commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini banyak kasus-kasus yang penyelesaiannya dimintakan melalui Pra Peradilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, seperti Kasus TPSTP
Bojong, Bogor, ketika masyarakat Bojong mengajukan pra peradilan Polisi atas tindakannya di dalam menangani konflik yang terjadi di kawasan Tempat
Penimbunan Sampah Terpadu TPSTP Bojong Bogor. Adalagi kasus yang diajukan oleh Tim Pembela Muslim atas Penangkapan Ustad Abu Bakar
Basyir, yang dituduh, terlibat kasus terorisme di Indonesia serta masih banyak lagi kasus yang di Pra Peradilankan.
Semenjak lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP terdapat beberapa hal yang baru dan bersifat fundamental apabila
dibandingkan dengan Herziene Indische Reglement HIR, dikenal juga dengan nama Reglemen Indonesia yang diperbaharui RIB yang merupakan
produk hukum pemerintah kolonial Belanda. Mencermati perubahan fundamental dalam hukum pidana formil yang
dimaksud, patut kita cermati pandangan Romli Atmasasmita bahwa, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana vide Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, telah meletakkan dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam dunia peradilan di
Indonesia. Dalam undang-undang ini tampaknya tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan yang
diutamakan dan merupakan masalah besar adalah bagaimana mencapai tujuan tersebut sedemikian rupa sehingga perkosaan terhadap harkat dan martabat
manusia sejauh mungkin dapat dihindarkan Romli Atmasasmita, 1996: 28.
commit to user
Salah satunya adalah munculnya lembaga pra peradilan yang merupakan lembaga baru di Indonesia yang sebelumnya tidak ada semasa
berlakunya HIR. Berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menimbulkan perubahan terhadap sistem hukum di
Indonesia yaitu adanya peralihan sistem peradilan pidana dari sistem inquisitoir beralih ke sistem accusatoir yang berlaku hingga sekarang.
Pada sistem inquisitoir yang dianut semasa HIR, berlaku asas presumption of guilty praduga bersalah yang dalam hal ini peranan penegak
hukum, dalam hal ini penyidik menunjukkan kegiatan sedemikian rupa untuk mengawasi perkara, mengambil inisiatif dalam pengarahan kesalahan
seseorang sehingga, terlihat kecenderungan dilanggarnya hak-hak asasi seseorang karena dalam sistem ini tersangka diperlakukan sebagai objek
pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Sedangkan sistem accusatoir, berlaku asas presumption of innocent praduga tidak bersalah pendekatanya adalah asumsi bahwa tidak boleh
diganggunya suatu ketentraman masyarakat dan mempertahankan suatu nilai yang dalam hal ini negara tidak ikut campur tangan tehadap adanya sengketa
individu dalam masyarakat. Akibatnya adalah, apabila seseorang menuduh orang lain telah melakukan kejahatan maka dia harus mencari bukti-bukti atas
kesalahan yang dituduhkanya tersebut Loebby Loqman, 1984 : 83. Dalam sistem ini tersangka diperlakukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak
asasi dan kepentingan yang harus dilindungi dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka persidangan.
Dengan pendekatan kedua sistem tersebut di atas, belumlah dapat dipecahan perihal perlindungan hak asasi manusia khususnya dalam fase
pemeriksaan pendahuluan, karena sistem inquisitoir maupun accusatoir memberikan batasan-batasan pada pelaksanaan upaya paksa, yang di dalam
pelaksanaanya dicari ukuran yang harus dinilai apabila dikaitkan dengan perlindungan hak asasi manusia.
commit to user
Di Indonesia perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia sebenarnya telah diletakkan dalam asas-asas yang terdapat dalam
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas-asas tersebut yang akan ditegakkan di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Dan dari asas-asas tersebut dapat diketahui bahwa Hukum Pidana Indonesia hendaknya
menjunjung tinggi hak asasi manusia, sekalipun terhadap seseorang yang di dakwa telah melakukan suatu tindak pidana Loebby Loqman, 1984 : 80.
Sedangkan di Amerika Serikat sistem peradilan pidana yang berkembang dikenal sebagai adversary system yang dalam hal ini terdapat
tahapan proses pemeriksaan pre trial process sebagai lembaga pra peradilan, dan juga merupakan suatu rangkaian proses untuk menyelesaikan perkara.
Pre trial process merupakan tahap pemeriksaan pendahuluan mini court yang berguna untuk dapat menyelesaikan dan atau mempermudah perkara
serta pembuktian sebelum diajukan ke persidangan dengan juri trial by juri. Dalam kenyataan, praktik peradilan menunjukan bahwa 90 dari mereka
yang dijatuhi hukuman untuk kejahatan berat di Amerika Serikat, telah menyatakan dirinya bersalah di muka persidangan Romly Atmasasmita,
1996: 82. Di dalam pre trial process tersebut terdapat tiga proses acara
pengadilan khusus sebelum suatu sidang pengadilan yang biasa, yaitu Arraignment, Preliminary Hearing, dan Pretrial Conference.
Arraigment merupakan sidang di depan hakim yang terjadi beberapa hari setelah seseorang ditahan yang dalam hal ini tuduhan terhadap tersangka
dibacakan dan tersangka ditanyakan sikapnya bersalah atau tidak. Apabila tersangka menyatakan dirinya tidak bersalah not guilty maka akan diajukan
ke depan sidang dengan juri. Dan tanggung jawab pengawasan pelaksanaan proses pidana terhadap tersangka berada di tangan pengadilan.
Preliminary hearing merupakan dengar pendapat antara polisi, jaksa dan hakim untuk menentukan apakah seorang tersangka akan dilanjutkan
perkaranya ke sidang juri atau tidak.
commit to user
Pretrial conference lebih ditujukan untuk perencanaan sidang pengadilan, terutama mengenai pembuktian dan hak-hak pihak yang
berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain, dan tujuanya adalah untuk menjamin kelancaran, keadilan dan efektivitas sidang
pengadilan. Apabila berpangkal tolak dari pengertian pra peradilan sebagai suatu
lembaga yang berperan di dalam pemeriksaan sebelum sidang pengadilan, maka tiga lembaga di Amerika Serikat tersebutlah yang harus dilakukan
sebelum suatu persidangan Loebby Loqman, 1984 : 50. Adanya gagasan pra peradilan tidak terlepas dari inspirasi yang
bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia
khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus pada dasarnya merupakan suatu jaminan serta pengamanan atas kemerdekaan pribadi melalui prosedur yang
sederhana, langsung dan terbuka yang dapat dipergunakan oleh siapapun juga.
Melalui Habeas Corpus Act. maka seseorang melalui surat perintah pengadilan dapat menuntut pejabat yang melakukan penahanan untuk
membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak melanggar hukum atau dengan kata lain bahwa penahanan yang dilakukan adalah sah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Berbeda dengan peninjauan atas upaya paksa melalui pra peradilan, maka surat perintah pengadilan yang berisikan hak
Habeas Corpus tersebut tidak hanya ditujukan untuk penahanan yang terkait dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk
penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi. Dalam perkembangannya surat
perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta perbaikan terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di negara bagian di
Amerika Serikat. Jika ditinjau secara universal, manusia pada dasarnya diciptakan sama
dalam harkat, martabat serta kedudukannya. Manusia lahir diberi oleh
commit to user
Pencipta-Nya hak-hak mendasar yang melekat pada individu tersebut yang bersifat hakiki. Hak-hak tersebut dimiliki tanpa memandang perbedaan ras,
suku, bangsa, jenis kelamin dan agama. Dalam piagam Persatuan Bangsa- Bangsa PBB hak-hak ini telah diakui secara universal. Beberapa pasal
dengan spesifik menggambarkan hak-hak tersebut, antara lain yang adalah : Article 13.1 :
Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each state
Article 17 1
Everyone has the right to own property alone as well as in association.
2 No one shall be arbitralily deprived of his property Universal
Declaration of Human Right, Adopted and proclaimed by General Assembly resolution 217 A III of December 10
th
1948 Nyatanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia berlaku
secara universal, sehingga setiap Negara harus senantiasa memberikan perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Jika di
Amerika Serikat sudah dikenal adanya hak Habeas Corpus yang dijamin dalam konstitusi dalam memberikan perlindungan terhadap suatu upaya
paksa. Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
melakukan suatu penelitian perbandingan hukum yang dalam hal ini perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief adalah sebagai suatu
metode yang mengandung arti bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang otentik.
Memperbandingkan hukum
nasional dengan
hukum asing
dapat memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional secara objektif dengan
melihat kelebihan dan kekurangan hukum nasional dibandingkan dengan hukum negara lain atau sebaliknya.
Atas dasar tersebut, maka akan dilakukan perbandingan wewenang dan fungsi pra peradilan di Indonesia dengan sistem Habeas Corpus yang
commit to user
berlaku di Amerika Serikat. Dalam hal perbandingan hukum atau comparative jurisprudence, hukum positif Indonesia termasuk dalam
keluarga Civil Law System sedangkan kajian hukum Amerika termasuk dalam Common Law System. Oleh karena itu penulis bermaksud untuk menyusun
penulisan hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI PRA PERADILAN MENURUT HUKUM
ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT ”.
B. Perumusan Masalah