Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah (Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)

(1)

(Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan

Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)

SINTA RAHMI PUTRI

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

Lowlands (Case of farmer households of Rawa Banteng, Gempol Sari Village, District of East Sepatan, Tangerang District, Banten Province) under guidance of AIDA VITAYALA S. HUBEIS)

Gender inequalities often occur tend to make women as subjects who are always harmed, particularly for rural women. More detailed study aims to look at and identify the factors associated with gender relations, and analyzing gender relations in peasant households in particular horticultural commodity vegetables. These factors are: farmers characteristic, farmers' accessibility to information, and environmental factors. While gender relations are analyzed by looking at the access, control, division of works and decision-making within households.

The method used is a quantitative approach that is supported by qualitative analysis to provide a broad picture of gender relations within households. Quantitative data obtained are processed by using Microsoft excel 2007, to tabulate the frequency, and SPSS 15.0 was used to measure the correlation between variables using Spearman rank analysis. While qualitative data are presented descriptively.

This research produced some gender inequalities in a flow amount of time charged to the women of 19.9 hours per day. In addition, women's limited access is clearly seen, where women are only given a chance in harvest period in whole the production process, in addition to their obligations in domestic activities. Most of the productive activities performed by men.

Keyword: gender inequalities, access, control, division of works and decision-making


(3)

SINTA RAHMI PUTRI. Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah. (Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten) (di bawah bimbingan AIDA VITAYALA S. HUBEIS)

Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tidak diimbangi dengan akses dan kontrol perempuan terhadap sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa mayoritas perempuan di perdesaan kurang memiliki akses terhadap sumberdaya pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Fakta lainnya adalah terdapatnya ketimpangan terhadap perempuan dimana upah yang diterima oleh perempuan hanya 70 persen dari upah laki-laki, kebanyakan rumahtangga miskin dikepalai oleh perempuan, dan lebih dari 43 persen pengangguran di desa adalah perempuan. Di samping itu, yang membebani perempuan adalah tanggungjawab domestik menyebabkan perempuan perdesaan bekerja lebih lama dengan curahan waktu rataan 16 jam perhari.

Ketimpangan dalam perlibatan laki-laki dan perempuan dalam usahatani baik partisipasi dalam kegiatan maupun dalam pengambilan keputusan menyebabkan salahsatu pihak yang kebetulan adalah perempuan ditempatkan pada posisi subordinat, meskipun kebanyakan dari hal tersebut tidak disadari oleh perempuan itu sendiri.

Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimana relasi gender yang terdapat di dalam rumahtangga petani sayuran di kawasan dataran rendah, Desa Gempol Sari. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran, dan menganalisis relasi gender petani dalam rumahtangga dengan melihat tiga aspek penting yaitu, akses dan kontrol, pembagian kerja dan pengambilan keputusan dalam rumahtangga.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survai yang didukung dengan pendekatan kualitatif dengan


(4)

informasi lebih jauh tentang cara masyarakat mengelola usahatani.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumahtangga petani yang terdaftar ke dalam Poktan Rawa Banteng di Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten yakni sebanyak 45 rumahtangga. Responden adalah anggota rumahtangga petani baik laki-laki (suami) atau perempuan (istri) yang terlibat dalam usahatani. Dari 45 anggota Poktan Rawa Banteng tersebut, dipilih 31 rumahtangga petani secara acak sederhana (simple random sampling) dengan menggunakan rumus Slovin dengan nilai kritis sebesar 10 persen. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan microsoft office excel 2007, untuk tabulasi frekuensi, kemudian SPSS 15.0 dengan memakai analisis Rank Spearman untuk mengukur korelasi antarvariabel. Data kualitatif disajikan secara deskriptif yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi langsung di lapangan. Analisis kualitatif dilakukan untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah faktor-faktor terpilih seperti karakteristik pribadi petani, aksesibilitas informasi dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat signifikan dan bernilai positif melalui uji korelasi

spearman dengan nilai nilai P – value < α, dimana uji berlaku pada tingkat kepercayaan 99 persen (α = 0,01).

Curahan waktu terbanyak dimiliki oleh perempuan dewasa dengan ranah kegiatan reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan dengan rataan 19,9 jam perharinya. Curahan waktu ini mayoritas dihabiskan oleh perempuan di sektor domestik dengan ragam kegiatan seperti mencuci, memasak, mengasuh anak, dan menyiapkan keperluan suami atau melayani suami. Sedangkan keterlibatan perempuan di kegiatan produktif sebagian besar terbatas pada mencabut dan mengikat sayuran pada akhir periode tanam. Sedangkan, curahan waktu laki-laki adalah 15,4 jam perharinya dengan mayoritas kegiatan yang dilakukan adalah di sektor produktif yaitu mengelola lahan pertanian sayuran dengan memegang kontrol terhadap praproduksi hingga pemasaran. Curahan waktu laki-laki pada


(5)

Pola pengambilan keputusan yang terdapat di dalam rumahtangga petani masih didominasi oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Perempuan hanya memiliki dominasi kekuasaan dalam mengambil keputusan pada kegiatan domestik. Meskipun demikian keputusan secara dominan masih dipegang oleh laki-laki sebagai kepala dalam rumahtangga.


(6)

(Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari,

Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)

Oleh:

SINTA RAHMI PUTRI

I34053342

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Fakultas Ekologi Manusia

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala. S. Hubeis, MSc 19470928 197503 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS 19550630 198103 1 003

Tanggal Lulus:_______________________ Nama : Sinta Rahmi Putri NRP : I34053342

Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran

Dataran Rendah (Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)


(8)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

”RELASI GENDER PADA RUMAHTANGGA PETANI SAYURAN DATARAN RENDAH (KASUS PETANI RUMAHTANGGA PETANI RAWA BANTENG, DESA GEMPOL SARI, KECAMATAN SEPATAN TIMUR, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MENAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Januari 2010

Sinta Rahmi Putri I34053342


(9)

juli 1987, sebagai anak ketujuh dari pasangan Bapak Thamrin Chan dan Ibu Sumarni.

Pada tahun 1999 penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 07 Bukittinggi, Kecamatan ATTS. Kemudian pada tahun 2002 penulis juga menamatkan pendidikannya di SLTPN 02 Bukittinggi, Kelurahan Tarok Dipo. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN 3 Bukitinggi dan lulus pada tahun 2005.

Pada tahun yang sama penulis di terima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

Selama menempuh kegiatan akademik, penulis pernah aktif sebagai staf Divisi Research dan Pengembangan Masyarakat pada Himpunan Profesi Mahasiswa, HIMASIERA pada tahun 2007. Kemudian penulis juga pernah menjadi Wakil Bendahara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2008. Penulis juga aktif menjadi panitia kegiatan kemahasiswaan di lingkungan fakultas. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Komunikasi Bisnis selama dua semester pada tahun 2008.


(10)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Relasi Gender pada Rumahtangga Petani Sayuran Dataran Rendah (Kasus Rumahtangga Petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini menjelaskan mengenai relasi gender yang ada di dalam rumahtangga petani hortikultura dengan komoditas tanaman sayuran. Relasi gender dilihat dari akses, kontrol, pembagian kerja dan bagaimana pengambilan keputusan dalam rumahtangga terkait kegiatan reproduktif, produktif dan sosial kemasyarakatan.

Bogor, Januari 2010


(11)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Populasi penduduk miskin menurut data BPS (2008) di Indonesia pada bulan Maret 2008 adalah sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58%), berarti terdapat penurunan sebesar 2,21 juta orang (BPS 2008). Angka ini cukup menggembirakan dimana setiap tahunnya terjadi pengurangan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Analisis yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) mengenai penurunan angka kemiskinan yang terjadi diakibatkan oleh beberapa faktor yang salahsatu diantaranya adalah sekitar 70 persen penduduk miskin berada di daerah perdesaan dan bekerja di sektor pertanian, baik tanaman pangan maupun tanaman hortikultura (sayuran, tanaman buah-buahan, hias, dan obat-obatan). Hal ini didukung dengan data BPS (2006), dimana lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja secara berturut-turut adalah pertanian, perdagangan, dan industri dengan proporsi masing-masing sebesar 44,5 persen, 19,5 persen, dan 12,2 persen.

Pembangunan pertanian mempunyai peranan strategis dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar 44 persen dari 91 juta penduduk yang bekerja (BPS 2004). Selanjutnya, data Survai Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2009 menunjukkan bahwa dari sejumlah 104 juta penduduk berumur 15 tahun ke atas, terdapat 43 juta orang yang lapangan pekerjaan utamanya di sektor pertanian (Sakernas 2009).


(12)

Pentingnya sektor pertanian dalam penurunan jumlah penduduk yang miskin dan dalam penyediaan lapangan kerja menyebabkan banyaknya program-program pemerintahan yang menunjang perkembangan sektor pertanian di tiap daerah.

Provinsi Banten merupakan salahsatu provinsi dengan sektor unggulan pertanian yang mampu menunjang ekonomi wilayah yakni subsektor tanaman pangan dengan hasil produksi padi dan tanaman hortikultura berupa sayuran. Salahsatu agroekosistem pertanian yang sangat berperan dalam penyediaan pangan masyarakat di Provinsi Banten adalah lahan sawah. Luas lahan sawah pada tahun 2001 tercatat 202.970 ha, diantaranya seluas 113.219 ha merupakan sawah irigasi dan 89.751 ha sawah tadah hujan (BPS 2002).

Jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang tergolong paling tinggi yaitu 3.185.944 jiwa yang tersebar di 26 Kecamatan dan sebagian besar menggantungkan hidup dari sektor pertanian baik tanaman pangan maupun hortikultura dengan komoditas sayuran. Hal ini berkorelasi dengan ketersediaan produksi untuk konsumsi penduduk yang cenderung mengalami peningkatan. Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, Pemerintah Daerah menghadapi tantangan untuk dapat meningkatkan nilai tambah (ekonomi) pada sektor pertanian dengan cara menumbuhkan sistem usaha pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani, baik laki-laki maupun perempuan.

Permasalahannya adalah besarnya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian ini tidak diimbangi dengan akses dan kontrol perempuan terhadap sektor pertanian. Hal ini selaras dengan beberapa hasil penelitian terdahulu seperti Fausia dan Prasetyaningsih (2005) yang sebagian besar menyatakan bahwa mayoritas perempuan di perdesaan kurang memiliki akses terhadap sumberdaya


(13)

pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Tanpa akses dan sumberdaya yang memadai perempuan perdesaan tidak dapat menerima insentif yang cukup untuk mengelola sumberdaya alam dan konsekuensinya pembangunan perdesaan akan terhambat (Rwelamira dalam

Hartomo 2007). Perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan tersebut menjadi penyebab terjadinya kesenjangan gender. Kondisi ini pada akhirnya berdampak pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi perempuan dalam kegiatan usahatani secara keseluruhan.

Fakta lainnya terkait ketimpangan gender yang menurut Vitayala (2007) di antaranya adalah terdapatnya ketimpangan terhadap perempuan dimana upah yang diterima oleh perempuan hanya 70 persen dari upah laki-laki, kebanyakan rumahtangga miskin dikepalai oleh perempuan, dan lebih dari 43 persen pengangguran di desa adalah perempuan. Di samping itu, yang membebani perempuan adalah tanggungjawab domestik menyebabkan perempuan perdesaan bekerja lebih lama dengan curahan waktu rataan 16 jam perhari.

Keterlibatan seluruh keluarga dalam mengelola usahatani mutlak dibutuhkan. Keterlibatan perempuan memiliki peran yang besar dalam keluarga baik untuk kegiatan rumahtangga maupun kegiatan ekonomi yang dapat menunjang pendapatan rumahtangga. Perempuan (istri petani) secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan ikut bertanggungjawab dalam mengelola kegiatan usaha yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan keluarga. Selain itu, tidak saja laki-laki, bahkan perempuan juga dituntut mencurahkan pemikiran dan tenaga mereka.


(14)

Sejak persiapan lahan sampai pada pemasaran hasil produksi, perhatian terhadap perempuan masih rendah. Padahal peranan dan keterlibatan perempuan dalam pengelolaan usahatani cukup besar, terutama dalam kegiatan pengelolaan ternak, pemupukan tanaman dan pemasaran hasil (Setiani dalam Haryani 2004).

Ketimpangan dalam pelibatan laki-laki dan perempuan dalam usahatani baik partisipasi dalam kegiatan maupun dalam pengambilan keputusan menyebabkan salahsatu pihak yang kebetulan adalah perempuan ditempatkan pada posisi subordinat, meskipun kebanyakan dari hal tersebut tidak disadari oleh perempuan itu sendiri.

Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana relasi gender yang terjadi pada usahatani sayuran yang dimiliki oleh petani sayuran di daerah dataran rendah dengan melihat potret petani di Desa Gempol Sari.

1.2 Masalah Penelitian

Banyaknya fenomena-fenomena ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi dalam kehidupan menyebabkan topik pembicaraan mengenai relasi gender telah menjadi pembicaraan yang banyak diminati oleh berbagai kalangan. Perempuan dalam berbagai peran cenderung selalu ditempatkan dalam posisi yang tidak setara dalam pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang perlu dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di daerah dataran rendah?

2. Bagaimana relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di daerah dataran rendah?


(15)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yaitu:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di daerah dataran rendah.

2. Menganalisis relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran di daerah dataran rendah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik bagi peneliti sebagai upaya untuk menerapkan konsep dan teori gender dan pembangunan dalam melihat dan memahami kehidupan sosial di dalam masyarakat.

Bagi akademisi yang meminati masalah gender, diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan mengenai relasi gender yang terjadi di dalam rumahtangga petani khususnya petani sayuran di daerah dataran rendah.

Bagi pemangku kepentingan atau pemerintah penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan dalam kebijakan terkait kepentingan laki-laki dan perempuan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(16)

2. PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Gender

Gender menurut pendapat Wood (2001) yang dicuplik oleh Mugniesyah (2005) merupakan suatu bentukan atau kontruksi sosial mengenai perbedaan peran, fungsi, serta tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana laki-laki berperilaku maskulin dan perempuan berperilaku feminin menurut budaya yang berbeda-beda. Relasi gender secara lebih luas dapat dikatakan sebagai sebuah faktor penentu yang dapat menentukan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, sumberdaya, kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan dalam bergerak dan kebebasan dalam menentukan pilihan. Relasi gender dapat berubah dan berbeda dari satu budaya, kawasan dan wilayah tertentu. Istilah gender merupakan penafsiran masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan yang terjadi dalam waktu yang lama mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan masyarakat sehingga menjadi suatu kebudayaan yang kerapkali mempengaruhi interaksi antar-masyarakat (laki-laki dan perempuan) (Fakih 1996).

Konsep gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat perempuan dan laki-laki yang dikontruksikan oleh sistem nilai budaya dan struktur sosial dimana perempuan dan laki-laki menjadi anggotanya dan kemudian menentukan peranan dan status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bernegara. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis gender perlu dilakukan dalam tingkatan keluarga, masyarakat, dan negara. Di tingkat keluarga atau rumahtangga, analisis gender dilihat dari (1) pembagian


(17)

kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan pengelolaan kelembagaan masyarakat serta curahan waktu dalam kegiatan tersebut, (2) akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya keluarga (lahan, anak, harta, dan pendidikan). Di tingkat masyarakat, analisis gender menyoroti akses dan kontrol laki-laki serta perempuan terhadap sumberdaya yang mencakup informasi, kredit, teknologi, pendidikan/penyuluhan/ pelatihan, sumberdaya alam, peluang bekerja, dan berusaha, sementara di tingkat negara atau pemerintahan dapat dipelajari melalui kebijaksanaan pembangunannya (Connel 1988; Feldstein dan Poats 1989; FAO 1990; Anonymous (1991) dalam Mugniesyah 2002)).

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menimbulkan permasalahan sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan adalah jika perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut. Perbedaan gender dapat menimbulkan permasalahan seputar ketidakadilan gender yang mencakup stereotipe, beban kerja, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan. (Fakih 1996). Menyusul pernyataan tersebut, Mugniesyah mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin telah mempengaruhi manusia untuk memberi persepsi identitas peranan gender atau mengakibatkan perbedaan peranan gender (Mugniesyah 2006).

Perbedaan seks seringkali menjadi landasan masyarakat untuk mengotakkan peran perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan yang berperan sebagai ibu dengan kemampuan reproduktif untuk melahirkan dan menyusui membawa masyarakat untuk menempatkan perempuan ke dalam peran-peran


(18)

pengasuhan yang berkorelasi dengan ”ibu”. Sedangkan laki-laki diberikan status sebagai ”si pencari nafkah”. Status ini mewajibkan mereka untuk berupaya terhadap pemenuhan nafkah keluarga yang kemudian menjadikan peran produktif dekat dengan laki-laki (Mugniesyah 2006).

Peran dan Relasi Gender

Peran gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Adapun yang dimaksud dengan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas, tugas-tugas, dan tanggungjawab tertentu dipersepsikan sebagai peran perempuan dan laki-laki. Moser (1993) berpendapat seperti yang telah dicuplik oleh Mugniesyah (2006) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender yaitu: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki

untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtangga/subsisten dengan nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya: kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal.

2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggungjawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. Contoh: melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan lain sebagainya.


(19)

3. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan ini dibedakan ke dalam dua kategori berikut:

a. peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela (volunteer), dan tanpa upah.

b. pengelolaan masyarakat politik, yakni peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status.

Peranan gender berhubungan dengan relasi gender yang menurut Agarwal (1994) dalam Mugniesyah (2006) diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan, praktik dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan.

Grijins dkk (1992) menegaskan bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan masih dipengaruhi oleh nilai dan norma masyarakat, dimana semua jenis pekerjaan yang bersifat domestik atau feminin yang menggunakan teknologi tradisional yang tidak memerlukan tenaga kerja yang kuat dominan dikerjakan oleh perempuan.

Kesetaraan dan Keadilan Gender

Menurut konsep ILO dalam Mugniesyah (2007), pengertian tentang keadilan gender (gender equity) merupakan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhan mereka, mencakup perlakuan


(20)

setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan, dan manfaat. Selanjutnya, kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotipe, prasangka, dan peran gender yang kaku. Dalam hal ini kesetaraan gender bukanlah berarti laki-laki dan perempuan menjadi sama, akan tetapi pada hak-hak, tanggungjawab, dan kesempatan mereka yang tidak ditentukan karena mereka terlahir sebagai laki-laki dan perempuan (ILO 2001 dalam Mugniesyah 2007).

