61
6.1.2 Pembagian Kerja dalam Rumahtangga Petani Sayuran
Pembagian kerja dalam rumahtangga petani terdiri dari pembagian kerja dalam kegiatan reproduktif, produktif pertanian, dan sosial kemasyarakatan.
Setiap kegiatan yang dilakukan dihitung berapa curahan waktu yang dibutuhkan, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Tabel 19. Curahan waktu laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga petani sayuran perbulan dalam persentase di Desa Gempol Sari, 2009
No Kegiatan
Laki-laki Perempuan
Dewasa Anak
Dewasa Anak
Reproduktif ∑ jam
∑ jam ∑ jam
∑ jam
1 Memasak atau menyiapkan
makanan 0,0 0
0,0 0 120 17,0
16 2,0 2
Mengasuh anak 0,0 0
0,0 0 360 50,0
0,0 0 3
Membersihkan rumah 0,0 0
0,0 0 60 8,0
7 1,0 4
Mencuci baju 0,0 0
0,0 0 30 4,0
0,0 0 5
Menyetrika pakaian 0,0 0
0,0 0 16 2,0
65 9,0
Produktif atau usahatani
6 Mempersiapan lahan
240 33,3 0,0 0
0,0 0 0,0 0
7 Membuat saluran air
5 0,7 0,0 0
0,0 0 0,0 0
8 Membeli bibit
2 0,3 0,0 0
0,0 0 0,0 0
9 Menanam tanaman
24 3,3 0,0 0
0,0 0 0,0 0
10 Memberi pupuk
120 16,7 0,0 0
0,0 0 0,0 0
11 Menyiangi tanaman
15 2,1 0,0 0
0,0 0 0,0 0
12 Pemanenan
16 2,2 0,0 0
7 1,0 0,0 0
13 Membersihkan sayuran
12 1,7 0,0 0
0,0 0 0,0 0
14 Mengikat atau mengemas sayuran
4 0,6 0,0 0
0,0 0 0,0 0
15 Memasarkan hasil
8 1,1 0,0 0
0,0 0 0,0 0
Sosial Kemasyarakatan
16 Menghadiri undangan rapat desa
2 0,3 0,0 0
0,0 0 0,0 0
17 Mengahadiri undangan tetangga
pernikahan, khitanan, syukuran 2 0,3
0,0 0 2 0,3
0,0 0
18 Membantu tetangga yang
melaksanakan acara seperti pernikahan, syukuran, khitanan
2 0,3 0,0 0
1 0,1 0,0 0
62
Tabel 19 Lanjutan
No Kegiatan
Laki-laki Perempuan
Dewasa Anak
Dewasa Anak
Sosial Kemasyarakatan ∑ jam
∑ jam ∑ jam
∑ jam
19 Mengikuti arisan warga desa
0,0 0 0,0 0
0,0 0 0,0 0
20 Mengikuti ronda malam
7 1,0 0,0 0
0,0 0 0,0 0
Partisipasi dalam gotong royong desa
5 0,7 0,0 0
0,0 0 0,0 0
22 Partisipasi dalam kegiatan
pemeliharaan kesehatan ibu dan anak
0,0 0 0,0 0
1 0,1 0,0 0
Total jumlah rata-rata jam 464
0,00 597
88
Berdasarkan data pada Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa total curahan waktu perempuan dewasa istri pada kegiatan reproduktif, produktif, dan sosial
kemasyarakatan lebih besar dibanding total curahan waktu laki-laki dewasa, yaitu 597 jam perbulan atau 19,9 jam perharinya bagi perempuan dan 464 jam perbulan
atau setara dengan 15,4 jam perharinya bagi laki-laki. Anak perempuan memiliki proporsi total waktu kerja lebih besar dibanding proporsi waktu anak laki-laki,
yaitu 88 jam total waktu perbulannya dalam kegiatan domestik membantu ibu mereka di rumah. Dengan melibatkan anak perempuan dalam melakukan
pekerjaan reproduktif berarti telah terjadi proses sosialisasi peran gender dimana anak perempuan diajarkan untuk melakukan kegiatan reproduktif yang diyakini
adalah tugas perempuan. Sedangkan, anak laki-laki yang memiliki umur berkisar antara 5 hingga 10 tahun hasil survai di lapangan sangat jarang dilibatkan dalam
kegiatan rumahtangga, baik itu kegiatan reproduktif, produktif, maupun sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan data pada tabel 19 yang menunjukkan
63
jumlah 0 jam bagi anak laki-laki. Hal ini dikarenakan anak laki-laki dalam
rumahtangga petani tidak diarahkan untuk melakukan kegiatan domestik.
