Teknologi Produksi Sosis Komersial

6

2. Teknologi Produksi Sosis Komersial

Sosis merupakan produk pangan yang dihasilkan dari penggabungan komposisi bahan dalam proporsi sesuai Essien, 2003. Teknologi produksi sosis komersial terdiri dari beberapa tahap terkontrol. Sosis dengan kualitas baik diperoleh dari formulasi optimal dan tahap produksi yang terkontrol secara ketat. Bahan baku produksi sosis dipersiapkan terlebih dahulu. Bahan baku dapat diperoleh dari supplier. Setiap bahan baku diwajibkan memiliki spesifikasi. Spesifikasi yang tertera harus memberi informasi terperinci mengenai kriteria penting bahan baku dan kondisi yang dapat mempengaruhi kualitasnya. Gambar 1. Diagram alir produksi sosis matang Essien, 2003. Pembelian Bahan Baku Penerimaan Bahan Baku Penyimpanan dan Penyiapan Kuter dan Pencampuran Bahan Pengisian dalam Selongsong Pemasakan Pendinginan Pengecekan Berat Pengemasan Deteksi Logam Pelabelan Pembekuan dan Distribusi 7 Penerimaan bahan baku dari supplier merupakan titik kritis produksi. Di proses tersebut dibutuhkan operator dengan kemampuan baik dan telah mendapatkan pelatihan sehingga dapat melakukan tugasnya dengan efisien. Semua parameter yang tertera dispesifikasi produk harus dicek untuk menjamin kesesuaian pengiriman dengan pesanan. Bahan baku yang telah sesuai pesanan diterima dan disimpan. Dalam proses penyimpanan juga dilakukan proses persiapan produksi. Persiapan produksi yang dimaksud diantaranya pengkodisian bahan baku, penimbangan, dan formulasi. Menurut Marcello dan Robinson 1998, komponen penting dalam formulasi sosis adalah daging, garam, sodium nitrit, asam askorbat, dan rempah. Garam pada konsentrasi yang cukup berfungsi dalam pengawetan dan pembentukan rasa. Sodium nitrit berfungsi menghambat toksin berbahaya yang dihasilkan oleh Clostridium botulin. Sodium nitrit juga berfungsi dalam pembentukan warna sosis. Asam askorbat berfungsi sebagai reduktan. Reduktan mempercepat reaksi reduksi nitrit menjadi nitrik oksida. Reaksi tersebut akan membentuk warna yang stabil pada produk olahan daging Soeparno, 2005. Nitrite dalam bentuk garamnya mengindikasikan berpengaruh terhadap flavor daging yang di curing tetapi mekanisme detilnya belum diketahui Fennema, 1996. Sedangkan rempah akan membentuk produk dengan karakter sensori yang memuaskan Marcello dan Robinson, 1998. Langkah berikutnya dalam proses produksi sosis adalah kuter dalam bowl chopping. Proses kuter sekaligus berfungsi mencampur semua bahan yang telah dipersiapkan dalam proses formulasi. Kuter dimulai dengan memasukan daging tanpa lemak sebelum ditambahkan bumbu dan es. Garam yang terdapat dalam bumbu mengekstrak protein myofibril daging. Terekstraknya protein myofibril daging mendorong terjadinya proses emulsifikasi yang membentuk tekstur khas pada sosis. Es ditambahkan bertahap selama proses kuter. Penambahan es bertujuan mencegah kenaikan suhu proses kuter. Menurut Essien 2003, es ditambahkan dalam proses untuk mencegah suhu melebihi 8 C. Suhu diatas 8 8 C menyebabkan protein myofibril tidak larut sempurna dan tekstur yang terbentuk tidak optimal. Lemak, bahan pengikat, dan bahan pengisi ditambahkan diakhir proses kuter. Adonan sosis yang dihasilkan dicetak dalam selongsong. Pengisian dalam selongsong direkomendasikan dalam keadaan vakum. Keadaan vakum dalam pengisian mencegah masuknya udara kedalam selongsong yang dapat mempercepat kerusakan sosis. Selongsong yang digunakan ada dua jenis yaitu selongsong alami dan buatan Predika, 1983. Selongsong alami merupakan selongsong yang berasal dari bagian tubuh hewan. Contoh jenis selongsong alami adalah selongsong yang berasal dari usus biri-biri. Selongsong buatan merupakan selongsong yang berasal dari buatan manusia. Contoh selongsong buatan adalah selongsong yang dibuat dari selulosa. Sosis yang telah tercetak dalam selongsong diproses lebih lanjut. Proses selanjutnya adalah pemasakan. Metode pemasakan yang digunakan sangat bervariasi. Pemasakan dapat dilakukan melalui pengovenan dengan uap, pengasapan, pengeringan, kombinasi ketiganya, dan penggorengan. Sosis matang yang telah mengalami pemasakan didinginkan sebelum dikemas. Pengemasan dilakukan dengan memperhatikan aspek penampakan. Pengemasan diharapkan mampu menarik perhatian konsumen dan mempresentasikan produk dengan maksimal. Produk yang telah dikemas dilewatkan dalam detektor logam untuk menjamin tidak terdapat cemaran fisik yang berasal dari potongan logam. Tahap terakhir dalam proses produksi adalah pelabelan. Pelabelan dilakukan dengan memberikan informasi memadai sesuai aturan yang ada. Aturan pelabelan di Indonesia merujuk pada PP No. 69 Tahun 1999. Didalam regulasi tersebut, diberitahukan bahwa label sekurang-kurangnya memberikan informasi tentang nama produk, berat bersih, dan alamat produsen. Peraturan pemerintah tersebut juga mengatur tentang pencantuman klaim halal. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, klaim halal sangat berguna sebagai jaminan produk tersebut aman sesuai syariah islam. Setelah proses pelabelan dilakukan, produk siap didistribusikan ke konsumen. 9 Distribusi dilakukan dalam keadaan beku untuk jenis sosis mentah dan emulsi sedangkan jenis sosis matang dan fermentasi dapat didistribusi tanpa proses pembekuan.

