BAB 6 KESIMPULAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada penderita HIV-HBV mulai bulan Januari tahun 2010 sampai bulan Desember tahun 2012 didapatkan 32 orang koinfeksi
HIV- HBV dari keseluhan 1721 pasien HIV dan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kelompok umur terbanyak terdapat pada kelompok umur31- 40 tahun sebanyak 13
orang 40,6, sedangkan terendah pada kelompok umur 50 tahun sebanyak 1
orang 3,1. 2. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 30 orang 93,8.
3. Distribusi frekuensi penderita HIV-HBV menurut tingkat pendidikan dijumpai berpendidikan SMU atau sederajat merupakan terbanyak menderita HIV-HBV
yaitu sebanyak 19 orang 54,4 dan terendah yang tidak bersekolah 2 orang 6,2.
4. Distribusi frekuensi penderita HIV-HBV menurut faktor resiko terbanyak adalah secara heteroseksual yaitu sebanyak 24 orang75,0 dan terendah secara
transfusi darah, heteroseksual bersama penyuntikan narkoba dan biseksual bersama tato masing- masing 1 orang3,1.
6.2. Saran
1. Perlu perbaikan dalam pengisian data pada rekam medik agar lebih memudahkan dalam penelusuran terjadinya koinfeksi HIV-hepatitis B di RSUP Haji Adam
Malik dan hasil penelitian menjadi lebih sahih.
Universitas Sumatera Utara
2. Diharapkan perlunya penelitian lain dari variabel-variabel terhadap pemanfaatan Klinik VCT Pusyansus dalam penelitian selanjutnya, misalnya prilaku penderita
dan model pelayanan VCT. 3. Untuk penelitian selanjutnya agar penelitian tidak hanya dilakukan melalui rekam
medis, tetapi dilakukan secara langsung terhadap pasien sehingga didapatkan hasil yang lebih mendalam.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIVAIDS 2.1.1.
Definisi HIVAIDS
Acquired immune deficiency syndrome AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus HIV. Retrovirus
yang menyerang sel CD4 yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh. Human Immunodeficiency Virus HIV termasuk golongan retrovirus
diidentifikasi pada tahun 1983 oleh Montagnier di Prancis Goldsmith sebagai patogen yang bertanggungjawab atas Acquired Immunodeficiency Syndrome AIDS.
AIDS ditandai dengan perubahan populasi limfosit T-sel yang memainkan peran kunci dalam sistem pertahanan kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi, virus
menyebabkan penipisan T-sel, yang disebut sel T-helper, yang meyebabkan pasien rentan terhadap infeksi oportunistik, dan keganasan tertentu P. Feorino.
Gambar 2.1. Struktur sel HIV AIDS
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Etiologi
Penyebab AIDS adalah virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus HIV. Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus LAV, sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984
mengisolasi HIV III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV E. L. Palmer.
Human Immunodeficiency Virus adalah golongan virus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai
sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T,
virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap
HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti core dan bagian selubung envelop. Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA Ribonucleic Acid. Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein gp 41 dan gp 120. Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit T4 yang rentan. Karena bagian luar virus lemak tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak W. R. McManus.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Cara Penularan
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman port’d entrée. Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau serviks dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
a Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seksdan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow 1985 ditemukan resiko seropositive untuk zat anti
terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
i. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat hubungan homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan sosial. Cara
hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi pasangan seksual yang pasif menerima ejakulasi
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan oleh mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perdarahan pada saat berhubungan secara
anogenital.
ii. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
Universitas Sumatera Utara
heteroseksual dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
b Transmisi Non Seksual i.
Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya alat tindik yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang telah dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1. Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksiHIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90.
ii. Transmisi Maternal
Penularan dari ibu yang HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan waktu menyusui. Penularan
melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah. Sudikno, Bona Siswanto
2.1.4. Patogenesis
Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena
mengkoordinasi semua sistem kekebalan lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada permukaannya yang disebut CD4.HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel
T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Saat menginfeksi, RNA virus masuk ke tubuh penderita, kemudian RNA berubah menjadi DNA deoxyribonucleic
acid dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang akan menghasilkan virus-virus lainnya,
benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang
baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran
Universitas Sumatera Utara
darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan menjadikan tubuh
mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain.Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah
terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan
kembali dirinya. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200
selml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat
infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral load, yang
menunjukkan jumlah relatif virus bebas didalam plasma darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya.
Perkembangan dari HIV dapat dibagi dalam 4 fase yaitu infeksi utama Seroconversion, ketika kebanyakan pengidap HIV tidak menyadari dengan segera
bahwa mereka telah terinfeksi. Kemudian, fase asymptomatic, dimana tidak ada gejala yang nampak, tetapi virus tersebut tetap aktif. Seterusnya, fase symptomatic, dimana
seseorang mulai merasa kurang sehat dan mengalami infeksi–infeksi oportunistik yang bukan HIV tertentu melainkan disebabkan oleh bakteri dan virus–virus yang berada di
sekitar kita dalam segala keseharian kita. AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah
CD4 kurang dari 200 Departemen Kesehatan RI Jakarta 1989.
2.1.5. Gejala Klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi
yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum terutama sarcoma Kaposi.
