BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Liberalisasi pasar pupuk awal 1999 mengatur distribusi pupuk tidak lagi monopoli Pusri. Tetapi dapat dilakukan oleh berbagai pihak sesuai
mekanisme pasar.
Kebijakan ini
terbukti memperpendek
dan memperbanyak jalur distribusi pupuk sehingga petani dapat membeli dari
berbagai sumber dan relatif selalu tersedia dengan harga yang ce nderung lebih murah.
Pasar bebas mendorong persaingan yang ketat antar pelaku yang terlibat dalam kegiatan distribusi, sehingga asas efisensi ditingkatkan
untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Akibatnya, arah distribusi pupuk tidak lagi berdasarkan alokasi kebutuhan petani, melainkan lebih
berdasarkan pada besarnya keuntungan yang diperoleh, termasuk melakukan ekspor dan impor. Perubahan arah tersebut menyebabkan
munculnya kelangkaan pupuk Urea di daerah-daerah. Fenomena kelangkaan dan tingginya harga pupuk merupakan permasalahan yang
seharusnya tidak terjadi karena produksi pupuk dalam negeri jauh melebihi kebutuhan, bahkan Indonesia merupakan eksportir pupuk Urea.
Bila gejala tersebut terus berlanjut dikhawatirkan produksi beras akan terganggu. Berdasarkan permasalahan tersebut, pemerintah harus
menerapkan kembali kebijakan pengendalian distribusi pupuk Urea. Padahal pupuk Urea sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan
mutu komoditas hasil pertanian. Kita ketahui bahwa daya beli petani relatif lemah. Untuk itu, pemerintah menetapkan kebijakan subsidi pupuk.
Namun terkadang dengan adanya subsidi ini, sering disalah gunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka membeli dengan harga yang
telah disubsidi, kemudian menjual kembali ke petani d engan harga yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengawasan dalam pendistribusian pupuk
perlu diperhatikan agar penyalurannya dapat tepat sasaran. Salah satu sistem penyaluran yang telah diterapkan oleh PT. Pupuk Kalimantan
Timur untuk menghindari penyelewengan pupuk Urea bersubsidi, yaitu sistem pipa tertutup dengan menggunakan Rencana Definitif Kebutuhan
Kelompok RDKK.
1.2 Rumusan Masalah