Persamaan dan Perbedaan Wewenang dan Fungsi Pra Peradilan

commit to user

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persamaan dan Perbedaan Wewenang dan Fungsi Pra Peradilan

Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat Lembaga pra peradilan lahir dari inspirasi yang bersumber pada adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan http:www.legalitas.orgcontentpra-peradilan-vs-hakim- komisaris-beberpa-pemikiran-mengenai-keberadaan-keduanya [25 November 2010]. Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya, membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak melanggar hukum atau benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini utuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Surat perintah Habeas Corpus ini dikeluarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan polisi atau jaksa melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah Habeas Corpus the writ of Habeas Corpus adalah sebagai berikut : “Si tahanan berada dalam penguasaan saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”. Surat perintah pengadilan yang berisikan hak Habeas Corpus tersebut tidak hanya ditujukan kepada penahanan yang terkait dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi seseorang yang telah commit to user dijamin oleh konstitusi http:one.indoskripsi.comnode10432 [25 November 2010]. Dalam perkembanganya surat perintah Habeas Corpus menjadi saah satu alat pengawasan serta perbaikan terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di negara bagian Amerika Serikat. Prinsip dasar Habeas Corpus inilah yang memberikan inspirasi untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaanya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketetaan berupa penggunaan upaya paksa, baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang diberlakukan oleh pihak kepolisian , kejaksaan atau kekuasaan lainnya. Prinsip dasar Habeas Corpus memunculkan gagasan lembaga pra peradilan yang memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa terhadap upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum http:kampus.okezone.comread2010189533371495perkuat-lembaga- praperadilan-daripada-konsep-hakim-komisaris, [5 September 2010]. Sistem peradilan menganut asas praduga tak bersalah, namun tetap pada kenyataanya dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru disangka atau diduga melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau penuntut umum seringkali langsung menggunakan upaya paksa tanpa dipenuhinya syarat-syarat formil terutama syarat-syarat materiil dalam hal penangkapan maupun penahanan. Lembaga pra peradilan muncul di dalam KUHAP pada Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP. Ketentuan yang menjadi dasar pra peradilan tersebut diatur dalam Pasal 9 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliranmengenai orangnya atau hukum yang diterapkanya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. commit to user 2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang. Penjabaran Pasal 9 UU No.48 Tahun 2009 ini diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP, dan dihubungkan dengan Pasal 95 ayat 2 sampai 5, serta Pasal 97 ayat 3 KUHAP. Dalam KUHAP, pra peradilan diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang pokoknya mengatur sebagai berikut : pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang : 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Aturan Pra peradilan secara lengkap dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel. 1 Ketentuan KUHAP terkait Pra peradilan No. Pasal Bunyi Pasal 1. Pasal 1 butir 10 Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan commit to user tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan 2. Pasal 77 Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yangdiatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 3. Pasal 78 1 Yang melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah pra peradilan. 2 Pra peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh commit to user seorang panitera. 4. Pasal 79 Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. 5. Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. 6. Pasal 81 Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya. 7. Pasal 82 1 Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: b. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang; c. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah commit to user atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang; d. permeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; e. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur; f. putusan pra peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan pra peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru. 2 Putusan hakim dalam acara pemeriksaan pra peradilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan commit to user Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya. 3 Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 juga memuat hal sebagai berikut : a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing- masing harus segera membebaskan tersangka; b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; d. dalam hal putusan menetapkan commit to user bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita. 4 Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95 8. Pasal 83 1 terhadap putusan pra peradilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. 2 Dikecualikan dan ketentuan ayat 1 adalah putusan pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. 