B. EVALUASI SENSORI

1. Definisi Evaluasi Sensori Produk Pangan

IFT Sensory evaluation Division 1974 mendefinisikan evaluasi sensori sebagai suatu disiplin ilmu yang digunakan untuk menimbulkan, mengukur, menganalisa, dan menginterpretasikan reaksi terhadap bahan pangan atau material yang diterima oleh indra penglihatan, penciuman, pencicip, peraba, dan pendengaran. Alat ukur yang digunakan adalah lima indra yang dimiliki manusia. Evaluasi sensori sangat berguna dalam proses evaluasi produk yang akan dikonsumsi oleh manusia. Awalnya evaluasi sensori dikembangkan untuk mempelajari reaksi indra manusia terhadap produk pangan. Reaksi yang dimaksud biasanya dijabarkan dalam bentuk penilaian angka terhadap stimulus yang ditimbulkan dari produk. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, evaluasi sensori produk pangan digunakan sebagai alat untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap produk baru, memprediksi keinginan konsumen dimasa mendatang, dan memberi gambaran pengembangan produk baru Ruan dan Zeng, 2004. Evaluasi sensori dilakukan oleh satu atau lebih panelis. Panelis tersebut mengevaluasi sampel yang disediakan. Dalam praktek pelaksanaannya, panelis sensori yang dilibatkan dibedakan berdasarkan latar belakang pengujian sensori. Menurut Ruan dan Zeng 2004, terdapat dua klasifikasi kelas panelis berdasarkan latar belakang pengujian. Pertama adalah berdasarkan kebutuhan pengembangan produk dan kedua adalah berdasarkan penelitian pasar. Klasifikasi pertama melibatkan panelis terlatih sedangkan klasifikasi kedua melibatkan konsumen secara umum. Lebih terinci Meilgaard 1999 mengklasifikasikan pengujian sensori menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tujuan pengujian. Kelompok pertama adalah uji pembedaan. Tujuan uji pembedaan adalah untuk membuktikan dugaan adanya perbedaan diantara dua atau lebih produk.