Besarnya total curahan waktu perempuan pada berbagai kegiatan tidak diimbangi dengan kontrol mereka, karena kontrol didominasi oleh laki-laki.
Perempuan hanya dibebankan tanggungjawab penuh melakukan kegiatan di rumah namun pada kegiatan lainnya perempuan dianggap hanya membantu
suami. Kegiatan rumahtangga merupakan suatu kewajiban bagi kaum perempuan, baik dewasa maupun anak-anak. Anak perempuan dididik untuk mengenal
tanggungjawab tersebut, dengan melatih mereka membantu ibu melakukan
pekerjaan reproduktif.
6.1.2.1 Kegiatan Reproduktif
Kegiatan reproduktif merupakan kegiatan yang identik selalu dikerjakan oleh perempuan dalam rumah. Kegiatan ini meliputi memasak, mencuci pakaian,
mengasuh anak, melayani suami dan lainnya. Kegiatan ini dimulai setiap harinya pada pukul 04.00 atau 05.00 WIB pagi hari hingga 22.00 WIB. Menurut
penuturan dari beberapa istri petani Gempol Sari, kegiatan yang dilakukan sehari- hari telah menjadi suatu kewajiban bagi seorang istri dalam keluarga. Kewajiban
tersebut tidak dapat ditawar dan merupakan hal mutlak yang dilakukan oleh perempuan. Hasil wawancara mendalam menggambarkan bahwa perempuan juga
membutuhkan penghargaan dalam setiap kegiatan yang mereka lakukan, baik dari suami maupun dari masyarakat.
“neng, perempuan ya gini-gini aja, kalo nggak di dapur ya di sumur,
ngurus anak-anak,
itu sudah
kewajiban perempuan…………… Pernah kepikiran buat kerja tapi siapa
yang ngurus rumah, kerja itu enak lho neng, kita dapat bantu
64
keluarga, yaa namanya petani, kita bisa dihargai suami di rumah juga bisa dihargai orang-orang dapet duit banyak, daripada
sehari-hari seperti ini nggak ada diliat kerjaannya..sama aja..pengen juga dipuji suami….
..Yaa itu juga kalo dapet duit banyak, kalo nggak ya sama aja, suami marah, orang-orang juga marah, anak nggak keurus,
…..Imah, 30 tahun
Fakta tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga membutuhkan penghargaan. Meskipun mereka tidak berkeberatan dalam menjalani rutinitas
mereka sehari-hari, namun terdapat keinginan-keinginan untuk lebih baik, seperti bekerja dan mendapat pujian dari suami. Pemikiran untuk bekerja muncul karena
keterbatasan ekonomi dan keinginan untuk dihargai. Kegiatan sehari-hari yang dianggap lumrah menjadikan kegiatan ini kurang mendapat perhatian dari laki-
laki. Perempuan hanya pasrah saja menjalani kondisi seperti ini, tanpa ada upaya berarti. Hal tersebut dikarenakan mereka tidak ingin dianggap menentang nilai
dan norma yang telah digariskan agama maupun budaya. Pekerjaan rumahtangga yamg membutuhkan curahan waktu besar
membuat perempuan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal lain, bahkan sangat sedikit bahkan jarang dari istri petani yang keluar untuk membeli
bahan-bahan untuk memasak, jauh dari lingkungan mereka. Menurut informasi dari petani, menu keseharian tiap rumahtangga pada umumnya adalah sayuran
yang diolah seperti direbus atau dijadikan lalapan. Lauk seperti daging, ayam, ikan basah juga sangat jarang dikonsumsi oleh rumahtangga petani, karena bahan
makanan ini sangat jarang diperoleh di sekitar Desa Gempol Sari. Sambel terasi juga disajikan untuk menambah selera makan.
