1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kinerja manajemen suatu perusahaan dapat terlihat dari laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut dapat menggambarkan kondisi dan perkembangan
keuangan perusahaan sehingga dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan tersebut adalah pihak internal dan pihak eksternal perusahaan. Laporan keuangan merupakan informasi keuangan mengenai kondisi dan kinerja
keuangan suatu perusahaan. Salah satu informasi yang terdapat pada laporan keuangan adalah informasi mengenai laba. Informasi mengenai laba tersebut
merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja manajemen.
Statement of Financial Accounting Concept SFAC No.1 mengemukakan bahwa informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau
pertanggungjawaban manajemen dan informasi laba membantu pemilik atau pihak lain melakukan penaksiran atas earning power perusahaan dimasa yang akan
datang. Menurut Beattie. et al 1994 dalam Mursalim 2005 menjelaskan bahwa perhatian investor sering terpusat pada informasi laba tanpa memperhatikan
prosedur yang digunakan untuk menghasilkan informasi laba tersebut. Selain itu, perusahaan juga diberikan berbagai alternatif dalam menyusun laporan keuangan
oleh Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum PABU, sehingga manajemen
perusahaan memiliki kebebasan untuk mengganti metode akuntansi yang digunakan dengan metode akuntansi lainnya yang dapat mempengaruhi jumlah
laba perusahaan yang aktual. Hal inilah yang mendorong manajemen untuk melakukan dysfunctional behaviour perilaku tidak semestinya untuk
meningkatkan kinerja manajemen perusahaan. Tindakan dysfunctional behaviour dari pihak manajemen tersebut
berkaitan dengan teori keagenan agency theory. Dalam teori keagenan terdapat perbedaan kepentingan antara manajemen agen dan pemegang saham
principal, yaitu manajemen mempunyai keinginan untuk meningkatkan kesejahteraannya, sedangkan pemengang saham mempunyai keinginan untuk
meningkatkan kekayaannya. Pihak manajemen selaku pengurus perusahaan juga memiliki informasi perusahaan yang lebih banyak dibanding dengan pemilik
perusahaaan. Hal ini dimanfaatkan oleh manajemen perusahaan untuk melakukan manipulasi laba atau pengelolaan laba earning management.
Sesuai dengan Scott 2000 dalam Aji Mita 2010, terdapat dua tujuan manajemen perusahaan untuk melakukan praktik pengelolaan laba. Pertama,
manajemen perusahaan berusaha untuk menambah tingkat transparansi laba dalam mengkomunikasikan hal yang bersifat informasi internal perusahaan, dalam hal
ini pengelolaan laba yang dilakukan perusahaan bersifat efisien, sedangkan yang kedua adalah pengelolaan laba yang bersifat oportunistik yaitu manajemen
perusahaan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Praktek pengelolaan laba yang bersifat oportunistik inilah yang merugikan
berbagai pihak ekternal yang berkepentingan terhadap perusahaan.
Teknik-teknik pengelolaan laba yang oportunistik seringkali menggunakan teknik perataan laba Aji dan Mita, 2010. Praktik perataan laba merupakan
fenomena umum yang terjadi di berbagai Negara salah satunya di Indonesia pada perusahaan yang go public. Berikut adalah data hasil penelitian terdahulu yang
mengindikasikan bahwa perusahaan yang go public di Indonesia melakukan perataan laba.
Tabel 1.1 Data Hasil Penelitian Perusahaan Go Public yang Melakukan
Perataan Laba
Sumber: Penelitian Juniarti dan Colorina 2005, Zulkarnaini 2007, dan Dewi dan Carina 2008
Koch 1981 dalam Mudjiono 2010 mendefinisikan perataan laba sebagai
suatu alat yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas aliran angka laba yang dilaporkan relatif terhadap aliran yang merupakan target manajemen
dengan memanipulasi variabel artificial akuntansi atau variabel riil transaksional. Menurut Juniarti dan Corolina 2005 manajer termotivasi
melakukan perataan laba untuk mencapai keuntungan pajak, untuk memberikan Peneliti
Jumlah Perusahaan Yang Diteliti
Hasil Juniarti dan Colorina
2005 54 Perusahaan di Bursa
Efek Surabaya 25 atau 46,30
melakukan perataan laba.
Zulkarnaini 2007 222 perusahaan manufaktur
di Bursa Efek Jakarta 97 atau 43,7
perusahaan manufaktur melakukan perataan laba
Dewi dan Carina 2008
31 Perusahaan Manufaktur, dan 21 Lembaga Keuangan
Lainnya di Bursa Efek Jakarta
17 atau 54,84 perusahaan manufaktur
melakukan perataan laba, dan 8 atau 38,10
lembaga keuangan lainnya melakukan
perataan laba.
kesan baik kepada pemilik dan kreditor terhadap kinerja manajemen, mengurangi fluktuasi pada pelaporan laba dan mengurangi resiko sehingga harga sekuritas
yang tinggi menarik perhatian pasar, untuk menghasilkan profit yang stabil, dan untuk menjaga posisi mereka dalam perusahaan.
