EKSTRAKSI TANIN HASIL DAN PEMBAHASAN

26 katekin, dan senyawa lainnya. Senyawa tanin dapat berikatan dengan karbohidrat membentuk senyawa kompleks sehingga senyawa tersebut dapat dimasukan dalam kadar bahan lain-lain pada gambir asalan. Menurut Caolate 1990 dalam Yeni, et al. 2004 komponen dasar dalam tanin adalah asam galat dan flavonoid yang dapat membentuk glikosida bila polifenol berikatan dengan karbohidrat. Karakteristik gambir asalan sebagai bahan baku berpengaruh pada tanin bubuk yang dihasilkan dari proses ekstraksi. Beberapa karakteristik kandungan kimia gambir asalan yang berpengaruh terhadap produk tanin bubuk antara lain nilai kadar abu dan nilai kadar tanin gambir asalan. Nilai kadar abu berpengaruh terhadap jumlah mineral yang ikut terekstrak selama proses pengolahan sedangkan nilai kadar tanin berpengaruh terhadap tingkat kemurnian produk tanin yang dihasilkan. Gambir yang memiliki kadar tanin tinggi menjadi bahan baku pembuatan tanin bubuk yang potensial untuk digunakan. Dengan nilai kandungan tanin dalam bahan baku yang tinggi, jumlah ekstrak tanin yang diperoleh diharapkan juga semakin tinggi.

B. EKSTRAKSI TANIN

Senyawa utama yang terkandung di dalam gambir asalan adalah katekin dan asam catechutannat. Katekin merupakan senyawa polifenol yang memiliki bentuk sederhana cathecol. Asam catechutannat merupakan anhidrat katekin yang sering disebut tanin dalam gambir. Tanin yang terdapat dalam gambir dapat diekstrak untuk diperoleh produk tanin yang memiliki tingkat kemurnian tinggi. Proses pengambilan tanin dalam gambir asalan melibatkan proses pemisahan antara senyawa katekin dan tanin yang keduanya merupakan jenis senyawa polifenol. Menurut Fessenden 1982, polifenol merupakan senyawa yang memiliki struktur dasar berupa fenol dan fenol merupakan struktur yang terbentuk dari benzene yang tersubstitusi dengan gugus OH. Proses pengambilan tanin atau ekstraksi tanin dari gambir asalan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan air sebagai pelarut. Menurut Carter et al. 1978, tanin memiliki sifat dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH. Penggunaan 27 jenis pelarut yang sesuai sangat mempengaruhi proses ekstraksi. Menurut Gemse 2002, faktor penting dalam ekstraksi adalah pemilihan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam ekstaksi harus dapat menarik komponen aktif dalam campuran. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, kemudahan untuk diuapkan, dan harga yang relatif murah. Penggunaan air sebagai pelarut dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain karena air tidak berbahaya dalam penggunaannya, tidak bersifat racun, tidak bersifat korosif terhadap peralatan ekstraksi, mudah diperoleh, dan, harganya murah. Selain itu, dengan menggunakan pelarut air, katekin dan tanin dapat dipisahkan dengan metode pemisahan yang sederhana yaitu pengendapan. Tanin dapat larut dalam air dan kelarutannya semakin besar jika dilarutkan pada suhu tinggi Browning, 1966. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan suhu pelarut pada proses ekstraksi, dalam penelitian ini digunakan tiga taraf suhu yaitu 40 C, 60 C,dan 80 C. Selain suhu, faktor lainnya yang digunakan adalah perbandingan jumlah pelarut dan gambir asalan. Perbandingan jumlah air dan gambir asalan yang digunakan sebanyak tiga taraf yaitu 8:1, 10:1, dan 12:1 vb. Metode ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini Lampiran 3 mengacu pada cara pemurnian tanin dan katekin yang telah dilakukan dalam penelitian Gumbira- Sa’id, et al. 2009b. Sebelum mengalami proses ekstraksi, gambir asalan yang berbentuk silinder mengalami perlakuan pendahuluan. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan adalah pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran berfungsi untuk memudahkan proses ekstraksi. Menurut Swen 1992, semakin kecil ukuran bahan, luas permukaan bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan kelarutan bahan dalam pelarut sehingga kadar ekstrak komponen bioaktif juga akan meningkat. Setelah mengalami pengecilan ukuran, gambir asalan bersama pelarut dipanaskan hingga suhu mencapai 40 C, 60 C,dan 80 C. Gambir asalan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 13. 28 a b Gambar 13. Gambir Asalan sebagai Bahan Baku a. Gambir Asalan Utuh; b. Gambir Asalan yang Telah Mengalami Pengecilan ukuran Pemanasan dilakukan untuk melarutkan gambir asalan dan memudahkan pelarut agar dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang terdapat dalam gambir asalan. Pemanasan dapat merusak jaringan pada bahan yang akan diekstraksi sehingga senyawa-senyawa akan dapat mudah diikat oleh pelarut. Pemanasan dilakukan hingga semua gambir asalan terlarut dengan lama pemanasan setelah mencapai suhu yang ditentukan kurang lebih 10 menit. Larutan gambir yang telah dipanaskan disaring untuk memisahkan kotoran yang tidak larut dalam air panas. Kotoran tersebut dapat berupa pasir, tanah, logam tempat pemasakan, dan daun gambir yang terikut dalam proses pengolahan hingga menjadi gambir asalan. Hasil penyaringan berupa kotoran dalam gambir dapat dilihat pada Gambar 14. Larutan gambir kemudian didiamkan selama 12 jam untuk mengendapkan katekin yang ikut terekstrak oleh pelarut air. Proses pengendapan dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 14. Hasil Proses Penyaringan Berupa Kotoran 29 Gambar 15. Proses Pengendapan dalam Ekstraksi Tanin Katekin memiliki sifat dapat larut dalam air panas, alkohol, asetat glasial, aseton dan sukar larut dalam air dingin. Tanin memiliki sifat dapat larut dalam alkohol dan air dingin. Dengan proses pengendapan, katekin yang sukar larut dalam air dingin akan mengendap dan dapat dipisahkan dengan tanin yang masih terlarut dalam air. Pemisahan antara katekin yang mengendap dengan tanin yang masih terlarut dalam air dilakukan dengan proses penyaringan. Fraksi yang mengendap katekin dapat dilihat pada Gambar 16. Fraksi yang tidak mengendap tanin dapat dilihat pada Gambar 17. a b Gambar 16. Fraksi Katekin a. Katekin yang Mengendap pada Dasar Tabung b. Katekin Hasil Pemisahan dengan Tanin 30 Gambar 17. Larutan Tanin Senyawa hasil pengendapan yang berupa fraksi tidak larut air dingin kemungkinan masih mengandung komponen tanin. Oleh karena hal tersebut, endapan kemudian diperas dan disaring kembali untuk mendapatkan larutan tanin. Hasil penyaringan yang berupa cairan kemudian dikeringkan dengan menggunakan alat pengering semprot untuk memperoleh hasil serbuk yang seragam. Neraca massa pembuatan tanin bubuk dapat dilihat pada Lampiran 4. Proses pengeringan larutan tanin dilakukan dengan metode spray drying. Pada metode spray drying, bahan disemprotkan dan diatomisasi membentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas kemudian air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering Dubey et al., 2009. Fungsi atomisasi pada metode spray drying adalah untuk menghasilkan droplet yang berukuran kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan mengakibatkan proses penguapan lebih cepat. Penggunaan alat pengering semprot memiliki beberapa keunggulan dari beberapa teknik pengeringan lainnya seperti oven yang biasa digunakan untuk mengeringkan produk gambir pada skala laboratorium. Penggunaan oven memerlukan waktu cukup lama karena menggunakan suhu rendah dan hasil yang terbentuk masih memerlukan perlakuan lanjutan untuk menyeragamkan ukuran butiran produk. Pada pengeringan dengan spray dryer, larutan tanin dikeringkan menggunakan suhu tinggi dalam waktu singkat dan menghasilkan ukuran butiran produk yang seragam. Warna produk yang dihasilkan dari proses pengeringan dengan menggunakan spray dryer juga menunjukkan hasil yang 31 lebih baik lebih cerah dibandingkan metode pengeringan lainya seperti dengan evaporator, vacuum drying, dan freeze drying Gumbira- Sa’id, et al. 2009b. Contoh tanin hasil pengeringan menggunakan spray dryer dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Tanin Bubuk Hasil Pengeringan dengan Spray Dryer Proses pengeringan larutan tanin dengan spray dryer menggunakan suhu inlet 130 C - 140 C dan suhu outlet 75 C - 78 C. Suhu inlet dan outlet yang digunakan mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Gumbira- Sa’id, et al. 2009. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada suhu outlet dapat menyebabkan warna tanin menjadi lebih gelap yang berpengaruh pada penampakan dan dikhawatirkan dapat merusak komponen penyusun tanin. Penggunaan suhu outlet yang terlalu rendah menyebabkan produk yang dihasilkan masih memiliki nilai kadar air yang tinggi. Penelitian yang mendukung dan berkaitan dengan penggunaan suhu inlet 130 C-140 C adalah pada penelitian penggunaan pengering semprot dalam mengeringkan ekstrak kulit buah manggis dan anggur. Pada penelitian Sagara 2010, komponen fenolik yang terdapat pada kulit buah manggis baik bila dikeringkan pada suhu inlet 160 C dengan konsentrasi bahan pengisi maltrodekstrin. Penelitian dari Larrauri, et al. 1997 menyatakan bahwa komponen fenolik pada ekstrak kulit buah anggur akan mengalami kerusakan pada kondisi pengeringan 140 C. Dengan acuan tersebut, penggunaan suhu inlet spray dryer pada pengeringan larutan tanin berkisar antara 130 C-140 C. Penggunaan spray dryer untuk mengeringkan suatu larutan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu suhu pengeringan, laju aliran bahan, laju aliran udara, dan, tekanan udara pengering Master, 1979. Pada proses pengeringan, besarnya suhu inlet yang digunakan mempengaruhi suhu outlet 32 pengeringan. Suhu outlet yang digunakan berpengaruh pada kekeringan produk yang dihasilkan. Pengaturan bahan yang masuk ke dalam pengering semprot mempengaruhi outlet pada proses pengeringan. Laju bahan masuk yang terlalu kecil akan menyebabkan kenaikan pada suhu outlet. Kenaikan suhu outlet dapat menyebabkan pengeringan dengan panas yang berlebihan sehingga berpengaruh pada warna produk yang dihasilkan. Setelah produk mengalami pengeringan dengan spray dryer, bubuk tanin dikemas dengan kemasan plastik. Pengemasan dan penyimpanan bubuk tanin sangat perlu diperhatikan. Kemasan tanin harus dapat melindungi tanin dari udara luar dan kondisi lingkungan sekitar yang dapat merusak tanin bubuk. Tanin bubuk yang tidak disimpan dengan baik dapat mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Sesuai dengan sifat tanin yang dinyatakan Browning 1966 bahwa warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau dibiarkan di udara terbuka. Contoh perubahan warna tanin dapat dilihat pada Gambar 19. Tanin bubuk yang sudah dikemas dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 19. Tanin yang Telah Mengalami Perubahan Warna Gambar 20. Tanin Bubuk yang Dikemas dengan Plastik 33

C. ANALISIS PRODUK