 1 9,857E-03 9,857E-03 0,019 8,29 4,41

Sisa 18 9,425 0,524

Total 19 9,435

Karena Fhitung < Ftabel, maka NPA Swietenia macrophylla pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %.


(5)

Lampiran 18. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Gmelina arborea pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah yang Tidak Dilewati Forwarder.

1. Respon Pertambahan Tinggi Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti respon pertambahan tinggi semai pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti respon pertambahan tinggi semai pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05

Perlakuan 1 0,200 0,200 0,490 8,29 4,41

Sisa 18 7,342 0,408

Total 19 7,542

Karena Fhitung < Ftabel, maka respon pertambahan tinggi semai Gmelina arborea pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %. 2. Respon Pertambahan Panjang Akar

Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti respon pertambahan panjang akar pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak

dilewati forwarder tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti respon pertambahan panjang akar semai pada tanah yang dilewati forwarder

dan tidak dilewati forwarder berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05

Perlakuan 1 4,050 4,050 6,091 8,29 4,41

Sisa 18 11,968 0,665

Total 19 16,018

Karena Fhitung > Ftabel, maka respon pertambahan panjang akar semai Gmelina arborea pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %.


(6)

Lampiran 18. (lanjutan)

3. Respon Nisbah Pucuk dan Akar (NPA) Hipotesis uji :

H0 : µ = 0 ; berarti nilai NPA pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak dilewati forwarder

tidak berbeda.

H1 : µ 0 ; berarti nilai NPA pada tanah yang dilewati forwarder dan tidak dilewati forwarder

berbeda. Keputusan uji :

Fhitung > Ftabel : Terima H1

Fhitung < Ftabel : Terima H0

Analisis Ragam

Ftabel Sumber

Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung 0,01 0,05 Perlakuan 1 6,138E-02 6,138E-02 0,386 8,29 4,41

Sisa 18 2,862 0,159

Total 19 2,923

Karena Fhitung < Ftabel, maka NPA Gmelina arborea pada tanah yang dilewati dan tidak dilewati forwarder tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %.