BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orangtua memiliki harapan yang besar agar perkembangan fisik dan mental anaknya dapat berkembang dengan baik. Betapa bangganya setiap orangtua melihat kondisi
anaknya yang sehat dan mampu menghabiskan waktu bersama dengan keluarga bahkan teman-temannya. Para orangtua pun merasa bangga jika anak-anak mereka menghasilkan
prestasi disekolahnya. Sayangnya kenyataan ini tidak dapat dialami oleh semua orangtua. Banyak anak yang dilahirkan dengan ketidak sempurnaan baik secara fisik maupun masalah
dalam hal perkembangan anak. Biasanya cacat fisik ditandai dengan ketidak lengkapan bagian-bagian tubuh, hal ini dapat terjadi sejak kelahiran ataupun karena kecelakaan
sedangkan masalah perkembangan ditandai dengan terhambatnya perkembangan anak yaitu dalam hal intelektual, sosial maupun komunikasinya.
Anak-anak yang memiliki masalah dalam keterhambatan perkembangan biasanya disebut dengan anak berkebutuhan khusus. Menurut DSM IV-TR 2004 anak yang
dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang mengalami keterbelakangan mental Mental Retardation, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi,
gangguan emosional atau perilaku, hambatan fisik, komunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan serta anak-anak yang memiliki bakat
khusus. Salah satu dari kategori di atas yang saat ini marak adalah Mental retardation. DSM
IV-TR 2004 menjelaskan bahwa Mental Retardation merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan fungsi intelektual yang berada di bawah 70 selain itu terganggu pula dalam
perilaku adaptifnya seperti komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas serta kemampuan untuk
mengambil keputusan dan ciri-ciri ini sudah muncul sebelum usia 18 tahun. Wenar 2006 juga
menyebutkan bahwa
terjadinya ketidaksempurnaan
atau masalah
pada perkembangannya sehingga berpengaruh kepada intelegensinya baik dalam ranah kognitif,
sosial, motorik, bahasa dan kemampuan lainnya. Keterbatasan fungsi kognitif pada anak Mental Retardation berdampak pada
ketidakmampuannya dalam memproses persepsi, ingatan, dalam mengembangkan ide, penilaian serta penalaran. Oleh sebab itu prestasi yang ditunjukkan oleh anak Mental
Retardation tergolong rendah Effendi, 2006. Untuk itu DSM IV-TR 2004 mengklasifikasikan Mental Retardation berdasarkan 4 tingkatan, diantaranya adalah: Mild
Mental Retardation ringan dengan rentang IQ 50-70 anak dengan klasifikasi ini sulit dibedakan dengan anak normal ketika mereka belum masuk sekolah, Moderate Mental
Retardation sedang dengan rentang IQ 35-55 anak dengan klasifikasi ini memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik kasar dan
halusnya. Mereka akan mampu jika banyak melakukan bimbingan dan latihan, Severe Mental Retardation berat dengan rentang IQ 20-40 individu yang tergolong klasifikasi ini
pada umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor dan Profound Mental Retardation parah dengan rentang IQ dibawah 25
biasanya hanya 1-2 individu yang masuk dalam kategori ini dan mereka pada umumnya harus diasuh sepanjang hidupnya.
Somantri 2006 mengatakan bahwa karakteristik anak Mental Retardation kategori Mild adalah mereka pada umumnya masih dapat belajar membaca, menulis serta berhitung
sederhana, mereka juga masih dapat bersekolah namun dengan pendidik khusus ataupun kelas khusus serta anak dengan kategori ini masih dapat diajarkan suatu keterampilan untuk
bekalnya dikemudian hari. Dalam kaitannya dengan komunikasi anak Mild Mental Retardation memiliki perbendaharaan kata yang sedikit sehingga dalam melakukan
komunikasi dua arah mereka melakukannya dengan kurang baik. Selain itu mereka juga cenderung sulit untuk berfikir secara abstrak, dalam menganalisa sebab dan akibat dari suatu
masalah pun belum dapat dilakukannya. Berdasarkan penjelasan diatas, walaupun anak Mild Mental Retardation memiliki banyak kekurangan baik dalam segi intelektual, sosial dan
berkomunikasi namun potensi yang mereka miliki dapat dikembangan dengan pendidikan ataupun pelatihan khusus.
