Tabel 4. Kisaran kualitas air selama uji in vivo
Perlakuan Suhu
C pH
DO mgl TAN mgl
Pencegahan 25-27 6.6-6.8 4.23-6.89 0.07-0.072
Pengobatan 25-27 6.6-6.8 4.21-6.89 0.07-0.114
Kontrol Positif 25-27
6.5-6.8 5.13-6.89
0.07-0.058 Kontrol Negatif
25-27 6.6-6.8 4.40-6.89
0.07-0.089
Dari Tabel 4 diatas, dapat diketahui bahwa kisaran kualitas air selama perlakuan memenuhi syarat kualitas air dalam memelihara lele. Kualitas air diukur
sebelum dan setelah perlakuan, khusus untuk suhu dilakukan pengukuran setiap hari. Kualitas air yang terukur selama perlakuan untuk suhu adalah antara 25-
27 C, pH antara 6.5-6.8, DO antara 4.21-6.89 dan TAN antara 0.07-0.114
Lampiran 16.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan penghitungan LD
50
bakteri A. hydrophila dengan menggunakan metode Reed and Muench 1939, didapatkan hasil bahwa bakteri yang digunakan
merupakan bakteri dengan virulensi yang tinggi yaitu sebesar 10
5
cfuml Lampiran 6. Lallier et al. 1981 dalam Haliman 1993 mengklasifikasikan
tingkat virulensi bakteri A. hydrophila berdasarkan nilai LD
50
bakteri tersebut, yaitu bakteri yang memiliki nilai LD
50
antara 10
4.5
– 10
5.5
cfuml tergolong dalam kelompok bakteri yang virulen, nilai LD
50
antara 10
5.5
– 10
7
cfuml tergolong dalam kelompok bakteri yang memiliki virulensi lemah dan bakteri yang memiliki nilai
LD
50
lebih dari 10
7
cfuml merupakan bakteri yang avirulen. Jeruk nipis telah lama dikenal mengandung khasiat obat. Adanya zona
hambat pada uji in vitro membuktikan bahwa jeruk nipis memiliki potensi sebagai antibakteri. Oboh et al. 1992 dalam Taiwo 2007 telah membuktikan efek
antimikroba dari tanaman ini pada beberapa bakteri seperti Bacillus sp., Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella sp. Dosis jeruk nipis 5
memiliki diameter zona hambat rata-rata sebesar 7.83 mm, sedangkan dosis 10 adalah 8.33 mm. Dari hasil zona hambat tersebut menunjukkan bahwa jeruk nipis
dosis 5 dan 10 memiliki kekuatan antibakteri sedang karena diameternya berada diantara 5-10 mm. Merujuk pada pernyataan Stout dalam Hasim 2008
bahwa zona hambat 20 mm atau lebih berarti kekuatan antibakteri sangat kuat,
zona hambat 10-20 mm berarti kekuatan antibakteri kuat, zona hambat 5-10 mm berarti kekuatan antibakteri sedang dan zona hambat 5 mm atau kurang berarti
kekuatan antibakteri kurang atau lemah. Terbentuknya zona hambat diduga karena pengaruh pH asam dalam sari
jeruk nipis. pH pada perlakuan dosis dalam uji in vitro berkisar antara 2.2-2.4 Lampiran 7. Nilai pH ini jauh lebih rendah dari kisaran toleransi A. hydrophila
yang berkisar antara 5.5-9 Kordi, 2004, sehingga bakteri tidak dapat bertahan dan mati. Selain itu, zona hambat yang terbentuk juga dapat disebabkan karena
kandungan yang terdapat dalam jeruk nipis antara lain minyak atsiri dan flavonoid Chang dalam Adina, 2008. Hasim 2008 menyebutkan bahwa daya antibakteri
dalam minyak atsiri disebabkan oleh adanya senyawa fenol dan turunannya yang dapat mendenaturasi protein. Kehadiran fenol yang merupakan senyawa toksik
mengakibatkan struktur tiga dimensi protein terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen. Hal ini
menyebabkan protein terdenaturasi. Deret asam amino protein tersebut tetap utuh setelah terdenaturasi, namun aktivitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein
tidak dapat melakukan fungsinya. Sedangkan aktivitas flavonoid kemungkinan disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk kompleks dengan protein
ekstraseluler dan terlarut, dan dengan dinding sel. Flavonoid yang bersifat lipofilik mungkin juga akan merusak membran mikroba Naim, 2004.
Dari hasil
uji in vivo, respon makan ikan baik dari awal perlakuan H-7
sampai hari ke-0 ketika dilakukan injeksi bakteri A. hydrophila, kecuali pada perlakuan pencegahan pada H-7 ikan terlihat sedikit makannya diduga karena
stress akibat adanya penyuntikan sari jeruk nipis. Tetapi pada hari selanjutnya nafsu makan ikan mulai terlihat normal. Setelah dilakukan injeksi A. hydrophila,
ikan-ikan pada perlakuan pencegahan, pengobatan dan kontrol positif terlihat sedikit atau tidak mau makan. Menurut Cipriano et al. 1984 dalam Husein
1993 hati merupakan salah satu organ target bakteri A. hydrophila selain ginjal. Terganggunya organ hati dapat menimbulkan pengaruh terhadap kegiatan
metabolisme dalam tubuh ikan sehingga salah satu akibatnya ikan menjadi tidak nafsu makan. Kabata 1985 menyatakan bahwa ikan lele yang terinfeksi A.
hydrophila memperlihatkan tingkah laku yang tidak normal, berenang lambat,
tidak mau makan dan megap-megap di permukaan atau diam lesu di dasar kolam. Pernyataan tersebut dapat menjelaskan pasifnya ikan kontrol positif ketika
dilakukan uji refleks. Sedangkan pada kontrol negatif, ikan terlihat normal nafsu makannya sampai akhir perlakuan, kecuali pada hari ke-0 ketika dinjeksikan PBS
ikan terlihat menurun sedikit nafsu makannya yang diduga karena stress akibat masuknya benda asing PBS ke dalam tubuhnya dan luka yang diakibatkan oleh
spuid. Ikan juga terlihat sangat responsif menjauhi sumber tepukan pada uji refleks.
Pada perlakuan pencegahan, hilangnya nafsu makan ikan terjadi sampai kira-kira hari ke-2, setelah itu ikan mulai meningkat kembali nafsu makannya
sampai akhir perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa injeksi sari jeruk nipis dapat mengembalikan nafsu makan ikan, karena bila dibandingkan dengan kontrol
positif, ikan perlakuan pencegahan nafsu makannya lebih cepat kembali normal. Sedangkan pada perlakuan pengobatan, respon makan ikan tidak jauh berbeda
dengan kontrol positif. Nafsu makan ikan baru membaik kira-kira pada hari ke-6. hal ini dapat disebabkan oleh adanya penyuntikan jeruk nipis 2 hari setelah
dilakukan penyuntikan bakteri, sehingga ikan mengalami stress berlipat ganda. Tingginya nafsu makan ikan pada kontrol negatif menyebabkan
pertambahan bobot ikan juga besar, yaitu 87.27. Menurut Abdullah 2008, semakin besar konsumsi pakan maka semakin besar kesempatan ikan tersebut
untuk memperoleh nutrien karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Ditambah lagi hasil uji refleks yang baik menunjukkan ikan sehat sehingga ikan
dapat tumbuh secara optimal. Pada kontrol positif pertambahan bobot sebesar 51.21. Menurut Kabata
1985, infeksi A. hydrophila dapat menyebabkan pembengkakan pada hati dan ginjal. Adanya ke-abnormalan pada organ dalam dapat mengganggu proses
pencernaan tubuh, karena hati merupakan pusat metabolisme tubuh, dimana glikogen dan lemak disimpan, cairan empedu dihasilkan sebagai emulsifikator
lemak yang berperan penting dalam proses pencernaan makanan sehingga lemak dapat diserap oleh dinding usus Cipriano et al., dalam Abdullah, 2008. Ketika
organ dalam rusak, maka akan terjadi stress, proses metabolisme terganggu dan akhirnya akan menghambat pertumbuhan ikan. Begitu pula yang terjadi pada
perlakuan pencegahan dan pengobatan, pertambahan bobotnya sebesar 40.16 dan 37.66. Nilai ini lebih kecil dibandingkan kontrol positif, diduga karena
pengaruh pH asam dari sari jeruk nipis. Talbot 1985 dalam Hasan 2000 mengatakan bahwa di dalam saluran pencernaan ikan, makanan dicerna dan