Adanya fenomena perataan laba dapat menyebabkan pengungkapan laba yang menyesatkan, sehingga akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam
pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, khususnya pihak eksternal Jatiningrum, 2000. Menurut Hughes
1986 dalam Budhijono 2006 perataan laba adalah sebagai bentuk penyalahgunaan yang umum dalam pelaporan keuangan yang seharusnya
diwaspadai oleh pemakainya. Praktik perataan laba dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan karena perataan
laba dapat menyebabkan pengungkapan dalam laporan keuangan menjadi tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya yang seharusnya perlu
diketahui oleh pemakai laporan keuangan, sehingga pemakai laporan keuangan tidak dapat melakukan pengambilan keputusan yang tepat.
Praktik perataan laba tentu saja tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam beberapa penelitian sebelumnya nilai perusahaan,
kebijakan dividen dan reputasi auditor merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba. Penelitian mengenai perataan laba yang
berhubungan dengan nilai perusahaan pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Suranta dan Merdistuti 2009,
Purwanto 2009 dan Aji dan Mita 2010. Penelitian Aji dan Mita 2010 menguji
pengaruh antara profitabilitas, resiko keuangan, nilai perusahaan dan stuktur kepemilikan terhadap perataan laba. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa resiko keuangan dan nilai perusahaan berpengaruh terhadap perataan laba sedangkan profitabilitas dan stuktur kepemilikan tidak berpengaruh terhadap
variabel perataan laba. Selain itu Suranta dan Merdistuti 2009 menemukan adanya pengaruh antara variabel ROA, resiko keuangan, nilai perusahaan dan
kepemilikan manajerial terhadap perataan laba sedangkan variabel Net profit margin, OPM, resiko pasar dan kepemilikan publik tidak berpengaruh terhadap
variabel perataan laba. Sementara itu hasil yang berbeda ditemukan oleh Purwanto 2009 yang menyatakan bahwa nilai perusahaan tidak berpengaruh terhadap
perataan laba. Salah satu tujuan perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan.
Penentuan nilai perusahaan diperoleh dari informasi mengenai laba perusahan. Besarnya laba yang dihasilkan oleh perusahaan akan berdampak pada harga
saham perusahaan tersebut. Harga saham ini digunakan untuk menentukan nilai perusahaan. Suatu perusahaan tentunya menginginkan agar memiliki nilai
perusahaan yang tinggi, begitu juga dengan pihak eksternal seperti investor. Investor berpendapat bahwa apabila suatu perusahaan memiliki nilai yang tinggi
maka perusahaan tersebut dikatakan memiliki kinerja yang baik. Perusahaan yang memiliki nilai pasar yang tinggi akan cenderung melakukan perataan laba Aji
dan Mita, 2010. Suranta dan merdistuti 2009 juga menyimpulkan bahwa Perusahaan yang memiliki nilai pasar yang tinggi akan cenderung untuk
melakukan perataan laba, hal tersebut dikarenakan suatu perusahaan akan
cenderung menjaga konsistensi labanya agar nilai pasar perusahaannya tetap tinggi sehingga dapat lebih menarik arus sumber daya kedalam perusahaannya.
Sementara itu, Kustono 2007 menemukan faktor yang mempengaruhi perataan laba adalah variabel pertumbuhan perusahaan, sedangkan variabel
ukuran perusahaan, kebijakan dividen dan resiko spesifik tidak memiliki pengaruh terhadap variabel perataan laba. Hal berbeda ditemukan oleh Purwanto 2009
yang menemukan hanya variabel ukuran perusahaan yang tidak berpengaruh terhadap perataan laba sedangkan variabel lainnya seperti profitabilitas, kebijakan
dividen dan kelompok usaha memiliki pengaruh terhadap perataan laba. Begitu pula dengan Budiasih 2009 yang juga menemukan adanya pengaruh antara
variabel kebijakan dividen terhadap perataan laba. Para investor yang berinvestasi dengan membeli saham suatu perusahaan
tentunya mengharapkan keuntungan atas dana yang diinvestasikan. Keuntungan dari investasi yang mereka lakukan salah satunya berupa dividen. Dividen adalah
laba yang dibagikan kepada para pemegang saham. Laba sering dikatakan sebagai ukuran kemampuan perusahaan dalam membayar dividen. Kebijakan dividen
memberikan informasi mengenai performa suatu perusahaan. Purwanto 2009 menyimpulkan bahwa kebijakan dividen memiliki pengaruh terhadap perilaku
perataan laba, karena kebijakan dividen akan mempunyai implikasi yang signifikan pada pengambilan keputusan investor maupun investasi potensial
dalam pembelian saham perusahaan. Faozi 2003 juga menemukan bukti bahwa kebijkan dividen berpengaruh terhadap perataan laba. Kebijakan dividen
merupakan salah satu kebijakan manajemen yang menjadi dasar pertimbangan