Perkembangan kognitif yang terhambat membuat munculnya masalah emosi. Emosi adalah suatu perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan
atau interaksi yang dianggap penting baginya Santrock, 2002. Perkembangan emosi merupakan suatu hal yang harus diperkenalkan atau diajarkan kepada anak sejak dini. Setiap
orang harus dapat mengenali emosi sebab penting untuk keberhasilan hidup. Saat orangtua mengajarkan emosi kepada anaknya sejak kecil artinya mereka telah mengurangi rentan
terjadinya konflik dengan orang lain. Cara orangtua mengenalkan tentang emosi dapat melalui ekspresi wajah, misalnya saat menunjukkan rasa marah, senang, sedih, terkejut dan
takut dapat diperlihatkan melalui dahi yang berkerut, mata serta mulut. Pendapat lain dikemukakan oleh Thompson dalam Santrock 2002 bahwa orangtua merupakan pihak yang
dapat membantu anak-anak dalam menyalurkan emosi mereka yang sangat beragam. Orangtua dapat mengajarkannya dengan membuat label pada emosi tersebut serta melatih
anak untuk berhadapan dengan emosi itu secara efektif. Kemampuan seseorang dalam mengenali emosi merupakan suatu dasar keberhasilan
dalam interaksi sosial. Pada dasarnya isyarat secara nonverbal itu lebih penting dibandingkan secara verbal dalam menginformasikan perasaan kita kepada orang lain Ellis, 1997.
Nurhayati mengatakan bahwa pentingnya kita mampu mengenal emosi agar mampu berempati, dapat mengungkapkan dan memahami perasaan yang dirasakan, untuk
mengendalikan amarah, kemandirian, mampu untuk menyesuaikan diri serta mampu
memecahkan masalah pribadi. Pada anak normal mungkin untuk melatihnya tidak terlalu memiliki hambatan yang berarti, orangtua dapat mempraktekkannya dengan sebuah situasi
sehari-hari. Ada dua hal yang dilakukan untuk membuat anak memiliki kecerdasan emosi yaitu
dengan mengajarkan untuk mengenali emosi dan cara mengelolanya. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengenalkan jenis emosi pada anak. Hurlock 1980 mengatakan jenis-jenis
emosi adalah marah, takut, cemburu, senang atau gembira serta sedih. Apabila anak sejak usia dini sudah dilatih untuk mengenali jenis emosi ini maka semakin dewasa akan semakin
mudah dalam mengenalinya dan pada akhirnya mampu menyesuaikan sikap dengan situasi yang ada. Langkah kedua adalah mampu mengelola emosi agar tidak meledak dan akhirnya
dapat mempengaruhi perilakunya untuk dapat mengendalikan diri agar tidak mengulangi kesalahannya lagi Nurhayati, 2009.
Hal ini berbeda dengan anak Mental Retardation, keterbatasan fungsi intelektual yang dimiliki membuat mereka kesulitan untuk mengenali, memahami serta menerima emosi
tersebut Gratz Roeme dalam McClurer, 2004. Berdasarkan hasil penelitian diketahui juga bahwa anak Mental Retardation memiliki pemahaman dan kesadaran yang sangat rendah
dalam memahami emosi serta mereka masih sulit menyampaikan apa yang dirasakannya kepada orang lain Sovener Hurley, dalam McClurer, 2004. Anak dengan kategori Mild
Mental Retardation membutuhkan keterampilan dan pelatihan yang terus menerus dalam mengenali serta mengidentifikasi untuk dapat melabel emosi serta memahami emosi dan
ekspresi yang dirasakan oleh oranglain McClurrer, 2004. Kehidupan emosi anak Mild Mental Retardation tidak jauh berbeda dengan anak
normal melainkan variasi gejala emosinya tidak sekaya anak normal Mumpuniarti, 2006. Anak mental Retardation pada umumnya mampu memperlihatkan rasa sedihnya sayangnya
mereka tidak dapat mengutarakan atau menceritakan perasaan tersebut kepada oranglain. Selain itu, anak dengan diagnosa ini juga dapat merasakan kegembiraan namun mereka tidak
dapat mengungkapkan kegagumannya. Hal ini dapat terjadi pada mereka karena pemahaman pada anak Mental Retardation sangat rendah dan tidak mendalam Somantri, 2006. Sebuah
