Analisis ketahanan pangan rumahtangga petani di beberapa provinsi
PETANI DI BEBERAPA PROVINSI
GATOET SROE HARDONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
disertasi saya berjudul :
ANALISIS KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA
PETANI DI BEBERAPA PROVINSI
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruaan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2012
Gatoet Sroe Hardono NRP. H363070131
(3)
Several Provinces (BONAR M SINAGA as Chairperson, NUNUNG KUSNADI, and TAHLIM SUDARYANTO as Members of the Advisory Committee).
Concern on the decline in human resource quality promotes food security as strategic policy in national development. Within the frame work of food security, farm household should have direct access to food. However, the question is whether access to food guarantees the household to be free from food insecurity? The aim of this study was to: (1) analyze food security status of farm household, (2) analyze factors affecting household food security, (3) analyze influence of several economic factors on household food security performance, and (4) formulate policy alternative to improve farm household food security. The result of analysis showed that food security status of farm household was much lower than it was expected. Half of the households experience food insecurity and malnutrition in term of underweight, stunting and wasting. Partially, farm household food security was affected by food expenditure, number of household member, year dummy, energy adequacy and clean water as indicated by dry season dummy. However, in term of system, farm household food security was affected by unresponsiveness of farm land as the driving force to shift production and create income, which finally increase access to food. Increase in rice price proportional to increase in input price partially compensates negative effect of increase in input price on farm household food security performance. The effect of increase in input and output prices, and other economic factors were varied by expenditure and time. Food security performance can be improved if farm land, job diversification and job opportunity are increased or if number of household members is decreased. Therefore, it is necessary to implement irrigation investment and maintenance policy, land redistribution, job opportunity creation, infrastructure development, income generation and population control policy. Key words: food security, farm household, rural, economic model
(4)
Beberapa Provinsi (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, NUNUNG KUSNADI, dan TAHLIM SUDARYANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Kekhawatiran terhadap penurunan kualitas sumberdaya manusia menjadikan ketahanan pangan strategis dalam pembangunan nasional. Ketahanan pangan diperlukan untuk menjamin pemenuhan pangan sebagai bahan proses basal metabolism tubuh. Rumahtangga petani memiliki akses langsung terhadap pangan yang menjadi syarat tercapainya ketahanan pangan. Akan tetapi dengan keterbatasan skala usaha dan situasi kemiskinan yang masih dihadapi, timbul pertanyaan apakah dengan akses itu petani dapat terbebas dari situasi atau masalah rawan pangan. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis status ketahanan pangan rumahtangga petani, (2) menganalisis faktor-faktor determinan ketahanan pangan rumahtangga petani, (3) menganalisis pengaruh perubahan beberapa faktor-faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga petani, dan (4) merumuskan alternatif kebijakan peningkatan ketahanan pangan rumahtangga petani.
Model perilaku yang dikembangkan mengacu pada model rumahtangga pertanian Strauss (1986). Model tersebut menghasilkan solusi akhir berupa fungsi permintaan komoditas dan waktu santai sebagai fungsi dari harga-harga, dan pendapatan rumahtangga. Untuk mengkaitkan dengan ketahanan pangan fungsi permintaan komoditas ditransformasi menjadi fungsi permintaan atau konsumsi energi.Tingkat kecukupan energi dihitung dengan membobot nilai konsumsi energi dengan angka kecukupan energi. Status gizi yang diproksi dengan nilai z skor antropometri dijadikan bagian indikator dampak perilaku dalam model.
Model perilaku rumahtangga dibentuk dalam rangkaian persamaan simultan dengan 18 persamaan struktural dan 14 persamaan identitas. Pendugaan model menggunakan metode Two Stages Least Squares (2 SLS). Adapun validasi model menggunakan kriteria Root Mean Square Percented Error (RMSPE) dan Theil’s
Inequality Coefficient (U-Theil) (Pindyck dan Rubinfield, 1998). Simulasi dilakukan untuk mempelajari opsi kebijakan peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Alternatif simulasi adalah: (1) kenaikan harga input (pupuk Urea dan SP36) masing-masing 30 persen diikuti kenaikan harga ouput (padi) 30 persen, (2) simulasi 1 diikuti pengurangan jumlah anggota rumahtangga, (3) simulasi 1 diikuti peningkatan luas garapan 0.3 ha untuk rumahtangga miskin, rumahtangga tahun 2007 dan 2010, serta 0.2 ha untuk rumahtangga tidak miskin, (4) simulasi 1 diikuti peningkatan diversifikasi usaha 25 persen, (5) simulasi 2 diikuti peningkatan diversifikasi usaha 25 persen, dan (6) simulasi 1 diikuti peningkatan kesempatan kerja (non pertanian dan berburuh tani) 25 persen. Untuk pengayaan pembahasan, simulasi dibedakan menurut kelas pengeluaran rumahtangga (menggunakan nilai pengeluaran Rp 9000/kapita/hari sebagai batas menentukan status rumahtangga miskin dan tidak miskin) dan menurut waktu (rumahtangga tahun 2007 dan 2010).
Hasil analisis menunjukkan status ketahanan pangan rumahtangga petani di daerah penelitian dicirikan oleh kecukupan energi yang masih jauh dari harapan. Tingkat kecukupan energi baru mencapai 88 persen pada tahun 2007 dan cenderung menurun pada tahun 2010. Konsekuensi dari kecenderungan
(5)
stunting) dan wasting. Prevalensi underweight meningkat pada 2010. Akan tetapi prevalensi stunting dan wasting cenderung menurun pada tahun tersebut. Situasi kecukupan energi dan status gizi tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga petani belum terbebas dari masalah rawan pangan.
Ketahanan pangan rumahtangga secara parsial dipengaruhi oleh: pengeluaran pangan rumahtangga, jumlah anggota rumahtangga, dummy tahun, kecukupan energi dan dummy air bersih pada musim kemarau. Akan tetapi secara sistem, peningkatan kinerja ketahanan pangan dipengaruhi oleh faktor tidak responsifnya perubahan luas garapan sebagai penentu produksi padi dan pendapatan yang akhirnya menjadi pendorong akses rumahtangga petani terhadap pangan. Akibat situasi tersebut, pengeluaran pangan, kecukupan energi dan status gizi cenderung stagnan. Di dalam model, luas garapan dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja keluarga, modal usaha, dummy pulau dan dummy tahun. Akan tetapi perubahan ketersediaan tenaga kerja dan modal usaha rumahtangga tidak mampu mendorong rumahtangga meningkatkan luas lahan garapan.
Pengaruh kenaikan harga pupuk yang bersifat negatif terhadap ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga petani dapat dikompensasi jika secara bersamaan harga padi meningkat proporsional. Secara akumulasi, pengaruh perubahan kedua faktor ekonomi masih mampu mendorong peningkatan kecukupan energi dan status gizi sebagai indikator utama ketahanan pangan meskipun dengan persentase relatif kecil.
Status ketahanan pangan rumahtangga petani dapat lebih meningkat jika terjadi peningkatan luas garapan, diversifikasi usaha, kesempatan kerja atau penurunan jumlah (ukuran) rumahtangga. Penurunan jumlah anggota rumahtangga memberikan pengaruh paling besar terhadap peningkatan ketahanan pangan dibandingkan faktor ekonomi lain di seluruh strata rumahtangga. Adapun perubahan kinerja ketahanan pangan yang diakibatkan oleh perubahan luas garapan, diversifikasi usaha dan kesempatan kerja berbeda-beda antar strata rumahtangga.
Secara keseluruhan, selain faktor penurunan jumlah anggota rumahtangga, faktor ekonomi yang memberikan pengaruh besar terhadap peningkatan ketahanan pangan rumahtangga petani adalah luas garapan. Oleh sebab itu pada situasi harga-harga yang mengalami kenaikan, kedua faktor ekonomi tersebut dapat digunakan sebagai instrument meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga petani di perdesaan.
Luas lahan garapan berperan strategis dalam meningkatkan kinerja ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga petani.Akan tetapi upaya peningkatan luas lahan garapan tidak mudah dilakukan. Agar petani dapat memaksimumkan pendayagunaan lahan maka diperlukan kebijakan pendukung yang mendorong peningkatan intensitas tanam atau indeks pertanaman melalui pengembangan investasi dan pemeliharaan jaringan irigasi serta kebijakan lain yang mengarah pada redistribusi lahan untuk mendukung kesejahteraan petani.
Ukuran rumahtangga terbukti berpengaruh terhadap status kinerja ketahanan pangan rumahtangga. Dalam perspektif peningkatan ketahanan pangan rumahtangga petani maka upaya revitalisasi kebijakan dan program terkait aspek
(6)
maka pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang dapat mendorong peningkatan harga output padi agar pengaruh negatif kenaikan harga pupuk terhadap ketahanan pangan dapat terkompensasi dan kesejahteraan petani tidak menurun.
Peluang kerja dan diversifikasi usaha menjadi alternatif petani mengoptimalkan alokasi tenaga kerja keluarga dan sekaligus meningkatkan pendapatan yang sangat strategis untuk mendorong daya beli terhadap pangan. Oleh sebab itu penciptaan lapangan kerja dan berusaha di perdesaan menjadi kebijakan pendukung yang strategis dalam peningkatan ketahanan pangan. Terkait pengembangan usahatani lain, dukungan kebijakan yang memudahkan mobilitas sumberdaya dari dan ke desa, seperti pengembangan infrastruktur perdesaan: jalan, listrik dan sarana komunikasi, sangat dibutuhkan.
Di sisi lain, peningkatan status ketahanan pangan rumahtangga petani juga membutuhkan peningkatan kinerja kecukupan energi dan status gizi. Untuk itu, upaya dan kebijakan terkait peningkatan pendapatan rumahtangga petani serta kesadaran akan pentingnya faktor kesehatan diri dan lingkungan dalam mendukung cara hidup sehat pada masyarakat petani perlu disosialisasikan secara intensif.
(7)
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
(8)
GATOET SROE HARDONO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(9)
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:
1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc
Guru Besar, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Harianto, MS
Staf Pengajar Dept. Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS
Guru Besar Ekonomi, STMIK Nusa Mandiri 2. Dr. Ir. Hermanto, MS
(10)
Nama Mahasiswa : Gatoet Sroe Hardono
Nomor Pokok : H363070131
Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui 1. Komisi Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Prof (R). Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS Anggota Anggota
Mengetahui,
2.KoordinatorMayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana,
Ilmu Ekonomi Pertanian,
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
(11)
perkenanNya disertasi ini dapat diselesaikan. Fokus disertasi ini adalah ingin mengungkap ketahanan pangan rumahtangga petani di perdesaan, khususnya rumahtangga yang menjadikan usahatani padi sebagai salah satu aktivitas dan sumber pendapatan rumahtangga. Berbagai perubahan situasi lingkungan strategis telah menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya penurunan kinerja ketahanan pangan rumahtangga petani.
Disertasi ini dapat diselesaikan atas bantuan, komentar dan arahan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M.Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS dan Prof (R). Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto selaku Anggota Komisi Pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, koreksi, dan dorongan motivasi untuk segera menyelesaikan studi pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga diucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc dan Dr. Ir. Harianto, MS sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tertutup, serta Prof. Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS dan Dr. Ir. Hermanto sebagai penguji luar komisi pada saat ujian terbuka atas semua komentar, masukan, dan saran perbaikan disertasi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB dan ijin penggunaan data penelitian untuk disertasi penulis. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada rekan-rekan sekerja di PSEKP: Dr. Ir. Sumaryanto, MS atas dukungan data dan informasi penjelasannya untuk disertasi, Dr.Ir. Bambang Irawan, MS atas dukungan motivasi dan masukan untuk perbaikan kerangka piker disertasi, Nina dan Eni yang membantu mempersiapkan data dan variabel untuk analisis.
Selama menempuh studi sampai selesainya disertasi ini penulis juga banyak menerima bantuan dan dukungan dari teman-teman mahasiswa Mayor Ilmu ekonomi Pertanian angkatan 2007. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih. Semoga kerjasama dan semangat persahabatan tetap terjalin setelah kembali ke tempat tugas masing-masing.
(12)
Juniati, Sp.P atas rekomendasi adik beliau sendiri yaitu Dr. Hendri Saparini, teman sekolah penulis semasa kecil yang sekarang menjadi Direktur Pelaksana ECONIT. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan medis, dukungan doa dan semangat hingga penulis sembuh. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Anna Vipta Resti Mauludyani, SP. M.Sc dan keluarga besar Hj. Ir. Mewa Ariani, MS atas keikhlasannya berbagi ilmu pengetahuan melalui tambahan pustaka dan diskusi, dukungan materiil dan doa selama studi. Semoga Allah SWT memberi balasan yang lebih baik.
Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada seluruh keluarga besar H. Koesnadi Soetoharjo yang selalu mendukung dan mengiringi dengan do’a yang tak pernah putus bagi keberhasilan studi penulis. Semoga disertasi ini dapat menjadi kenangan atas segala jerih payah yang telah dikorbankan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan pada disertasi ini. Akan tetapi penulis tetap berharap disertasi ini dapat memberi manfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2012
(13)
dari pasangan Hj. Aliyatun dan H. Koesnadi Soetoharjo. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara.
Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1976 di SD Kutosari II, Kebumen. Setelah tamat dari sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri I pada tahun 1980, penulis melanjutkan sekolah di di SMA Negeri di kota yang sama (Kebumen). Penulis tamat pada tahun 1983.
Pada bulan Mei tahun 1983 penulis mendapat panggilan untuk menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat, Proyek Perintis II. Selepas dari Tingkat Persiapan Bersama, penulis memilih masuk ke Program Studi Penyuluhan Pertanian, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Penulis dinyatakan lulus dan memperoleh gelar Sarjana pada bulan Desember 1987.
Sejak Maret 1989 sampai sekarang penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (pada waktu itu bernama Pusat Agro Ekonomi), Kementerian Pertanian. Pada tahun 2006/2007 penulis menjadi
salah satu anggota “Tim-8” dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian yang ditugaskan secara bergilir membantu kegiatan operasional di Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Penulis juga pernah berkesempatan menjadi pengajar tamu di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia peminatan Gizi Kesehatan dan di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, serta menjadi pembicara di beberapa forum disksusi terkait ketahanan pangan.
Melalui program beasiswa Agricultural Research Management Project
(ARMP) II, pada tahun 1998 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program magister pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, mengambil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Penulis lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2007/2008 penulis melanjutkan studi program doktor pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
(14)
xiii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. LatarBelakang... 1
1.2. PerumusanMasalah ... 4
1.3. TujuandanKegunaanPenelitian... 6
1.4. LingkupdanKeterbatasanPenelitian... 7
1.5. KebaruandalamPenelitian... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA... 11
2.1. Dimensi dan Pengukuran Ketahanan Pangan... 11
2.2. Resiko Ketahanan Pangan ... 16
2.3. Status Gizi Sebagai Indikator Ketahanan Pangan... 18
2.4. Ketahanan Pangan dan Model Perilaku Rumahtangga... 20
III. KERANGKA PEMIKIRAN... 25
3.1. Model Ekonomi Rumahtangga Petanidan Pengembangannya ... 25
3.2. Dampak Perubahan Harga Terhadap Keseimbangan Subyektif .... 40
3.3. Model Perilaku Rumahtangga Pertanian... 42
3.4. Kaitan Model Terhadap Ketahanan Pangan dan Status Gizi... 51
3.5. Pendekatan Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani ... 53
IV. METODE PENELITIAN... 57
4.1. Data dan Sumber Data... 57
4.2. Pengukuran Ketahanan Pangan dan Status Gizi... 61
4.3. Perumusan Model Perilaku Rumahtangga Petani... 63
4.4. Identifikasi dan Pendugaan Model Rumahtangga... 74
4.5. Validasi Model... 76
4.6. Simulasi Model... 77
V. KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA PETANI... 81
(15)
xiv
5.4. Status Ketahanan Pangan dan Gizi ... 88
5.5. Sumber Air Bersih ... 90
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL PERILAKU RUMAHTANGGA …. 93 6.1. Kinerja Umum Model ... 93
6.2. Blok Ketersediaan Pangan ... 94
6.3. Blok Alokasi Tenaga Kerja ... 102
6.4. Blok Akses Pangan ... 111
6.5. Blok Pemanfaatan Pangan ... 119
VII. PENGARUH PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI ... 125 7.1. Hasil Validasi Model ... 125
7.2. Pengaruh Perubahan Faktor-Faktor Ekonomi ... 131
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN... 153
8.1. Kesimpulan ... 153
8.2. Implikasi Kebijakan ... 154
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 156
DAFTAR PUSTAKA... 157
(16)
xv
1. Sebaran Desa dan Jumlah Petani Menurut Provinsi... 61
2. KarakteristikDemografiRumahtanggaContoh... 81
3. LuasGarapandanFrekuensiTanamPadi... 82
4. AlokasiTenagaKerjaKeluargapadaBerbagaiKegiatan... 84
5. PendapatanRumahtanggaMenurutSumber... 85
6. StrukturPendapatanRumahtangga ... 86
7. StrukturPengeluaranRumahtangga per Tahun ... 87
8. SimpananPangan, Tabungan, dan Modal Usaha Rumahtangga... 88
9. Konsumsi, Tingkat KecukupandanProporsiRawanPangan... 89
10. Status GiziAnggotaRumahtangga... 90
11. PartisipasiRumahtanggaDalamPenggunaanSumber Air Bersih …… 91
12. HasilPendugaan Parameter PersamaanLuasGarapan …..…..... 94
13. HasilPendugaan Parameter PersamaanProduksiPadi... 97
14. HasilPendugaan Parameter PersamaanPenggunaanBenih... 98
15. HasilPendugaan Parameter PersamaanPenggunaanPupukUrea ... 99
16. HasilPendugaan Parameter PersamaanPenggunaanPupuk SP36... 100
17. HasilPendugaan Parameter PersamaanSimpananPangan... 101
18. HasilPendugaan Parameter PersamaanAlokasiTenagaKerjaPriaKeluargauntukUsahataniPadi .………... 103 19. HasilPendugaan Parameter PersamaanAlokasiTenagaKerjaWanitaKeluargauntukUsahataniPadi... ... 104 20. HasilPendugaan Parameter PersamaanAlokasiTenagaKerjaPriaLuarKeluargauntukUsahataniPadi. ... 106 21. HasilPendugaan Parameter PersamaanAlokasiTenagaKerjaWanitaLuarKeluargauntukUsahataniP adi…………... 107 22. HasilPendugaan Parameter PersamaanAlokasiTenagaKerjaNonPertanian ………... 109 23. HasilPendugaan Parameter PersamaanAlokasiTenagaKerjaBerburuhTani... ... 111 24. HasilPendugaan Parameter PersamaanPengeluaranPangan …... 113
(17)
xvi
27. HasilPendugaanParameterPersamaanTabungan ... 118
28. HasilPendugaan Parameter PersamaanKecukupanEnergi ... 119
29. HasilPendugaan Parameter Persamaan Status Gizi ………….... 121
30. HasilValidasi Model PerilakuRumahtanggaPetaniMiskin... 127
31. HasilValidasi Model PerilakuRumahtanggaPetaniTidakMiskin ….. 128
32. HasilValidasi Model PerilakuRumahtanggaPetaniTahun2007 ... 129
33. HasilValidasi Model PerilakuRumahtanggaPetaniTahun 2010 ……. 130 34.
RekapitulasiPengaruhPerubahanFaktor-faktorEkonomiTerhadapKetahananPanganRumahtanggaPetaniMenur utKelasPengeluaran ..
148 35.
RekapitulasiPengaruhPerubahanFaktor-faktorEkonomiTerhadapKetahananPanganRumahtanggaPetaniMenur
utTahun……….
(18)
xvii
1. Proporsi Rumahtangga Rawan Pangan Menurut Wilayah... 3
2. Indikator Generik Ketahanan Pangan... 13
3. Model Rumahtangga Petani Chayanov………... 27
4. Dampak Peningkatan Rasio Konsumen Terhadap Pekerja ... 28
5. Model Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima ... 31
6. KeseimbanganSubyektif dan Pilihan Multiple Self-employment: AntaraPertanian dan Non Pertanian... 33
7. Keseimbangan Subyektif Bekerja Usahatani dengan Bekerja Upahan di LuarUsahatani... 36
8. Keseimbangan Subyektif Usahatani dengan Bekerja Penuh di Luar Usahatani... 38
9. Alokasi Waktu Kerja Rumahtangga Yang Menyewa Buruhtani ... 39
10. Keseimbangan Subyektif dan Perubahan Harga Output... 41
11. Kerangka Pendekatan Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Perdesaan ... 56
(19)
xviii 1.Program KomputerPendugaan
ModelPerilakuRumahtanggaPetaniMenggunakan SAS/ETS Prosedur SYSLIN denganMetode 2SLS ….
169 2.HasilPendugaanModel PerilakuRumahtanggaPetaniMenggunakan
SAS/ETS Prosedur SYSLIN denganMetode 2SLS ... 171 3.Program KomputerValidasi Model
PerilakuRumahtanggaPetaniMenggunakan SAS/ETS Prosedur
SIMNLIN Metode Newton ……. 180
4.HasilValidasi Model PerilakuRumahtanggaPetaniMenggunakan
SAS/ETS Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 182 5.Program KomputerSimulasi Model
PerilakuRumahtanggaPetaniMenggunakan SAS/ETS Prosedur SIMNLIN Metode Newton ……...
192 6.HasilSimulasi ModelPerilakuRumahtanggaPetaniMenggunakan
SAS/ETS Prosedur SIMNLIN Metode Newton ………. 194
7.
PengaruhPerubahanFaktor-faktorEkonomiTerhadapKetahananPanganRumahtanggaPetaniMiskin
……... 204
8.
PengaruhPerubahanFaktor-faktorEkonomiTerhadapKetahananPanganRumahtanggaPetaniTidakMis kin ……...
205 9.
PengaruhPerubahanFaktor-faktorEkonomiTerhadapKetahananPanganRumahtanggaPetaniTahun
2007 ……….
206 10.
PengaruhPerubahanFaktor-faktorEkonomiTerhadapKetahananPanganRumahtanggaPetaniTahun201
0 ………
(20)
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah isu strategis dalam pembangunan nasional.Human Development Report tahun 2011menyebutkan, Indonesia hanya menempati peringkat ke 124 dari 189 negara (UNDP, 2011) dalam urutan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) sehingga mengesankan jumlah penduduk yang besar masih cenderung sebagai beban. Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan bahkan Brunei Darusalam.
SDM berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri (Menkes, 2005). Untuk menjadi sehat, syarat utama yang diperlukan adalah SDM dapat mengkonsumsi pangan sesuai kebutuhan proses basal metabolisme tubuh. Dalam hal ini pangan berfungsi sebagai sumber energi dan zat gizi lain yang dibutuhkan tubuh untuk pekerjaan dan proses-proses dalam tubuh (lihat Suhardjo et al., 2006). Oleh sebab itu upaya peningkatan kualitas SDM menuntut dukungan ketahanan pangan yang kokoh.Ketahanan pangan berperan strategis menentukan stabilitas dan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan pangan tersebut.
