Lama Berusahatani Tingkat Kekosmopolitan

45 penting, namun upaya untuk peningkatan pendapatan juga merupakan hal yang tidak kalah penting. “ anak-anak harus sekolah lebih tinggi dari orangtua mereka, tapi yaa gimana neng kalo nggak punya duit mah susah, lebih baik nyari duit kaya gini nyabut bantu-bantu bapak ke sawah, yang penting bisa makan aja udah syukur. Doanya biar bisa sekolah yang tinggi, namanya orang idup neng.”Ibu Yati,40 tahun

5.1.3 Lama Berusahatani

Lama berusahatani merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam melihat waktu yang dibutuhkan oleh petani dalam bertani hingga penelitian dilaksanakan. Lama berusahatani dapat mengindikasikan pengalaman dan keterampilan seorang petani dalam proses produksi dan juga sejauhmana pengalaman tersebut dapat meningkatkan kemudahan petani dalam berusahatani. Tabel 11. Jumlah dan persentase rumahtangga petani sayuran menurut lama berusahatani di Desa Gempol Sari, 2009 Tingkatan Jumlah n Persentase Rendah 17 54,8 Sedang 9 29,0 Tinggi 5 16,1 Total 31 100,0 Keterangan: Rendah = 0 – 9,6 tahun, Sedang = 9,67 – 19 tahun, dan Tinggi = 19 tahun Sebanyak 54,8 persen petani, terutama bapak tani memulai untuk bertani selama kurang dari 10 tahun yang lalu dari saat penelitian ini dilakukan. Pertanian tanaman sayuran mulai diminati semenjak kualitas lahan pertanian untuk tanaman pangan seperti padi semakin lama kian menurun. Banyaknya permintaan terhadap sayuran dan usia panen yang tergolong lebih singkat serta proses produksi yang juga relatif lebih mudah, menjadi faktor yang meningkatkan minat petani-petani untuk menggarap jenis komoditas ini. Selain itu, sulitnya kesempatan bekerja bagi laki-laki di desa yang disebabkan oleh tingkat 46 pendidikan rendah, mendorong banyak laki-laki mencoba mengambil kesempatan dalam berusahatani. Hal itu sejalan dengan penuturan responden berikut. “Kalo nggak bertani mau dapat duit dari mana, bisa apa lagi kalo ngga bertani, lumayan dari pada nganggur,…..” Buna, 45 tahun.