penelitian menhatakan bahwa anak Mental Retardation sering salah dalam melabel jenis-jenis emosi akibatnya adalah mereka cenderung tidak tepat dalam mengekspresikan apa yang
dirasakannya selain itu mereka juga sulit untuk menganalisa emosi-emosi yang dirasakannya. Kemampuan anak dalam mengenali serta memahami emosi berkembang sesuai dengan usia
anak dan memiliki kemampuan intelektual yang baik Ellis, 1997. Salah satu cara untuk mengajarkan anak Mental retardation agar dapat mengenali serta
memahami emosi bisa dilakukan dengan memberikan psikoedukasi. Psikoeduakasi adalah treatment yang diberikan secara profesional dimana mengintegrasikan intervensi
psikoterapeutik dan edukasi Lukens McFarlane, 2004. Fungsi psikoterapeutik dan edukasi menekankan pada masa kognitif dan afektif anak dengan membawa anak serta
memperoleh wawasan terhadap masalah yang dihadapinya, menghilangkan suatu hambatan yang ada dan membuat klien dapat mendapatkan atau memperoleh informasi maupun
pengetahuan secara aktif Lukens McFarlane, 2004. Psikoedukasi juga merupakan intervensi untuk penanganan anak Mental Retardation dalam mendorong untuk keterampilan
akademik serta perilaku adaptifnya Nevid, 2005. Langkah-langkah dalam psikoedukasi dapat dianalogikan dengan langkah pendidikan. Beberapa teori edukasi bahkan
dikembangkan dari teori belajar. Keduanya menimbulkan tingkah laku yang dikehendaki dan mengeliminasi tingkah laku yang tidak dikehendaki. Dalam banyak hal terapi psikoedukasi
dapat diterangkan dengan teori belajar, yaitu mencakup falsafah tentang manusia, visi pengubahan tingkah laku, lingkup penanganan dan teknik-teknik pengubahan tingkah laku
Sugiarmin, 2007.
Memberikan penjelasan mengenai emosi dapat disampaikan melalui psikoedukasi kepada anak. Psikoedukasi yang didapatkan dapat berupa informasi tentang jenis-jenis emosi
yang tidak diketahui anak, penyebab emosi-emosi itu muncul, perubahan fisik yang terjadi serta cara seseorang dalam mengekspresikan perasaannya. Melalui psikoedukasi anak Mild
Mental Retardasi tidak tidak hanya diajarkan memahami emosinya sendiri melainkan diajarkan dalam menilai dan memahami emosi oranglain serta bagaimana cara menghadapi
saat oranglain menunjukkan emosi tersebut. Adapun cara yang akan dilakukan dalam memberikan psikoedukasi adalah melalui video-video dan gambar yang menarik. Selain itu
mengajak anak untuk berdiskusi dengan memberikan contoh-contoh yang sifatnya konkrit. Pemberian psikoedukasi dapat dilakukan melalui sebuah cerita yang sederhana agar mudah
dipahami oleh anak Mental Retardasi. Pentingnya psikoedukasi pada anak Mild Mental Retardation karena kondisi emosi
mereka tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya, sehingga mereka membutuhkan pengetahuan atau informasi mengenai emosi dan cara mengelolanya secara bertahap. Pada
penelitian ini, cara yang dilakukan adalah dengan memberikan gambar-gambar karena gambar dapat menarik perhatian anak. Nisa 2010 mengatakan bahwa anak lebih cepat
memahami materi pelajaran melalui gambar karena sifatnya lebih konkrit. Keberhasilan dalam memberikan psikoedukasi kepada anak tidak akan berhasil tanpa
dukungan dari orangtua. Orangtua yang memiliki anak Mental Retardasi belum tentu dapat menerima kondisi anaknya. Bagi mereka yang masih menolak biasanya cenderung malu
membawa anak-anaknya didepan orang lain, melakukan permusuhan pada anak serta meminta oranglain dalam mengasuhnya. Sebuah penelitian juga menjelaskan bahwa orangtua
yang masih menolak kondisi anaknya cenderung tidak responsif dan peduli akan kebutuhan anak tersebut Barnett, 2003.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana efektivitas penerapan psikoedukasi untuk membuat anak mengenali jenis-jenis emosi serta paham
penyebab maupun cara mengekspresikan emosi tersebut secara tepat sehingga penelitian ini berjudul “Psikoedukasi untuk mengenali emosi pada anak Retardasi Mental”.
B. Perumusan Masalah