Meringkas Cerpen Meringkas menjadi Seperlima
149
santuni. Anak yatim dan janda yang terlunta-lunta. Gami yang mudah tersentuh sangat terharu,
tetapi menjadi pilu ketika aku mulai mengemuka- kan pintu surga bagi istri yang merelakan suami-
nya menikahi janda miskin.
Dari tatapan matanya, aku tahu hatinya teriris. Tapi tekatku tak terkikis. Kupeluk dia. Di telinga-
nya, kubisikan betapa aku mencintai dia dan berjanji semuanya takkan berubah. Istriku mena-
tapku. Dia bilang, dia ingin bertemu Gini. Aku pun setuju. Kucium keningnya. Kuusap-usap rambut-
nya sampai dengkurnya terdengar. Malam itu, dia terlelap di pelukanku.
Akhirnya di rumahku, kedua perempuan itu bertemu. Dari jendela rumahku, aku bisa melihat
kalau istriku tampak tegang dan Gini tampak salah tingkah. Tetapi, beberapa saat kemudian
mereka bersalaman, mulai bicara dan akhirnya tertawa-tawa. Sejak itu, keduanya memang tam-
bah akrab. Aku lega. Hajadku ada di depan mata
Pagi ini, ketika aku hendak menyelipkan satu puisi di rumah Gini, aku mendapati rumah Gini
lengang. Suara keributan anak-anak Gini karena hendak bersiap-siap berangkat ke sekolah, tak
kudengar.
Kuketuk rumahnya berkali-kali. Tak ada yang menjawab. Aku semakin keras mengetuk pin-
tunya. Sepi Kugedor dan kugedor lagi pintunya. Kali ini,
Ibu Karto, tetangga sebelah rumahnya, muncul dan mengabarkan bahwa Gini dan anak-anaknya
pulang ke kampung halaman untuk mempersiap- kan pernikahannya dengan direkturnya
Gini, perempuan ranum yang hendak kujadikan istri keduaku, hendak menikah tanpa memberita-
huku sama sekali. Kurasakan perasaan tersinggung mulai meng-
gelegak di dadaku Dalam keadaan limbung, aku ingat istriku. Perempuan setia yang selalu me-
nerimaku apa adanya. Boleh jadi tubuhnya men- jadi tak terawat, karena waktunya habis buat
mengurus rumah tangga dan uang belanja yang kuberikan dihabiskannya buat urusan keluarga
daripada untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba, aku ingin memeluk istriku dan meneriakkan betapa tak ada
perempuan lain yang lebih aku butuhkan di dalam hidupku selain dirinya.
Sepeda motor pun kukebut dengan kecepatan tak kira-kira. Sampai di rumah, kembali aku ter-
pana. Kudapati rumahku tak berpenghuni. Kupe- riksa pot tanaman, tempat Gami biasa menyim-
pan kunci kalau dia harus pergi. Di situ kutemu- kan kunci rumahku dan sepucuk surat.
Mas Poly, Merangkai kata, aku memang tak pandai teta-
pi semoga yang akan kusampaikan ini bisa kau mengerti.
Beberapa bulan yang lalu, ada seorang pria yang perhatiannya membuatku berbunga-bunga.
Tetapi kemudian aku sadar bahwa cint a itu seperti tanaman. Dia bisa mati kalau kita tak
merawatnya. Nah Cinta yang kita bina sudah layu Hampir mati Kalau aku mencoba merawat
tanaman lain, bagaimana mungkin aku bisa ya- kin kalau dua-duanya tak mati? Sedang merawat
satu tanaman saja, aku tak bisa? Oleh karenanya, aku memutuskan untuk me-
rawat cinta kita dan mematikan cinta-cinta yang lain. Bagik u keluarga berada di atas segala-
galanya. Tetapi, takdir bicara lain. Mas memilih hendak
membawa tanaman lain dengan cara menikah lagi. Bagiku, dua orang istri terlalu banyak dalam
satu pernikahan dan susah bagiku untuk berbagi perasaan. Daripada aku tertekan, akhirnya ku-
putuskan untuk melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Dengan demikian, kita bisa
berbahagia dengan merawat satu cinta di ke- luarga masing-masing. Mas menikah dengan
Gini. Aku pun akan bahagia karena Mas Mono, tetangga kita yang pernah memberikan perha-
tiannya kepadaku itu, berjanji akan menikahiku begitu selesai masa indahku.
Salam Gami Aku merasa tubuhku dipukul-pukul dengan
martil hingga lenyap terkubur rencana-rencanaku sendiri. Kupandangi rumah Mono. Tiba-tiba, aku
ingin membunuh perjaka tua itu
Pikiran Rakyat, 2 Juni 2007