9. Pasal 95 1 Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 2 Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka commit to user atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus di sidang pra peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. 3 Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. 4 Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat 1 ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. 5 Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat 4 mengikuti acara pra peradilan. 10. Pasal 97 ayat 3 Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat 1 yang perkaranya commit to user tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus oleh hakim pra peradilan yang dimaksud dalam Pasal 77 Bagi seorang tersangka atau terdakwa mengetahui dengan jelas hak- hak mereka dan batas-batas wewenang aparat penegak hukum dalam melaksanakan upaya paksa yang dapat mengurangi hak asasinya. Ada beberapa perbedaan mendasar antara Habeas Corpus dengan lembaga pra peradilan, yaitu : 1. Pada pra peradilan, hakim yang mengadili perkara pra peradilan memeriksa sebelum sidang biasa di pengadilan, sedangkan Habeas Corpus, hakim yang memeriksa adalah hakim di pengadilan dalam sidang biasa. 2. Dalam pra peradilan, kewenanganya terbatas pada menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan yang dilakukan sehubungan dengan upaya paksa dalam hukum acara pidana, sedangkan Habeas Corpus, lebih luas dalam arti permohonan dikeluarkanya surat perintah Habeas Corpus ditujukan kepada instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan Loeby Loqman, 1984 : 56. Secara historis, sebelum berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, maka yang dijadikan sebagai pedoman untuk peradilan umum adalah HIR Herziene Indische Reglement Stb. Tahun 1941 Nomor 44 yang merupakan produk hukum pada masa kolonial Belanda dengan berbagai multi aspek pada zamanya, yang dalam hal ini didalamnya terdapat beberapa kendala, kelemahan, kekurangan serta menguntungkan pihak penguasa, bahkan khususnya mengabaikan perlindungan akan hak asasi manusia, ketidakpastian hukum dan keadilan. Misalnya, ketidakpastian tentang tindakan pendahuluan dalam proses hukumnya dalam hal penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, hak-hak dan status tersangka, commit to user terdakwa, bantuan hukum, lamanya serta ketidakpastian dalam proses penyelesaian perkara pada semua tingkat pemeriksan dan sebagainya. HIR diciptakan pada zaman kolonial Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini penjajah. Berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan zaman yang semakin modern serta didasari pada perkembanan era kemerdekaan Republik Indonesia, sistem yang dianut HIR dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan undang- undang hukum acara pidana baru yang mempunyai cirri kodifikasi dan unifikasi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010 : 7. Pada masa HIR, pengawasan dan penilaian terhadap proses penangkapan dan penuntutan sama sekali tidak ada. Pada masa itu yang ada hanya pengawasan oleh hakim, dalam hal perpanjangan waktu penahanan sementara yang harus disetujui hakim. Namun, dalam kenyataanya kontrol hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak efektif mengingat urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata- mata dianggap urusan birokrasi. Selain hal tersebut di atas, ditinjau dari aspek historis yuridis, sejak berdirinya Negara Hukum Republik Indonesia, perundang-undangan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum acara pidana warisan pemerintah kolonial Belanda yang terkenal dengan nama HIR Herziene Indische Reglement. Ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR dirasakan tidak sesuai dengan jiwa dan cita-cita hukum yang terkandung dalam dasar negara Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan penjabaran telah dituangkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum rechtstaat yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia HAM serta menjamin segala warga negara bersama kedudukanya didalam commit to user hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang dirasakan kurang menghargai hak asasi manusia yang diatur dalam HIR, maka pemerintah Republik Indonesia bersama-sama DPR-RI berupaya melakukan pembahuruan hukum acara pidana dengan mncabut HIR dan menggantikannya dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan perumusan pasal-pasal dan ayat-ayat yang menjamin pemberian perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan dmikian Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP hadir menggantikan HIR sebagai payung hukum acara di Indonesia. Kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakkan HAM di bawah aturan HIR, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentinganya di dalam proses hukum http:anggara.org20061016praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan- ham [7 Juli 2010]. KUHAP telah menggariskan aturan yang meletakkan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan member perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas dan hak asasi yang melekat pada diri mereka, yang dalam hal ini merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya, juga memberi hak memperoleh bantuan hukum dalam pemeriksaan pengadilan. Terhadap pembatasan jangka waktu setiap tingkat pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikkan, penuntutuan, penangkapan dan penahanan ditentukan secara limitatif dalam semua instansi dalam setiap tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk setiap penangkapan atau penahanan yang commit to user dikenakan wajib diberitahukan kepada keluarga mereka. Dengan demikian tersangka atau terdakwa maupun keluarga mereka