Pemasukan
Berdasarkan data yang ada maka pemasukan ternak ke Propinsi Sumatera Barat melalui Check Point Muaro Labuh adalah sapi jantan
415 ekor, kerbau jantan 350 ekor, kambing jantan 32 ekor yang memiliki Surat Keterangan Kesehatan Hewan rekapan terlampir.
Adapun pengeluaran ternak ke Kerinci tidak terawasi dan tercatat. Hasil monitoring, pengawasan dan pemantauan dari Dinas Peternakan
Propinsi Sumatera Barat diberikan beberapa arahan : 1. Tim Check point agar lebih meningkatkan pengawasan lalulintas
dilapangan, hal ini dapat dilihat dari arus lalulintas ternak yang masuk tidak semuanya terawasi dan terlaporkan.
2. Bagi tim berasal dari dinas peternakan kabupaten dan kecamatan agar lebih tegas mencegah pemasukan ternak dan peredaran
produk-produk ternak yang tidak sesuai dengan ketentuanperaturan-peraturan yang berlaku dan bekerjasama
dengan aparat keamanankepolisian di daerahnya.
VII. Laporan Monev Pemotongan Betina Produktif
Masalah penurunan populasi ternak umumnya, sapi dan kerbau khususnya sebenarnya merupakan suatu masalah nasional yang harus mendapat
tanggapan secara meluas. Keadaan yang berlarut-larut tanpa penanganan yang konkrit dan terpadu terhadap tindakan pengurusan ternak sebagai
sumber produksi dan tenaga kerja, yang pada gilirannya akan menurunkan pula produksi pangan, akan sangat mempengaruhi keberhasilan
pembangunan umumnya.
Untuk mengatasi masalah nasional diatas, sangat diperlukan upaya dan usaha dari kita untuk meningkatkan populasi ternak khususnya sapi dan
kerbau. Usaha peningkatan populasi ini merupakan tantangan yang perlu
133
dihadapi dan diatasi secara serentak dan terpadu dari segala aspek manifestasinya.
Untuk lebih meningkatkan pengendalian pemotongan ternak betina produktif sebgai salah salah satu usaha untuk meningkatkan populasi ternak
dengan pengaturan sebaik-baiknya, sesuai dengan maksud ordonansi Tahun 1936 No. 614 dan Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertanian No. 18 tahun 1979, No. 05InsUm31979, serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 509KptsDJPDeptan81 tentang
penetapan penggunaan Formulir Laporan Pemotongan Hewan Bertanduk Betina.
Penegasan kebijaksanaan dan langkah-langkah ini lebih intensif ditangani sejak dikeluarkannya Instruksi Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 20
Juli 2006 tentang Larangan Pemotongan dan Lalulintas Ternak Betina Yang Masih Produktif Ke Luar Propinsi Sumatera Barat.
Walaupun pengaturan perundangan yang mengatur pemotongan ternak besar betina produktif sudah ada, namun didalam pelaksanaan peraturan tersebut
sering dijumpai hambatan-hambatan.
Kebijaksanaan yang ditempuh dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pemotongan hewan besar betina produktif dengan
mengadakan pendekatan dan pengarahan pada semua pihak yang terkait dalam hubungan ini. Dengan cara persuasif tanpa suatu paksaan atau
ancaman, pihak-pihak yang berwenang Dinas Peternakan KabKota dan Kotamadya atau kepala-kepala RPH, petugas pengawas check point, aparat
Pemda dan lain-lain diberi rangsangan untuk melaksanakan pengendalian pemotongan hewan besar betina produktif dilapangan. Demikian pula
pihak-pihak yang terkena pengawasan pedagang hewan, pemotongan
134
hewan dan penjual daging dianjurkan agar tidak mengirim atau memotong dan atau membawa hewan betina produktif ke Rumah Potong Hewan.
Pengawasan dan Pengendalian pemotongan hewan besar betina produktif
bertujuan untuk melestarikan populasi hewan pada umumnya dan
sapikerbau khususnya serta merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan populasi ternak sapi dan kerbau yang terancam penurunan
sebagai akibat meningkatnya permintaan akan daging setiap tahunnya.
Upaya Yang Perlu Ditingkatkan
Dalam upaya meningkatkan populasi ternak dengan meningkat kegiatan dan pengendalian pemotongan ternak besar betina bertanduk maka hal-hal
berikut ini perlu lebih diperhatikan :
1. Perlu adanya penyesuaian atau penyempurnaan terutama penyempurnaan dalam peraturan-peraturan daerah secara seragam.
2. Perlunya ditingkatkan baik kwalitas keterampilan dan ilmu pengetahuannya maupun kwantitas aparatur pengawasannya, demikian
juga sarana pengawasan, baik sarana fisik maupun sarana organisasi dari pada RPH perlu lebih ditingkatkan.
3. Koordinasi dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pemotongan ternak besar betina
bertanduk perlu untuk lebih dimantapkan lagi dan dilakukan secara serentak dan terpadu.
4. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam upaya meningkatkan populasi ternak dengan mengendalikan pemotongan ternak besar betina produktif
adalah penyuluhan kepada masyarakat khususnya petani peternak, pedagang ternak, para jagal dan penjual daging serta aparat pengawas
dan instansi-instansi yang berkaitan.
135
Pengawasan dan pengendalian pemotongan hewan betina produktif ini
sasarannya adalah :
1. Peningkatan pengawasan dan pengendalian disetiap RPH baik di Ibukota KabKotamadya dan di Kecamatan-kecamatan
2. Peningkatan pengawasan dan operasi gabungan pemotongan gelap baik di wilayah Daerah Tingkat Kabupaten maupun Kecamatan.
3. Pemeriksaan dan pengawasan lalulintas hewan disetiap pos pemeriksaan Check Point terutama dari daerah produsen ke daerah konsumen.
4. Peningkatan pengawasan pasar hewan, terutama setiap ternak betina yang akan dibawa ke RPH.
5. Pemberian cap āSā bagi setiap ternak betina yang tidak produktif lagi, baik di wilayah Dati IIKodya maupun dari pasar hewan.
Beberapa Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pemotongan Sapi dan Kerbau Betina Produktif :
1. Daerah produsen Keadaan sosial ekonomi peternak yang masih rendah, sebagai salah satu
sebab terpotong atau terjualnya ternak yang masih produktif. Demikian juga karena masih rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan para
peternak kecil terhadap ternak yang dimiliki, menyebabkan dijualnya sapikerbau yang sedang bunting dan atau yang masih produktif.
Padahal apabila dilakukan pengendalian pemotongan ternak betina produktif, jumlah anak yang diharapkan akan lahir dari sektor induk dan
turunannya selama kurang lebih 12 tahun berjumlah 25 ekor, dengan catatan semua anak yang dilahirkan betina.
2. Di jalur pemasaran Kurangnya jumlah pasar hewan sebagai tempat transaksi jual beli ternak
dan kurangnya fasilitas yang diperlukan untuk mengawasi dan mengendalikan terjadinya penjualan serta pembelian ternak betina yang
masih produktif menyebabkan terjadinya pemotongan sapi dan kerbau
136
betina produktif semakin besar di dalam lalulintas perdagangan ternak. Demikian juga pos-pos lalulintas pengawasan ternak antar daerah masih
kurang efektif, yang disebabkan masih kurangnya petugas maupun ulah pedagang yang selalu berusaha menghindar dari pengawasan sehingga
masih banyak ternak betina terutama yang produktif dapat lolos dari daerah produsen ternak ke daerah konsumen.
3. Daerah konsumen Apabila ternak betina sampai didaerah konsumen maka akan
menimbulkan masalah yang lebih komplek, karena ternak tersebut tidak mungkin akan dikembalikan lagi kedaerah produsen ataupun akan
diternakkan sebagai bibit namum dengan berbagai upaya para jagal akan berusaha tetap memotongnya. Pemotongan secara gelap inilah justru
yang sangat membahayakan baik ditinjau dari segi kesehatan maupun ditinjau dari segi lain.
Langkah-langkah kegiatan yang telah dilaksanakan adalah : 1. Penilikanpeninjauan secara langsung ke daerah-daerah untuk melihat
sejauh mana peraturan dan ketentuan pencegahan dan larangan pemotongan hewan betina produktif dilaksanakan. Dengan adanya
peninjauan ini maka pihak pelaksanaan dilapangan lebih memperhatikan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
2. Berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ini telah diselenggarakan beberapa kali pertemuan dan pengarahan lanjutan tentang peningkatan
pelaksanaan pencegahan dan larangan pemotongan hewan besar betina produktif. Peretemuan tersebut dihadiri Kepala Dinas Peternakan
KabKota, Kasubdin Keswan KabKota dan Dokter Hewan KabKota se Sumatera Barat.
Tabel.5.47.Rekapan Pemotongan Hewan Ternak dari 6 RPH selam 2 tahun terakhir
137
No RPH
Sapi Kerbau
Tahun 2005 Tahun 2006
Tahun 2005 Tahun 2006
Jantan Betina
Jumlah Jantan
Betina Jumlah
Jantan Betina
Jumlah Jantan
Betina Jumlah
1 Bukittinggi
4,181 123
4,304 3,991
127 4,118
2,390 71
2,461 2,187
80 2,267
2 Padang
5,122 245
5,367 5,241
263 5,504
2,775 196
2,971 1,934
210 2,144
3 Sawahlunto
1,079 119
1,198 893
188 1,081
4 Solok
2,145 225
2,370 417
36 453
5 Payakumbu
h 669
2,679 3,348
601 2,407
3,008
6 Batusangkar
1,210 242
1,452 1,223
140 1,363
326 420
746 367
349 716
Jumlah
12,261 3,408
15,669 14,094
3,350 17,444
5,491 687
6,178 4,905
675 5,580
Persentase 78.25
21.75 80.80