Universitas Sumatera Utara
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal diare dan penurunan berat badan meliputi kelelahan, malaise, demam,
napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah kandidiasis oral dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan, dari esophagus
sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada
orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun Jawet, 2005. WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIVAIDS,
sebagai berikut :
Table 2.1. Stadium Klinik WHO: HIVAIDS 2011 Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
a
Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang otitis media, otorrhoea,
sinusitis, tonsillitis
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara
Universitas Sumatera Utara
adekuat terhadap terapi standar
a
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan 14 hari atau lebih
a
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 37.5
o
C intermiten atau konstan, 1 bulan
a
Kandidosis oral persisten di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan
Oral hairy leukoplakia
Periodontitisginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk
bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan 8gdl , neutropenia 500mm
3
atau trombositopenia 50 000 mm
3
Stadium klinis 4
b
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan
dan tidak berespons terhadap terapi standar
a
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang misalnya empiema, piomiositis,
infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia
Infeksi herpes simplex kronik orolabial atau kutaneus 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus atau trakea, bronkus, atau paru
Toksoplasmosis susunan saraf pusat di luar masa neonatus
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus CMV, retinitis atau infeksi CMV pada organ
lain, dengan onset umur 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata histoplasmosis, coccidiomycosis
Kriptosporidiosis kronik dengan diarea
Universitas Sumatera Utara
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang
simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:
1. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan
menggunakan mikroskop elektron dan mendeteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction PCR.
2. Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan
ELISA, immunoflurescent assay IFA, atau radioimmunoprecipitation assay RIPA Tjokronegoro Hendra, 2003.
Diagnosis HIV, yang lazim dipakai: 1.
ELISA: sensitivitas tinggi, 98,1-100. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Dahulu, hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan
Western blot. Tetapi sekarang menggunakan tes berulang dengan tingkat spesifisitas. 2.
PCR polymerase chain reaction: Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko
tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab ELISA sensitivitasnya rendah untuk HIV-2 Tjokronegoro
Hendra 2003. Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan
surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western blot telah digunakan di waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik, ELISA 1,
dan ELISA 2 untuk skrining dan surveilans Utomo Irwanto, 1998. Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada pemeriksaan didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai
berikut: 1
Sensitivitas reagen pertama 99 2
Spesifisitas reagen kedua 98 3
Spesifisitas reagen ketiga 99 4
Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai
prinsip pemeriksaan misalnya EIA, dot blot, immunokromatografi atau aglutinasi atau jenis antigen misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau
peptida sintetik yang berbeda daripada reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama.
5 Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama discordant
kurang dari 5. 6
Pemilihan jenis reagensia EIA atau simplerapid harus didasarkan pada: a.
Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil b.
Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan c.
Sarana dan prasarana yang tersedia Untuk tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas 99, spesifisitas
reagen kedua 98. Keuntungan diagnosis dini:
1. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjangkan.
2. Menghambat perjalanan penyakit kearah AIDS.
3. Pencegahan infeksi oportunistik
4. Kounseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita.
5. Penyembuhan bila mungkin hanya dapat terjadi bila pengoabatan pada fase
dini Tjokronegoro Hendra, 2003.
2.1.7. Pengobatan
Universitas Sumatera Utara
Obat–obatan Antiretroviral ARV bukanlah suatu pengobatan untuk HIVAIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat
yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIVAIDS
adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang
sangat aktif HAART. Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan: 1.
Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors NRTI, mentargetkan pencegahan proteinreverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari
viral RNA menjadi viral DNA contohnya AZT, ddl, ddC 3TC. 2.
Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors NNRTIs memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine Rescripta, efavirenza Sustiva. 3.
Protease Inhibitors PI mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
2.2. Memulai terapi ARV dengan salah satu panduan di bawah ini
AZT + 3TC + NVP Zidovudine + Lamivudine +
Nevirapine ATAU
AZT + 3TC + EFV Zidovudine + Lamivudine +
Efavirenz ATAU
TDF + 3TC atau FTC + NVP
Tenofovir + Lamivudine atau Emtricitabine + Nevirapine
ATAU
TDF + 3TC atau FTC + EFV Tenofovir + Lamivudine atau Emtricitabine + Efavirenz
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011
Universitas Sumatera Utara
2.3. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV treatment-naïve
Populasi Target Pilihan yang
direkomendasikan Catatan
Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC
atau FTC + EFV atau NVP
Merupakan pilihan paduan yang sesuai untuk
sebagian besar pasien Gunakan FDC jika
tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau
NVP Tidak boleh
menggunakan EFV pada trimester pertama
TDF bisa merupakan pilihan
Ko-infeksi HIVTB AZT atau TDF + 3TC
FTC + EFV Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat ditoleransi antara 2
minggu hingga 8 minggu
Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak
dapat digunakan
Ko-infeksi HIVHepatitis B kronik aktif
TDF + 3TC FTC + EFV atau NVP
Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg
terutama bila TDF merupakan paduan lini
pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011
2.1.8. Pencegahan
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak PMTCT: seorang wanita yang mengidap HIV+ dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan,
persalinan dan masa menyusui. Jika tanpa pencegahan, kemungkinan bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV+ akan terinfeksi kira–kira 25–35. Dua
pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIVAIDS dari ibu ke anak.
Universitas Sumatera Utara
Obat–obatan tersebut adalah: 1. Ziduvidine AZT dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67. Suatu rangkaian pendek dimulai pada
kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50 penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38. Beberapa studi
telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine AZT dalam kombinasi dengan Lamivudine 3TC.
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan
dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47. Nevirapine hanya
digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
Post–exposure prophylaxis PEP adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah
seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational.Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP,
maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang
tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals
direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP
yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun
terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses
terinfeksi secara biasa ke HIVAIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
amanFamily Health International.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Hepatitis B 2.2.1.
Definisi
Menurut World Health Organization 2012 Hepatitis B adalah infeksi hati yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Ini adalah
masalah kesehatan global utama dan jenis yang paling serius dari hepatitis virus. Hal ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan menempatkan orang pada risiko
tinggi kematian akibat sirosis hati dan kanker hati.
2.2. Skema virus Hepatitis B