akan mendapat kepastian akan segala bentuk tindak penegakkan hukum. Ini sejalan dengan tujuan KUHAP sebagai sarana pembaruan hukum, yang bermaksud melenyapkan kesengsaraan masa lalu. Lahirnya hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama didambakan oleh semua orang. Masyarakat menghendaki hukum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan UUD 1945. KUHAP boleh dikatakan telah membangkitkan optimise harapan yang lebih baik dan manusiawi dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Upaya untuk menjamin agar ketentuan-ketentuan dalam KUHAP tersebut dapat terlaksana sebagaimana yang dicita-citakan, maka di dalam KUHAP diatur lembaga baru dengan nama pra peradilan sebagai pemberian wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain- lain yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Lembaga pra peradilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakkan hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga pra peradilan hanya suatu lembaga yang ciri dan eksistensinya : 1. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap Pengadilan Negeri, yang dalam hal ini pra peradilan ini hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai saruan tugas yang tidak terpisah dari dan dengan pengadilan yang bersangkutan. 2. Pra peradilan bukan berada di luar maupun disamping, maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri. commit to user 3. Administratif yudisial, personal teknis, perlatan dan finansialnya takluk dan bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 4. Tata laksana fungsi yudisialnya merupakan bagian dari fungsi yudisial Pengadilan Negeri itu sendiri M. Yahya Harahap, 2008 : 1. Dengan demkian, eksistensi atau keberadaan dan kehadiran pra peradilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi hanya merupakan pemberian wewenang baru dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan terhadap wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok tersebut ditambahkan tugas sampingan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan atau penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaanya diberikan kepada pra peradilan. Fungsi dan peran pra peradilan didalam KUHAP merupakan simbol pembaharuan hukum acara pidana model HIR, yang tidak mengatur bagaimana seorang tersangka seharusnya dilindungi dari proses pemeriksaan penyidik ketika ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik menurut HIR harus dapat memperoleh pengakuan dari tersangka mengenai peristiwa yang melibatkan dirinya, yang dalam hal ini pengakuan tersangka merupakan salah satu alat bukti utama dari alat bukti lainnya sehingga terbukti sering terjadi perlakuan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang pemeriksa dalam beberapa kasus tindak pidana. Secara filosofi pra peradilan ini merupakan suatu bentuk implementasi respon masyarakat terhadap langkah-langkah yang dilakukan oleh negarapemerintah. Dalam hal ini sistem peradilan pidana sebagai commit to user sarana bagi masyarakat yang dirugikan hak-haknya melakukan upaya hukum untuk memperjuangkan keadilan. Lembaga pra peradilan yang terdapat di dalam KUHAP sebenarnya identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus yang pada dasarnya menjelaskan bahwa didalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang. Menurut Adnan Buyung Nasution, terdapat beberapa kelebihan yang berkenaan dengan keberadaan lembaga pra peradilan ini, yaitu : Pertama, sidang pra peradilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya maupun atas kuasanya merupakan suatu forum yang terbuka, yang dipimpin oleh seorang hakim atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakanya dimuka sidang, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut umum wajib membuktikan bahwa tindakanya sah dan tidak melanggar hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formil maupun materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi kejahatannya. Kedua, melalui forum pra peradilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan transparacy dan akuntabilitas publik public accountability commit to user yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya transparasi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam menahan ataupun memperpanjang penahanan juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme KKN dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol jalanya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketetapan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim pra peradilan yang memerdekannya. Dengan demikian, keberadaan lembaga pra peradilan didalam KUHAP ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal, atau dengan kata lain, pra peradilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap HAM terutama hak asasi tersangka atau terdakwa. Perlindungan dan jaminan terhadap HAM tersebut sudah merupakan hal yang bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu esensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum. Pada dasarnya, asas-asas yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak asasi atau keluhuran harkat dan martabat manusia telah dituangkan dalam UU No.14 tahun 1970 jo UU No.35 tahun 1999 jo UU No.4 tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi baru setelah sebelas tahun kemudian asas-asas tersebut dapat dituangkan dalam KUHAP dan dijabarkan menjadi 10 asas yaitu : 1. Asas equality before the law Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di depan hukum dengan tidak ada pembedaan perlakuan. commit to user 2. Asas legalitas dalam upaya paksa Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang. 3. Asas presumption of innocence Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dihadapan muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde. 4. Asas remedy and rehabilitation Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang danatau karena kekeliuran mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan, dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, maka dapat dituntut, dipidana danatau dikenakan hukuman administrasi. 