kemudian diserap melalui dinding usus dan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Usus ikan menghasilkan enzim proteolitik yang bekerja pada pH antara 8 –
8.5 Huisman, 1987 dalam Hasan, 2000. Nilai pH rendah dari sari jeruk nipis diduga menghambat proses penyerapan makanan pada usus, sehingga
pertambahan bobot ikan ikut terhambat. Walaupun demikian, nilai pertambahan bobot perlakuan pencegahan dan pengobatan tidak berbeda nyata dengan kontrol
positif Lampiran 10. Gejala klinis yang terlihat pada ikan yang terinfeksi A. hydrophila umumnya
dimulai dengan peradangan, hiperemia pada sirip dan daerah bekas suntikan, lalu berkembang menjadi nekrosis atau kerusakan jaringan dan akhirnya menjadi
tukak. Kematian ikan juga terjadi ketika ikan masih berada dalam tahap peradangan. Menurut Angka et al., 2004, hal ini terjadi karena adanya toksin A.
hydrophila yang menyebabkan hemolisis darah, kemungkinan hemolisis ini yang menyebabkan kematian walaupun kelainan klinis yang tampak dari luar karena
peradangan. Reaksi radang merupakan reaksi untuk mencegah masuknya mikroorganisme di sekitar tempat infeksi. Selain itu, pada proses peradangan juga
terjadi reaksi antara fibrinogen dan faktor-faktor penggumpal lainnya dalam darah dan membentuk jaringan fibrin untuk mencegah keluarnya cairan tubuh dan
mencegah masuknya benda asing ke dalam tubuh Anderson, 1974 dalam Snieszko dan Axelrod, 1971. Dengan pemberian uji tantang melalui injeksi, maka
antigen A. hydrophila akan langsung menembus lapisan mukus dan sistem pertahanan non spesifik, langsung masuk ke pembuluh darah dan jaringan. Hal ini
berakibat terjadinya reaksi kekebalan yang hebat, terutama pada daerah bekas injeksi Darmanto, 2003.
Ikan memiliki sistem kekebalan untuk mengantisipasi infeksi mikroorganisme. Sistem pertahanan pertama adalah pertahanan non spesifik dan
peradangan, pertahanan kedua yaitu darah dan pertahanan selanjutnya adalah pertahanan spesifik atau respon imun spesifik. Jaringan yang terlibat dalam sistem
pertahanan non spesifik antara lain adalah mukus, epidermis, dermis dan sisik. Menurut Darmanto 2003, sistem pertahanan ini bersifat permanen selalu ada
dan tidak perlu dirangsang terlebih dahulu, sehingga sering menentukan suatu jenis ikan lebih tahan terhadap patogen dibanding jenis ikan lainnya. Pada
pertahanan spesifik organ-organ yang berperan antara lain ginjal, limpa dan timus Anderson, 1974 dalam Hanafi, 2006. Sistem pertahanan spesifik disebut juga
sebagai sistem pertahanan humoral, dimana pada pertahanan ini yang berperan adalah antibodi. Terbentuknya antibodi spesifik dimulai dari masuknya suatu
antigen ke dalam tubuh ikan, kemudian antigen tersebut difagosit oleh makrofag. Selanjutnya makrofag mengirim pesan ke limfosit sehingga memberikan respon
melalui poliferasi dan memproduksi antibodi yang spesifik sesuai dengan antigen yang memberikan rangsangan Anderson, 1974 dalam Darmanto, 2003. Sistem
pertahanan tersebut disamping menghancurkan patogen juga akan mengaktifkan sistem memori, sehingga apabila ada serangan kembali oleh patogen yang sama
akan segera direspon lebih cepat dari serangan pertama Darmanto, 2003. Pada kontrol positif hari ke-1 pasca infeksi A. hydrophila ikan mengalami
radang dengan diameter yang cukup besar Lampiran 11, kemudian berkembang menjadi tukak rata-rata pada hari ke-3. Empat ekor ikan mengalami kematian
pada kontrol positif. Munro 1982 dalam Hanafi 2006 mengatakan bahwa endotoksin atau lipopolisakarida LPS dari bakteri Gram negatif adalah toksis
karena dapat menginduksi berbagai kondisi patologi termasuk shock, hemoragi, fever dan kematian.