65
6.1.2.2 Kegiatan Produktif
Kegiatan produktif dalam usahatani sayuran didominasi oleh laki-laki dengan intensitas dan curahan waktu yang jauh lebih besar dibanding perempuan.
Dalam pengolahan lahan, waktu yang dicurahkan oleh petani sebesar 33,3 persen atau 240 jam perbulannya. Pengolahan lahan selalu dilakukan pada awal bulan,
karena periode tanam tumbuhan sayuran kurang lebih hanya satu bulan. Laki-laki memiliki akses dan kontrol terhadap kegiatan ini. Hal ini terjadi karena menurut
mereka, pengolahan lahan membutuhkan tenaga yang besar serta menggunakan peralatan pertanian seperti cangkul yang berbahaya bagi perempuan.
“Mencangkul itu berbahaya, tanahnya juga keras, kalo udah mencangkul capek banget. Kasian perempuan kalo mencangkul.
Berat.” Isim dan Suherman, 57 tahun dan 27 tahun
Pembelian bibit tanaman juga dilakukan oleh laki-laki pada kios Poktan. Saprotan yang dibutuhkan petani tersedia cukup lengkap pada kios ini. Petani
dapat membeli secara tunai, dicicil, bahkan berhutang dengan pembayaran dilakukan setelah petani panen dan menjual hasil produknya. Perempuan tidak
memiliki akses pada kegiatan ini, karena perempuan tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai pembelian bibit, jumlah bibit yang
dibutuhkan, serta hal lain terkait proses pertanian sayuran. Hal yang sama juga terjadi pada berbagai kegiatan usahatani lain seperti menanam, memberi pupuk,
dan menyiangi tanaman, meskipun kegiatan ini dianggap mudah dilakukan dan tidak merupakan pekerjaan yang berat. Besarnya kontrol laki-laki terhadap lahan
pertaniannya, membuat laki-laki memiliki kekuasaan penuh terhadap kegiatan dan hasil usahatani mereka.
66
Perempuan banyak dilibatkan hanya dalam kegiatan panen, yaitu mencabut sayuran. Kegiatan ini dilakukan dalam dua hari berturut-turut atau
sehari saja, tergantung besarnya lahan dan besaran tenaga yang dibutuhkan. Petani juga memakai tenaga ibu-ibu kuli cabut dalam kegiatan pencabutan sayuran ini.
Hal ini dianggap efektif, mengingat umur tanaman sayuran yang sangat pendek dan rentan karena cepat layu dan busuk.
6.1.2.3 Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Kegiatan sosial kemasyarakatan Desa Gempol Sari diantaranya yaitu: syukuran, sunatan, pernikahan, pengajian majlis ta’lim, gotong royong jarang
sekali, dan ronda. Kegiatan peringatan hari kemerdekaan juga tidak pernah dilakukan oleh masyarakat setempat. Selain itu, belum pernah diselenggarakan
pagelaran kesenian budaya masyarakat setempat, yang dapat menjadi ciri khas kawasan tersebut. Minimnya kegiatan yang diselenggarakan dalam lingkup desa,
berdampak pada kurangnya rasa keterikatan yang dijalin antar masyarakat. Kegiatan sosial kemasyarakatan pada hakikatnya merupakan salah satu media
guna mempererat hubungan bermasyarakat, sekaligus sarana pertukaran informasi diantara masyarakat. Namun hal ini tidak terbentuk pada masyarakat Desa
Gempol Sari. Kelompok tani Rawa Banteng juga sangat jarang melakukan pertemuan,
seperti rapat antar-petani. Pertemuan rutin petani justru baru dilakukan penjadwalan pada saat penelitian skripsi ini sedang berlangsung. Hal ini sangat
disayangkan, karena banyak petani yang tidak mendapatkan informasi terkait usahatani sayuran. Sehingga proses pertanian secara umum hanya dilakukan
berdasarkan pengalaman masing-masing petani saja. Rapat desa maupun
67
kecamatan juga sangat jarang dilakukan. Meskipun ada pertemuan, petani yang dilibatkan juga terbilang sangat sedikit. Pada umumnya laki-laki yang menghadiri
rapat dengan alasan bahwa hal ini dianggap lebih efektif karena laki-laki sebagai kepala keluarga diyakini akan menyampaikan informasi terkait permasalahan desa
kepada anggota rumahtangga mereka. Penyuluhan di bidang kesehatan ibu dan anak sangat jarang
diselenggarakan. Namun, jika diadakan, perempuan-lah yang menghadiri penyuluhan ini. Perempuan dipilih karena tema dan informasi yang diperoleh
akan berguna untuk kesejahteraan keluarga. Pembahasan terkait kesehatan ibu dan anak merupakan permasalahan yang melekat erat dengan peranan perempuan
pada sektor domestik. Penyuluhan ini biasanya dilakukan di posyandu dengan jadwal yang tidak rutin setiap bulannya. Selain di posyandu pengetahuan
mengenai kesehatan ibu dan anak serta keluarga juga bisa didapatkan di puskesmas pembantu yang juga dijadikan sarana kesehatan di Desa Gempol Sari.
6.1.3 Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga Petani Sayuran
Pengambilan keputusan merupakan hal terpenting, guna melihat interaksi antar-anggota keluarga pada alur penentuan keputusan rumahtangga. Dalam
penelitian ini, akan dikaji pengambilan keputusan pada tiga aspek, yaitu reproduktif, produkti, dan sosial kemasyarakatan. Kategori yang digunakan untuk
mengukur tingkat pengambilan keputusan yaitu kategori rendah, sedang dan tinggi. Berikut adalah data terkait pengambilan keputusan pada rumah tangga
kelompok tani sayuran desa Gempol Sari.
68
Tabel 20. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari, 2009
Pengambilan Keputusan Jumlah n
Persentase Reproduktif
Rendah 0,00
Sedang 31
100,00 Tinggi
0,00 Total
31 100,0
Produktif Rendah
20 65,0
Sedang 11
35,0 Tinggi
0,0 Total
31 100,0
Sosial Kemasyarakatan Rendah
29 94,0
Sedang 2
6,0 Tinggi
0,0 Total
31 100,0
Keterangan: Rendah = pengambilan keputusan hanya dilakukan sepihak, baik istri saja atau
suami saja, Sedang = pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama, namun masih
didominasi oleh salah satu pihak istri atau suami, dan Tinggi = pengambilan keputusan dilakukan secara setara antara suami dan istri
Berdasarkan Tabel 20 dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan
dalam kegiatan reproduktif masih menujukkan dominasi perempuan atas laki-laki, mengingat pekerjaan ini adalah ranah kerja perempuan dalam rumahtangga. Akan
tetapi, untuk sektor lain seperti produktif dan sosial kemasyarakatan, terjadi ketimpangan dimana 20 persen dari rumahtangga petani, dalam pengambilan
keputusan tergolong pada kategori rendah. Hal ini mengindikasikan pengambilan keputusan terkait kegiatan produktif hanya ditentukan oleh satu pihak, yaitu laki-
laki. Selain itu, 11 persen dari rumahtangga petani melakukan pengambilan keputusan secara bersama, namun masih didominasi oleh laki-laki pada
pengambilan keputusan akhir.