5.1.4 Tingkat Kekosmopolitan

Tingkat kekosmopolitan merupakan salah satu variabel untuk melihat keterbukaan petani terhadap dunia luar, serta mengetahui tingkat mobilitas petani dengan daerah lain. Petani melakukan perjalanan ke luar desa atau kecamatan untuk berdagang sayuran, selain itu mereka juga melakukan kunjungan ke tempat saudara. Dalam perjalanan yang dilakukan tersebut, sangat jarang dimanfaatkan oleh mereka untuk mendapatkan informasi, membuka diri, dan belajar untuk kepentingan lainnya pertanian maupun non-pertanian. Akan tetapi, di lain hal terdapat juga Prima Tani sebagai salah satu program pemerintah setempat dalam upaya pengembangan usahatani menjadi lebih maju dan berdaya saing. Namun, keberadaan Prima Tani belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Tabel 12. Jumlah dan persentase rumahtangga petani sayuran menurut tingkat kekosmopolitan di Desa Gempol Sari, 2009 Tingkat Kekosmopolitan Jumlah n Persentase Rendah 21 67,7 Sedang 5 16,1 Tinggi 5 16,1 Total 31 100,0 Keterangan: Rendah = skor 8, Sedang = skor 9 – 14, dan Tinggi = skor 14 Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat kekosmopolitan petani sebanyak 67,7 persen berada pada tingkatan rendah, kemudian diikuti oleh tingkatan sedang 47 dan tinggi yang masing-masing memiliki nilai sama yaitu 16,1 persen. Hal ini mengindikasikan petani sangat jarang melakukan perjalanan menuju luar desa. Perjalanan yang dilakukan pada umumnya hanya untuk berdagang sayuran pada akhir periode tanam panen. Selain itu, petani lebih sering menjual hasil produksi mereka kepada para pemborong tengkulak yang datang langsung ke masing- masing petani. Hal ini tentunya memperkecil peluang petani untuk melakukan perjalanan ke luar desa. Dampaknya terlihat pada sedikitnya informasi dan keluwesan petani dalam mencari informasi sendiri, baik informasi mengenai pertanian ataupun non-pertanian misalnya permasalahan gender Petani sehari-harinya akan menghabiskan waktu mereka untuk mengolah lahan mereka masing-masing dari awal proses produksi hingga pada saat panen tiba. Kegiatannya meliputi pengolahan tanah, penanaman sayuran, pemupukan, penyiangan, pengairan, penyiraman, dan pembasmian hama. Tingginya alokasi waktu petani untuk lahan pertanian secara tidak langsung juga menyita waktu mereka untuk melakukan perjalanan ke luar desa. 5.1.5 Tingkat Pendapatan Petani Tingkat pendapatan petani yang diukur merupakan jumlah pendapatan petani dalam satu tahun yang dijumlahkan dari pendapatan setiap periode panen sayuran yang nilainya berbeda antara musim kemarau dan musim hujan. Pendapatan petani lebih besar pada bulan-bulan di musim kemarau dan lebih kecil pada musim hujan, disebabkan petani kerap kali mengalami kerugian akibat sayuran banyak yang busuk terendam air. Pendapatan petani juga dipengaruhi oleh keragaman komoditas yang ditanam para petani pada satu periode tanam. Seringkali petani mengalami 48 kerugian akibat komoditas yang ditanam seragam, sehingga mengakibatkan hasil produksi sayuran yang melimpah dan harga cenderung turun. Tabel 13. Jumlah dan persentase rumahtangga petani sayuran menurut tingkat pendapatan di Desa Gempol Sari, 2009 Tingkat Pendapatan Petani Jumlah n Persentase Rendah 23 74,2 Sedang 5 16,1 Tinggi 3 9,7 Total 31 100,0 Keterangan: Rendah = kisaran total pendapatan Rp 15.500.000tahun, Sedang = kisaran total pendapatan Rp 15.500.000tahun – 31 jutatahun, dan Tinggi = Rp 31 jutatahun Berdasarkan data pada Tabel 13, sebagian besar petani memiliki pendapatan lebih kecil dari Rp.15.000.000,00 setiap tahunnya. Data tersebut menunjukkan bahwa pendapatan petani tiap bulan atau pada satu kali periode tanam adalah berkisar antara Rp.300.000,00 hingga Rp.1.000.000,00. Pendapatan ini adalah pendapatan kotor yang diperoleh petani sebelum dikurangi dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh masing-masing petani. Biaya produksi tersebut meliputi, sewa lahan bagi petani yang tidak memiliki lahan sendiri, biaya pembelian bibit, saprotan, dan upah buruh tani serta kuli cabut. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh masing-masing petani sangat beragam. Pembiayaan ini dapat dikeluarkan pada saat proses produksi pertanian ataupun pada saat panen sesuai dengan kebutuhan masing-masing petani. Sehingga perhitungan pendapatan bersih petani tidak dapat dipisahkan untuk dihitung dengan jelas. Petani yang hanya bertumpu pada hasil produksi lahan akan memiliki pendapatan yang lebih kecil dibanding petani yang sekaligus menjual produknya 49 langsung ke pasar. Pendapatan tertinggi diperoleh oleh petani yang juga berperan sebagai pengumpul sayuran untuk dibawa ke pasar-pasar di Tangerang dan Jakarta. Namun, petani yang demikian sangat sedikit sekali jumlahnya. Kebanyakan dari petani justru menjual hasil panen mereka secara borongan. Tengkulak akan membeli langsung di lahan mereka, dengan harga yang terbilang relatif rendah.

5.2 Aksesibilitas Informasi