2.1.2 Usahatani dan Rumatangga Pertanian

Definisi usahatani menurut Rifai dalam Soehardjo (1973) ialah setiap organisasi dari alam tenaga kerja dan modal, yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang. Dari batasan itu dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (bersama dengan fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air), dan tanaman ataupun hewan ternak. Usahatani merupakan unit usaha yang dilakukan oleh petani dalam mempengaruhi komponen agroekosistem dan interaksinya untuk mendapatkan hasil dalam bentuk tanaman, ternak, ikan baik di lahan basah maupun lahan kering, dimana hasilnya dimaksudkan untuk digunakan oleh keluarganya sendiri atau dijual untuk mencapai status sosial serta untuk konservasi tanah, air, dan keanekaragaman hayati (Baliwati 2001). Kemudian menurut Fardiyanti dalam Sunarso (2005) usahatani adalah kegiatan pertanian


(21)

yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan untuk produksi di bidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang memanfaatkan faktor produksi (sumberdaya modal, tenaga kerja dan alam) dalam proses produksinya untuk diolah guna menghasilkan produk yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia baik dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan secara subsisten ataupun secara komersil.

Menurut Moser dalam Soehardjo (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi, dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Pengelolaan usahatani terdiri dari beberapa tahapan pengambilan keputusan. Selanjutnya, dalam pengambilan keputusan menurut Moser dalam Soehardjo (1973), petani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu:

1. Penentuan perkembangan harga.

Pengetahuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku.

2. Kombinasi beberapa cabang usaha.

Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun.


(22)

3. Pemilihan cabang usaha.

Penentuan cabang usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, dan keadaan harga di waktu cabang usaha itu menghasilkan.

4. Penentuan cara produksi yang terdiri dari penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam, dan sebagainya.

5. Pembelian saran produksi yang diperlukan.

Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk, atau membeli peralatan.

6. Pemasaran hasil pertanian.

Masalah pemasaran yang sering dihadapi adalah waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang digunakan, dan lain-lain.

7. Pembiayaan usahatani yaitu biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen).

8. Pengelolaan modal dan pendapatan.

Perubahan usahatani ke arah yang lebih komersil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk konsumsi keluarga.

Sehubungan dengan rumahtangga pertanian, Nurhilailah (2003) dalam


(23)

yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, budidaya ikan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak seperti unggas atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani monokultur sayuran adalah rumahtangga yang salahsatu atau lebih anggota rumahtangga memiliki kegiatan utama mengusahakan tanaman sayuran dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atau resiko sendiri.

Roger dan Shoemaker dalam Hartomo (2007) menyatakan terdapat tiga karakteristik yang melekat pada masyarakat petani sebagai adopter inovasi yaitu status sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi usaha, dan sikap terhadap kredit. Karakteristik kepribadian diantaranya empati, dogmatisme, sikap terhadap perubahan, sikap terhadap resiko, aspirasi (terhadap pekerjaan dan pendidikan), serta motivasi, sementara perilaku komunikasi mencakup partisipasi sosial, integrasi sosial, perilaku kosmopolit, serta kontak dengan penyuluh, dan media massa.

Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada individu petani yang dapat membedakannya dengan petani lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik pribadi petani akan dibatasi pada lingkup: (1) pendidikan formal yang dialami petani, (2) umur, (3) pengalaman berusahatani, (4) pendapatan, dan (5) tingkat kekosmopolitan petani.


(24)

Istilah pendidikan yang dibatasi oleh Padmowihardjo (1994) dalam

Subagio (2008) adalah sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman-pangalaman yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat. Lebih lanjut, Winkel (2006) dalam Subagio (2008) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Pendidikan yang diperoleh secara garis besar meliputi pendidikan formal dan nonformal.

Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan yang dimiliki dalam melakukan aktivitas atau usaha. Selanjutnya, pengalaman berusahatani dapat memiliki makna sebagai sesuatu yang pernah dirasakan, dialami, dan ditanggung oleh petani yang terkait dengan berbagai macam kegiatan pada pertanian dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani yaitu memperoleh pendapatan bagi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Adapun tingkat kekosmopolitan menurut Murdikanto (1993) dalam

Subagio (2008) adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri.

2.1.3 Relasi Gender dalam Usahatani

Status sosial perempuan tani dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu kedudukan sosial petani dalam kelompok sosial. Kedudukan sosial tersebut sangat berkaitan dengan lingkungan, prestise, hak, dan kewajiban. Talcott dalam

Sunarto (1988), mengemukakan beberapa macam sumber status, yaitu keanggotaan dalam famili, kualitas pribadi, prestasi, pemilikan wewenang, dan kekuasaan. Dalam masyarakat petani, biasanya status sosial dikaitkan dengan


(25)

jabatan atau kekuasaan seseorang dalam pemerintahan atau kepemimpinan suatu struktur masyarakat maupun pengakuan dalam masyarakat terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang secara informal (kekayaan, kepribadian, kepandaian, atau prestasi dalam keagamaan). Semakin tinggi status sosial seseorang biasanya akan memiliki akses yang tinggi pula dalam berbagai kegiatan dalam pembangunan pertanian yang berdampak pada keberdayaan petani.

Status perempuan tani dalam keluarga dan rumahtangga, serta masyarakat luas berdasar peranannya yang banyak menurut Sajogyo (1985) dalam Palit (2009) adalah: (1) selain sebagai ibu rumahtangga dalam keluarga masing-masing, perempuan berperan juga sebagai tenaga kerja dalam keluarga (domestik) yang tidak mendatangkan hasil secara langsung. Namun demikian, perempuan dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja dalam keluarga tersebut memberikan dukungan bagi anggota lain untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan peluang kerja yang ada, (2) di lain pihak, sesuai dengan perkembangan masyarakat agraris, terlihat dengan nyata perempuan sebagai tenaga kerja di bidang pencarian nafkah mendatangkan hasil secara langsung.

Usahatani keluarga dipimpin oleh kepala keluarga yang pada umumnya adalah seorang laki-laki. Sebagai kepala keluarga laki-laki berperan memutuskan segala sesuatunya yang bersangkutan dengan operasi usahatani. Laki-laki memutuskan tanaman atau hewan apa yang akan diusahakan, kapan waktu bertanam, kapan menjual hasil, dan sebagainya. Disamping itu, sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memimpin dan melindungi keluarganya. Dengan demikian tujuan usahataninya berhubungan erat dengan kepentingan hidup keluarganya. Akhirnya, petani juga adalah seorang manusia yang hidup di


(26)

tengah-tengah masyarakatnya. Sebagian besar usahatani keluarga tidak memiliki pemisah yang jelas antara pengeluaran untuk keperluan hidup rumahtangganya dengan keperluan usahataninya. Analisis pendapatan yang tepat sukar dilakukan pada usahatani yang demikian. Usahatani yang kompleks ini banyak terdapat di daerah-daerah dengan tanah usahatani sempit (Soehardjo 1973).

Mengacu kepada analisis gender yang digunakan dalam studi ini relasi gender dilihat dengan membahas tiga peranan dalam pertanian yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif, dan kegiatan sosial. Hal ini lebih ditekankan pada: (1) pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan reproduktif, (2) pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan usahatani dengan rincian menurut komoditi yang diusahakan petani (dalam musim tanam) dan usaha ternak, (3) curahan waktu dalam kegiatan produktif (pertanian dan non-pertanian) serta kegiatan sosial dengan referensi waktu satu bulan, (4) akses dan kontrol terhadap beragam sumberdaya, dan (5) analisis ekonomi di tingkat rumahtangga petani (Fardiaz 1996).

Relasi gender dalam rumahtangga petani menurut penelitian Pudjiwati (1981), menyatakan bahwa nilai-nilai gender masih sangat kuat dianut masyarakat. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar kegiatan reproduksi lebih didominasi oleh perempuan dalam hal curahan waktu.

Lebih jauh, Fardiaz (1996) mengemukakan bahwa usahatani hortikultura menyerap tenaga kerja laki-laki dan perempuan, baik dari dalam keluarga maupun di luar keluarga. Tingginya penggunaan tenaga kerja pada usahatani hortikultura ini, karena komoditi yang diusahakan berupa tanaman kentang, bunga kol, kol,


(27)

dan caisim yang selain intensif dalam penggunaan input produksi (pupuk dan pestisida) dan modal juga intensif dalam penggunaan tenaga kerja.

2.1.4 Analisis Gender

Kajian terhadap konsep analisis gender dalam pembangunan secara berkesinambungan dimulai dari pembahasan perempuan dalam pembangunan menuju gender dan pembangunan; peran ganda gender (pembagian gender pekerja, tanggungjawab, sumberdaya dan hubungan gender), pembagian data (rumah tangga, tempat kerja, dan komunitas) (Handayani 2002). Analisis gender adalah analisis sosial (mencakup ekonomi, budaya, dan sebagainya) yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi; (1) kondisi (situasi), dan (2) kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan komunitas atau masyarakat. Fokus utama analisis situasi gender adalah (1) pembagian kerja atau peran, (2) akses dan kontrol (peluang penguasaan terhadap sumberdaya serta manfaat), serta (3) partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga. Hasil analisis situasi gender adalah (1) identifikasi kepentingan praktis yaitu: kepentingan laki-laki dan perempuan yang perlu diperhatikan, (2) kepentingan strategis yaitu: penyetaraan status, peran, akses, dan kontrol antara laki-laki dan perempuan (Prasodjo dkk 1993).

Profil akses dan kontrol merupakan alat untuk mempertimbangkan apa akses yang dimiliki perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya produktif, kontrol apa yang mereka miliki terhadap sumberdaya tersebut, dan siapa yang memperoleh keuntungan dari penggunaan sumberdaya tersebut (siapa memiliki apa) misalnya siapa yang mengontrol pendapatan yang dikeluarkan, siapa yang memiliki dan menggunakan aset-aset yang ada (Overholt dkk 1985 dalam


(28)

Handayani 2002). Teknik analisis gender merupakan suatu teknik yang mampu menggambarkan tentang adanya perbedaan saling ketergantungan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan, serta adanya perbedaan tingkat manfaat yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan dari hasil pembangunan. Sebagai suatu alat, analisis gender tidak hanya melihat peran, aktivitas, tetapi juga hubungan, sehingga pertanyaan yang diajukan tidak hanya pada siapa mengerjakan apa, tetapi juga meliputi siapa yang membuat keputusan, dan siapa menggunakan sumberdaya pembangunan seperti tanah, kredit, serta siapa yang menguasai sumberdaya pembangunan, dan kemudian faktor-faktor apa yang mempengaruhi hubungan tersebut, apakah faktor hukum, ekonomi, atau sosial.

Teknik analisis Harvard merupakan teknik analisis gender yang digunakan untuk melihat sutau profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan, yang mengutarakan perlunya tiga komponen yaitu: profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt dkk 1985 dalam

Handayani 2002).

Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk melihat dan menimbang pemenuhan kebutuhan yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan. Kebutuhan praktis biasanya berhubungan dengan keadaan hidup yang tidak memuaskan, misalnya kurangnya sumberdaya atau tidak dipenuhi kebutuhan dasar, contoh: masalah air minum pangan, dan kesehatan. Selanjutnya, dapat diidentifikasi karena langsung dirasakan, dapat dipenuhi dalam waktu relatif pendek melalui intervensi tertentu, misalnya membangun sumur, menjalankan posyandu; sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan peranan dan kedudukan di masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor struktural seperti ekonomi,


(29)

sistem politik, perundang-undangan, kebijakan kesejahteraan, norma-norma sosial dan budaya. Kebutuhan strategis juga menyangkut peluang dan kekuasaan (akses dan kontrol) terhadap sumberdaya dan kesempatan untuk memilih dan menentukan cara hidup. Pada umumnya kebutuhan strategis ini menyangkut kepentingan hampir semua perempuan dan dapat dipenuhi melalui suatu proses yang memakan waktu yang panjang (Moser dalam Prasodjo, et al 1993).

2.2 Kerangka Pemikiran

Penelitian relasi gender pada kelompok tani tanaman hortikultura dataran rendah, kasus rumahtangga petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang ini, didasarkan atas berbagai konsep yakni konsep usahatani yang dikaitkan dengan relasi gender untuk mendeskripsikan relasi gender dalam pengelolaan usahatani yang diawali dengan proses praproduksi hingga pascapanen (pemasaran).

Adapun variabel yang digunakan meliputi variabel bebas (independent) dan variabel tidak bebas (dependent). Relasi gender dalam rumahtangga petani digunakan sebagai variabel tidak bebas. Relasi gender yang akan dibahas diberi indikator peubah seperti akses, kontrol, pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya yang dilihat dalam setiap kegiatan usahatani pada rumahtangga petani, kelompok tani Rawa Banteng (praproduksi, produksi dan pascaproduksi) serta pola pengambilan keputusan kegiatan usahatani di dalam rumahtangga petani. Keberadaan variabel ini dipengaruhi oleh tiga variabel bebas terpilih yakni: X1 karakteristik petani, X2 aksesibilitas pada informasi, dan X3 faktor


(30)

Pola tanam hortikultura (komoditas sayuran) sangat beragam dan selalu berubah-ubah dalam penanaman komoditas sehingga perlu dianalisis siapakah yang memiliki akses dan kontrol dalam menentukan pola tanam dan jenis tanaman yang dipilih. Analisis ini akan dilihat pada kegiatan praproduksi yang meliputi penentuan pemilihan komoditas, dan pemilihan saprotan. Demikian juga dengan kegiatan produksi dan kegiatan panen, melihat bagaimana kontribusi masing-masing (laki-laki dan perempuan) perolehan hasil panen yang dibawa ke pasar.

Aksesibilitas pada informasi yang dimaksud disini adalah sumber yang diperoleh masyarakat terkait usahatani dan informasi mengenai permasalahan gender. Hal ini diukur dengan melihat ketersediaan sumber informasi yang dapat dipercaya secara baik dan ketersediaan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan petani terhadap usahatani dan pengetahuan gender. Aksesibilitas ini dihubungkan dengan variabel Y dengan maksud melihat keterkaitan dan bagaimana akses rumahtangga petani terhadap informasi dan bagaimana penerimaan informasi dalam rumahtangga.

Karakteristik petani terdiri dari tingkat pendidikan, umur, lama berusahatani, tingkat pendapatan dan tingkat kekosmopolitan. Hal ini adalah variabel yang penting dalam menganalisis karakterisitik rumahtangga petani yang ada pada kelompok petani Rawa Banteng karena ini merupakan variabel yang melekat langsung pada pribadi petani yang membedakan petani yang satu dengan yang lain. Kemudian, faktor lingkungan yang terdiri dari; budaya, penguasaan aset ekonomi, interaksi petani dengan tokoh masyarakat dan interaksi dengan penyuluh. Kebudayaan masyarakat setempat dapat memberikan informasi mengenai cara masyarakat menilai peran perempuan dan bagaimana masyarakat


(31)

memberi penilaian terhadap peran laki-laki dalam berusahatani, dan bagaimana interaksi petani dengan tokoh masyarakat.

Mempengaruhi

* Dianalisis dengan Pendekatan Kualitatif Gambar 1. Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis

Berdasarkankerangka berpikir penelitian diajukan hipotesis berikut : 1. Karakteristik petani memiliki hubungan positif dengan relasi gender dalam

usahatani.

2. Aksesibilitas pada informasi memiliki hubungan positif dengan relasi gender dalam usahatani.

X2 Aksesbilitas pada

Informasi

X1 Karakteristik Petani

X1.1Umur(dalam tahun)

X1.2Pengalaman

X1.3Berusahatani(tahun)

X1.4Tingkat kekosmopolitan

X1.5Lama pendidikan formal

X1.6Tingkat pendapatan

petani

Y. Relasi Gender dalam Usahatani (hubungan penguasaan sumberdaya)

• Akses, kontrol* • Pembagian kerja

(profil aktivitas dan curahan waktu)* • Pola pengambilan

keputusan X3 Faktor Lingkungan

X3.1Budaya

X3.2Interaksi dengan Tokoh

Masyarakat X3.3Penguasaan aset


(32)

2.4 Definisi Operasional

1. Karakteristik pribadi petani (X1) adalah ciri-ciri yang melekat bagi

seseorang sebagai pelaku utama yang berkaitan erat dengan kesiapannya untuk mengembangkan diri. Karakteristik ini meliputi:

X1.1 Umur petani, waktu sejak lahir hingga dilakukan penelitian yang dihitung dalam satuan tahun.

X1.2 Lama berusahatani yang dilakukan dengan menghitung jumlah tahun mulai berusahatani hingga waktu penelitian dilakukan.

X1.3 Lamanya pendidikan formal: waktu yang dibutuhkan oleh responden dalam mengikuti pendidikan formal hingga penelitian dilakukan, yang dihitung dalam tahun.

X1.4 Tingkat pendapatan: terbagi dua yaitu pendapatan dalam usahatani dan luar usahatani yang dihitung dalam satuan rupiah.

X1.5 Tingkat kekosmopolitan: tingkat keterbukaan petani dalam menerima inovasi, mobilitas petani dan kemudahan petani dalam menjalin hubungan dengan dunia di luar lingkungannya. Misal: pergaulan petani dengan petani dan masyarakat lain, jumlah waktu yang digunakan untuk media informasi, keaktifan mencari informasi. Penghitungannya adalah dengan memberikan skor pada sebagai berikut:


(33)

1= tingkat kekosmopolitan rendah, skor 7 2= tingkat kekosmopolitan sedang, skor 8 - 14 3= kekosmopolitan tinggi, skor > 14

2. Aksesibilitas pada informasi (X2), adalah kesempatan dan aktivitas yang

dilakukan oleh petani dalam upaya meraih pengetahuan (pesan) terkait dengan usahatani dan pengetahuan tentang gender. Aksesibilitas ini diukur dengan melihat ketersediaan sumber informasi dan kedekatan responden dengan sumber informasi. Skor dalam penghitungan aksesibilitas ini dibagi menjadi tiga yakni:

1 = aksesibilitas rendah, skor 8 2 = aksesibilitas sedang, skor 9 - 14 3 = aksesibilitas tinggi, skor >14

3. Faktor Lingkungan (X3) adalah individu atau kelompok individu dan

sistem kemasyarakatan yang telah menjadi tradisi dan atau kelembagaan yang mengandung nilai dan norma serta pemanfaatan keberadaannya mempengaruhi pola pikir dan tindakan petani dalam melaksanakan usahatani.

X.3.1 Penguasaan aset ekonomi dilakukan dengan mengukur luas lahan garapan petani baik berupa sewa, milik, maupun kontrak yang diukur dalam satuan m2 (meter persegi). Kemudian berdasarkan sebaran yang diperoleh dikategorikan menjadi rendah (<4133,33m2), sedang (4133,33m2 hingga 8266.67m2), dan tinggi (>8266.67m2).


(34)

X.3.2 Budaya: pada penelitian ini; hal-hal yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat, pola pikir, merasakan dan bertindak terkait dengan tingkat keharmonisan relasi gender yang dimiliki masyarakat setempat1. Pengukuran budaya ini dilakukan dengan melihat pandangan laki-laki terhadap perempuan. Dan sebaliknya, serta kebiasaan masyarakat setempat dalam mengatur relasi gender yang sebaiknya di masyarakat.

1 = rendah, nilai skor 0 - 12 2 = sedang, nilai skor 13 - 24 3 = tinggi, nilai skor 24- 36

X.3.3 Interaksi dengan tokoh masyarakat: tingkat dukungan tokoh formal terhadap petani, tingkat dukungan tokoh non-formal terhadap petani, tingkat kekerapan pertemuan dengan tokoh formal dan non-formal terkait pandangan mengenai relasi gender. Interaksi tersebut diukur sebagai berikut.

1 = rendah, skor 5 2 = sedang, skor 6 - 10 3 = tinggi, skor > 10 4. Y. Relasi gender yang terdiri dari:

Y.1Akses yaitu kesempatan atau peluang anggota rumahtangga (laki-laki dan perempuan) dalam memperoleh serta ikut dalam berbagai kegiatan usahatani (produktif), kegiatan

1

Robert L. Sutherland dkk, Introductory Sociology, edisi ke-6, J.B. Lippincott Company, Chicago, Philadelphia, New York, 1961, halaman 30-31 dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1990, halaman 173


(35)

rumahtangga (reproduktif), dan kemasyarakatan. Akses diukur dengan melihat kekutsertaan rumahtangga (suami atau istri) dalam setiap kegiatan (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan).

Y.2Kontrol yaitu kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga responden dalam mengambil keputusan dalam kegiatan usahatani, rumahtangga, dan kegiatan kemasyarakatan. Kontrol diukur dengan melihat setiap kesempatan bagi rumahtangga (suami atau istri) dalam memiliki kekuasaan seperti dengan mengambil keputusan, atau tanggung jawab atas setiap kegiatan (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan).

Y.3Pembagian kerja yaitu profil seluruh aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga selama sehari. Analisis pembagian kerja dalam rumatangga petani dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif (usahatani), dan sosial kemasyarakatan. Hal ini diukur dengan melihat curahan waktu yang diberikan oleh anggota rumahtangga (suami, istri, dan anak) dalam setiap kegiatan rumahtangga (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan).

Y.4Pola pengambilan keputusan yaitu siapa yang lebih dominan (laki-laki dan perempuan) untuk melakukan


(36)

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu kegiatan. Untuk kepentingan peneliti diperoleh tiga variasi dalam pengambilan keputusan yaitu:

1 = pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh suami sendiri atau istri sendiri

2 = pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami dan istri namun salahsatunya dominan

3 = pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami dan istri setara


(37)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survai. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Pendekatan kualitatif juga dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth-interview) terhadap informan terpilih untuk memperoleh informasi lebih jauh tentang cara masyarakat mengelola usahatani.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada sentra hortikultura dataran rendah di Kabupaten Tangerang yang merupakan salahsatu pemasok sayuran ke DKI Jakarta. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sepatan Timur dengan mengambil kasus petani-petani Rawa Banteng di Desa Gempol Sari yang merupakan petani yang berdasarkan Keputusan Bupati Tangerang Nomor 520/Kep.599-Huk/2008 tanggal 21 November 2008 memperoleh bantuan modal Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 2008. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Desember 2009 dengan tahap kegiatan sebagai berikut:

1. Tahap persiapan penelitian. Pada tahap ini dilakukan survai awal (bekerjasama dengan PSW-LPPM IPB) yang dilanjutkan dengan penyusunan proposal penelitian. Tahap ini dilakukan dari April – 13 Mei 2009.


(38)

2. Tahap pelaksanaan penelitian, penelitian dimulai pada tanggal 25 Mei 2009 hingga Agustus 2009. Data digali dan didapat selama pelaksanaan penelitian.

3. Tahap penyusunan laporan, dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember 2009.

3.3 Penentuan Sampel dan Responden

Responden dan informan penelitian ditetapkan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani hortikultura dengan jenis komoditas tanaman sayuran yang merupakan anggota kelompok tani Rawa banteng. Unit analisis rumahtangga digunakan untuk menganalisis relasi gender dalam pembagian kerja atau peranan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dalam rumahtangga petani, serta pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga petani.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota kelompok tani Rawa Banteng yang berjumlah 54 orang. Anggota kelompok tani yang telah berumahtangga adalah sebanyak 45 orang. Atas dasar keterbatasan waktu, biaya dan tenaga maka dipilihlah responden pada penelitian ini sebanyak 31 orang dengan menggunakan rumus Slovin dengan total jumlah populasi penelitian sebanyak 45 orang (yang telah memiliki rumahtangga). Berikut rumus Slovin yang digunakan:

2 1 Ne

N + =


(39)

2 ) 1 , 0 ( 45 1 45 + = η

η= 31 Keterangan :

η = besaran sampel N = besaran populasi

e = nilai kritis (batas ketelitian) yang dinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel)

Responden adalah anggota rumahtangga petani baik laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sebanyak 17 orang. Perempuan (istri) ini merupakan sumber informasi yang berguna untuk memeriksa dan mendukung data yang diperoleh dari laki-laki (suami) dari sudut pandang perempuan. Sebanyak 14 orang perempuan (istri) lainnya enggan untuk dilibatkan dalam wawancara.

Selain responden, juga dipilih informan yang terdiri dari tokoh masyarakat yakni Bapak Aca selaku ketua RT, Bapak Kartono sebagai petugas PPL, Bapak Herman sebagai ketua kelompok tani dan masyarakat setempat beserta beberapa ibu-ibu kuli cabut, guna memberikan informasi yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan topik penelitian.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer mencakup semua data yang berkaitan dengan variabel bebas (independent variable) dan tidak bebas (dependent variable) yang tertera dalam bagan kerangka pemikiran (Gambar 1). Data primer juga mencakup informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Aparat Desa, dan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian), serta berbagai sumber lainnya yang telah dipublikasikan.


(40)

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan microsoft office excel 2007, untuk tabulasi frekuensi, kemudian SPSS 15.0 dengan memakai analisis rank spearman untuk mengukur korelasi antarvariabel.

Data kualitatif disajikan secara deskriptif yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi langsung di lapangan. Analisis kualitatif dilakukan untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif.


(41)

4. PROFIL DESA GEMPOL SARI

4.1 Lokasi dan Kondisi Geografis

Desa Gempol Sari terletak di Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Desa Gempol Sari berbatasan dengan beberapa desa yaitu: sebelah utara dengan Desa Kiara Payung, sebelah selatan Desa Kedaung Barat, sebelah barat dengan Desa Sangiang dan Desa Jati Mulya, dan sebelah timur dengan Desa Pondok Kelor dan Desa Kampung Kelor. Desa Gempol Sari terdiri dari 20 Rukun Tetangga (RT) dan delapan Rukun Warga (RW). Sedangkan kelompok tani Rawa Banteng terdapat pada RT 03 RW 02.

Gambar 2. Peta Desa Gempol Sari, 2009

4.2 Lokasi dan Kondisi Geografis Pertanian

Desa Gempol Sari termasuk agroekosistem lahan sawah semi intensif. Tanah sawah merupakan jenis tanah typic epiaquepts, terhambat, dalam, berliat, masam atau agak masam, kesuburan sedang (Tabel 1). Luas sawah 155 hektar


(42)

dengan musim tanam dua kali dalam setahun dilakukan pada bulan November hingga Juli, dan Agustus hingga Oktober.

Penggunaan pupuk di lahan sawah masih cukup rendah, masa tanam dan varietas padi masih cukup beragam. Sebagian sawah digunakan sebagai kebun sayuran bayam, kangkung, caisim atau sawi, terung, pepaya, singkong dan kemangi.

Penanaman sayuran dilakukan secara bergilir sepanjang tahun dan pada musim kemarau dilakukan pengairan dengan sistem springkel. Tanah permukiman, seperti pekarangan atau kebun campuran merupakan jenis tanah

Aquic Eutrudepts, terhambat, dalam, berliat, masam/agak masam, kesuburan rendah-sedang (Tabel 1). Pekarangan atau kebun campuran ditanami kelapa, pisang, nangka, mangga, jambu air, dan lain-lain. Usahatani ternak terdiri dari kambing atau domba, itik, dan ayam.