69
Pengambilan keputusan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan diputuskan oleh laki-laki, ditunjukkan dengan data sebesar 29 persen Tabel 20. Hal yang
terlihat dari sebaran data tersebut yaitu perempuan relatif tidak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan dalam rumahtangga. Keputusan suami
sebagai kepala rumahtangga adalah mutlak. Terbatasnya peran yang diberikan pada perempuan, seolah telah menjadi
suatu budaya dan pola pikir baku bagi perempuan. Sehingga membuat perempuan tidak menyadari ketimpangan yang terjadi dalam rumahtangga. Ketimpangan
tersebut meliputi hak atas berpendapat, hak atas kesempatan dalam kegiatan lain selain domestik, hak untuk dihargai seperti yang diperoleh oleh laki-laki
sebagai kepala keluarga, hak berinteraksi dengan dunia luar, hak berkumpul dengan para istri ataupun tetangga mereka, hak atas kredit, dan hak terlibat dalam
kegiatan usahatani. Kenyataan bahwa perempuan mengalokasikan sebagian besar waktu
mereka 19,9 jam perhari untuk melakukan kegiatan domestik, sama sekali tidak mendapat penghargaan karena kegiatan ini dianggap telah menjadi kodrat
perempuan secara lahiriah. Ketidakmerataan akses dan kontrol terhadap berbagai sumberdaya ekonomi ini terjadi karena peran gender perempuan yang terbentuk
dalam masyarakat menimbulkan marginalisasi status mereka. Hal ini tercermin pada tidak diakuinya jam kerja perempuan sebagai kerja produktif. Kenyataan
tersebut berdampak pada lemahnya tawar menawar dalam rumahtangga, sehingga mempengaruhi secara timbal balik kesempatan perempuan dalam mengakses
sumberdaya. Lemahnya posisi tawar pada perempuan ini dilihat dari kurangnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan dalam berbagai kegiatan. Selain
70
itu, posisi tawar ini juga meperlihatkan kurangnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, sehingga perempuan cenderung menerima dan
menjalankan setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh kepala rumahtangga, yaitu suami.
6.2
Hubungan Faktor-faktor Terpilih dengan Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah
Relasi gender suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki terlihat pada lingkup gagasan, praktik, dan representasi yang meliputi pembagian
kerja, peranan, serta alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Konteks dalam relasi gender yang menjadi sorotan utama pada penelitian ini hanya terbatas
pada pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga petani, dikarenakan pola pengambilan keputusan akan lebih menggambarkan arus kekuasaan yang terjadi
dalam rumahtangga. Pola pengambilan keputusan juga dapat menggambarkan siapa yang
melakukan apa, siapa yang memiliki tanggungjawab atas apa, dan siapa yang memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan atas apa. Masing-masing faktor
dinilai memiliki hubungan yang signifikan terhadap relasi gender. Hal ini dibuktikan dengan melakukan uji korelasi spearman yang terlihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari, 2009
Variabel Faktor yang Berhubungan
Relasi Gender
X
1
Karakteristik Pribadi
Umur 0,776
Pendidikan 0,944
Lama berusahatani 0,858
Pendapatan 0,822
Tingkat kekosmopolitan 0,816
71
Tabel 21 lanjutan
Variabel Faktor yang Berhubungan
Relasi Gender
X
2
Aksesibilitas informasi petani
0,572 X
3
Lingkungan
Budaya 0,609
Penguasaan asset akonomi 0,827
Interaksi petani dengan tokoh masyarakat 0,429
Keterangan: berhubungan nyata p 0,05;
berhubungan sangat nyata p 0,01
Berdasarkan data pada Tabel 21 terlihat bahwa hubungan yang dibentuk antara faktor pengaruh terhadap relasi gender memiliki hubungan yang sangat
nyata serta nyata. Data tersebut menunujukkan bahwa masing-masing faktor yang diukur memiliki pengaruh terhadap perubahan relasi gender dalam rumahtangga
petani sayuran di Desa Gempol Sari. Pengaruh umur terhadap relasi gender ditunjukkan dengan nilai korelasi
r
s
0,776 dengan P – value α α = 0,01, Tabel 21. Sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan bahwa umur yang dimiliki oleh petani berkisar antara 23
hingga 70 tahun dengan proporsi umur produktif 15 tahun hingga 65 tahun lebih besar. Faktor umur yang tergolong produktif, menyebabkan keinginan untuk
bekerja dan tanggungjawab yang dimiliki laki-laki terhadap keluarganya dikategorikan tinggi. Faktor budaya juga memiliki dampak yang cukup besar
dalam mengembangkan pola pikir laki-laki. Budaya telah menggariskan tanggungjawab suami adalah menafkahi rumahtangganya serta memiliki
kekuasaan penuh terhadap pengambilan keputusan dalam keluarga. Pada umur petani yang lebih tua dari 65 tahun, petani lebih kooperatif
