6
2.
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Gender
Gender menurut pendapat Wood 2001 yang dicuplik oleh Mugniesyah
2005 merupakan suatu bentukan atau kontruksi sosial mengenai perbedaan peran, fungsi, serta tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta
bagaimana laki-laki berperilaku maskulin dan perempuan berperilaku feminin menurut budaya yang berbeda-beda. Relasi gender secara lebih luas dapat
dikatakan sebagai sebuah faktor penentu yang dapat menentukan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, sumberdaya, kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan
dalam bergerak dan kebebasan dalam menentukan pilihan. Relasi gender dapat berubah dan berbeda dari satu budaya, kawasan dan wilayah tertentu. Istilah
gender merupakan penafsiran masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan yang
terjadi dalam waktu yang lama mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan masyarakat sehingga menjadi suatu kebudayaan yang kerapkali mempengaruhi
interaksi antar-masyarakat laki-laki dan perempuan Fakih 1996. Konsep gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan dikotomi sifat
perempuan dan laki-laki yang dikontruksikan oleh sistem nilai budaya dan struktur sosial dimana perempuan dan laki-laki menjadi anggotanya dan kemudian
menentukan peranan dan status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bernegara. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis
gender perlu dilakukan dalam tingkatan keluarga, masyarakat, dan negara. Di tingkat keluarga atau rumahtangga, analisis gender dilihat dari 1 pembagian
7
kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan pengelolaan kelembagaan masyarakat serta curahan waktu dalam kegiatan
tersebut, 2 akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya keluarga lahan, anak, harta, dan pendidikan. Di tingkat masyarakat, analisis gender menyoroti
akses dan kontrol laki-laki serta perempuan terhadap sumberdaya yang mencakup informasi, kredit, teknologi, pendidikanpenyuluhan pelatihan, sumberdaya alam,
peluang bekerja, dan berusaha, sementara di tingkat negara atau pemerintahan dapat dipelajari melalui kebijaksanaan pembangunannya Connel 1988; Feldstein
dan Poats 1989; FAO 1990; Anonymous 1991 dalam Mugniesyah 2002. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menimbulkan permasalahan
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender gender inequalities. Namun, yang menjadi persoalan adalah jika perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi
korban dalam sistem tersebut. Perbedaan gender dapat menimbulkan permasalahan seputar ketidakadilan gender yang mencakup stereotipe, beban
kerja, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan. Fakih 1996. Menyusul pernyataan tersebut, Mugniesyah mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin
telah mempengaruhi manusia untuk memberi persepsi identitas peranan gender atau mengakibatkan perbedaan peranan gender Mugniesyah 2006.
Perbedaan seks seringkali menjadi landasan masyarakat untuk mengotakkan peran perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan yang berperan
sebagai ibu dengan kemampuan reproduktif untuk melahirkan dan menyusui membawa masyarakat untuk menempatkan perempuan ke dalam peran-peran
8
pengasuhan yang berkorelasi dengan ”ibu”. Sedangkan laki-laki diberikan status sebagai ”si pencari nafkah”. Status ini mewajibkan mereka untuk berupaya
terhadap pemenuhan nafkah keluarga yang kemudian menjadikan peran produktif dekat dengan laki-laki Mugniesyah 2006.
Peran dan Relasi Gender
Peran gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Adapun yang
dimaksud dengan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas,
tugas-tugas, dan tanggungjawab tertentu dipersepsikan sebagai peran perempuan dan laki-laki. Moser 1993 berpendapat seperti yang telah dicuplik oleh
Mugniesyah 2006 mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender yaitu: 1.
Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaranupah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk
produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtanggasubsisten dengan nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya: kegiatan
bekerja baik di sektor formal maupun informal. 2.
Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggungjawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin
pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. Contoh: melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air,
memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan lain sebagainya.
9
3. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan ini dibedakan ke dalam
dua kategori berikut: a.
peranan pengelolaan masyarakat kegiatan sosial, yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai
kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela volunteer, dan tanpa upah.
b. pengelolaan masyarakat politik, yakni peranan yang dilakukan pada
tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya
dibayar langsung
ataupun tidak
langsung, dan
meningkatkan kekuasaan atau status. Peranan gender berhubungan dengan relasi gender yang menurut Agarwal
1994 dalam Mugniesyah 2006 diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan, praktik dan
representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan.
Grijins dkk 1992 menegaskan bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan masih dipengaruhi oleh nilai dan norma masyarakat, dimana
semua jenis pekerjaan yang bersifat domestik atau feminin yang menggunakan teknologi tradisional yang tidak memerlukan tenaga kerja yang kuat dominan
dikerjakan oleh perempuan.
Kesetaraan dan Keadilan Gender
Menurut konsep ILO dalam Mugniesyah 2007, pengertian tentang keadilan gender gender equity merupakan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan
perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhan mereka, mencakup perlakuan
10
setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan, dan manfaat.
