Terapi ARV untuk koinfeksi Hepatitis B

Koinfeksi dengan virus hepatitis B umum terjadi, dengan 70-90 penderita HIV di Amerika Serikat juga terinfeksi oleh virus hepatitis B. 90 penderita HIV yang menggunakan jarum suntik tidak steril juga terpapar oleh hepatitis B anti-HBc positif dan 60 memiliki riwayat infeksi dengan adanya antibodi permukaan hepatitis B anti-HBs Rodriguez- Mendez ML 2000. Sindrom klinis pada infeksi hepatitis virus akut umumnya tidak spesifik dan disertai gejala gastrointestinal, seperti malaise, anoreksia, mual dan muntah. Selain itu juga didapatkan gejala-gejala flu, faringitis, batuk, sakit kepala, mialgia dan lain-lain. Orang yang terinfeksi HIV juga memiliki gejala-gejala seperti fatigue, malaise, dannausea, sehingga terkadang infeksi campuran oleh virus hepatitis tidak nampakCDC 2005. Koinfeksi HIV oleh virus hepatitis tidak mempengaruhi penyakit oleh HIV tersebut maupun perkembangannya menjadi AIDS, tetapi HIV mempengaruhi hepatitis B dengan meningkatnya progresifitas menjadi sirosis hati serta gagal hatiLevin J 2005.Akan tetapi, sebuah studi terbaru yang dilakukan di Virginia menunjukkan bahwa progresifitas terjadinya fibrosis pada pasien koinfeksi dan monoinfeksi adalah sama berdasarkan pemeriksaan biopsi hatiBradford D 2008. Virus hepatitis B HBV dan human immunodeficiency virus HIV adalah virus yang ditularkan melalui darah yaitu melalui hubungan seksual dan penggunaan narkoba suntikan. Karena mode ini bersama penularan, proporsi tinggi orang dewasa berisiko terinfeksi HIV juga berisiko untuk infeksi HBV. Orang HIV-positif yang terinfeksi virus Hepatitis B HBV berada pada peningkatan resiko untuk mengembangkan infeksi HBV kronis dan harus diuji. Selain itu, orang-orang yang koinfeksi dengan HIV dan HBV dapat memiliki komplikasi medis yang serius, termasuk peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas terkait hati. Untuk mencegah infeksi HBV pada orang yang terinfeksi HIV, Komite Penasehat Praktek Imunisasi merekomendasikan yang universal Hepatitis B vaksinasi pasien rentan dengan HIV AIDS.

2.4. Terapi ARV untuk koinfeksi Hepatitis B

Universitas Sumatera Utara Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV. Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV- Hep B jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF3TC dihentikan karena alasan apapun.Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIVHBV yang memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya hepatitis kronik aktif, tanpa memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia PPHI merekomendasikan memulai terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat peningkatan SGOTSGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA positif. Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis HBV pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIVHBV. Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat. Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga dari SGPTSGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis lemah, mual, nyeri abdomen, dan ikterus dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik lainnya seperti kotrimoksasol, OAT, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala toksisitas ARV derajat 4, maka terapi ARV perlu dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. Penghentian TDF, 3TC, atau FTC juga dapat menyebabkan hepatic flare Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang