38
Pada bagian ini kalian akan kembali mempelajari materi kelas kata, sinonim, dan antonim. Materi ini
telah dibahas secara tuntas di kelas X. Coba ingat- ingat, ada berapakah kelas kata dalam bahasa Indo-
nesia?
4.2.1 Teks Cerpen
Berikut ini disajikan sebuah cerpen berjudul Per-
tolongan yang Tepat. Bacalah cerpen tersebut dengan cermat Selain itu, coba kalian identifikasikan kata-
katanya berdasarkan kelas kata, sinonim, dan anto- nim.
Pertolongan yang Tepat
Sudah hampir pukul tujuh pagi dan Samsu belum juga berangkat ke sekolah. Ia sudah ber-
pakaian rapi dan menyiapkan tasnya. Rupanya masih ada yang dipikirkannya. Ia duduk di
serambi menunggu temannya, Sapri. Sebentar kemudian muncullah Sapri di depan rumahnya
seperti biasanya.
“Selamat pagi, Sam Ayo, sudah hampir pukul tujuh” serunya.
“Sapri, hari ini saya tidak akan masuk seko- lah.”
“Ah, mengapa? Sudah berpakaian rapi. Ayolah, jangan sampai terlambat,” jawab Sapri ke-
heranan. “Pri, benar-benar saya tidak berani masuk se-
kolah. Sekarang tanggal dua belas. Uang SPP harus sudah dibayarkan tanggal sepuluh. Saya
kebingungan pagi ini. Ayah sedang ke pasar menjual buah-buahan. Mungkin juga mencari
uang untuk membayar SPP itu. Ibu sudah dua hari sakit panas. Dua orang adik saya juga be-
lum membayar uang SPP.”
Sapri tidak tahan lagi mendengar kata sahabatnya. Samsu tampak akan menangis.
Matanya mulai berlinang. “Baiklah, Sam. Kalau begitu saya pergi sendiri.
Tidak usah kamu masuk sekolah. Nanti saya mintakan izin kepada guru kita. Bantu saja ibumu
di rumah. Pulang sekolah nanti saya singgah kemari. Saya berangkat, ya.”
Samsu tidak menjawab, suaranya tidak keluar. Ia hanya mengangguk sambil memandangi Sapri
yang tampak tergesa-gesa. Sampai di sekolah Sapri berdebar-debar me-
lihat pekarangan sekolah sudah sepi, tandanya sekolah sudah dimulai. Tahulah dia bahwa dia
sudah terlambat. Apa yang harus dilakukannya? Segera ia menuju kantor Pak Hidayat, kepala
sekolahnya dan menjelaskan mengapa dia ter- lambat. Pak Hidayat lalu mengambil secarik
kertas, dibuatnya catatan kemudian diberikan- nya kepada Sapri. Sapri memberi hormat kepada
Pak Hidayat kemudian menuju kelasnya.
Pada waktu istirahat, Pak Hidayat memanggil Sapri ke kantornya.
“Sapri, Bapak minta bantuanmu. Sampaikan kepada ayah Samsu, besok pagi Samsu boleh
masuk sekolah.” Sapri keluar dari kantor Pak Hidayat dengan
perasaan lega. Masih teringat saja olehnya peristiwa keter-
lambatannya tadi pagi. Dikiranya kepala sekolah akan marah kepadanya; ternyata tidak.
Ketika Sapri pulang sekolah, dia singgah di rumah temannya untuk menyampaikan pesan
Pak Hidayat. “Sam, besok kamu boleh masuk sekolah. Pak
Hidayat tidak marah meskipun kamu belum membayar SPP. Hanya pesannya sebelum kamu
masuk kelasmu, pergilah ke kantor Pak Hidayat dulu”
“Pri, saya takut. Besok saya belum dapat membayar uang SPP. Sampai sekarang ayah
belum pulang. Entahlah, berapa untung yang di- perolehnya dari penjualan,” kata Samsu.
“Sam, Pak Hidayat menyuruh kamu datang bu- kan untuk membayar uang SPP, melainkan untuk
bertemu saja dan mungkin Pak Hidayat akan memberimu nasihat.”
Ibu Samsu yang ada di kamar mendengar per- cakapan dua anak itu dan karena tertarik, lalu
bangkit dari tempat tidurnya ingin menyambung pembicaraan.