5. Asas fair, impartial, impersonal, and objective Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. 6. Asas legal assistance Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentinan pembelaan atas dirinya. 7. Miranda Rule Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum. commit to user 8. Asas presentasi Pengadilan memriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. 9. Asas keterbukaan Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang. 10. Asas pengawasan Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Asas-asas ini dimaksudkan untuk melindungi tindakan sewenang- wenang dari aparat penegak hukum, baik pada pemeriksaan permulaan, penuntutan maupun dipersidangan pengadilan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana kita hendaknya menjunjung tinggi hak asasi manusia, sekalipun terhadap seseorang yang telah didakwa melakukan suatu tindak pidana. Bukan berarti terhadap seseorang yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi sesuai dengan yang tercantum dalam undang-undang. Apabila diperinci maka wewenang hakim dalam pra peradilan adalah sebagai berikut : 1. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan. Pada pasal 1 butir 20 KUHAP, yang dimaksud dengan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan danatau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini. Sebagaimana juga tertera dalam Pasal 17 KUHAP, maka penangkapan terhadap seorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana, haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal commit to user ini sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 17 KUHAP yang menyatakan bahwa : “yang dimaksud bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP”. Pada pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada merekayang betul-betul melakukan tindak pidana. Maka berdasarkan bunyi pasal tersebut, syarat materiil dari suatu penangkapan adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup. Jadi, meskipun hakim pra peradilan hanya berfungsi sebagai examinating judge saja, maka dalam mengeksaminasi sahnya suatu penangkapan haruslah juga dilihat dasar dilakukanya suatu penangkapan, yakni adanya bukti permulaan yang cukup. Dasar dilakukanya suatu penangkapan haruslah mendapat perhatian khusus, karena sesuai dengan penjelasan dari Pasal 17 KUHAP, bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. 2. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penahanan. Suatu penahanan dilakukan apabila ada seorang terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup seperti yang termuat dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP yang menyatakan : “perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya hal yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Dalam KUHAP suatu penahanan dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat formil, yakni adanya surat perintah penahanan dan sebagainya, akan tetapi di dalam KUHAP juga diatur seseorang commit to user dapat ditahan yakni apabila ada dugaan keras dia melakukan tindak pidana, disamping adanya suatu keadaan yang dikhawatirkan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan melakukan tindak pidana lagi. Jadi di samping syarat formil, untuk melakukan penahanan harus dipenuhi pula adanya keadaan dikhawatirkan akan terjadi pada si tersangka. 3. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Pengajuan permintaan pra peradilan atas keabsahan penyidikan dapat diajukan oleh pegawai penyidik dan pihak ketiga yang berkepentingan. Di dalam KUHAP, penyidikan dilakukan oleh pegawai peyidik sebagaimana termuat dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan : “penyidik adalah pejabat Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Dalam hal melakukan penyidikan tentunya tergantung pada banyak faktor, baik faktor yang berasal dari diri polisi itu sendiri, seperti keterampilan, kepakaan, intelegensia dan sebagainya, maupun faktor yang berasal diluar polisi tersebut. Apabila dilakukan penghentian penyidikan, maka akan terjadi suatu keresahan dalam masyarakat, maka pihak penyidik sendiri dapat memohon diperiksa penghentian penyidikan oleh pra peradilan, dengan demikian walaupun diputuskan bahwa penghentian penyidikan dianggap sah, maka hal tersebut akan dapat merupakan suatu kepastian hukum bagi masyarakat. Putusan pra peradilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan dapat dimintakan banding, tidak seperti halnya dengan pemeriksaan pra peradilan terhadap keabsahan penangkapan maupun penahanan. commit to user 4. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan. Sama halnya dengan pemeriksaan pra peradilan terhadap sah atau tidaknya penghentian penyidikan, maka pemeriksaan pra peradilan terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan adalah sebagai suatu pengawasan horizontal, seperti dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP yang berbunyi : “pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal”. Apabila terjadi suatu penghentian penuntutan maka tidak ada upaya hukum lainnya bagi si korban atau pihak ketiga untuk meminta keadilan, oleh karena itu maka dengan adanya pra peradilan yang dalam hal ini hakimnya diberikan wewenang untuk memeriksa keabsahan dari suatu penghentian penuntutan, maka hal tersebut juga menjadi suatu upaya hukum bagi korban atau pihak ketiga. Apabila pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentin penuntutan, maka dapat dimintakan putusan akhir di Pengadilan Tinggi. 