Tabel 1. Klasifikasi tanah di lokasi prima tani Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang, 2006

No Landform Tanah Landuse Komoditas (PRA)

1

Rawa belakang, aluvium halus, datar < 2persen, 6-7 m dpl (Af.1.1.3.2f)

T.Epiaquepts, terhambat, dalam, berliat, masam/agak masam, kesuburan sedang

Sawah, sayuran Padi, sayuran (bayam, kangkung, caisim, kemangi, singkong, pepaya, terung) Ternak (kambing, itik) 2 Rawa belakang, aluvium halus, datar < 2persen, 6-7 m dpl (Af.1.1.3.2f)

A.Eutrudepts, agak terhambat, dalam, berliat, masam/agak masam, kesuburan sedang Permukiman, kebun campuran Kelapa, pisang, nangka, mangga


(43)

Desa Gempol Sari memiliki tipe agroekosistem lahan sawah intensif dengan topografi datar hingga bergelombang dengan elevasi <6 persen, pH tanah 5,7 dengan jenis tanah aluvial, ketinggian 5–10m dpl. Selanjutnya berdasarkan tipe iklim tergolong tipe E dengan suhu udara 25-30ºC dan kelembaban 70 persen.

Tabel 2. Karakteristik tanah di Desa Gempol Sari, 2006

Uraian Keterangan

Jenis Tanah Topografi pH tanah Ketinggian Elevasi Tipe iklim Suhu udara Kelembaban

Aluvial

Datar bergelombang 5.7

5 – 10 m dpl 5.9 persen E

25-32 º C 70 persen Sumber: Hasil PRA Program Prima Tani Tangerang, Banten tahun 2006

4.2.1 Iklim dan Pola Tanam

Informasi mengenai aspek biofisik yaitu perilaku curah hujan (CH) dan hari hujan (HH) sangat berhubungan erat dengan pola tanam maupun jenis komoditas yang diusahakan oleh petani setempat. Rata-rata curah hujan selama 5 tahun terakhir masing-masing adalah 139,4 mm, sedangkan hari hujan 7,5 HH per tahun.

Curah hujan dan hari hujan tertinggi berada pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Musim tanam pertama (MT 1) pada bulan Januari hingga April dan musim tanam kedua (MT 2) pada bulan Juni hingga September. Sedangkan pada lahan sawah setengah teknis pola tanam yang dilakukan sepanjang tahun adalah sayuran dengan komoditas utama bayam, kangkung, sawi atau caisim, dan kemangi.


(44)

Tabel 3. Pola tanam setahun di Desa Gempol Sari, 2006 – 2008

Komoditas Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Padi (MT I) √ √ √ √

Padi (MT II) √ √ √ √

Kangkung √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Bayam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Caisim √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Kemangi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Sumber: Hasil PRA Program Prima Tani Tangerang, Banten tahun 2006 - 2008

Jenis lahan yang tersedia di Desa Gempol Sari terdiri dari lahan sawah irigasi 155 hektar, dan lahan kering atau lahan darat yang terdiri dari lahan pekarangan 1807 hektar serta kebun 68 hektar. Hasil penelusuran lokasi (transect) menunjukkan bahwa tanaman yang ditemukan pada lahan kebun adalah pisang, kemangi, kelapa, pepaya, jarak, jambu mete, terong, dan melinjo.

Sebagian besar tanaman padi diusahakan petani pada lahan sawah irigasi teknis dan sebagian kecil pada lahan sawah irigasi setengah teknis. Namun demikian, di sebagian besar lahan setengah teknis juga diusahakan tanaman sayuran seperti kangkung, bayam, caisim, terong, daun singkong, dan daun pepaya. Selanjutnya pada permukiman dan pekarangan terdapat tanaman buah-buahan seperti belimbing, mangga, jambu biji, kedondong, dan nangka. Tanaman lainnya adalah melinjo, pisang hias, palem tupai, bougenville, dan sereh.

4.3 Keragaan Produksi Pertanian

Jenis komoditas yang ditanam di Desa Gempol Sari berupa padi dengan produksi 360 ton, sayuran kangkung, bayam, caisim sebagai tanaman utama dengan produksi 9.000 ton (Tabel 4), sedangkan tanaman terong, daun singkong, dan daun pepaya sebagai tanaman pelengkap. Jenis ternak yang diusahakan


(45)

adalah ayam buras, kambing, dan itik masing-masing sebanyak 120, 200, dan 1.200 ekor.

Tabel 4. Luas lahan, produksi dan populasi ternak, di Desa Gempol Sari dan Kecamatan Sepatan, 2005

Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan

Jenis lahan

- Sawah irigasi teknis 50 hektar 2.321 hektar

- Sawah irigasi ½ teknis 105 hektar 221 hektar

- Tadah hujan 0 hektar 13 hektar

Produksi Pertanian

- Padi sawah 398 ton 32.021 Ton

- Sayuran 9.000 ton 61.950 Ton

Populasi ternak

- Ayam buras 120 ekor 4.500 Ekor

- Kambing 200 ekor 3.200 Ekor

- Itik 1.200 ekor 6.000 Ekor

Sumber : Kabupaten Tangerang dalam Angka, 2005

4.3.1 Sayuran

Secara umum petani sayuran melakukan pengolahan tanah dengan cangkul karena rata-rata luas kepemilikan lahan relatif kecil. Komoditas utama sayuran yang diusahakan adalah kangkung, bayam dan caisim. Benih yang digunakan adalah benih lokal berlabel dengan pergantian benih setiap musim tanam. Penanaman dilakukan dengan sistem sebar tanpa jarak tanam. Pupuk anorganik yang digunakan adalah urea dengan dosis 200 kg per hektar, sedangkan pupuk organik yang digunakan berasal dari kotoran ayam dengan dosis 1,25 ton perhektar. Pestisida yang biasa dikenal petani adalah pestisida dengan merk rusban, sempurna, ucatron dan lain-lain. Pestisida yang digunakan ini, cukup efektif untuk mengendalikan hama dan penyakit.


(46)

4.3.2 Ternak

Ternak yang umum dipelihara oleh petani adalah itik dan kambing. Jumlah kepemilikan itik rata-rata 10 - 20 ekor dengan teknologi budidaya yang masih bersifat tradisional terutama dalam sistem perkandangan, pakan, dan pemeliharaan. Hanya sebagian kecil petani itik yang menggunakan komposisi pakan menir dan keong mas. Sebagian besar petani membudidayakan itik dengan tujuan memperoleh produksi daging dengan umur 5 bulan. Dan sebagian kecil ternak itik lainnya dipelihara untuk memperoleh produksi telur yang kemudian diolah menjadi telur asin. Hasil rata-rata yang diperoleh adalah sebanyak 120 butir per hari dari 150 ekor itik.

Pemeliharaan ternak kambing masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, terutama dalam sistem perkandangan, pakan. Kambing dipelihara dengan cara (dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari). Umumnya kambing dipelihara untuk dibudidayakan sebagai simpanan atau aset bagi rumahtangga petani. Kambing-kambing yang dipelihara petani sewaktu-waktu juga dapat dijual jika petani membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak dalam rumahtangga.

4.4 Karakteristik Sosial Ekonomi 4.4.1 Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Gempol Sari dan Kecamatan Sepatan tercatat 2.365 KK dan 27.090 KK. Berdasarkan tingkat pendidikan, secara umum jumlah penduduk yang mendominasi di desa Gempol Sari adalah penduduk yang tidak atau belum bersekolah, sedangkan jumlah penduduk yang menempuh pendidikan SD, SLTP dan SLTA relatif berjumlah sama banyak.


(47)

Tabel 5 Penduduk menurut usia, pendidikan dan mata pencaharian di Desa Gempol Sari dan Di Kecamatan Sepatan, 2004

Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan

Jumlah Penduduk Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Laki-laki 4.700 43,98 16.836 45,39

Perempuan 5.987 56,02 20.254 54,61

Total 10.687 100,00 37.090 100,00

Kepala Keluarga 2.365 27.090

Tingkat Pendidikan

Belum/tidak sekolah 425 50,00 71.703 52,91

Sekolah Dasar 95 11,18 49.047 36,19

SLTP 193 22,71 9.593 7,08

SLTA 130 15,29 4.549 3,36

Akademi 0 0 636 0,47

Sarjana 7 0,82 887 0,65

Total 850 100,00 135.528 100,0

Petani 1.650 22,19 5.031 18,38

Pedagang 2.200 29,58 8.709 31,82

Karyawan 2.947 39,63 10.481 38,29

Wiraswasta/Jasa 200 2,69 1.810 6,61

PNS, TNIatauPolri 440 5,92 1.341 4,90

Total 7.437 100,00 27.372 100,00

Usaha Pertanian

Tanaman pangan 2.460 97,5 45.775 96,3

Peternakan 63 2,5 1.758 3,7

Total 2.523 100,00 47.533 100,00

Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004

Selanjutnya, berdasarkan mata pencaharian, maka penduduk di Desa Gempol Sari terdiri dari 22,19 persen petani, 29,58 persen pedagang, 39,63 persen karyawan, 2,69 persen wiraswasta dan 5,92 persen PNS atau TNI Polri. Bila dilihat dari usaha pertanian di tingkat desa maupun kecamatan, tanaman pangan merupakan usaha yang paling dominan dibandingkan usaha peternakan (Tabel 5).


(48)

4.4.2 Status dan Luas Lahan Garapan

Luas total lahan sawah irigasi di Desa Gempol Sari tercatat 155 hektar. Sedangkan lahan kering berupa permukiman 18 hektar, tegalan 3 hektar, kebun 3 hektar dan lain-lain 68 Ha. Di Kecamatan Sepatan luas lahan total sawah irigasi tercatat 2.321 hektar. Sedangkan lahan kering berupa permukiman 949 hektar, tegalan 97 hektar, dan kebun 90 hektar.