“Turutilah kata temanmu. Masuklah besok, ka- takan dengan terus terang bahwa kita benar-
benar belum ada uang. Ayahmu sedang berusa- ha, mudah-mudahan saja berhasil.”
Samsu mengangguk dan berjanji kepada ibu- nya akan masuk sekolah keesokan harinya.
Sapri lalu minta diri. Setelah sampai di rumah, Sapri menyimpan
Di unduh dari : Bukupaket.com
39
bukunya, melepas sepatunya lalu mencuci ta- ngan dan kakinya sebelum berganti pakaian.
“Makanlah segera Ayah, ibu, dan adik sudah makan lebih dulu. Mengapa engkau terlambat
pulang?” tanya ibunya. Sapri tidak langsung makan. Didekatinya ibu-
nya dan diceritakannya kesusahan temannya, Samsu.
“Kasihan, Bu, Samsu. Sudah dua hari dia tidak masuk sekolah. Mana ibunya sakit. Ayahnya
menjual buah-buahan di pasar. Hasil penjualan yang diharapkannya dapat dipakai untuk me-
lunasi uang SPP anak-anaknya ternyata tidak mencukupi.” Mendengar cerita anaknya itu, Ibu
Sapri sangat terharu. Ia pun bersyukur kepada Tuhan bahwa keluarganya tidak perlu menderita
seperti itu.
Keesokan harinya, Sapri berangkat sekolah lebih pagi. Dia singgah di rumah Samsu. Sesam-
painya di sana dilihatnya ayah Samsu ada di rumah. Sapri merasa gembira. Tentu temannya
sudah mempunyai uang untuk membayar SPP. Samsu kelihatan menunggu Sapri di serambi ru-
mah. Air mukanya masih tampak kurang gembira.
“Selamat pagi, Sam Ayo, kita berangkat Kita akan menghadap Bapak Hidayat.”
Kedua anak itu lalu minta izin kepada ayah dan ibu Samsu sebelum keluar pintu pekarangan.
Samsu berhenti dan membisikkan sesuatu ke- pada Sapri.
“Sapri, ayah sudah kembali dan buah-buahan dagangannya habis terjual, ....”
“Nah, syukur. Jadi, kamu sudah membawa uang untuk membayar SPP?”
“Tunggu dulu Rezeki tentu ada. Kami bergem- bira. Hanya sayang sekali tidak cukup untuk
membayar uang SPP itu. Ibu ‘kan sakit. Sebagian uang laba digunakan untuk membeli
obat dan untuk belanja kemarin dan hari ini. Sisanya tinggal lima ratus rupiah. Padahal uang
SPP saya enam ratus, ‘kan?”
Sambil berjalan, Sapri menarik tangan teman- nya lalu bertanya, “Uang itu kamu bawa seka-
rang?” “Ya. Ayah takut uang itu terpakai. Nanti kalau
ada untung lagi, tinggal menambah lagi.” “Baik, Sam. Kita lekas-lekas menghadap ke-
pala sekolah sebelum kita mulai belajar. Sebaik- nya kamu lunasi uang SPP-mu hari ini.
Kebetulan aku membawa uang seratus rupiah untuk membeli buku tulis, tapi buku itu tidak
kuperlukan sekarang. Boleh kamu pinjam dulu untuk mencukupi uang SPP-mu.”
“Ah, jangan Pri Nanti ayah dan ibumu marah” “Tidak, Sam. Sungguh. Ini bukan uang
pemberian ayah atau ibu tetapi pemberian paman. Memang ayah dan ibu tahu bahwa saya
diberi uang.” “Baiklah kalau begitu. Jadi, hari ini saya dapat melunasi uang SPP? Wah, bukan
main. Sungguh kau baik hati. Engkau memang seorang sahabat bukan sekedar teman.
Pertolongan yang sangat tepat waktunya. Nanti akan saya beritahukan kepada orang tuaku.”
Sepulang dari sekolah kedua anak itu mence- ritakan pengalamannya kepada orang tuanya
masing-masing. Ibu Samsu mukanya mulai ber- seri karena gembira. Waktu Sapri bercerita ten-
tang pertolongannya, ibunya mengangguk-ang- guk lalu berkata, “Aku bangga akan sikapmu,
Sapri. Pertolonganmu sangat tepat dan pasti mendapat pahala.”
4.2.2 Kelas Kata, Sinonim, dan Antonim