dalam membagi peranan dalam rumahtangga. Mereka telah memberikan akses kepada istri untuk melakukan beberapa kegiatan usahatani dan membuka
72
kesempatan bagi istri untuk turut memberi masukan dalam pengambilan keputusan, walaupun dalam pengambilan keputusan akhir masih didominasi oleh
laki-laki sebagai suami. Artinya adalah bukan berarti relasi yang terbentuk antara laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga mengindikasikan bahwa
rumahtangga petani telah sadar gender, namun lebih kepada terbukanya peluang yang diberikan kepada istri untuk ikut serta dalam menambah penghasilan
rumahtangga. Fakta diatas sejalan dengan data kualitatif yang diperoleh dari pengamatan
terhadap beberapa informan. Menurut pengamatan dan wawancara yang dilakukan, menunjukkan bahwa perempuan dengan usia di atas 50 tahun memiliki
peranan yang cukup besar dalam rumahtangga mereka. Hal ini dikarenakan sebagian dari mereka telah menjadi janda dan sebagian lagi memiliki suami
dengan umur yang cukup tua. Di dalam rumahtangga mereka, istri dapat melakukan kegiatan di luar rumah dengan menjadi kuli cabut untuk menambah
penghasilan rumahtangga. Pada umumnya perekonomian mereka juga kurang baik, sehingga istri juga dibebankan tanggungjawab tambahan disamping
mengurus urusan rumahtangga. Pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap relasi
gender dalam rumahtangga. Hal ini ditunjukkan oleh data pada Tabel 21, dimana hubungan antara pendidikan dan relasi gender memiliki nilai korelasi r
s
0,944 dengan tingkat akurasi 99 persen. Kondisi ideal yang diharapkan adalah
kesempatan mendapatkan pendidikan dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan hidup bagi keduanya.
Kesempatan yang sama ini akan berpengaruh terhadap relasi antara laki-laki dan
73
perempuan, dimana perempuan tidak lagi dinomorduakan serta dapat menjadi mitra dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi, kenyataanya adalah pendidikan
petani masih tergolong rendah. Rendahnya pendidikan menjadi faktor pendukung terus berkembangnya suatu pola pikir yang telah menjadi budaya bahwa
perempuan hanya tokoh nomor dua dalam rumahtangga, yang harus patuh terhadap suami. Rendahnya pendidikan suami pun turut berpengaruh
melanggengkan budaya patriarkhi. Hal ini dikarenakan mereka akan tetap terpengaruh didikan yang didapat dari orangtua dan keluarga mereka terdahulu
tanpa dipengaruhi oleh pola pikir yang lebih maju. Pola yang lebih maju pikir seperti ini dapat mereka peroleh melalui jalur pendidikan formal.
Lama berusahatani juga memiliki hubungan yang nyata dengan relasi gender, hal ini ditunjukkan dengan hasil uji korelasi spearman yang bernilai r
s
0,816 dimana tingkat kepercayaan 99 persen. Data ini mengindikasikan bahwa
lama berusahatani memberikan pengaruh terhadap relasi gender di dalam rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari.
Petani sayuran di Desa Gempol Sari sebagian besar memulai usahatani mereka kurang dari 10 tahun. Sehingga pada umumnya petani sayuran kurang
memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai usahatani sayuran. Difusi inovasi serta pengetahuan hanya terbatas pada kelompok tani, dan kelompok tani
hanya didominasi kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki akses yang besar dalam kelompok tani, dikarenakan keterlibatan dalam kelompok tani
membutuhkan alokasi waktu yang lebih besar dan hal ini sangat berpotensi mengurangi waktu mereka untuk melakukan kegiatan domestik. Sehingga laki-
laki memutuskan untuk tidak melibatkan perempuan dalam kelompok tani.
74
Subfaktor tingkat kekosmopolitan petani juga memiliki hubungan yang sangat nyata berdasarkan hasil uji korelasi spearman dengan nilai korelasi r
s
0,816 dan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kekosmopolitan petani memiliki pengaruh terhadap perubahan relasi
gender dalam rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari. Tingkat kekosmopolitan petani yang tergolong rendah merupakan
salahsatu alasan kurangnya perolehan informasi dan keterbukaan petani terhadap informasi lain, termasuk permasalahan gender. Pengetahuan tentang permasalahan
gender terikat pada interaksi dengan seseorang atau pihak lain yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang gender, umumnya hal tersebut berada di
luar lingkungan petani. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh hubungan antara tingkat pendapatan
dan relasi gender. Tingkat pendapatan berdasarkan hasil uji korelasi spearman memiliki hubungan yang sangat nyata dengan nilai korelasi r
s
sebesar 0,822 dengan tingkat kepercayaan sebesar 99 persen.
