Derajat keasaman pH Oksigen terlarut DO

8

2.3.4. Derajat keasaman pH

Toksisitas suatu senyawa kimia juga dipengaruhi pH. Senyawa ammonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Ammonium bersifat tidak toksik innocuous. Namun pada suasana alkalis pH tinggi lebih banyak ditemukan ammonia yang tak terionisasi unionized dan bersifat toksik. Ammonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan ammonium Tebbut 1992 in Effendi 2003. Menurut Odum 1971 bahwa perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil, karena adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan perairan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan. Keanekaragaman bentos mulai menurun pada pH 6-6,5 Effendi 2003. Sementara menurut Nybakken 1992 lingkungan perairan laut yang memiliki pH yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5-8,4. Menurut Dody 2007 bahwa siput gonggong hidup pada kisaran pH antara 7,60-7,67. 2.3.5. Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut misalnya lumpur dan pasir halus maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain APHA 1995, Davis Cornwell 1991 in Effendi 2003. Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir konsentrasi bahan inorganik dalam jumlah yang besar Wetzel 2001 in Honata 2010. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5 NTU.

2.3.6. Oksigen terlarut DO

Oksigen terlarut yang terdapat dalam air laut berasal dari difusi udara dan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik. Kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air sangat lambat, sehingga fotosintesis fitoplankton merupakan sumber utama dalam penyediaan oksigen terlarut di perairan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan oksigen antara lain suhu, salinitas, pergerakan massa air, 9 tekanan atmosfer, luas permukaan air, dan persentase oksigen sekelilingnya BAPPEDA 2007. Kadar oksigen berfluktuasi tergantung pada proses pencampuran, pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke dalam badan perairan Effendi 2003. Penurunan oksigen terlarut secara temporer selama beberapa hari biasanya tidak mempunyai pengaruh yang berarti karena moluska dapat melakukan metabolisme secara anaerob namun metabolisme ini akan menyebabkan organisme kekurangan energi sehingga mempengaruhi aktivitas lainnya seperti reproduksi dan pertumbuhan. Kadar oksigen terlarut optimum bagi moluska bentik adalah 4,1-6,6 mgl, sedangkan kadar minimal yang masih dalam batas toleransi adalah 4 mgl Clark 1974. Menurut Sutamihardja 1978 in BAPPEDA 2007 kadar oksigen terlarut yang normal di perairan laut berkisar antara 5,7-8,5 mgl. 2.3.7. Total Padatan Tersuspensi TSS Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi dan tidak larut dalam air serta tersaring pada kertas saring Millipore dengan ukuran pori-pori 0,45 µm APHA 1995. Total padatan tersuspensi TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air Effendi 2003. Menurut Arifin 2011, padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Sedimentasi yang terjadi akan melapisi substrat tempat hidup makrozoobenthos sehingga keanekaragaman dan kelimpahannya menurun Hawkes Davies 1979 in Rahman 2009. Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut dalam kandungan TSS menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah 20-80 mgl.

2.3.8. Timbal Pb