Terdapat beberapa alasan mengapa ketahanan pangan menjadi isu strategisdalam pemenuhan kebutuhan pangan (Jenie, 2008; Kadiman, 2008; Sumaryanto, 2009; FAO, 2011):
1. Jumlah penduduk yang besar membutuhkan penyediaan pangan yang makin besar. Tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 209.3 juta jiwa. Tanpa ketahanan pangan banyak orang akan terancam kelaparan dan rawan pangan.
2. Untuk mendukung program global Millenium Development Goals. Target pertama program tersebut (MDG-1) adalah menurunkan jumlah penduduk miskin dan kelaparan menjadi tinggal 50 persen pada akhir 2015. Ketahanan pangan yang lemah akan menghambat pencapaian program.Menurut FAO (2011), sekitar 30 juta jiwa penduduk Indonesia masih mengalami rawan pangan pada periode 2006-2008.
(21)
3. Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya krisis global multidimensi,sepertipada tahun 2007/2008. Krisis mengakibatkan ekskalasi harga-harga pangan dan penurunan pendapatan riil (FAO,2011) yang melemahkan daya beli masyarakat sehingga perlu dicegah.
4. Antisipasi terhadap dampak penurunan kapasitas sumberdaya (depleting resources), khususnya yang mendukung produksi pangan. Penurunan kapasitas sumberdaya berpotensi menjadi masalah dalam penyediaan pangan.
5. Antisipasi terhadap dampak perubahan iklim global yang mengancam penyediaan pangan. Perubahan iklim berpotensi mengubah pola dan meningkatkan resiko produksi pangan.
Pada skala global ketahanan pangan juga masih menjadi isu penting.Diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih terancam kelaparan dan rawan pangan (FAO, 2010).Dijelaskan dalam FAO (2010), meskipun telah turun dibanding tahun sebelumnya tetapi tingkat rawan pangan secara umum masih tinggi. Pada tahun 2008 jumlah penduduk rawan pangan sempat mencapai lebih dari satu milyar akibat krisis global (United Nation,2009;2010; FAO, 2009).Krisis ekonomi global memicu ekskalasi harga-harga pangan dan menghambat laju penurunan kemiskinan.Oleh karena kemiskinan mengakibatkan penurunan daya beli masyarakatterhadap pangan makaterhambatnya laju penurunan kemiskinan membuka peluang peningkatan prevalensi rawan pangan (Maxwell dan Frankenberger, 1992).
Di dalam negeri, kasus-kasus rawan pangan masih terjadiantar waktu.Data agregat mengindikasikan, selama tahun 1996-2008 proporsi rumahtangga yang mengalami rawan pangan belum dapat dihilangkan.Setelah sempat mencapai 14.3 persen pada tahun 1999, proporsi rumahtangga rawan pangan tahun 2008 masih sebesar 8.7 persen,atau dua kali lipat dari kondisi tahun 1996 (Gambar 1). Jika dikaitkan dengan dinamika perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya proporsi rumahtangga rawan pangan diduga tidak terlepas dari pengaruh negatif krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi menyebabkan penurunan konsumsi pangan secara kuantitas maupun kuallitas (Ariani et al., 2000).
(22)
Situasi rawan pangan seperti di atas menjadi ironi karena pada periode yang hampir bersamaan produksi pangandilaporkan meningkat, khususnya padi (beras). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000-2010 menunjukan, produksi padi nasional meningkat sekitar 2.4persen per tahun dan mendorong kenaikan volume produksi dari 51.9 ribu ton menjadi 66 ribu ton.Menurut Hadi dan Susilowati (2010), pencapaian produksi telah melebihi kebutuhan konsumsidengan surplus produksi antara 24.4-35.4 persen selama periode 2000-2007.Oleh sebab itu Hadi dan Susilowati (2010) menyimpulkan produksi padi (beras) telah mencapai swasembada secara berkelanjutan. Ketidakselarasan situasi produksi pangan dan prevalensi rawan pangan mengindikasikan rawan pangan sebagai persoalan laten yang tidak hanya sebatas masalah produksi pangan saja tetapi juga terkait banyak faktor lain seperti: kemiskinan, lingkungan dan kesehatan.
Sumber: Susenas BPS, berbagai tahun. Diolah.
Ket*): Batas rawan pangan < 70%AKE (Angka Kecukupan Energi)
Gambar 1.Proporsi Rumahtangga Rawan Pangan Menurut Wilayah
Apapun faktor penyebabnya, kejadian rawan pangan mengisyaratkan belum kokohnya ketahanan pangan.Chung et al.(1997) menyebutkan, ketahanan pangan tersusun atas tiga pilar (ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan).Ketimpangan dan gangguan pada salah satu pilar akan mengganggu kinerja ketahanan pangan secara keseluruhan.Oleh sebab itu faktor stabilitas menjadi sangat penting dalam mempertahankan kinerja ketahanan pangan.FAO
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
1996 1999 2002 2005 2008
Pro
p
o
rs
i
(%
)
Tahun
Kota Desa Nasional
(23)
(2006) bahkan menganggap faktor stabilitas juga sebagai salah satu pilar ketahanan pangan yang terpisah dari ketiga pilar yang disebut di atas.
Dalam lima tahun terakhir, kinerja ketahanan pangan kembali mendapat banyak perhatian publik.Pada kondisi jumlah penduduk yang masih besar, ekskalasi harga-hargapangan yang dipicu krisis global dan peningkatan intensitasdampak perubahan iklim yang semakin sulit diantisipasi menimbulkan kekhawatiran akankembali meningkatnya prevalensi rawan pangan dan gizi (von Braun, 2008;Mahmuti et al., 2009; Brinkman et al., 2010).Akumulasi dampak kedua situasi yang tidak kondusif ini selain akanberpengaruh terhadap penurunan pendapatan riil (daya beli) juga terhadap produksi dan ketersediaan pangan, sehingga mengganggu kinerja ketahanan pangan dan status gizi rumahtangga.Penelitian Mauludyani (2011) menunjukkan pengaruh krisis ekonomi tersebut terhadap konsumsi pangan strategis dan keterkaitan perubahan pengeluaran pangan akibat krisis dengan status gizi anak usiabawah dua tahun. 1.2. Perumusan Masalah
Beberapa data agregat menunjukan bahwa ketahanan pangan rumahtangga secara umum belum kokoh dan stabil. Indikasi tersebutdapat dilihat antara lain dari kecenderungan penurunan konsumsi energi, masih cukup besarnya proporsi penduduk rawan pangan dan lambatnya peningkatan status gizi balita (Susilowati, 2010; BKP, 2010; Badan Litbangkes, 2010). Situasi seperti itu perlu dicermati karena bertolak belakang dengan tujuan dan harapan dari pembangunan SDM.
Untuk memenuhi kecukupan pangan, seseorang membutuhkan konsumsi energi paling tidak sebesar 2000 Kkal/hari dan protein 52 gr/hari yang berasal dari berbagai jenis pangan (Menkes, 2005). Akan tetapi fakta menunjukkan, rataan konsumsi energi secara nasional baru mencapai 1927.5 Kkal/kapita/hari pada tahun 2009, sedangkan konsumsi protein telah mencapai 54.3 gr/kapita/hari (BKP, 2010). Ini berarti konsumsi energi baru mencapai sekitar 96 persen dari angka kecukupan, sedangkan konsumsi protein telah mencapai 104 persen dari angka kecukupan pada tahun yang sama. Pangsa energi dan protein terbesar berasal dari kelompok pangan padi-padian, khususnya beras. Dalam perspektif dinamika, tingkat konsumsi energi dan protein tersebut lebih rendah dibandingkan rataan selama periode 2002-2008, sehingga secara keseluruhan masalahkonsumsi pangan
(24)
penduduk tidak hanya kurang secara kuantitas fisik tetapi juga belum seimbang dalam komposisi.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 mengungkapkan, sekitar 40.7 persen penduduk Indonesia masih mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimum (70% dari angka kecukupan gizi), sementara penduduk yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal ada sekitar 37.0 persen (Badan Litbangkes, 2010). Di sisi outcome, publikasi Riskesdas juga mengindikasikan tidak terdapat peningkatan yang signifikan status gizi balita selama periode 2007-2010. Prevalensi balita kurang gizi (underweight) hanya turun 0.5 persen, pendek (stunting)berkurang 1.0 persen dan kurus (wasting) hanya berkurang 0.3 persen pada periode yang sama. Pada tahun 2010 prevalensi ketiganya masing-masing sebesar 17.9 persen, 35.6 persen dan 13.3 persen.Terdapat 18 provinsi memiliki prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di atas rataan nasional. Adapun untuk stunting dan wasting terdapat 15 provinsi yang memiliki prevalensi lebih dari rataan nasional.
Sektor pertanian masih menjadi tulang punggung sebagian besar masyarakat, khususnya di wilayah perdesaaan. Oleh sebab itu posisi sektor tersebut dalam perekonomian nasional masih strategis. Hasil Sensus Pertanian 1983-2003 mencatat, pertambahan rumahtangga petani mencapai 35.5 persen pada periode 1983-1993 dan 29.1 persen pada periode 1993-2003 (Hadi dan Susilowati, 2010). Populasi petani yang besartetapi penguasaan skala usahatani relatif kecil,menjadikan kehidupan rumahtangga petanidicirikan situasi kemiskinan.Sebagaimana diindikasikan oleh studi-studiterdahulu,kehidupan rumahtangga petanirelatif kurang sejahtera dibandingkan kelompok rumahtangga lain (Hardono dan Saliem, 2006; Ariani dan Hardono, 2005; Ariani et al., 2007).
Dalamrangka membangun SDM yang sehat dan produktif, kondisi rumahtangga petani seperti itu menimbulkan pertanyaan apakahrumahtangga petani memiliki ketahanan pangan cukup kokoh untuk mendukung peningkatan kualitas SDM? Sejauh mana perubahan faktor-faktor ekonomi berpengaruh terhadap kinerja ketahanan pangan mereka? Rumahtangga petanimempunyai kelebihan dari rumahtangga lain karena memiliki akses langsung terhadap
(25)
produksi pangan. Akan tetapi, apakah akses langsung terhadap pangan yang dimilikimembuatrumahtangga petanicukup terlindung darimasalah rawan pangan?
Studi ketahanan pangan rumahtangga di Indonesia sudah cukup berkembang seiring dinamika sosial ekonomi masyarakat. Isu ketahanan pangan menjadi obyek menarik penelitian khususnya sejak krisis ekonomi tahun 1999. Munculnya pemberitaan kasus-kasus rawan pangan di berbagai daerah pada saat itu mendorong berkembangnya studi-studi ketahanan pangan secara intensif pasca krisis.
Studi ketahanan pangan terdahulu banyak menganalisis tingkat prevalensi atau status ketahanan pangan, faktor-faktor determinan yang mempengaruhi status tersebut, ataucoping strategy(Martianto, 1999; Adi, 1999; Saliem et al. 2001; Jayaputra, 2001, Wahidah, 2004; Suhardianto, 2007; Rakhman, 2007; Purwanti, 2008; Amirian, 2009; Manesa, 2009). Namun kebanyakan analisis dilakukan pada sisi outcome, yaitu dengan memfokuskan pada aspek terkait konsumsi dan pengeluaran pangan. Masih jarang studi ketahanan pangan yang menganalisis keterkaitan hubungan sisi konsumsi dengan sisi produksi di tingkat rumahtangga.Tim Studi PSKPG-IPB (1990) telah menganalisis ketahanan pangan pada sisi konsumsi dan produksi.Akan tetapi analisis untuk masing-masing sisi keputusan dalam studi tersebut dilakukan secara terpisah (masing-masing).
Pada studi terdahulu, ketahanan pangan umumnya diperlakukan sebagai kejadianyang bersifat peluang sehingga model analisis yang dipilih adalah model yang bersifat pilihan (binary).Studi ketahanan pangan Hardono (2002) dan Purwanti (2008) memulai dengan penggunaan model ekonomi rumahtangga yang lebih kompleks. Akan tetapi analisis baru dilakukan sampai pada kecukupan energi.Bagaimana mengkaitkan ketahanan pangan (kecukupan energi)dengan status gizi dalam suatu model ekonomi tersebut belum dilakukan.
1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis ketahanan pangan rumahtangga petani di perdesaan. Fokus analisis akan diarahkan pada perilaku rumahtangga dalam mengalokasikan sumberdaya dan merespon perubahan berbagai faktor ekonomi. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:
(26)
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan panganrumahtangga petani
3. Menganalisis pengaruh perubahan beberapa faktor ekonomi terhadapkinerja ketahanan pangan rumahtangga petani
4. Merumuskan alternatif kebijakan peningkatan ketahanan pangan rumahtangga petani.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang pangan dan pertanian. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberi motivasi kepada peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam implikasi perilaku rumahtangga pertanian bagi perumusan kebijakan pangan dan pertanian agar implementasi kebijakan tersebut dapat lebih efektif membantu meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan petani, khususnya terkait isu kecukupan pangan rumahtangga.
1.4. Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Studi tentang ketahanan pangan ini dirancang dengan mengambil rumahtangga sebagai unit analisis. Ketahanan pangan rumahtangga dipandang sebagai simpul kritis dan penting untuk dipantau dinamikanya karena pemantauan terhadap indikatormakro, seperti pencapaian produksi pangan,tidak menunjukan korelasi linear dengan pengurangan kasus-kasus rawan pangan dan gizi buruk di tingkat mikro. Secara khusus rumahtangga petani diangkat sebagai fokus penelitian untuk mengapresiasi peran penting sektor pertanian dalam perekonomian nasional yang masih strategis.
Fokus studi pada rumahtangga petani ini juga dimaksudkan untuk melihat sisi lain kemiskinan di sektor pertanian.Situasi dan ciri kemiskinan masih melekat pada rumahtangga petani, terlebih petani tanaman pangan. Sangat disadari bahwa ketahanan pangan memiliki dimensi masalah yang kompleks dengan banyak sumber distorsi. Salah satu sumber distorsi adalah faktor kemiskinan yang diyakini sebagai penghambat upaya peningkatan ketahanan pangan rumahtangga petani.
Rumahtangga petani yang menjadi fokus analisis adalah rumahtanggga petani di perdesaan yang mengusahakan tanaman padi, baik sebagai usahatani dan sumber pendapatan andalan rumahtangga atau hanya sebagai pelengkap usahatani
(27)
(sampingan) saja. Tanpa membedakan status pengelolaan usahatani padi diharapkan akan membukapeluang terpilihnya rumahtangga petani yang selain mengusahakan tanaman padi juga memilikiatau mengelola usahatani komoditas lain.
Pengusahaan tanaman padi dipilih sebagai kriteria utama mengingat secara nasional padi masih menjadi pangan pokok penduduk, termasuk para petani di perdesaan, sehingga dalam konteks ketahanan pangan peran padi sangat kritikal. Disamping untuk memperoleh pendapatan (motif komersial),dalam berusahatani petani padi umumnya juga memiliki motifsubsisten. Motif subsisten dalam hal ini dapat dianggap sebagai adalah upaya rumahtangga memenuhi kebutuhan pangan dari hasil usahataninya sendiri.
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah penggunaan data sekunder hasil penelitian lain sebagai dasar analisis. Data tersebut berasal dari salah satu kegiatan penelitian di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian.Konsekuensinya, pembentukan dan keandalan variabel analisis dibatasi oleh ketersediaan informasi dan keakuratan sumber data. Beberapa penyederhanaan dan penyesuaian harus dilakukan agar data sekunder tersebut dapat maksimal membantu menjawab tujuan penelitian.Format daftar isian (kuesioner) yang digunakan relatif rumit dan tidak sepenuhnya konsisten antar tahap pengumpulan data. Variasi format tidak hanya pada jenis variabel tetapi juga unit satuan variabel sehingga penyusunan (pembentukan) variabel untuk penelitian tidak dapat dilakukan dengan sederhana. Kompleksitas masalah seperti itu mengakibatkan proses validasi membutuhkan waktu cukup lama.
Keterbatasan lain adalah terkait pemilihan responden dan agregasi musim. Faktor kesesuaian pemilihan responden dengan substansi permasalahan yang ingin dijawab tidak dapat maksimal sehinggakemungkinan terdapat bias contoh dalam analisis menjadi tidakterhindarkan. Ketahanan pangan dalam penelitian ini diproksi dengan indikator utama kecukupan energi dan status gizi. Variabel kecukupan energi dibangun dari data konsumsi pangan rumahtangga yang digali melalui wawancara terstruktur. Akan tetapi, data konsumsi yang diolah tidak mencakup makanan jadi karena kendala standarisasi konversi. Di sisi lain, analisis status gizi juga tidak dapatdiberlakukan untuk seluruh anggota
(28)
rumahtangga.Analisis status gizi hanya untuk mereka yang berumur tidak lebih dari 12 tahun.
Faktor pengaruh perbedaan musim terhadap ketahanan pangan tidak dapat ditangkap sepenuhnya dalam penelitian ini karena keterbatasan informasi. Dalam rancangan kuesioner aslinya, perbedaan musim hanya digunakan untuk untuk menggali informasi produksi. Pada sisi konsumsi pembedaan musim tidak dilakukan.Periode waktu yang menjadi acuan penggalian data adalah satu minggu, satu bulan atau satu tahun, tergantung jenis konsumsi rumahtangga.
1.5. Kebaruan dalam Penelitian
Selain sumber data, kebaruan penelitian ini terdapat pada pendekatan analisis yang digunakan. Penggunaan model ekonomi rumahtangga sebagai basisanalisis ketahanan pangan masih jarang dilakukan. Sebagaimana telah diungkapkan, pada umumnya analisis ketahanan pangan dilakukan pada sisi konsumsi (pengeluaran)rumahtangga saja.Faktor – faktor pembentuk pendapatan (pendapatan sebagai variabel endogen) belum banyak di perhatikan.Selain itu, pendapatan diasumsikan sudah tertentu. Pada penelitian ini, analisis dilakukan mengikuti alur pendekatan perilaku ekonomi (economic behaviour). Ketahanan pangan rumahtangga dianggap sebagai resultante berbagai keputusan ekonomi rumahtangga (lihat Hardono, 2002), termasuk keputusan alokasi tenaga kerja keluarga. Hal ini mengingat ketahanan pangan rumahtangga merefleksikan keseimbangan produksi dan konsumsi pangan di tingkat rumahtangga pada berbagai kendala yang ada.Keseimbangan menunjukkan tingkat kecukupan pangan, yaitu situasi dimana konsumsi pangan telah memenuhi kebutuhan kuantitas kandungan dan keragaman zat gizi sesuai kebutuhan tubuh untuk hidup sehat (Soehardjo, 1996).
Kebaruan yang lain adalah dimasukannya variabel status gizi dalam model perilaku rumahtangga sebagai pelengkap analisis. Pengukuran status gizi dalam analisis ketahanan pangan bukanlah hal baru, tetapi menggunakanstatus gizi sebagai variabel endogen dalam model ekonomi rumahtangga untuk menganalisis kinerja ketahanan pangan belum pernah dilakukan. Status gizi dalam hal ini tidak diposisikan sebagai bagian dari perilaku pengambilan keputusan rumahtangga, tetapi lebih sebagai variabel dampak dari proses pengambilan keputusan
(29)
rumahtangga. Status gizi menjadi bagian indikator dampak (outcome) ketahanan pangan. Penelitian terdahulu Hardono (2002) hanya menggunakan kecukupan energi sebagai indikator ketahanan pangan rumahtangga. Melalui penambahan variabel status gizi dalam model rumahtangga petani diharapkan perspektif hubungan kausalitas dalam analisis ketahanan pangan rumahtangga menjadi lebih jelas dan lebih bermanfaat bagi perumusan kebijakan peningkatan ketahanan pangan rumahtangga di perdesaan.
(30)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dimensi dan Pengukuran Ketahanan Pangan
Pada awalnya pengertian ketahanan pangan banyak dikait-kaitkan dengan situasi kekurangan atau kelangkaan pangan yang berdampak pada munculnya kasus rawan pangan dan kelaparan secara luas (Soekirman, 2000; Simatupang, 2000;2007; Saliem dan Ariani, 2002). Pemahaman konsep ketahanan pangan kemudian mengalamiperkembangan cukup kompleks seiring dinamika perubahan lingkungan strategis. Berkembangnya konsep food entitlement (Sen, 1981) mengubah persepsi orang terhadap ketahanan pangan (lihat Maxwell dan Frankenberger, 1992).Ketahanan pangan tidak lagi dipahami hanya sekedar masalah kekurangan atau kelangkaan pangan akibat ketidakseimbangan produksi dengan permintaan secara makro, tetapi lebih sebagai masalah aksesibilitas dan ketidakmerataan distribusi pangan. Penguasaan sumberdaya pangan di tingkat individu ternyata lebih berperan strategis dalam menentukan tingkat atau derajat ketahanan pangan.
Defenisi ketahanan pangan yang diadopsi secara luas berasal dari FAO (Pinsrup-Andersen, 2009). Menurut FAO (1996;2010) Ketahanan pangan didefinisikan sebagai ”…when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient safe and nutritious food that meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life”. Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan tidak saja harus menjangkau setiap orang secara berkelanjutan, memenuhi syarat kecukupan kuantitas, keamanan pangan dan kandungan gizi, tetapi juga harus dapat mengakomodasi preferensi konsumen (Pinsrup-Andersen, 2009).
Dalam Undang-Undang Nomor 7/1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 68/2002, ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Definisi tersebut agak
berbeda dari defenisi menurut FAO di atas. Selain tidak secara eksplisit menjelaskan aspek keberlanjutan (waktu), perbedaan konsep juga terletak pada penetapan sasaran ketahanan pangan. Menurut kedua peraturan perundangan, fokus ketahanan pangan justru pada tingkat rumahtangga, bukan individu. Namun
(31)
sampai kini penggunaan terminologi rumahtangga tidak banyak dipersoalkan karena dalam sistem sosial yang umum berlaku, kepentingan setiap individu diasumsikan telah dapat diakomodasi oleh rumahtangga sebagai unit terkecil yang menyatukan mereka melalui hubungan kekerabatan.
Menurut Chungetal. (1997), ketahanan pangan memiliki tiga pilar utama (triad concept), yaitu: ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Oleh karena masing-masing pilar membutuhkan kontinuitas (keberlanjutan) untuk mendukung ketahanan pangan yang kokoh maka stabilitas dari masing-masing pilar menjadi faktor penting. FAO (2006: 2008) bahkan memasukkan faktor stabilitas salah satu pilar ketahanan pangan. Akan tetapi menurut Simatupang (2007), perbedaan itu hanyalah bentuk perluasan dan penyesuaian terhadap perkembangan pengetahuan dan isu pembangunan yang ingin menjelaskan pentingnya dimensi waktu dalam ketahanan pangan. Ketahanan pangan merefleksikan situasi kecukupan pangan yang tidak terkendala waktu. Beragam indikator generik dari setiap pilar ketahanan pangan dapat disimak pada Gambar 1 (Webb et al. 1993 dalam Chung et al.1997).
Secara struktur, antara ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan terdapat hubungan yang bersifat hirarkis (Simatupang, 2007), dimana antara satu pilar dengan pilar yang lain saling dukung. Dijelaskan bahwa ketersediaan pangan menjadi syarat keharusan, tetapi tidak cukup untuk menjamin akses pangan yang tinggi karena ada faktor kendala daya beli. Demikian pula, akses pangan menjadi syarat keharusan untuk pemanfaatan pangan, tetapi tidak cukup dapat menjamin tingginya status gizi seseorang karena terdapat faktor lain yang turut menentukan kinerja status gizi seseorang.
Pengukuran ketahanan pangan membutuhkan indikator-indikator. Maxwell dan Frenkenberger (1992) membedakan indikator ketahanan pangan menjadi indikator proses (process indicators) dan indikator dampak (outcome indicators). Indikator proses mencerminkan derajat kerentanan terkait ketersediaan dan akses pangan. Indikator tersebut meliputi: data meteorologi, informasi sumberdaya alam, data produksi pertanian, model agro-ekologi, neraca bahan makanan, informasi sebaran hama penyakit, struktur pasar dan kelembagaan penunjang.
(32)
Sumberdaya Produksi Pendapatan Konsumsi Status Gizi
Alam: Curah hujan Kualitas tanah Ketersediaan air
Akses sumberdaya hutan
Total areal tanam Areal beririgasi Areal tidak diusahakan Akses dan penggunaan input Jumlah musim tanam
Pendapatan total Pendapatan usahatani Pendapatan ternak Upah kerja Pendapatan usaha Total pengeluaran Pengeluaran pangan Pengeluaran non pangan Harga konsumen Intik pangan
Antropometri
Tingkat serum gizi mikro Morbiditas Mortalitas Fertilitas Fisik: Pemilikan ternak Akses infrastruktur
Pemilikan praktek usahatani Akses dan pemilikan lahan Aset fisik lain
Manusia:
Diversifikasi tanaman Produksi tanaman Produksi pangan
Produksi tanaman semusim Jumlah sumber pendapatan non usahatani
Produksi kerajinan tangan
Harga produsen Akses pasar, jalan Pendapatan migran
Frekuensi makan Akses sarana kesehatan
Akses sumber air bersih
Akses sanitasi yang
cukup
KK wanita
Rasio ketergantungan Pendidikan,tingkatmelek
huruf
Ukuran rumah tangga Umur KK
Ketersediaan Pangan Akses Pangan Pemanfaatan Pangan
Sumber daya: - Alam - Fisik - Manusia Produksi: - Usahatani - Non usahatani
Pendapatan: - Usahatani - Non usahatani
Konsumsi:
- Pangan
- Non pangan
Status Gizi
- Anak
- Dewasa
Sumber: Webb et al. (1993) dalam Chunget al. (1997).
13
(33)
Ha
lama
n ini
seng
aja diko
songka
(34)
Indikator dampak meliputi indikator langsung (direct indicators) yang mencakup: survei anggaran belanja dan konsumsi rumahtangga, persepsi rumahtanggaterhadap ketahanan pangan dan frekuensi pangan dan indikator tidak langsung (indirect indicators), yang meliputi: simpanan atau cadangan pangan, rasio potensi subsisten dan status gizi.
Ketahanan pangan adalah situasi yang kompleks sehingga tidak ada indikator dan solusi masalah yang bersifat tunggal. Implikasi hal ini, pengukuran ketahanan pangan menjadi relatif dan tergantung pada situasi serta penyebab terjadinya rawan pangan di suatu tempat (lihat Maxwell dan Frankenberger, 1992). Lebih jauh diungkapkan oleh Maxwell dan Frankenberger (1992), meskipun pangan memiliki beberapa kandungan unsur yang diperlukan tubuh, akan tetapi pengukuran tingkat ketahanan (kecukupan) pangan banyak menggunakan proksi energi dan protein atau bahkan hanya energi saja sebagai indikator.
Pengukuran status ketahanan pangan menggunakan indikator kecukupan energi dan protein secara nasional mengacu pada hasil rumusan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi yang penyelenggarannya dilakukan secara periodik dan di bawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Untuk saat ini, dasar pengukuran tersebut telah dibakukan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1593/Menkes/SK/XI/2005 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Menurut peraturan tersebut angka kecukupan yang dianjurkan adalah 2000 Kkal/kapita/hari untuk energi dan 52 gram/kapita/hari untuk protein. Lebih detail, Hardinsyah dan Tambunan (2004) telah menghitung angka kecukupan yang disesuaikan dengan jenis kelamin, umur dan aktifitas dalam satuan setara pria dewasa (adult equivalent unit, AEU).Perhitungan tersebut sekaligus sebagai penyesuaian atas perhitungan sebelumnya yang dilakukan Muhilal et al. (1998). Dalam ukuran setara pria dewasa besarnya angka kecukupan energi adalah sebesar 2350 Kkal/hari, sedangkan kecukupan protein sebesar 60 gram/hari.
Meski umum digunakan, tetapi penerapan indikator-indikator di atas dalam pengukuran ketahanan pangan menurut Coates et al.(2007) dianggap masih sulit karena membutuhkan data lengkap dan berbiaya besar. Oleh sebab itu pemikiran
(35)
dan inovasi baru terus dikembangkan dengan memanfaatkan ketersediaan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis ketahanan pangan, termasuk indikator yang spesifik lokasi. Chung et al. (1996), misalnya, mengaplikasikan pendekatan metode campuran (mixed method) kuantitatif dan qualitatif untuk kasus di India.Hardinsyah (1996) mengembangkan alternatif pengukuran ketahanan pangan lebih kompleks dengan metode Skor Konsumsi Pangan (SKP). Dalam skor tersebut sudah tercakup masalah keseimbangan komposisi zat gizi disamping kriteria kecukupan.
Cara baru pengukuran ketahanan pangan dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kualitatif kepada rumahtangga. Terdapat 18 pertanyaan yang harus dijawab untuk rumahtangga yang memiliki anak atau 10 pertanyaan jika rumahtangga tidak memiliki anak (Bickel et al., 2000; Gundersen, 2008). Dalam konsep ini rawan pangan dan kelaparan dipandang sebagai situasi yang terjadi akibat kendala sumberdaya finansial dalam rumahtangga (Bickel et al., 2000). Cara baru ini dikenal dengan metode Household Food Security Survey Module
(HFSSM) yang dikembangkan oleh United State Department of Agriculture
(USDA).Uji coba metode ini di Indonesia pernah dilakukan oleh Usfar et al.
(2006).
Dalam pandangan Kendall et al. (1995) cara baru pengukuran ketahanan pangan dengan metode HFSS tersebut lebih sesuai untuk identifikasi rumahtangga kelaparan dan rawan pangan di negara-negara maju yang kaya pangan. Dijelaskan Kendall etal. (1995) bahwa pengukuran status gizi dengan cara antoprometri, klinis atau biokimia di negara maju dan kaya pangan kurang sesuai karena gejala klinis dan biokimia akibat kelaparan jarang terlihat. Masalah gizi yang sering dikaitkan dengan faktor kemiskinan bukan masalah stunting (ukuran tubuh pendek karena pertumbuhan lambat) atau wasting (karena kurang gizi akut), akan tetapi lebih terkait dengan masalah kegemukan (obesitas). Itu sebabnya di negara maju dan kaya pangan cara antropometri tidak banyak berguna untuk mengukur fenomena rawan pangan dan kelaparan.
2.2. Resiko Ketahanan Pangan
Mewujudkan dan meningkatan ketahanan pangan rumahtangga bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Banyak sumber-sumber distorsi dan resiko
(36)
yang dapat membuat kondisi ketahanan pangan tidak tercapai. Sumber resiko tersebut secara langsung terkait dengan kerentanan masing-masing pilar penyangga ketahanan pangan (ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan). Faktor resiko menjadi penentu derajat ketahanan pangan (Maxwell dan Frankenberger, 1996; Simatupang, 2007, Sumaryanto, 2009). Implikasi hal itu, faktor stabilitas masing-masing pilar menjadi penting dalam menentukan derajat ketahanan pangan. Faktor stabilitas secara operasional menjadi indikatortingkat (derajat) resiko dalam ketahanan pangan. Stabilitas pada dasarnya merujuk pada pentingnya menjaga dan meredam fluktuasi situasi kecukupan pangan akibat gangguan berbagai faktor yang terjadi antar waktu. Oleh sebab itu dimensi waktu menjadi sangat kritikal dalam analisis ketahanan pangan (Simatupang, 2007).
Secara umum, resiko ketahanan pangan antara lain terkait dengan faktor internal rumahtangga, faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol dan kebijakan pemerintah yang dipersiapkan khusus untuk mendukung kinerja ketahanan pangan. Beberapa jenis sumber resiko antara lain (von-Braun et al. 1992; Maxwell dan Frankenberger 1992; FAO, 2008) adalah: (1) kondisi cuaca buruk, (2) produksi pangan, (3) perdagangan pertanian, (4) harga pangan, (5) kesempatan kerja dan upah, (6) kesehatan, (7) kegagalan politik yang memicu konflik, (8) kegagalan kebijakan, dan (9) faktor demografi.
Terkait dengan pilar-pilar ketahanan pangan, Sumaryanto (2009) telahmengidentifikasi beberapa simpul kerawanan yang mengindikasikan potensi resiko pada masing-masing pilar. Pada dimensi ketersediaan kerawanan terkait dengan (1) kapasitas lahan yang terbatas, (2) keterbatasan modal usahatani, (3) tingkat keandalan pasokan air, (4) degradasi sumberdaya lahan dan air akibat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), (5) penyusutan lahan sawah akibat konversi ke penggunaan lain, (6) terbatasnya perluasan lahan pertanian karena keterbatasan anggaran dan biaya investasi yang makin mahal, (7) perubahan iklim, keterbatasan inrastruktur pertanian/perdesaan, dan (8) memudarnya motivasi petani mengusahakan sumber-sumber pangan alternatif pengganti beras.
Pada pilar akses pangan, kerawanan utama terkait dengan rendahnya daya beli pangan masyarakat karena masih besarnya jumlah penduduk miskin.
(37)
Kemiskinan menjadi kendala untuk mengurangi prevalensi rawan pangan. Kerawanan pada pilar pemanfaatan pangan berkaitan dengan kebiasaan makan (menu, penyiapan dan cara masak, waktu/tempat makan, atau kualitas makanan). Pada pilar ini evaluasi kerawanan umumnya mengacu pada indikator terkait masalah keracunan makanan, kekurangan gizi dan atau kegemukan. Simpul kerawanan pada dimensi ini banyak berhubungan dengan permasalahan yang berakar pada kemiskinan, kurangnya kesadaran akan pentingnya pola konsumsi pangan yang sehat, dan masih diabaikannya hak-hak konsumen.
Kerawanan lain adalah terkait dengan dimensi stabilitas. Stabilitas ketahanan pangan dalam hal ini lebih berkonotasi pada stabilitas pangan pokok penduduk, yaitu beras (padi). Dijelaskan bahwa simpul kerawanan ini semakin kritis jika ketergantungan terhadap beras semakin tinggi. Di sisi lain, kerawanan juga akan meningkat jika kinerja manajemen resiko aspek produksi dan sistem distribusi semakin rendah. Ketergantungan terhadap beras yang tinggi juga telah mengabaikan pengembangan jenis pangan potensial lain.Seiring pengembangan komoditas beras yang cenderung mengarah pada pola tanam padi monokultur terjadi degradasi dalam manajemen kelembagaan lokal pengelolaan usahatani. 2.3. Status Gizi Sebagai Indikator Ketahanan Pangan
Target akhir dari kebijakan ketahanan pangan adalah terpenuhinya kecukupan pangan yang mampu memberikan asupan gizi bagi setiap orang secara berkelanjutan sehingga dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Oleh sebab itu secara kausalitas kecukupan gizi dianggap dapat menjadi bagian dari indikator ketahanan pangan (Chung et al., 1997; Haddad et al., 1994; Simatupang, 2007).
Menurut Haddad et al. (1994) ketahanan pangan lebih merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin tercapainya ketahanan gizi. Hal ini karena selain kecukupan pangan, dalam defenisi ketahanan gizi masih terdapat faktor penting yang diperlukan untuk menjamin seseorang dapat hidup sehat dan aktif secara berkelanjutan. Faktor tersebut antara lain: layanan gizi dan kesehatan serta waktu pengasuhan. Dalam konsep UNICEF, status gizi dipengaruhi oleh ketidakcukupan konsumsi gizi aktual, pola asuh, dan faktor penyakit (Birnkman et al., 2010). Menurut Simatupang (2007) dengan menggunakan konsep trilogi Chung et al. (1997) pembedaan ketahanan pangan dan ketahanan gizi dapat
(38)
dijembatani sehingga keduanya identik. Identik dalam hal ini berarti pada penggunaan istilah ketahanan pangan sudah tercakup makna ketahanan gizisebagaimana pengertian umum ketahanan pangan versi FAO (lihat FAO, 1996; 2010).
Secara operasional ketahanan gizi diukur dari status gizi anggota rumahtangga. Oleh sebab itu, agar analisis ketahanan pangan rumahtangga dapat mencakup makna ketahanan gizi rumahtangga maka lingkup analisis harus memasukan aspek status gizi. Menurut (Suhardjo et al., 2006), terdapat tiga cara untuk menilai status gizi yaitu: (1) studi konsumsi pangan, (2) pemeriksaan fisik, dan (3) pemeriksaan laboratorium. Dari ketiga cara tersebut, cara pemeriksaan fisik melalui penilaian antropometri dianggap paling mudah dan murah. Antropometri dapat digunakan untuk berbagai tujuan, tergantung pada indikator yang dipilih (Cogill, 2003).
Terdapat beberapa indikator antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi (Jahari et al. 2000; Cogill, 2003), yaitu: (1) berat badan per umur (BB/U), (2) tinggi badan per umur (TB/U), dan (3) berat badan per tinggi badan (BB/TB). Perhitungan ketiga indikator adalah dalam bentuk z-skor. Menurut Cogill, (2003), angka BB/U merupakan indeks antropometri yang dapat mencerminkan kondisi gizi anak pada masa lalu (cronic) dan sekarang (acute), meski tidak mampu membedakan antara satu dengan lainnya. Indeks BB/U yang rendah mencirikan kondisi anak yang kekurangan berat badan pada umur tertentu (underweight). Indeks TB/U yang rendah mencirikan kekurangan gizi di masa lalu (kronis) yang disebut stunting. Indeks BB/TB yang rendah berguna untuk mengetahui anak-anak yang terkena kekurangan gizi akut (wasting) dan ketika tidak diketahui umurnya secara pasti.
Cogill (2003) menyatakan, dibandingkan underweight dan wasting, kondisi anak stunting lebih mencerminkan kegagalan pertumbuhan di masa lalu(past growth failure). Kegagalan tersebut terkait sejumlah faktor jangka panjang, seperti kekurangan asupan kalori dan protein kronis, sering infeksi, pola pemberian makan yang tidak tepat, dan faktor kemiskinan. Pada anak yang berusia lebih dari dua tahun dampak dari faktor-faktor jangka panjang tersebut bisa tidak terpulihkan.
(39)
Pengukuran status gizi dari data antropometeri saat ini dapat dilakukan dengan bantuan piranti lunak (software) komputer. Terdapat beberapa jenis piranti lunak mudah didapatkan seperti: ENA for Smart, Anthro, atau WHO-Anthroplus. Secara umum perbedaan spesifikasi piranti lunak tersebut terkait dengan batasan umur seseorang yang menjadi obyek pengukuran antropometri.Pengukuran antropometri dengan piranti lunak tersebut menjadi lebih mudah karena angka atau skor yang dihasilkan sudah mengacu pada standar referensi sesuai ketentuan. Jahari, et al. (2000) menyebutkan, standar pengukuran status gizi anak di Indonesia umumnya menggunakan standar WHO-NCHS. 2.4. Ketahanan Pangan dan Model Perilaku Rumahtangga
Padastudi-studi terdahulu, analisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian umumnya tidak dibangun dari teori atau model ekonomi rumahtangga sebagai kerangka pikirnya (lihat Jayaputra, 2001; Manesa, 2009; Amirian, 2009; Suhardianto, 2007; Omoteshoet al., 2006; Babatunde et al., 2007). Padahal, penggunaan teori rumahtangga pertanian memungkinkan peneliti menganalisis keterkaitan perilaku produksi dan konsumsi yang secara bersamaan mempengaruhi kinerja ketahanan pangan rumahtangga. Di tingkat rumahtangga ketahanan pangan merupakan resultante dari berbagai keputusan, di sisi produksi maupun konsumsi (lihat Hardono, 2002). Oleh sebab itu kinerja ketahanan pangan rumahtanggasangat ditentukan oleh respon terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua sisi keputusan tersebut.
Menurut Ellis (1988), rumahtangga pertanian dianggap memiliki karakteristik berbeda dari rumahtangga biasa karena mereka bisa berperan sebagai produsen maupun konsumen sekaligus dalam perekonomian. Peran ganda tersebut menimbulkan keterkaitan antara keputusan-keputusan di sisi produksi dengan sisi konsumsi, yang kemudian menjadi ciri utama rumahtangga pertanian (Ellis, 1988; Singh et al., 1986).Ciri keterkaitan tersebut menjadikan model ekonomi rumahtangga berbeda dari model penawaran dan permintaan konvensional. Dalam model ekonomi rumahtangga kendala-kendala sisi penawaran maupun permintaan telah diintegrasikan dalam satu fungsi tujuan rumahtangga.
Singh et al. (1986) menjelaskan, pendekatan analisis model ekonomi rumahtangga pertanian dapat dilakukan dengan caraseparable(recursive) maupun
(40)
nonseparable(nonrecursive). Pembedaan pendekatan tersebut didasarkan pada bagaimana hubungan keterkaitan antara keputusan-keputusan konsumsi dengan keputusan produksi dalam rumahtangga.Lebih lanjut diungkapkan Singhet al.
(1986), masing-masing pendekatan terikat pada syarat-syarat tertentu, tetapi pemilihan pendekatan merupakan isu sekunder yang perlu dilihat kasus per kasus. Disebutkan bahwa pada rumahtangga subsisten (identik tidak akses terhadap pasar), pengambilan keputusan produksi, konsumsi dan penawaran tenaga kerja dilakukan secara simultan karena rumahtangga hanya dapat mengkonsumsi apa yang dihasilkan (diproduksi) saja. Besarnya produksi tergantung pada kemampuan tenaga kerja dalam rumahtangga. Akan tetapi pada rumahtangga yang sudah semi komersial, pengambilan keputusan-keputusan tersebut tidak lagi harus dilakukan secara nonseparable.
Strauss (1986) menjelaskan, sepanjang rumahtangga petani dapat menjual atau membeli produk sebanyak yang mereka mau pada harga pasar yang berlaku (rumahtangga petani sebagai penerima harga) maka keputusan produksi dan konsumsi dapat diperlakukan secara sekuen (urutan). Keputusan produksi dapat dilaksanakan lebih dahulu (separable), meskipun pengambilan keputusan produksi dilakukan secara simultan dengan keputusan konsumsi. Akan tetapi, jika rumahtangga memilih untuk mengkonsumsi semua hasil produksinya (sebagai
corner solution) maka akan berlaku syarat harga bayangan yang ditentukan secara internal dan merupakan fungsi dari preferensi dan teknologi. Pemberlakuan harga bayangan yang bersifat endogen mengindikasikan pengambilan keputusan rumahtangga tidak lagi separable. Harga bayangan (Singh et al.,1986;Skoufias, 1994),juga disebut sebagai harga implisit atau internal wage (Sonoda dan Mayurama, 1999).
Secara empiris kedua model pengambilan keputusan rumahtangga telah banyak diaplikasikan. Model separable telah digunakan antara lain oleh Barnum dan Squire(1979), Sawit (1993), dan Hardaker et al. (1985). Sementara itu, model analisis rumahtangga non separable telah digunakan antara lain oleh Bagi dan Singh (1974), Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007), dan Fariyanti (2007). Pemilihan separable atau non separable dilakukan sesuai asumsi dan tujuan penelitian.
(41)
Diungkapkan oleh Skoufias (1994) bahwa pada kondisi: (1) ada kendala waktu yang bersifat mengikat (binding) pada kesempatan kerja non usahatani sehingga menghambat terjadinya penyesuaian sempurna dalam pasar tenaga kerja, (2) substitusi tenaga kerja dalam keluarga oleh tenaga kerja luar keluarga yang tidak sempurna, atau (3) petani mempunyai preferensi untuk bekerja dalam usahatani atau non usahatani, maka solusi keputusan produksi dan konsumsi dalam model rumahtangga pertanian harus diperlakukan secara nonseparable. Sementara, Singh et al. (1986) berpendapat bahwa nonseparable menjadi penting dalam pemodelan ketika menghadapi kondisi tertentu yakni: (1) jika harga jual dan harga beli dibedakan untuk komoditas yang sama, atau (2) ketika pasar tidak sempurna, karena menghadapi resiko dan masalah insentif. Pendapat kedua pakar tersebut tidak bertentangan, karena sama-sama mempersoalkan akibat dari ketidaksempurnaan pasar. Akan tetapi secara empiris pendekatan nonseparable
dianggap lebih sulit (Sonoda dan Mayurama, 1999).
Varian baru penggunaan model ekonomi rumahtangga ditandai dengan berkembangnya penelitian-penelitian yang menggunakan persamaan simultan untuk spesifikasi model empiris (Kusnadi, 2005). Dikemukakan dalam Kusnadi (2005)bahwa model persamaan simultan dikembangkan untuk menangkap kompleksitas interaksi antar berbagai variabel ekonomi rumahtangga, tanpa menjadikan separabilitas (rekursifitas) sebagai isu utama yang harus ditonjolkan. Beberapa Selain Kusnadi (2005), penelitian rumahtangga yang menggunakan model persamaan simultan antara lain: Pakasi (1998) untuk melihat ekonomi rumahtangga petani nira aren di Sulawesi Utara; Hardono (2002) melihat dampak perubahan faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga dengan data pasca crisis ekonomi 1997/1998, Asmarantaka (2007) melihat ekonomi rumahtangga petani pangan dan perkebunan di Provinsi Lampung, Purwanti (2008) yang meneliti kebijakan pengembangan ekonomi dan ketahanan pangan rumahtangga nelayan skala kecil di Jawa Timur, serta Fariyanti, (2007) yang mengamati perilaku rumahtangga petani sayur menghadapi resiko di Pengalengan, Jawa Barat.
Pada penelitian-penelitian yang menggunakan persamaan simultan di atas, variabel harga yang digunakan adalah harga yang berlaku di pasar. Oleh sebab itu
(1)
incOME=tmiski
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U ARDI 83 2.9030 0.33 0.00 0.10 0.90 0.13 0.86 0.7547 0.4256 QPDI 83 39739068 0.27 0.00 0.20 0.80 0.05 0.95 0.8477 0.4587 QBEN 83 10963.8 0.29 0.01 0.10 0.89 0.15 0.85 0.8277 0.4560 QREA 83 100768 0.32 0.00 0.17 0.82 0.06 0.94 0.7832 0.4290 QSP6 83 17779.5 0.22 0.01 0.11 0.88 0.17 0.82 0.9217 0.5625 SIMP 83 1078917 0.71 0.04 0.02 0.94 0.30 0.66 0.5509 0.2920 PSUR 83 31399913 0.08 0.00 0.32 0.68 0.04 0.96 1.0208 0.5496 TKDP 83 2379.6 0.41 0.10 0.07 0.82 0.10 0.80 0.6682 0.3237 TKDW 83 859.0 0.27 0.02 0.00 0.98 0.66 0.32 0.8136 0.4853 TKLP 83 2695.8 0.32 0.03 0.00 0.97 0.55 0.43 0.8460 0.5948 TKLW 83 2666.4 0.37 0.00 0.01 0.99 0.59 0.41 0.8646 0.6077 JTKI 83 8974.6 0.37 0.01 0.01 0.98 0.32 0.67 0.6108 0.3275 TKUN 83 20489.4 0.45 0.01 0.00 0.99 0.38 0.61 0.8327 0.5524 TNUB 83 2911.2 0.28 0.04 0.01 0.95 0.42 0.54 0.8715 0.5063 tkrt 83 23070.7 0.90 0.00 0.00 1.00 0.07 0.93 0.3312 0.1715 BIAY 83 8.468E11 0.99 0.02 0.04 0.94 0.07 0.90 0.1056 0.0530 REVP 83 4.399E14 0.40 0.07 0.49 0.44 0.07 0.86 1.0671 0.4452 YPDI 83 7.193E14 0.15 0.00 0.35 0.65 0.01 0.99 1.0795 0.5658 YGRI 83 7.193E14 0.89 0.00 0.00 1.00 0.10 0.90 0.4248 0.2259 YUNT 83 1.791E13 0.58 0.00 0.00 1.00 0.23 0.77 0.7334 0.4297 yunta 83 1.556E13 0.61 0.00 0.00 1.00 0.23 0.76 0.7531 0.4574 yuntb 83 2.483E12 0.28 0.04 0.02 0.93 0.33 0.63 0.8948 0.5172 YRMH 83 6.96E14 0.89 0.00 0.01 0.99 0.10 0.90 0.3981 0.2107 EXFO1 83 7.862E11 0.36 0.23 0.05 0.73 0.14 0.64 0.3267 0.1797 exco1 83 2.234E13 0.93 0.21 0.00 0.79 0.03 0.76 0.1715 0.0895 INHE 83 4.514E12 0.17 0.01 0.00 0.99 0.74 0.25 0.9552 0.7883 INDU 83 2.587E13 0.50 0.02 0.01 0.96 0.45 0.52 0.7686 0.5080 EXHH1 83 6.711E13 0.86 0.15 0.01 0.84 0.12 0.72 0.2530 0.1352 NTAB 83 2.675E14 0.05 0.00 0.15 0.85 0.24 0.76 1.0368 0.6822 MDAL 83 2.675E14 0.27 0.00 0.14 0.86 0.10 0.90 0.9246 0.5345 fscur 83 0.0622 0.46 0.07 0.00 0.93 0.42 0.52 0.2731 0.1444 NUTR 83 1.2765 0.03 0.01 0.02 0.97 0.66 0.33 0.6582 0.3852
(2)
incOME=tmiski
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation
Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U ARDI 82 5.2125 -0.02 0.04 0.96 0.01 0.82 0.15 11.9403 0.9198 QPDI 82 12.9538 0.48 0.00 0.45 0.55 0.05 0.94 1.1390 0.5021 QBEN 82 11.6155 0.68 0.09 0.67 0.25 0.36 0.55 1.4082 0.4795 QREA 82 2.3039E9 0.68 0.00 0.07 0.93 0.03 0.97 0.7282 0.3883 QSP6 82 1.018E10 0.40 0.02 0.00 0.97 0.34 0.64 0.8756 0.5931 SIMP 82 5.12E10 0.94 0.00 0.05 0.95 0.00 1.00 0.3385 0.1679 PSUR 82 3.379E12 0.55 0.04 0.38 0.58 0.04 0.92 1.0581 0.4655 TKDP 82 26342170 1.00 0.01 0.99 0.00 0.99 0.00 5.8102 0.7439 TKDW 82 3.6302E8 0.47 0.00 0.01 0.99 0.27 0.73 0.8231 0.5018 TKLP 82 6.232E8 0.53 0.01 0.00 0.98 0.37 0.61 0.8168 0.5445 TKLW 82 1.6413E8 0.69 0.00 0.02 0.98 0.09 0.91 0.6655 0.3644 JTKI 82 4.2909 0.64 0.05 0.52 0.43 0.17 0.78 1.0953 0.4359 TKUN 82 1.916E10 0.47 0.01 0.00 0.99 0.41 0.57 0.8375 0.5696 TNUB 82 1.3362E9 0.41 0.09 0.06 0.85 0.12 0.79 0.9430 0.5054 tkrt 82 5.8101 0.94 0.00 0.03 0.96 0.13 0.87 0.3355 0.1784 BIAY 82 0.0642 0.99 0.09 0.03 0.88 0.01 0.91 0.1718 0.0846 REVP 82 22.7856 0.55 0.06 0.69 0.24 0.32 0.61 1.6274 0.5409 YPDI 82 235.3 0.50 0.00 0.81 0.19 0.42 0.58 1.9647 0.6003 YGRI 82 57.2134 0.86 0.02 0.55 0.44 0.31 0.67 0.7627 0.3132 YUNT 82 6.104E18 0.62 0.04 0.17 0.79 0.00 0.96 0.8524 0.4178 yunta 82 . . . . . yuntb 82 . . . . . YRMH 82 70.4834 0.80 0.03 0.80 0.17 0.57 0.40 1.3821 0.4503 EXFO1 82 0.1505 0.65 0.18 0.05 0.77 0.03 0.78 0.8455 0.4590 exco1 82 0.0594 0.96 0.22 0.03 0.75 0.08 0.70 0.3058 0.1622 INHE 82 2.959E16 0.36 0.00 0.01 0.99 0.34 0.66 0.9293 0.6339 INDU 82 5.577E17 0.66 0.02 0.00 0.98 0.18 0.80 0.7298 0.4362 EXHH1 82 0.1014 0.94 0.18 0.03 0.80 0.10 0.72 0.3719 0.2007 NTAB 82 2.635E19 0.20 0.01 0.69 0.30 0.15 0.84 1.7269 0.6434 MDAL 82 1.13E19 0.80 0.00 0.83 0.16 0.60 0.39 1.4740 0.4685 fscur 82 0.1176 0.76 0.07 0.05 0.88 0.32 0.61 0.6834 0.4278 NUTR 82 16.7811 -0.01 0.01 0.32 0.67 0.07 0.92 1.2136 0.7239 NOTE: Percent error statistics for 2 variables were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations.
(3)
Lampiran 7.Pengaruh Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan
Rumahtangga Petani Miskin
Variabel Basis Simulasi
I II III IV V VI
Luas garapan (ARDI) 1.1115 -3.96 -4.17 26.99 4.66 4.48 2.87 Produksi padi (QPDI) 3855.6 -11.79 -12.04 7.62 -1.55 -1.76 -3.67 Penggunaan benih (QBEN) 61.9781 7.17 6.97 22.98 15.50 15.33 13.78 Penggunaan Urea (QREA) 213.6 -9.69 -9.93 8.47 -0.14 -0.33 -2.11 Penggunaan SP-36 (QSP6) 64.7486 -33.92 -34.16 -15.19 -24.05 -24.25 -26.09 Pangan yg disimpan (SIMP) 1482.7 -7.30 -6.90 2.77 -2.00 -1.58 -3.12 Surplus yg dijual (PSUR) 2372.9 -14.59 -15.25 10.65 -1.27 -1.88 -4.02 Alokasi TK kelg pria (TKDP) 64.796 8.05 7.96 14.74 11.40 11.33 10.67 Alokasi TK kelg wanita (TKDW) 19.4929 17.18 17.18 17.03 17.10 17.10 17.12 TK luar kelg pria (TKLP) 13.4379 -9.06 -9.25 4.16 -0.28 -0.43 -1.74 TK luar kelg wanita (TKLW) 12.3108 -3.51 -3.69 10.99 4.13 3.97 2.55 Tot TK ustani padi (JTKI) 103.7 6.08 5.98 13.31 10.03 9.93 9.26 Alokasi TK kelg non pert (TKUN) 82.7726 -1.61 -1.82 -2.95 25.00 25.00 25.00 Alokasi TK kelg bbruh tani (TNUB) 49.1419 0.22 0.25 0.40 -3.70 -3.70 25.00 Ketersediaan TK keluarga (TKRT) 343.9 -0.35 -0.41 -0.64 12.36 12.36 9.42 Biaya usahatani padi (BIAY) 4363804 1.04 1.00 4.05 2.70 2.67 2.43 Total revenu padi (REVP) 10006689 15.96 15.64 30.46 27.56 27.29 24.54 Pdpatan usahtani padi (YPDI) 5642885 27.50 26.96 50.88 46.79 46.33 41.64 Pdpatan pertanian (YGRI) 10382720 14.95 14.65 27.65 25.43 25.18 22.63 Pdpatan tenaga kerja RT (YUNT) 2968377 -0.90 -1.01 -1.70 9.87 9.87 28.29 Pdpatan kerja non pert (YUNTA) 1845719 -1.57 -1.77 -2.97 17.99 17.99 17.99 Pdpatan kerja buruhtani (YUNTB) 1122658 0.21 0.24 0.40 -3.48 -3.48 45.23 Total pendapatan RT (YRMH) 14091660 10.82 10.58 20.02 20.82 20.63 22.64 Pngelran pangan/kap (EXFO1) 1652901 0.40 8.50 0.73 0.76 8.87 0.83 Pngelran konsumsi RT (EXCO1) 12469025 0.33 -7.57 0.58 0.66 -7.29 0.79 Investasi Kesehatan (INHE) 318481 5.52 -2.65 10.22 9.36 1.20 8.27 Investasi Pendidikan (INDU) 1210346 1.14 1.12 2.12 2.20 2.18 2.39 Total pengeluaran RT (EXHH1) 13997852 0.52 -6.71 0.93 0.99 -6.28 1.10 Nilai tabungan (NTAB) 1894032 -28.58 -30.01 26.55 1.56 0.24 -3.87
Modal RT (MDAL) 5591089 -9.68 -10.17 8.99 0.53 0.08 -1.31
Kecukupan pangan (FSCUR) 0.8358 0.08 4.13 0.16 0.16 4.20 0.17
Status Gizi (NUTR) -1.2391 0.06 3.80 0.12 0.13 3.87 0.15
Keterangan Simulasi:
I = Harga pupuk naik 30 persen dan harga padi naik 30 persen II = Simulasi I diikuti pengurangan satu orang anggota rumahtangga III = Simulasi I diikuti peningkatan luas garapan 0.3 ha
IV = Simulasi I diikuti kenaikan diversifikasi usaha 25 persen V = Simulasi II diikuti diversifikasi usaha 25 persen
(4)
Lampiran 8.Pengaruh Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan
Rumahtangga Petani Tidak Miskin
Variabel Basis Simulasi
I II III IV V VI