Hal di atas berarti nilai pengukuran variabel tingkat pendapatan yang rendah dari petani, berhubungan positif dengan relasi gender. Apabila terjadi
kenaikan pada salah satu variabel, maka akan berdampak pada naiknya variabel pembanding. Data tersebut juga ditunjang oleh fakta di lapangan bahwa sebagian
besar petani sayuran di Desa Gempol Sari memiliki pendapatan yang rendah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat pendidikan serta tingkat kekosmopolitan
mereka. Kedua hal inilah yang dapat menjadi faktor positif terhadap penurunan pemahaman tentang relasi gender.
75
Angka koefisien peringkat spearman r
s
yang bertanda positif, menunjukkan bahwa terdapat hubungan searah antara tingkat aksesibilitas
informasi petani pada usahatani dan gender dengan relasi gender dalam rumahtangga. Tingginya frekuensi terhadap akses serta kedekatan petani terhadap
informasi menjadi faktor penentu dari keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga mereka.
Selain itu, ketersediaan media informasi seperti televisi dan radio belum dimanfaatkan secara maksimal. Suami lebih banyak menghabiskan waktu mereka
di lahan pertanian untuk melakukan kegiatan produksi, sedangkan istri selalu disibukkan dengan kegiatan rumahtangga dimulai dari menyiapkan persiapan
suami ke sawah, mempersiapkan keperluan anak-anak, menyediakan makanan, melakukan kegiatan sehari-hari di rumah seperti menyetrika, mencuci baju dan
sebagainya. Menyalakan televisi biasanya dilakukan pada sore hari, dimana televisi hanya sekedar dijadikan sarana hiburan guna melepas lelah. Tidak
terdapat upaya mereka untuk menggali informasi dari media televisi maupun radio, padahal cukup banyak informasi yang dapat menunjang kegiatan mereka
termasuk pula informasi yang akan memberi pemahaman tentang relasi gender. Menurut data hasil uji spearman pada Tabel 21 terlihat bahwa terdapat
hubungan yang sangat signifikan antara berbagai faktor, dengan relasi gender. Nilai rata-rata pengukuran hubungan tersebut yaitu p – value 0,000 dengan tingkat
kepercayaan 99 persen α = 0,001. Namun, pada sub-faktor interaksi dengan tokoh masyarakat p – value yang diperoleh adalah 0,016 dengan tingkat
kepercayaan 95 persen α = 0,05. Data ini menunjukkan adanya kedekatan antara responden dengan tokoh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dengan
76
kedekatan yang relatif tinggi. Akan tetapi, kedekatan yang tinggi tersebut tidak bersamaan dengan kenaikan keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga. Hal
ini dikarenakan kedekatan mereka dengan tokoh masyarakat hanya sebatas pada saling mengenal, saling berinteraksi dan mengadakan pertemuan, tidak ada
pertukaran informasi yang mampu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan terkait permasalahan gender.
Keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga berhubungan oleh budaya yang berkembang dan mengikat pada masyarakat secara umum. Berdasarkan
observasi yang dilakukan peneliti, terlihat bahwa kedudukan perempuan sangat terikat dengan kesibukan domestik yang telah menjadi kewajiban bagi mereka.
Budaya juga menghambat perempuan untuk mendapatkan akses bahkan kontrol terhadap berbagai sumberdaya yang tersedia.
Hal lain yang terlihat pada penelitian ini yaitu terdapat hubungan sangat nyata antara luas lahan, dengan keterlibatan perempuan dalam berusaha tani.
Semakin besar luas lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin besar kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam usahatani. Hal ini dikarenakan
banyaknya pengeluaran yang dibutuhkan petani seiring besarnya luas lahan, sehingga perempuan dilibatkan dengan tujuan untuk mengurangi biaya produksi.
77
7. KESIMPULAN DAN SARAN