5. Memutuskan ganti kerugian danatau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Ganti kerugian di dalam KUHAP adalah ganti kerugian bagi mereka yang ditangkap atau ditahan tanpa sah, yakni ganti kerugian yang menjadi wewenang hakim pra peradilan. Prermintaan ganti kerugian danatau rehabilitasi melalui pra peradilan hanyalah berkenaan dengan seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingakat penyidikan atau penuntutan, dengan kata lain tidak diajukan ke pengadilan. Adapun alasan untuk mengajukan permintaan ganti kerugian danatau rehabilitasi ini : a. Tidak sahnya penangkapan atau penahanan. commit to user b. Telah dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdaarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Apabila dicermati point di atas, jelas pra peradilan hanya dapat dimintakan terhadap upaya paksa penangkapan dan penahanan, tetapi dalam Pasal 82 ayat 3 huruf d dapat dilihat bahwa melalui pra peradilan dapat ditetapkan “benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian karena benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita”. Dengan demikian apabila ditelaah maka pra peradilan tidak terbatas pada sah tidaknya penangkapan dan penahanan saja tetapi juga mengenai sah tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian. Sebagaimana yang telah diutarakan, maka maksud diadakan lembaga pra peradilan ini merupakan kontrol atau pengawasan atas jalanya hukum acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa. Kontrol tersebut dapat dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut : a. Kontrol vertical, yakni kontrol dari atas ke bawah. b. Kontrol horizontal, yaitu kontrol kesamping, antar penyidik, penuntut umum timbal balik dan tersangka, keluarganya atau pihak ketiga Moch. Faisal Salam, 2001 : 322. Dan telah dijelaskan pula bahwa fungsi pengawasan horizontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga pra peradilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka sistem hukum terpadu Loebby Loqman, 1984 : 20. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan horizontal dari lembaga pra peradilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan umum dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law. Due process of law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang essensial dalam commit to user penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan “... a law which hears before it condems, which proceeds uppon inquiry, and renders judgement only after trial...”. Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the goverment. Dengan adanya lembaga pra peradilan dijamin bahwa seseorang tidak ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang sah. Penangkapan hanya dilakukan atas dasar dugaan yang sah. Penangkapannya hanya dilakukan atas dugaan yang kuat dengan landasan bukti permulaan yang cukup. Sedangkan ketentuan bukti permulaan ini diserahkan penilaianya kepada penyidik. Hal ini membuka kemungkinan sebagai alasan pengajuan pemeriksaan pra peradilan. Mengenai syarat tentang pengajuan pemeriksaan pra peradilan ini dapat kita jumpai dalam Pasal 79 KUHAP yang berbunyi: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga dan kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. Alasan untuk mengajukan tuntutan pra peradilan diatur di dalam pasal 77 KUHAP yaitu mengenai: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Dari Pasal 77 KUHAP diatas maka yang menjadi alasan untuk mengajukan suatu perkara sebagai perkara pra peradilan yaitu: a. Mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 16 sampai dengan Pasal 31 KUHAP. b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Dalam hal ini penghentian penyidikan atau penuntutan terdiri dari: commit to user 1 Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan “demi kepentingan umum” yang artinya penghentian itu dilakukan berturut-turut oleh penyidik atau penuntut umum perlu karena masih perlu menemukan bukti lain. 2 Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan demi hukum yang dapat terjadi karena untuk perkara yang bersangkutan. a Karena telah daluarsa b Karena tidak ada pengaduan pada delik aduan atau pengaduan dicabut c Karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia d Karena eror in persona e Karena Nebis in Idem f Karena bukan perkara pidana g Peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum telah dicabut. 3 Tindakan lain Yang dimaksud tindakan lain disini yaitu tindakan- tindakan upaya hukum dwang middel lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang bukti, surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Tindakan lain ini dimasukkan dalam Pasal 95 ayat 1 KUHAP secara rinci dapat dilihat dalam penjelasannya yang menyatakan kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan. 4 Ganti Kerugian Mengenai ganti kerugian diatur dalam pasal 1 butir 22 KUHAP yaitu: commit to user “Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. a Tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam pasal 1 butir 22 KUHAP diajukan oleh tersangka, sedangkan kerugian yang diatur dalam Pasal 98 ayat 1 KUHAP diajukan oleh saksi korban atau pihak ketiga. b Tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 98 ayat 1 KUHAP, dititipkan kepada penuntut umum sebelum tuntutan hukum dibacakan, sedangkan tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 1 butir 22 diperiksa oleh pengadilan pra