Pada perlakuan pengobatan, hari pertama pasca infeksi A. hydrophila terjadi peradangan dengan diameter yang cukup besar, tidak jauh berbeda dengan kontrol
positif Lampiran 11. Hari selanjutnya berkembang menjadi hemoragi, terjadi pula perkembangan diameter gejala klinis pada 4 ekor ikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya penyuntikan yang kedua dengan sari jeruk nipis, sehingga ikan makin stress dan menyebabkan luka tambah parah. Setelah dilakukan
penyuntikan sari jeruk nipis, 2 ekor ikan mati dan 2 ekor ikan mengalami penyembuhan. Ikan-ikan yang mengalami tukak mampu bertahan hidup, karena
memiliki daya regenerasi yang tinggi apabila dibandingkan dengan hewan-hewan dari kelas vertebrata yang lainnya Haliman, 1993.
Pada perlakuan pencegahan, hari pertama pasca infeksi A. hydrophila ikan mengalami radang dengan diameter yang lebih kecil dibandingkan kontrol positif
Lampiran 11. Kemudian hanya 5 ekor ikan yang berkembang menjadi tukak, 3 ekor ikan mengalami peradangan sampai akhir penelitian, 4 ekor ikan mengalami
penyembuhan, bahkan 3 ekor ikan terlihat normal atau tidak mengalami gejala klinis pasca infeksi A. hydrophila. Menurut Abdullah 2008, infeksi A.
hydrophila berkembang cepat dalam waktu 24 jam setelah infeksi, sehingga pertahanan awal yang baik sangat penting untuk mencegah serangan infeksi
penyakit. Daya tahan alami memungkinkan suatu hewan menjadi terbebas dari serangan patogen karena tidak adanya jaringan spesifik atau reseptor seluler bagi
kolonisasi patogen, atau tidak mampu mendukung syarat-syarat optimum baik dari sisi kecukupan nutrisi maupun lingkungan bagi pertumbuhan patogen
Normalina, 2007. Adanya flavonoid pada sari jeruk nipis diduga berperan penting dalam pencegahan penyakit MAS pada ikan lele. Flavonoid bersifat
antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka. Flavonoid juga
mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan sistem limfe lebih cepat dihasilkan Angka et al.,
2004. Trisbiantara 2008 mengemukakan bahwa kandungan vitamin C yang tinggi dari jeruk nipis sangat berguna sebagai antioksidan dan meningkatkan daya
tahan tubuh sehingga kuman-kuman patogen kuman yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit dapat dimatikan oleh tubuh. Vitamin A di dalamnya dapat
meningkatkan daya tahan kulit terhadap infeksi dan protein yang berguna untuk memperbaiki jaringan tubuh yang mengalami kerusakan ataupun memperbaharui
jaringan yang sudah tua. Kematian paling tinggi terjadi pada kontrol positif sebesar 26.67 dan yang
terendah pada perlakuan pencegahan dan kontrol negatif sebesar 0. Produk ekstraseluler berupa hemolisis dan enterotoksin dari bakteri A. hydrophila dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian ikan Haliman, 1993. Kematian juga terjadi pada perlakuan pengobatan sebesar 13.33, kematian ini terjadi pada
hari ke 3 dan ke 4, yaitu hari pertama dan kedua setelah penyuntikan sari jeruk nipis. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ikan yang tidak mampu menahan
adanya stressor berupa penyuntikan 2 kali penyuntikan bakteri dan sari jeruk nipis dalam waktu yang relatif singkat, sehingga ikan mengalami kematian.