Tabel 6. Jenis lahan garapan di Desa Gempol Sari dan di Kecamatan Sepatan, 2004

Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan

Agroekosistem

A Sawah irigasi (hektar) Luas Persentase Luas Persentase

- pengairan teknis 50 32,26 2.321 90,84

- pengairan ½ teknis 105 67,74 221 8,65

- tadah hujan 0 0 13 0,51

Total 155 100,000 2.555 100,00

b Lahan kering atau darat Luas Persentase Luas Persentase

- Perumahan dan Pekarangan 18 19,57 949 83,54

- Tegalan 3 3,26 97 8,54

- Rawa 0 0 0 0

- Kebun 3 3,26 90 7,92

- lain-lain 68 73,91 0 0

Total 92 100,00 1.136 100,00

Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004

Berdasarkan data pada Tabel 7 sebagian besar pemilik lahan terlibat langsung dalam penggarapan lahan mereka masing-masing. Jumlah petani penggarap yang tidak memiliki lahan di Desa Gempol Sari juga terbilang cukup banyak yakni sebanyak 331 jiwa. Selanjutnya, lahan garapan yang diupayakan oleh petani pada umumnya adalah lahan pertanian yang tergolong sempit, yaitu 84 persen lahan dengan luas lebih kecil dari 0,5 hektar (Tabel 8).


(49)

Tabel 7. Status petani menurut luasan lahan garapan di Desa Gempol Sari dan di Kecamatan Sepatan, 2004

Uraian Desa Gempol Sari Kecamatan Sepatan

Status Petani Jumlah

(Jiwa)

Persentase Jumlah (Jiwa)

Persentase

a Pemilik 398 30,04 4.861 28,56

b Pemilik penggarap 530 40,00 7.282 42,78

c Penggarap 331 24,98 4.066 23,89

d Buruh tani 66 4,98 812 4,77

Total 1.325 100,0 17.021 100,0

Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004

Tabel 8. Pengelompokkan petani menurut luasan garapan di Desa Gempol Sari dan di Kecamatan Sepatan, 2004

Luas Garapan Petani Jumlah

(Jiwa)

Persentase Jumlah (Jiwa)

Persentase

a 0,1 – 0,25 hektar 331 24,98 4.255 25,00

b 0,26 – 0,5 hektar 795 60,00 10.213 60,00

c 0,51 – 1,0 hektar 159 12,00 2.043 12,00

d Lebih > 1,0 hektar 40 3,02 511 3,00

Total 1.325 100,00 17.022 100,00

Sumber: Data Potensi Wilayah Kecamatan Sepatan, Programa Penyuluh 2004

4.5 Profil Kelompok Tani Rawa Banteng

Kelompok tani Rawa Banteng yang berlokasi di RT 03 RW 02, Desa Gempol Sari didirikan pada bulan Juni tahun 2004. Produk unggulannya adalah bawang merah umbi dan biji. Luas lahan yang merupakan garapan anggota Poktan sebanyak 1,2 hektar dan sebagian besar lahannya ditanami oleh tanaman hortikultura jenis sayur-sayuran yaitu caisim, kangkung, bayam, kenikir, bawang, dan singkong.

Poktan memiliki jalinan kerjasama dalam pemasaran dan pengadaan saprodi untuk kepentingan usaha para anggota yaitu: (1) Untuk pemasaran hasil


(50)

usaha budidaya Poktan bekerjasama dengan pasar-pasar tradisional seperti (a) Pasar Sepatan (b) Pasar Anyer, dan (c) Pasar Kampung Melayu. (2) Untuk saprotan bekerjasama dengan CV. Rijal Yahya di Kecamatan Sepatan.

Fasilitas-fasilitas usahatani Poktan, di antaranya adalah (1) kendaraan roda tiga untuk mengangkut sayuran, (2) tempat penampungan sayuran sebnayak 1 unit, (3) hand sprayer sebanyak 4 unit, dan (4) komputer sebanyak 1 unit. Sedangkan sumber informasi dan teknologi yang tersedia bagi petani adalah BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Banten dan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang.

Berdasarkan Keputusan Bupati Tangerang Nomor 520 atau Kep.599-Huk atau 2008 tanggal 21 November 2008 memperoleh bantuan modal Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 2008. Bantuan ini merupakan pinjaman yang diberikan kepada Poktan untuk mengembangkan usahatani sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat setempat. Pola penyaluran pinjaman dibagi menjadi dua kepentingan yakni sarana produksi pertanian seperti pengadaan pupuk dan benih dan kemudian untuk simpan pinjam anggota. Pupuk dan benih yang disediakan dijual kepada petani melalui kios Poktan dan diperkirakan menghasilkan keuntungan sebesar 10 persen dengan pembagian 5 persen untuk pengelola dan 5 persen untuk keperluan pengembangan Poktan. Simpan pinjam untuk budidaya hortikultura diberikan selama 6 bulan dan kemudian harus dikembalikan.

Pertemuan antara ketua kelompok tani dan anggota kelompok tani dilakukan sebanyak satu kali dalam sebulan dengan agenda rapat evaluasi angsuran pinjaman anggota dan membahas rencana kerja, baik jangka panjang


(51)

maupun jangka pendek. Rencana jangka pendek yaitu: (1) mengadakan konsolidasi Poktan agar lebih intensif, (2) pembentukan dengan segera pengurus lembaga keuangan mikro agribisnis, (3) mengadakan pelatihan teknis pengoperasionalan LKM kepada pengurus LKM yang dibentuk Poktan, (4) perbaikan pembukuan sesuai standar kelompok tani, dan (5) merapikan kantor sekreariat Poktan. Sedangkan rencana jangka panjang yaitu: (1) mengadakan pusat pelatihan budidaya hortikultura, dan (2) mengadakan pusat pelatihan kewirausahaan agribisnis sejati.


(52)

5. FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RELASI GENDER RUMAHTANGGA PETANI SAYURAN

Faktor-faktor yang diuraikan dalam bab ini meliputi: (1) karakteristik pribadi petani, meliputi umur, tingkat pendidikan, lama berusahatani, tingkat pendapatan dan tingkat kekosmopolitan petani, (2) aksesibilitas informasi, dan (3) faktor lingkungan, meliputi budaya, penguasaan aset ekonomi interaksi dengan tokoh masyarakat, dan interaksi dengan penyuluh. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian metode penelitian, rumahtangga petani yang dijadikan responden adalah sejumlah 31 rumahtangga dari keseluruhan 45 rumahtangga yang termasuk anggota kelompok tani Rawa Banteng.

5.1 Karakteristik Pribadi Petani

Karakteristik petani merupakan beberapa hal yang melekat pada diri pribadi petani yang menjadikan pembeda antara petani satu dengan lainnya. Karakteristik petani responden yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup umur, tingkat pendidikan, lama berusahatani, tingkat pendapatan dan tingkat kekosmopolitan petani.

5.1.1 Umur

Tabel 9. Sebaran umur anggota rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari, 2009

Kelompok Suami Istri

Umur Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 10 32,26 17 54,84

Sedang 15 48,39 12 38,71

Tinggi 6 19,35 2 6,45

Total 31 100,0 31 100,0

Keterangan: Rendah = kisaran umur 15 – 33 tahun, Sedang = kisaran umur 34 – 51 tahun, dan Tinggi = kisaran umur > 51 tahun


(53)

Hasil survai di lapangan menunjukkan bahwa responden yang merupakan petani sayuran memiliki umur antara 23 tahun hingga 70 tahun bagi suami dan umur 15 hingga 49 tahun bagi istri. Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa sebaran umur petani sebagian besar berada pada tingkatan sedang dan rendah dengan besaran masing-masing sebesar 48,39 persen dan 32,26 persen bagi suami. Sedangkan sebaran umur yang dimiliki istri adalah 54, 84 persen pada tingkatan rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas anggota rumahtangga petani tergolong pada usia produktif (15 – 55 tahun) dengan umur suami yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan umur istri.

5.1.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan variabel yang menentukan akses seseorang terhadap berbagai sumberdaya, termasuk akses terhadap pekerjaan. Pendidikan petani Desa Gempol Sari terlihat seperti umumnya kondisi pendidikan penduduk Indonesia di daerah perdesaan yaitu masih sangat rendah. Akses terhadap pendidikan tergolong kurang dengan fakta bahwa rata-rata petani hanya menamatkan pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar (SD) meskipun terdapat beberapa petani yang menamatkan SMP dan sedikit diantaranya menamatkan pendidikan SMA. Tingkat pendidikan yang tergolong rendah berjumlah 61,3 persen, yaitu pada kategori tidak tamat SD dan tidak bersekolah.


(54)

Tabel 10. Sebaran tingkat pendidikan anggota rumahtangga petani sayuran di Desa Gempol Sari, 2009

Tingkat Pendidikan Petani

Suami Istri

Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%)

Rendah 19 61,3 24 77,42

Sedang 10 32,3 7 22,58

Tinggi 2 6,5 0 0

Total 31 100,0 31 100,0

Keterangan: Rendah = pendidikan formal 0 – 4 tahun, Sedang = pendidikan formal 5 – 8 tahun, dan Tinggi = pendidikan formal > 8 tahun

Hal serupa juga dapat dilihat pada tingkat pendidikan bagi istri, dimana 77,42 persen memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dengan rincian 6 orang diantaranya tidak pernah bersekolah dan sisanya pernah bersekolah di sekolah dasar, dengan lama tahun sekolah maksimal 4 tahun. Berarti, tidak ada istri petani yang tamat sekolah dasar. Dengan demikian dapat dilihat bahwa akses pendidikan laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan, meskipun tingkat pendidikan rata-rata bagi laki-laki dan perempuan yang terdapat di Desa Gempol Sari secara umum masih tergolong rendah yaitu tamat SD.