peradilan. Wewenangan memeriksa dan memutuskan ganti rugi merupakan sesuatu yang baru bagi hakim pidana, karena sebelumnya tuntutan ganti rugi, baik ia ditujukan baik kepada perseorangan atau pemerintah, sesuai dengan undang-undang yang berlaku selalu diperiksa dan diputus oleh hakim bersumber hukum. Apalagi wewenang untuk memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi, karena selama ini orang mengetahui bahwa wewenang untuk memberikan rehabilitasi itu menurut Pasal 14 Undang-undang Dasar Dasar Tahun 1945 merupakan wewenang Presiden. Sebenarnya, pra peradilan dalam KUHAP masih banyak kelemahan, yang dalam hal ini selama ini pra peradilan terlalu mengedepankan formalitas sehingga kurang mengungkap kebenaran yang didalilkan pemohon. Menurut penelitian Komisi Hukum Nasional KHN, secara normatif ada tiga dasar kelemahan praperadilan yaitu : commit to user Pertama, proses pengadilan atas pra peradilan hanya dapat dilaksanakan jika ada pihak yang menggunakan haknya. Selama tidak ada pihak yang menuntut, hakim tidak dapat menguji sah tidaknya penyidik dan penuntut umum, hakim tidak dapat menguji sah tidaknya penyidik dan penuntut umum. Dalam pra peradilan, hakim bersifat pasif. Ia baru dapat memeriksa jika ada inisiatif. Dalam pemeriksaan tentang sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, inisiatif sumber hukum dan tersangka, keluarga, atau kuasanya. Untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, inisiatif sumber hukum dari penyidik, penuntut, atau pihak ketiga. Lalu, untuk permintaan ganti kerugian, inisiatif sumber hukum dari tersangka atau pihak ketiga. Kedua, hak tersangka, keluarga, atau kuasanya dapat gugur jika perkara pidana telah mulai disidangkan. Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP menegaskan dalam hal perkara sudah diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan permintaan pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Ketiga, lembaga pra peradilan saat ini merupakan transplantasi dari konsep Habeas Corpus. Ternyata, baik substansi maupun mekanisme yang diatur KUHAP tidak sesuai konsep dasar menurut Habeas Corpus. Akibatnya, hakim tidak efektif mengawasi penggunaan upaya paksa dan kesewenang-wenangan penyidik atau penuntut umum. Mengenai ganti kerugian ini termasuk juga wewenang lembaga pra peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat 1 KUHAP yaitu: “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” commit to user Maka dari “kerugian bagi orang lain” ialah kerugian pihak ketiga termasuk saksi korban. Akan tetapi antara kerugian yang diatur dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP dengan dengan kerugian yang diatur dalam pasal 98 ayat 1 KUHAP terdapat Persamaan dan perbedaannya, yaitu: Persamaannya: a. Diadili menurut acara pra peradilan. b. Keharusan mengganti kerugian. Perbedaannya: Ganti kerugian pada Pasal 1 butir 22 KUHAP diberikan pada kasus pra peradilan yang disebabkan karena tidak sah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Sedangkan tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 98 ayat 1 KUHAP diberikan pada perkara pidana yang akibat daripada menimbulkan perbuatan delik www.hukumonline.comberitabacalt4b29bab9ef3a7penelitian- khn-praperadilan-mengandung-banyak-keluhan, diakses 28 November 2010. Di Amerika Serikat, istilah pra peradilan lebih dikenal dengan istilah pre trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga pra peradilan dengan lembaga pre trial yaitu yang dalam hal ini lembaga pre trial memiliki kewenangan untuk meneliti ada atau tidaknya dasar hukum yang cukup untuk mengajukan suatu perkara pidana di depan pengadilan. Sedangkan pra peradilan, ruang lingkup kewenangannya bersifat limitatif sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 77 huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, yaitu S. Tanubroto, 1983:27. 1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, commit to user 2. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 3. Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 4. Memeriksa dan memutus terhadap ganti kerugian yang diajukan oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan; 5. Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri. Tabel. 2 Persamaan dan Perbedaan Wewenang dan Fungsi No . Pra Peradilan Indonesia Habeas Corpus Amerika Serikat 1. Perbedaan : Ruang lingkupnya bersifat limitatif terhadap upaya paksa, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 77 huruf a dan b serta Pasal 95 KUHAP. Ruang lingkupnya tidak hanya berkait pada upaya paksa, namun mencakup pula konsepsi bukti permulaam yang cukup untuk mengajukan suatu perkara di depan pengadilan. 2. Hakim yang memeriksa perkara pra peradilan belum tentu sama dengan hakim yang memeriksa sebelum sidang biasa di pengadilan. Hakim yang memeriksa perkara dalam pre trial process adalah hakim yang sama di pengadilan dalam sidang biasa. commit to user 3. Kewenanganya terbatas pada menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan yang dilakukan sehubungan dengan upaya paksa dalam Hukum Acara Pidana. Lebih luas, dalam arti permohonan dikeluarkanya surat perintah Habeas Corpus ditujukan kepada instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan. 1. 2. 3. 4. Persamaan : Pihak yang memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan. Pihak yang memeriksa dan memutuskan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Pihak yang memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknya permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan. Proses pra peradilan di Indonesia dan pre trial process dalam Habeas Corpus dilakukan sebelum persidangan biasa. commit to user