Walupun begitu, terdapat pula 2 ekor ikan yang mengalami penyembuhan total setelah disuntikan sari jeruk nipis.
Pengamatan organ dalam menunjukkan bahwa pada kontrol positif hati terlihat berwarna merah kekuningan dan membengkak, ginjal merah tua
kehitaman dan membengkak, empedu berwarna kuning dan limpa merah kecoklatan dan membengkak. Menurut Oliver et al., 1981 dalam Taufik 2001
patogen A. hydrophila disamping memakan dan merusak jaringan organ tubuh juga mengeluarkan toksin yang disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran darah
sehingga menyebabkan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan warna kemerahan pada tubuh ikan. Penampakan pada organ dalam
perlakuan pengobatan mirip dengan kontrol positif, ginjal terlihat berwarna merah tua, hati merah sedikit pucat, empedu hijau kekuningan dan limpa berwarna merah
kecoklatan. Sedangkan pada kontrol negatif organ dalam terlihat normal, ginjal dan hati berwarna merah kecoklatan, limpa berwarna merah tua dan empedu
terlihat hijau kebiruan. Organ dalam pada pencegahan terlihat mendekati kontrol negatif, ginjal terlihat berwarna merah tua kecoklatan, hati terlihat merah gelap,
limpa terlihat berwarna merah gelap dan empedu berwarna hijau kebiruan. Hal ini dapat menggambarkan jeruk nipis yang diinjeksikan pada ikan dapat mencegah
rusaknya organ dalam akibat infeksi A. hydrophila. Vitamin A yang terkandung di dalam jeruk nipis dapat meningkatkan daya tahan kulit terhadap infeksi dan
protein yang berguna untuk memperbaiki jaringan tubuh yang mengalami kerusakan ataupun memperbaharui jaringan yang sudah tua Trisbiantara, 2008.
Kualitas air pemeliharaan lele selama uji in vivo telah memenuhi syarat kualitas air yang dianggap baik untuk kehidupan lele menurut Khairuman dan
Amri 2002, yaitu suhu diantara 20-30°C, oksigen terlarut DO minimum 3 mgl, pH atau derajat keasaman 6.5-8, sedangkan untuk ammonia total kisaran
yang baik untuk budidaya lele menurut Mahyuddin 2007 adalah maksimum 1 mgl total ammonia. Parameter kualitas air yang terukur selama perlakuan adalah
suhu diantara 25-27°C, pH antara 6.5-6.8, DO antara 4.21-6.89 dan TAN antara 0.07-0.114.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Jeruk nipis
Citrus aurantifolia secara in vitro berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Dosis sari jeruk nipis 5 efektif dan
efisien dalam menghambat pertumbuhan A. hydrophila dengan rata-rata zona hambat sebesar 7.8 mm.
Dari hasil uji in vivo, didapatkan kesimpulan bahwa perlakuan pencegahan dengan dosis sari jeruk nipis 5 berpotensi mencegah infeksi bakteri A.
hydrophila pada ikan lele dumbo. Sedangkan perlakuan pengobatan dengan dosis 10 tidak berpotensi untuk mengobati infeksi bakteri A. hydrophila pada ikan lele
dumbo.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengamati parameter gambaran
darah 2. Mengkombinasikan sari jeruk nipis dengan bahan alami lain yang memiliki
efek sinergis dalam mengendalikan infeksi bakteri A. hydrophila. 3. Dosis sari jeruk nipis 5 dapat diaplikasikan untuk pencegahan bakteri A.
hydrophila pada ikan lele dumbo