43 Berdasarkan pada Lampiran C dan Gambar 4.3, diketahui bahwa pada saat
mencapai titik transisi gelas pada kristal anhidrat gipsum murni terjadi penurunan suhu yang ditandai dengan arah peak ke kanan sebesar 8,78
o
C atau terjadi perbedaan temperatur antara termokopel dengan sampel sebesar 8,78
o
C.
Sedangkan pada Lampiran C dan Gambar 4.4, diketahui bahwa pada saat mencapai titik T
g
nya pada sampel variasi 35:15:15 terjadi penurunan suhu yang ditandai dengan arah peak ke kanan sebesar 3,13
o
C, dan pada saat mencapai suhu T
m
nya terjadi kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 37
o
C dengan arah peak ke kiri. Selanjutnya pada Lampiran C dan Gambar 4.5,
diketahui bahwa pada saat mencapai T
g
nya pada sampel variasi 45:5:15 juga terjadi penurunan suhu sebesar 6,27
o
C, dan pada saat mencapai suhu T
m
nya terjadi kenaikan sebesar 7,25
o
C.
Dengan demikian, jelas diketahui bahwasanya sampel variasi 35:15:15 merupakan yang terbaik karena suhu T
g
lebih besar dibandingkan dengan sampel lainnya, yang berarti menurut Stevens 2001 butuh pemanasan lebih tinggi
sehingga sampel mengalami perubahan masa transisi, dalam hal ini perubahan struktur dari kristal anhidrat pada gipsum. Pemanasan pada suhu antara
140-170
o
C menyebabkan kristal anhidrat dalam campuran tersebut mencair
sehingga ikatan fisis yang ada menjadi lemah.
4.4 Hasil Karakterisasi Sifat Mekanik Dari Papan Gipsum Plafon
4.4.1 Hasil Pengujian MOE dan MOR
Pengujian MOE dan MOR ini mengacu pada SNI 03-2105-2006 dan telah dilakukan terhadap semua jenis variasi sampel menggunakan alat penguji
Tokyo Testing Machine
berkapasitas 2000 kgf dengan memberikan beban sebesar 100 kgf dan kecepatan 10 mmmenit terhadap semua variasi sampel. Berikut hasil
pengujian MOE dan MOR, seperti pada Gambar 4.6 berikut.
Universitas Sumatera Utara
44
Regangan
T e
ga nga
n
Gambar 4.6. Grafik Hasil Pengukuran Uji MOE dan MOR Terhadap Papan Gipsum Plafon
Berdasarkan data yang diperoleh tersebut melalui harga
P
E
dari tiap-tiap sampel hasil pengujian selanjutnya disubstitusi ke persamaan 2.4. Sehingga
diperoleh nilai MOE dalam satuan kgfmm
2
yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan MPa 1 kgfmm
2
= 9,81 MPa. Data hasil perhitungan dan cara perhitungan tercantum pada Lampiran D. Berdasarkan pada tabel dari
Lampiran D, maka dapat dilihat hubungan antara MOE dengan variasi sampel yang dinyatakan dalam bentuk grafik.
Pada Gambar 4.7 tersebut terlihat bahwa nilai MOE terbesar pada variasi sampel 35:15:15 sebesar 62,22 MPa. Sedangkan nilai MOE terendah pada
sampel gipsum murni 65:0:0 sebesar 13,28 MPa. Diketahui bahwa dengan adanya bahan pengisi serbuk batang kelapa sawit dan juga perekat tapioka yang
ditambahkan ke dalam gipsum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
45 Gambar 4.7. Grafik Hubungan Antara Nilai MOE Dengan Sampel Gipsum :
Batang Sawit : Tapioka Menurut Salon adanya peningkatan kekuatan ini menunjukkan bahwa
tapioka berperan sebagai pengikat antara gipsum dengan pengisinya karena memiliki gaya adhesif yang besar, sehingga terjadi ikatan yang dihasilkan cukup
baik dan tingkat kelenturan pun semakin bertambah.
Selanjutnya berdasarkan pengujian setelah diperoleh nilai P
E
untuk uji MOE,
kemudian pengujian
dilanjutkan hingga
diperoleh nilai
P
R
. Pada Gambar 4.6 terlihat hasil pengukuran dalam bentuk grafik karena
pengujiannya merupakan satu kesatuan dengan uji MOE. Harga P
R
yang diperoleh disubstitusi ke persamaan 2.3 sehingga didapat nilai MOR. Data hasil perhitungan
dan cara perhitungan tercantum pada Lampiran E.
13,28 60,86
46,78 62,22
56,66 47,12
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
1 2
3 4
5 6
65 : 0 : 0 45 : 5 : 15
40 : 10 : 15 35 : 15 : 15
30 : 20 : 15 25 : 25 : 15
Variasi Sam pel Gipsum : Batang Saw it : Tapioka M
O E
M P
a
Universitas Sumatera Utara
46 Gambar 4.8. Grafik Hubungan Antara Nilai MOR Dengan Sampel Gipsum :
Batang Sawit : Tapioka
Gambar 4.8 tersebut merupakan hubungan antara nilai MOR dengan variasi sampel yang dinyatakan dalam bentuk grafik. Dimana diketahui nilai MOR
maksimumnya terdapat pada variasi 35:15:15 sebesar 16,62 MPa dan nilai MOR minimum terdapat pada sampel gipsum murni 65:0:0 sebesar 3,33 MPa. Dimana
pada variasi sampel 35:15:15 grafik menunjukkan tingginya nilai MOR suatu sampel, sehingga dibutuhkan gaya yang besar sampai sampel menjadi patah.Dari
hasil menunjukkan bahwa berkurangnya kemampuan kuat lentur dan kuat patah sangat berpengaruhi pada penambahan komposisi serbuk batang kelapa sawit,
dimana dengan penambahan serbuk batang kelapa sawit akan menyebabkan banyaknya kandungan air dalam serbuk karena pori-pori atau rongga-rongga
kosong banyak menyerap air sehingga kuat lentur dan kuat patahnya melemah.
3,33 11,38
10,42 16,62
10,36 14,41
0,00 2,00
4,00 6,00
8,00 10,00
12,00 14,00
16,00 18,00
1 2
3 4
5 6
65:0:0 45:5:15
40:10:15 35:15:15
30:20:15 25:25:15
Variasi Sampel Gipsum : Batang Sawit : Tapioka
MO R
MPa
Universitas Sumatera Utara
47 Hasil maksimum yang diperoleh pada variasi sampel tersebut menurut
Budi 2009 dikarenakan adanya gaya adhesif yang cukup kuat dari tapioka membuat ikatan menjadi semakin baik. Didukung dengan sama banyaknya jumlah
komposisi dari tapioka dengan bahan pengisinya dan meratanya dispersi dari gipsum terhadap bahan pengisi dan perekat, membuat gipsum tersebut
terjerembab dalam ikatan antara tapioka dan serbuk batang kelapa sawit.
Dibandingkan dengan MOE dan MOR papan gipsum plafon merk Jayaboard yang komersial Lampiran I dan Lampiran J, dimana nilai MOE nya
sebesar 6,13 MPa dan MOR nya yaitu 1,28 MPa. Untuk semua sampel yang diujikan nilai MOE dan MOR nya jauh lebih besar dibandingkan dengan yang
komersial, ini menunjukkan adanya peranan dari tapioka dan pengisi serbuk batang kelapa sawit dalam meningkatkan sifat mekaniknya.
4.4.2 Hasil Pengujian Kuat Tarik