B. Kelebihan dan Kelemahan Wewenang dan Fungsi Pra

Dokumen yang terkait

Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

9 92 134

STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN SISTEM PRA PERADILAN MENURUT KUHAP DENGAN SISTEM RECHT COMMISARIS MENURUT HUKUM ACARA PIDANA BELANDA

1 16 95

STUDI KOMPARASI PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN HUKUM ACARA PIDANA REPUBLIK RAKYAT CHINA (CRIMINAL PROCEDURE CODE OF PEOPLE REPUBLIK OF CHINA)

0 2 62

KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM PIDANA TENTANG SISTEM PENUNTUTAN PERKARA PIDANA MENURUT SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA DAN SISTEM PERADILAN PIDANA JEPANG.

1 3 16

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM KOMISARIS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA MENURUT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA.

0 0 6

STUDI KOMPARASI PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN HUKUM ACARA PIDANA REPUBLIK RAKYAT CHINA (CRIMINAL PROCEDURE CODE OF PEOPLE REPUBLIK OF CHINA).

0 0 13

STUDI PERBANDINGAN HUKUM PENGATURAN SISTEM PRA PERADILAN MENURUT KUHAP DENGAN SISTEM RECHT COMMISARIS MENURUT HUKUM ACARA PIDANA BELANDA (NETHERLANDS SV).

0 0 14

Hukum Acara dan Praktik Peradilan Pidana

0 0 39

BAB II PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada KUHAP - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Seri

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

0 0 31