Selanjutnya, kesetaraan gender gender equality adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk
mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotipe, prasangka, dan peran gender yang kaku.
Dalam hal ini kesetaraan gender bukanlah berarti laki-laki dan perempuan menjadi sama, akan tetapi pada hak-hak, tanggungjawab, dan kesempatan mereka
yang tidak ditentukan karena mereka terlahir sebagai laki-laki dan perempuan ILO 2001 dalam Mugniesyah 2007.
2.1.2 Usahatani dan Rumatangga Pertanian
Definisi usahatani menurut Rifai dalam Soehardjo 1973 ialah setiap organisasi dari alam tenaga kerja dan modal, yang ditujukan pada produksi di
lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang. Dari batasan itu dapat diketahui bahwa
usahatani terdiri atas manusia petani bersama keluarganya, tanah bersama dengan fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air, dan
tanaman ataupun hewan ternak. Usahatani merupakan unit usaha yang dilakukan oleh petani dalam mempengaruhi komponen agroekosistem dan interaksinya
untuk mendapatkan hasil dalam bentuk tanaman, ternak, ikan baik di lahan basah maupun lahan kering, dimana hasilnya dimaksudkan untuk digunakan oleh
keluarganya sendiri atau dijual untuk mencapai status sosial serta untuk konservasi tanah, air, dan keanekaragaman hayati Baliwati 2001. Kemudian
menurut Fardiyanti dalam Sunarso 2005 usahatani adalah kegiatan pertanian
11
yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan untuk produksi di bidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang memanfaatkan
faktor produksi sumberdaya modal, tenaga kerja dan alam dalam proses produksinya untuk diolah guna menghasilkan produk yang berguna bagi
kelangsungan hidup manusia baik dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan secara subsisten ataupun secara komersil.
Menurut Moser dalam Soehardjo 1973 pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi, dan mengkoordinasi
penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Pengelolaan usahatani terdiri dari beberapa
tahapan pengambilan keputusan. Selanjutnya, dalam pengambilan keputusan menurut Moser dalam Soehardjo 1973, petani dihadapkan pada berbagai prinsip
usahatani yaitu: 1.
Penentuan perkembangan harga. Pengetahuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan
diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku.
2. Kombinasi beberapa cabang usaha.
Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang
setinggi-tingginya dalam setahun.
12
3. Pemilihan cabang usaha.
Penentuan cabang usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, dan keadaan harga di waktu
cabang usaha itu menghasilkan. 4.
Penentuan cara produksi yang terdiri dari penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam, dan sebagainya.
5. Pembelian saran produksi yang diperlukan.
Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk, atau membeli peralatan.
6. Pemasaran hasil pertanian.
Masalah pemasaran yang sering dihadapi adalah waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang
digunakan, dan lain-lain. 7.
Pembiayaan usahatani yaitu biaya jangka panjang biaya pengembangan dan perluasan usaha dan biaya jangka pendek biaya pertanaman, biaya perbaikan
alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen.
8. Pengelolaan modal dan pendapatan.
Perubahan usahatani ke arah yang lebih komersil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang
mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk konsumsi keluarga.
Sehubungan dengan rumahtangga pertanian, Nurhilailah 2003 dalam Hartomo 2007
menyatakan bahwa rumahtangga pertanian adalah rumahtangga
13
yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, budidaya ikan,
melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak seperti unggas atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh
hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani monokultur sayuran adalah rumahtangga yang
salahsatu atau lebih anggota rumahtangga memiliki kegiatan utama mengusahakan tanaman sayuran dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya
dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atau resiko sendiri. Roger dan Shoemaker dalam Hartomo 2007 menyatakan terdapat tiga
karakteristik yang melekat pada masyarakat petani sebagai adopter inovasi yaitu status sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial
ekonomi meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi usaha, dan sikap terhadap kredit.
Karakteristik kepribadian diantaranya empati, dogmatisme, sikap terhadap perubahan, sikap terhadap resiko, aspirasi terhadap pekerjaan dan pendidikan,
serta motivasi, sementara perilaku komunikasi mencakup partisipasi sosial, integrasi sosial, perilaku kosmopolit, serta kontak dengan penyuluh, dan media
massa. Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik petani adalah ciri-ciri
yang melekat pada individu petani yang dapat membedakannya dengan petani lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik pribadi petani akan dibatasi pada
lingkup: 1 pendidikan formal yang dialami petani, 2 umur, 3 pengalaman berusahatani, 4 pendapatan, dan 5 tingkat kekosmopolitan petani.
14
Istilah pendidikan yang dibatasi oleh Padmowihardjo 1994 dalam Subagio 2008 adalah sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku
berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman-pangalaman yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat. Lebih lanjut, Winkel 2006 dalam Subagio 2008
menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku.
Pendidikan yang diperoleh secara garis besar meliputi pendidikan formal dan nonformal.
Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan yang dimiliki dalam melakukan aktivitas atau usaha. Selanjutnya, pengalaman berusahatani
dapat memiliki makna sebagai sesuatu yang pernah dirasakan, dialami, dan ditanggung oleh petani yang terkait dengan berbagai macam kegiatan pada
pertanian dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani yaitu memperoleh pendapatan bagi kebutuhan hidup petani dan
keluarganya. Adapun tingkat kekosmopolitan menurut Murdikanto 1993 dalam Subagio 2008 adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar
sistem sosialnya sendiri. 2.1.3 Relasi Gender dalam Usahatani
Status sosial perempuan tani dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu kedudukan sosial petani dalam kelompok sosial. Kedudukan sosial tersebut
sangat berkaitan dengan lingkungan, prestise, hak, dan kewajiban. Talcott dalam Sunarto 1988, mengemukakan beberapa macam sumber status, yaitu
keanggotaan dalam famili, kualitas pribadi, prestasi, pemilikan wewenang, dan kekuasaan. Dalam masyarakat petani, biasanya status sosial dikaitkan dengan
15
jabatan atau kekuasaan seseorang dalam pemerintahan atau kepemimpinan suatu struktur masyarakat maupun pengakuan dalam masyarakat terhadap kelebihan-
kelebihan yang dimiliki seseorang secara informal kekayaan, kepribadian, kepandaian, atau prestasi dalam keagamaan. Semakin tinggi status sosial
seseorang biasanya akan memiliki akses yang tinggi pula dalam berbagai kegiatan dalam pembangunan pertanian yang berdampak pada keberdayaan petani.
Status perempuan tani dalam keluarga dan rumahtangga, serta masyarakat luas berdasar peranannya yang banyak menurut Sajogyo 1985 dalam Palit
2009 adalah: 1 selain sebagai ibu rumahtangga dalam keluarga masing-masing, perempuan berperan juga sebagai tenaga kerja dalam keluarga domestik yang
tidak mendatangkan hasil secara langsung. Namun demikian, perempuan dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja dalam keluarga tersebut memberikan
dukungan bagi anggota lain untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan peluang kerja yang ada, 2 di lain pihak, sesuai dengan perkembangan masyarakat agraris,
terlihat dengan nyata perempuan sebagai tenaga kerja di bidang pencarian nafkah mendatangkan hasil secara langsung.
Usahatani keluarga dipimpin oleh kepala keluarga yang pada umumnya adalah seorang laki-laki. Sebagai kepala keluarga laki-laki berperan memutuskan
segala sesuatunya yang bersangkutan dengan operasi usahatani. Laki-laki memutuskan tanaman atau hewan apa yang akan diusahakan, kapan waktu
bertanam, kapan menjual hasil, dan sebagainya. Disamping itu, sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memimpin dan melindungi keluarganya. Dengan
demikian tujuan usahataninya berhubungan erat dengan kepentingan hidup keluarganya. Akhirnya, petani juga adalah seorang manusia yang hidup di tengah-
16
tengah masyarakatnya. Sebagian besar usahatani keluarga tidak memiliki pemisah yang jelas antara pengeluaran untuk keperluan hidup rumahtangganya dengan
keperluan usahataninya. Analisis pendapatan yang tepat sukar dilakukan pada usahatani yang demikian. Usahatani yang kompleks ini banyak terdapat di daerah-
daerah dengan tanah usahatani sempit Soehardjo 1973. Mengacu kepada analisis gender yang digunakan dalam studi ini relasi
gender dilihat dengan membahas tiga peranan dalam pertanian yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif, dan kegiatan sosial. Hal ini lebih ditekankan pada:
1 pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan reproduktif, 2 pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan usahatani dengan rincian
menurut komoditi yang diusahakan petani dalam musim tanam dan usaha ternak, 3 curahan waktu dalam kegiatan produktif pertanian dan non-pertanian
serta kegiatan sosial dengan referensi waktu satu bulan, 4 akses dan kontrol terhadap beragam sumberdaya, dan 5 analisis ekonomi di tingkat rumahtangga
petani Fardiaz 1996. Relasi gender dalam rumahtangga petani menurut penelitian Pudjiwati
1981, menyatakan bahwa nilai-nilai gender masih sangat kuat dianut masyarakat. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar kegiatan reproduksi lebih
didominasi oleh perempuan dalam hal curahan waktu. Lebih jauh, Fardiaz 1996 mengemukakan bahwa usahatani hortikultura
menyerap tenaga kerja laki-laki dan perempuan, baik dari dalam keluarga maupun di luar keluarga. Tingginya penggunaan tenaga kerja pada usahatani hortikultura
ini, karena komoditi yang diusahakan berupa tanaman kentang, bunga kol, kol,
17
dan caisim yang selain intensif dalam penggunaan input produksi pupuk dan pestisida dan modal juga intensif dalam penggunaan tenaga kerja.
2.1.4 Analisis Gender Kajian terhadap konsep analisis gender dalam pembangunan secara