Luas garapan (ARDI) 1.4045 -2.83 -3.09 14.24 6.93 6.71 1.50 Produksi padi (QPDI) 4956.5 -8.97 -9.26 16.89 2.46 2.19 -3.90 Penggunaan benih (QBEN) 75.7289 7.34 7.09 29.49 17.12 16.89 11.67 Penggunaan Urea (QREA) 265.9 -7.48 -7.78 17.49 3.54 3.27 -2.59 Penggunaan SP-36 (QSP6) 79.287 -28.70 -29.00 -2.52 -17.14 -17.41 -23.58 Pangan yg disimpan (SIMP) 1541.5 -7.06 -6.43 9.52 0.25 0.91 -3.81 Surplus yg dijual (PSUR) 3415.1 -9.83 -10.54 20.21 3.45 2.77 -3.94 Alokasi TK kelg pria (TKDP) 64.064 9.57 9.44 21.16 14.30 14.18 11.45 Alokasi TK kelg wanita (TKDW) 19.7731 19.14 19.14 18.89 19.03 19.03 19.09 TK luar kelg pria (TKLP) 22.0542 -5.80 -5.97 8.00 2.77 2.62 -0.66 TK luar kelg wanita (TKLW) 20.191 -1.94 -2.11 13.19 4.74 4.59 1.02 Tot TK ustani padi (JTKI) 118.1 6.44 6.27 17.27 11.43 11.35 8.81 Alokasi TK kelg non pert (TKUN) 51.1179 -2.90 -3.22 -6.46 25.00 25.00 25.00 Alokasi TK kelg bbruh tani (TNUB) 39.7706 0.30 0.33 0.66 -8.14 -8.14 25.00 Ketersediaan TK keluarga (TKRT) 297.8 -0.47 -0.50 -1.01 20.15 20.15 8.50 Biaya usahatani padi (BIAY) 6105363 1.36 1.31 4.66 3.02 2.98 2.07 Total revenu padi (REVP) 15031842 19.87 19.52 42.34 34.43 34.11 26.47 Pdpatan usahtani padi (YPDI) 8926479 32.53 31.97 68.10 55.91 55.40 43.16 Pdpatan pertanian (YGRI) 22153697 13.11 12.88 27.44 22.53 22.32 17.39 Pdpatan tenaga kerja RT (YUNT) 2611982 -1.44 -1.59 -3.03 20.84 20.84 19.15 Pdpatan kerja non pert (YUNTA) 1526562 -2.66 -2.95 -5.65 40.93 40.93 40.93 Pdpatan kerja buruhtani (YUNTB) 1085419 0.29 0.32 0.64 -7.41 -7.41 -11.48 Total pendapatan RT (YRMH) 27995688 10.24 10.04 21.43 19.77 19.61 15.55 Pngelran pangan/kap (EXFO1) 2154322 0.57 6.79 1.20 1.10 7.32 0.87 Pngelran konsumsi RT (EXCO1) 22716952 0.31 -6.65 0.69 0.57 -6.45 0.42 Investasi Kesehatan (INHE) 318547 10.33 2.08 21.62 17.69 9.46 13.65 Investasi Pendidikan (INDU) 2423874 1.07 1.05 2.25 2.07 2.06 1.63 Total pengeluaran RT (EXHH1) 25459374 0.51 -5.81 1.10 0.93 -5.44 0.70 Nilai tabungan (NTAB) 4623969 -10.53 -11.45 28.69 7.57 6.69 -2.32
Modal RT (MDAL) 8066326 -6.04 -6.56 16.45 4.34 3.84 -1.33
Kecukupan pangan (FSCUR) 0.8057 0.16 4.36 0.34 0.31 4.49 0.24
Status Gizi (NUTR) -1.2026 0.12 3.98 0.28 0.26 4.12 0.20
Keterangan Simulasi:
I = Harga pupuk naik 30 persen dan harga padi naik 30 persen II = Simulasi I diikuti pengurangan satu orang anggota rumahtangga III = Simulasi I diikuti peningkatan luas garapan 0.2 ha
IV = Simulasi I diikuti kenaikan diversifikasi usaha 25 persen V = Simulasi II diikuti diversifikasi usaha 25 persen
(5)
Lampiran 9. Pengaruh Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan
RumahtanggaPetani Tahun 2007
Variabel Basis Simulasi
I II III IV V VI
Luas garapan (ARDI) 1.076 -3.85 -7.61 27.88 9.67 9.48 4.59
Produksi padi (QPDI) 3812.9 -11.42 -19.12 21.93 4.31 4.10 -1.59 Penggunaan benih (QBEN) 62.7789 7.46 -7.04 33.98 19.96 19.79 15.27 Penggunaan Urea (QREA) 212.7 -9.40 -13.45 21.58 5.22 5.03 -0.28 Penggunaan SP-36 (QSP6) 64.5088 -33.20 -40.87 -1.26 -18.14 -18.35 -23.79 Pangan yg disimpan (SIMP) 1500.9 -6.99 -9.18 9.93 0.97 1.39 -2.03 Surplus yg dijual (PSUR) 2312 -14.30 -25.58 29.72 6.47 5.85 -1.31 Alokasi TK kelg pria (TKDP) 68.7218 7.81 -2.84 18.54 12.55 12.48 10.66 Alokasi TK kelg wanita (TKDW) 19.6365 17.31 0.07 17.06 17.19 17.19 17.24 TK luar kelg pria (TKLP) 9.7163 -12.40 -8.30 18.66 7.08 6.88 1.53 TK luar kelg wanita (TKLW) 11.044 -3.69 -7.29 23.77 9.25 9.07 4.39 Tot TK ustani padi (JTKI) 103 6.31 -3.31 18.74 12.43 12.33 10.29 Alokasi TK kelg non pert(TKUN) 103.6 -1.35 0.19 -3.19 25.00 25.00 25.00 Alokasi TK kelg bbruh tani (TNUB) 54.7529 0.20 -0.03 0.47 -5.69 -5.69 25.00 Ketersediaan TK keluarga (TKRT) 412.8 -0.31 0.05 -0.73 15.55 15.55 9.35 Biaya usahatani padi (BIAY) 4512779 1.05 -0.29 6.16 3.43 3.39 2.58 Total revenu padi (REVP) 10536966 17.26 -17.57 42.49 36.33 36.07 28.52 Pdpatan usahtani padi (YPDI) 6024187 29.41 -30.51 69.71 60.99 60.55 47.95 Pdpatan pertanian (YGRI) 12717381 13.93 -14.45 33.02 28.89 28.68 22.71 Pdpatan tenaga kerja RT (YUNT) 3648838 -0.72 0.12 -1.75 18.05 18.05 28.22 Pdpatan kerja non pert (YUNTA) 2381388 -1.21 0.19 -2.93 30.65 30.65 30.65 Pdpatan kerja buruhtani (YUNTB) 1267451 0.19 -0.03 0.45 -5.62 -5.62 23.64 Ttl pendapatan RT (YRMH) 17500969 9.97 -10.48 23.63 24.76 24.61 22.39 Pngelran pangan/kap (EXFO1) 1591707 0.47 7.93 1.12 1.17 9.59 1.06 Pngelran konsumsi RT (EXCO1) 13075984 0.32 -7.65 0.77 0.82 -6.70 0.81 Investasi Kesehatan (INHE) 287351 6.98 -16.19 16.56 14.40 5.36 11.26 Investasi Pendidikan (INDU) 861854 1.84 -1.93 4.36 4.57 4.54 4.13 Total pengeluaran RT (EXHH1) 14225189 0.55 -7.48 1.31 1.32 -5.78 1.23 Nilai tabungan (NTAB) 1598564 -31.86 -65.45 79.48 23.18 21.62 3.52
Modal RT (MDAL) 5335865 -9.55 -19.61 23.81 6.95 6.48 1.05
Kecukupan pangan (FSCUR) 0.8792 0.08 3.74 0.20 0.22 4.05 0.19
Status Gizi (NUTR) -1.1705 0.09 3.87 0.21 0.21 4.18 0.20
Keterangan Simulasi:
I = Harga pupuk naik 30 persen dan harga padi naik 30 persen II = Simulasi I diikuti pengurangan satu orang anggota rumahtangga III = Simulasi I diikuti peningkatan luas garapan 0.3 ha
IV = Simulasi I diikuti kenaikan diversifikasi usaha 25 persen V = Simulasi II diikuti diversifikasi usaha 25 persen
(6)
Lampiran10. Pengaruh Perubahan Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan
RumahtanggaPetani Tahun 2010
Variabel Basis Simulasi
I II III IV V VI
Luas garapan (ARDI) 1.5441 -2.89 -6.12 19.43 -0.73 -0.95 -1.34 Produksi padi (QPDI) 5276.5 -9.20 -15.75 4.11 -6.59 -6.86 -7.33 Penggunaan benih (QBEN) 76.7085 6.84 -6.65 18.82 9.18 8.94 8.52 Penggunaan Urea (QREA) 278.7 -7.75 -11.59 5.31 -5.20 -5.45 -5.92 Penggunaan SP-36 (QSP6) 82.7791 -29.18 -36.21 -15.44 -26.49 -26.77 -27.25 Pangan yg disimpan (SIMP) 1512.4 -7.73 -10.05 1.51 -5.92 -5.18 -6.43 Surplus yg dijual (PSUR) 3764.1 -9.79 -18.04 5.15 -6.86 -7.54 -7.69 Alokasi TK kelg pria (TKDP) 55.0398 10.84 -4.10 18.23 12.21 12.06 11.80 Alokasi TK kelg wanita (TKDW) 19.5053 19.27 0.08 19.13 19.24 19.24 19.25 TK luar kelg pria (TKLP) 32.2167 -4.10 -2.89 1.08 -2.79 -2.90 -3.08 TK luar kelg wanita (TKLW) 24.6541 -1.78 -3.77 5.01 -0.45 -0.59 -0.83 Tot TK ustani padi (JTKI) 122.6 5.95 -3.18 11.66 7.10 7.01 6.77 Alokasi TK kelg non pert(TKUN) -2.3249 62.48 -11.20 101.90 25.00 25.00 25.00 Alokasi TK kelg bbruh tani (TNUB) 25.1835 0.46 -0.08 0.75 -2.36 -2.36 25.00 Ketersediaan TK keluarga (TKRT) 132.7 -0.98 0.23 -1.58 10.78 10.78 7.31 Biaya usahatani padi (BIAY) 6121910 1.41 0.10 2.81 1.88 1.83 1.75 Total revenu padi (REVP) 14852551 18.64 -15.59 37.72 21.86 21.50 20.52 Pdpatan usahtani padi (YPDI) 8730641 30.72 -26.59 62.19 35.87 35.30 33.67 Pdpatan pertanian (YGRI) 19263646 13.92 -12.05 28.19 16.26 16.00 15.26 Pdpatan tenaga kerja RT (YUNT) 1001235 -4.03 0.71 -7.08 -23.11 -23.11 0.22 Pdpatan kerja non pert (YUNTA) 250728 -17.33 3.06 -30.68 -85.85 -85.85 -85.85 Pdpatan kerja buruhtani (YUNTB) 750506 0.41 -0.08 0.80 -2.15 -2.15 28.98 Ttl pendapatan RT (YRMH) 23108792 11.43 -10.01 23.19 12.55 12.34 12.73 Pngelran pangan/kap (EXFO1) 2394411 0.47 5.19 0.96 0.52 6.11 0.53 Pngelran konsumsi RT (EXCO1) 23423987 0.32 -7.54 0.63 0.34 -7.05 0.33 Investasi Kesehatan (INHE) 388942 7.81 -13.37 15.82 9.14 2.39 8.56 Investasi Pendidikan (INDU) 3457993 0.69 -0.61 1.41 0.76 0.75 0.77 Total pengeluaran RT (EXHH1) 27270922 0.47 -6.75 0.95 0.52 -5.92 0.50 Nilai tabungan (NTAB) 5845882 -9.38 -20.65 8.09 -6.09 -6.84 -6.96 Modal RT (MDAL) 9145575 -6.00 -13.20 5.17 -3.89 -4.37 -4.45 Kecukupan pangan (FSCUR) 0.7017 0.16 4.67 0.33 0.19 4.99 0.19
Status Gizi (NUTR) -1.3505 0.10 3.33 0.23 0.12 3.55 0.12
Keterangan Simulasi:
I = Harga pupuk naik 30 persen dan harga padi naik 30 persen II = Simulasi I diikuti pengurangan satu orang anggota rumahtangga III = Simulasi I diikuti peningkatan luas garapan 0.3 ha
IV = Simulasi I diikuti kenaikan diversifikasi usaha 25 persen V = Simulasi II diikuti diversifikasi usaha 25 persen