investasi bagi investor yang mementingkan rate of return dari dana yang diinvestasikan. Pihak Invetor menyukai tingkat dividen yang tinggi dan investor
juga merupakan pihak yang menolak resiko. Padahal apabila suatu perusahaan menerapkan tingkat dividen yang tinggi, maka perusahaan tersebut juga akan
memiliki resiko yang tinggi apabila terjadi fluktuasi laba yang besar. Tuntutan untuk dapat membagikan dividen yang besar dengan risiko yang kecil membuat
pihak manajemen cenderung untuk melakukan perataan laba. Faktor lain yang diduga mempengaruhi praktek perataan laba adalah
reputasi auditor. Herni dan Susanto 2008 menemukan adanya pengaruh yang reputasi auditor terhadap perataan laba. Namun hal tersebut bertentangan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Prabayanti dan Yasa 2009 yang meneliti mengenai pengaruh reputasi auditor yang diproksikan dengan KAP The Big Four
dan Non Big Four terhadap praktik perataan laba. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa reputasi auditor tidak mempengaruhi praktik
perataan laba. Auditor independen merupakan pihak yang bertugas untuk memeriksa
laporan keuangan perusahaan. Kecurangan yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dapat dideteksi dari audit yang dilakukan oleh auditor tersebut,
sehingga dari adanya auditor independen pada suatu perusahaan dapat meminimalkan tindakan kecurangan yang dilakukan perusahaan pada laporan
keuangannya. Dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi, pihak investor juga mempertimbangkan hasil audit perusahaan. Para pengguna laporan keuangan
lebih percaya pada hasil audit dari auditor yang berkualitas Mudjiono, 2010.
Scott et al 2000 dalam Meutia 2004 mengatakan bahwa auditor independen dapat menjadi pelindung terhadap praktik-praktik kecurangan akuntansi seperti
perataan laba, karena auditor tidak hanya dianggap memiliki pengetahuan yang mendalam dibidang akuntansi tetapi juga dapat berhubungan dengan komite audit
dan dewan direksi yang bertanggungjawab untuk memeriksa dengan teliti para pembuat keputusan di perusahaan.
Para pengguna laporan keuangan auditan akan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap perusahaan yang menggunakan jasa auditor dari
KAP yang berkualitas atau KAP yang bereputasi baik. Reputasi auditor merupakan penilaian terhadap kualitas auditor dalam melakukan audit. Pihak
perusahaan memerlukan audit terhadap laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor yang memiliki reputasi baik guna meyakinkan pihak eksternal bahwa
laporan keuangan yang disajikan manajemen perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen dapat dipercaya dan dapat dijadikan sebagai
dasar dalam pengambilan keputusan. Auditor yang tergabung dalam KAP The Big Four dinilai akan lebih teliti dalam melakukan pemeriksaan terhadap laporan
keuangan untuk menjaga reputasi yang KAP dimiliki. Soselisa dan mukhlasin 2008 mengemukakan bahwa kualitas audit yang lebih tinggi dari suatu Kantor
Akuntan Publik KAP memperbesar risiko terungkapnya kecurangan akuntansi, hal ini menimbulkan suatu dugaan bahwa perusahaan yang melakukan atau
perataan laba akan menghindari penggunaan jasa audit dari KAP yang memiliki reputasi dibanding dengan perusahaan yang tidak melakukan perataan laba.
Penelitian mengenai perataan laba ini telah banyak dilakukan, namun dari berbagai penelitian tersebut terdapat ketidak konsistenan hasil antar penelitian
yang satu dengan yang lainnya. Atas dasar tidak konsistennya hasil temuan beberapa peniliti sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
kembali mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba yaitu nilai perusahaan, kebijakan dividen, dan reputasi auditor. Sesuai dengan penelitian
Aji dan Mita 2010, penelitian ini menggunakan ukuran akrual diskretioner dari model jones yang dimodifikasi sebagai indikator terjadinya perataan laba, hal ini
berbeda dari penelitian sebelumnya yang sebagian besar melakukan pengukuran perataan laba menggunakan indeks eckel. Diharapkan penggunaan ukuran
perataan laba selain indeks eckel dapat memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba. Penelitian
ini peneliti berfokus pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2009
– 2011 karena perusahaan manufaktur merupakan perusahaan yang memiliki jumlah populasi yang besar sehingga dinilai dapat mewakili perusahaan go public
yang terdaftar di BEI, selain itu populasi perusahaan manufaktur yang besar diduga akan banyak investor yang cenderung tertarik berinvestasi pada
perusahaan tersebut sehingga diduga manajemen perusahaan memiliki kecenderungan yang besar untuk melakukan perataan laba.
1.2 Rumusan Masalah