Berdasarkan survai di lapangan, sarana pendidikan seperti gedung sekolah yang dimiliki Desa Gempol Sari yaitu tiga Sekolah Dasar Negeri dan satu Sekolah Dasar Swasta. Kesempatan untuk dapat bersekolah bagi rumahtangga petani dapat dikatakan kurang. Beberapa alasannya yaitu permasalahan ekonomi dan latar belakang pendidikan orangtua yang menyebabkan keinginan dan pandangan terhadap pendidikan menjadi rendah. Anak-anak disekolahkan umumnya hingga tingkat SMP dan hanya sedikit yang memiliki kesempatan menamatkan SMA. Anak-anak perempuan yang sudah cukup umur, umumnya akan lebih diarahkan oleh orang tua mereka untuk bekerja di pabrik-pabrik yang terdapat di sekitar wilayah desa. Sebagian besar responden menyatakan bahwa pendidikan itu


(1)

kedekatan yang relatif tinggi. Akan tetapi, kedekatan yang tinggi tersebut tidak bersamaan dengan kenaikan keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga. Hal ini dikarenakan kedekatan mereka dengan tokoh masyarakat hanya sebatas pada saling mengenal, saling berinteraksi dan mengadakan pertemuan, tidak ada pertukaran informasi yang mampu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan terkait permasalahan gender.

Keharmonisan relasi gender dalam rumahtangga berhubungan oleh budaya yang berkembang dan mengikat pada masyarakat secara umum. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, terlihat bahwa kedudukan perempuan sangat terikat dengan kesibukan domestik yang telah menjadi kewajiban bagi mereka. Budaya juga menghambat perempuan untuk mendapatkan akses bahkan kontrol terhadap berbagai sumberdaya yang tersedia.

Hal lain yang terlihat pada penelitian ini yaitu terdapat hubungan sangat nyata antara luas lahan, dengan keterlibatan perempuan dalam berusaha tani. Semakin besar luas lahan yang dimiliki oleh petani maka semakin besar kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam usahatani. Hal ini dikarenakan banyaknya pengeluaran yang dibutuhkan petani seiring besarnya luas lahan, sehingga perempuan dilibatkan dengan tujuan untuk mengurangi biaya produksi.


(2)

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan

1. Relasi gender dalam rumahtangga petani sayuran dipengaruhi oleh tiga faktor yakni faktor karakteristik pribadi petani, aksesibilitas informasi dan lingkungan. Masing-masing faktor memiliki hubungan yang sangat signifikan berdasarkan hasil uji korelasi spearman dengan nilai nilai P – value < α, dimana uji berlaku pada tingkat kepercayaan 99 persen (α = 0,01).

2. Akses dan kontrol secara dominan dipegang oleh laki-laki karena laki-laki dianggap sebagai kepala rumahtangga. Hal ini dikarenakan oleh budaya yang melekat pada masyarakat yang merupakan masyarakat betawi pinggiran yang memandang bahwa istri atau perempuan pada umumnya tidak boleh terlibat dalam kegiatan pertanian dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan lingkungan sosial secara lebih luas.

3. Curahan waktu terbanyak dimiliki oleh perempuan dewasa dengan ranah kegiatan reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan dengan rataan 19,9 jam perharinya. Curahan waktu ini mayoritas dihabiskan oleh perempuan di sektor domestik dengan ragam kegiatan seperti mencuci, memasak, mengasuh anak, dan menyiapkan keperluan suami atau melayani suami. Sedangkan keterlibatan perempuan di kegiatan produktif sebagian besar terbatas pada mencabut dan mengikat sayuran pada akhir periode tanam. Curahan waktu laki-laki adalah 15,4 jam perharinya dengan mayoritas kegiatan yang dilakukan adalah di sektor produktif yaitu mengelola lahan pertanian sayuran dengan memegang kontrol terhadap


(3)

praproduksi hingga pemasaran. Curahan waktu laki-laki pada kegiatan reproduktif dikatakan tidak ada karena semua hal yang menyangkut rumahtangga dan pengasuhan dilakukan oleh perempuan.

4. Pola pengambilan keputusan yang terdapat di dalam rumahtangga petani masih didominasi oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Perempuan hanya memiliki dominasi kekuasaan dalam mengambil keputusan pada kegiatan domestik.

7.2 Saran

1. Meningkatkan pendidikan gender dengan mengoptimalkan peran penyuluh dalam memberikan informasi mengenai gender dan relasinya dalam rumahtangga. Penyuluhan ini dilakukan dengan sasarannya adalah:

a. Tokoh masyarakat: hal ini dapat mempercepat adopsi informasi karena pengaruh tokoh masyarakat yang cukup besar di tengah masyarakat. b. Masyarakat: baik laki-laki maupun perempuan diberikan akses serta

partisipasi yang setara agar informasi yang diperoleh akan sama baik bagi laki-laki maupun perempuan.

2. Diharapkan program dan kebijakan yang responsif gender yang melibatkan laki-laki dan perempuan agar dapat meningkatkan kontrol bagi perempuan di dalam berbagai kegiatan baik di rumahtangga maupun di masyarakat. Selanjutnya, diupayakan program usahatani dengan pengembangan teknologi pertanian yang hemat waktu sehingga memungkinkan perempuan untuk terlibat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik Indonesia: Jakarta.

__________________. 2004. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik Indonesia: Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik Indonesia: Jakarta.

__________________. 2008. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik Indonesia: Jakarta.

Baliwati, Y. F. 2001. Model evaluasi ketahanan pangan rumahtangga petani di Desa Sukajadi, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fardiaz D. 1996. Peranan wanita dalam pertanian lahan kering. [Laporan Utama]. Bogor: Proyek Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Nasional Komponen DAS Cimanuk Hulu. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi DATI I Jawa Barat dan Lembaga Penelitian IPB.

Fausia, L, dan Prasetyaningsih, N. 2005. Gender dalam kawasan DAS citanduy: kajian aktivitas reproduktif dan produktif perempuan dalam sumberdaya alam. [Laporan Penelitian]. Bogor: Kerjasama dengan Partnership For Governance Reform In Indonesia-UNDP.

Grijins, M dkk. 1992. Gender, Marginalisasi dan Industri Pedesaan: Pengusaha, Pekerja Upahan dan Pekerja Keluarga Wanita di Jawa Barat, Proyek Penelitian Sektor Non-pertanian Pedesaan Jawa Barat. [Laporan Penelitian]. Pusat Studi pembangunan Institut Pertanian Bogor (PSP-IPB) kerjasama Institute of Sosial Studies (ISS) Negeri Belanda, dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung(PPLH-ITB). Institute of Sosial Studies-The Hague dan Akatiga Foundation.

Handayani T, Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Hartomo W. 2007. Kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.


(5)

Haryani, M. 2004. Tingkat kemandirian wanita tani dalam pengelolaan usahatani sayuran: Kasus di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Mugniesyah S S, dkk. 2002. Peranan wanita dalam pertanian lahan kering. Proyek Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Nasional Komponen DAS Cimanuk Hulu. [Laporan Penelitian]. Bogor: Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Barat dan Lembaga Penelitian IPB.

Mugniesyah S S. 2006. Komunikasi Gender I. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

_____________________. 2007. Gender, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Ekologi Manusia. Editor Soeryo Adiwibowo. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mugniesyah S S, Wigna W, Husaini E. 2002. Jender dan perilaku masyarakat petani lahan kering dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. [Laporan Penelitian]. Bogor: Pusat Studi Wanita. Institut Pertanian Bogor.

Palit, M A P. 2009. Status dan peran wanita tani etnik Papua dalam pengambilan keputusan rumahtangga di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Prasodjo, Nuraini W et al. 2003. Modul mata kuliah gender dan pembangunan.

Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. [Tidak dipublikasikan].

Primatani. 2008. Pengembangan dan pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian pada lahan sawah semi intensif di Kabupaten Tangerang. [Laporan Akhir]. Banten: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Pudjiwati, S. 1981. Peranan wanita dalam keluarga, rumahtangga, dan masyarakat yang lebih luas di pedesaan jawa. Dua kasus penelitian di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Sumedang di Jawa Barat. [Disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sakernas. 2009. Jumlah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas berdasarkan pekerjaan utama. http://www.demografi.go.id. [diakses tanggal 8 Desember 2009].

Singarimbun, M. 1989. Metode Penelitian Survai. Editor Effendi S. Jakarta: LP3S Soeharjo, A. 1973. Sendi-sendi pokok ilmu usahatani. Bogor: Fakultas Pertanian.


(6)

Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Subagio, H. 2008. Peran kapasitas dalam mewujudkan keberhasilan usahatani:

kasus petani sayuran dan padi di Kabupaten Malang dan Pasuruan Provinsi Jawa Timur. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sunarso. 2005. Pembagian kerja pada sistem usahatani sayuran (kasus kelompok tani Bambu Duri, Desa Cimanggis, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi].Bogor: Institut Pertanian Bogor. Vitayala, A. 2007. Perempuan, politik, dan pertanian. [Dialog Publik]. Bogor: