BAB VI STRUKTUR NAFKAH MASYARAKAT LOKAL DESA GOROWONG
6.1 Struktur Nafkah Kampung Ater dan Kampung Ciawian
6.1.1 Sumber-sumber Nafkah
Berkembangnya industri batu bata di wilayah Desa Gorowong merupakan tonggak penting dalam menggerakkan perekonomian lokal. Struktur nafkah
masyarakat dipengaruhi kuat oleh kehadiran indutri batu bata ini. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, strategi Nafkah yang dilakukan oleh
responden di Kampung Ater dan Kampung Ciawian, berupa pola nafkah ganda baik pola nafkah ganda pertanian dengan nonpertanian seperti penerapan mata
pencaharian sebagai petani dan buruh batu bata, petani dan pemilik industri batu bata, petani dan pedagang, dan lain sebagainya. Penerapan pola nafkah ganda
nonpertanian dengan nonpertanian yang lebih bermacam-macam penerapannya seperti buruh batu bata dengan pedagang, pemilik industri batu bata dengan
pedagang, supir dengan buruh batu bata, dan lain sebagainya. Pola nafkah ganda yang banyak diterapkan adalah pola nafkah ganda sektor non-pertanian dan non-
pertanian. Berikut akan diulas mengenai struktur nafkah rumahtangga di Kampung
Ater dan Kampung Ciawian, struktur nafkah tersebut meliputi tingkat pendapatan rumahtangga, kemampuan menabung rumahtangga, kepemilikan barang investasi
seperti kepemilikan lahan, rumah, serta kepemilikan barang-barang berharga.
6.1.2 Tingkat Pendapatan Rumahtangga
Mayoritas mata-pencaharian responden di Kampung Ater dan Ciawian adalah sebagai pekerja industri batu bata atau dapat dikatakan bahwa industri batu
bata merupakan salah satu sumber nafkah utama bagi masyarakat di Desa Gorowong terutama Kampung Ater dan Kampung Ciawian. Peran anggota
keluarga dalam menyusun struktur nafkah sangat penting, karena struktur nafkah yang dilihat adalah struktur nafkah rumahtangga yang didalamnya terdapat anak
dan istri yang juga ikut menyumbang penghasilan dalam rumahtangga. Tabel 16 di bawah ini merupakan hasil olahan data tingkat pendapatan rumahtangga
responden.
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Pendapatan Rumahtangga menurut Kategori Anggota Rumahtangga di Kampung Ater dan Ciawian
Anggota rumahtangga
Rumahtangga di Kampung Ater
Rumahtangga di Kampung Ciawian
Rp tahun Rp tahun
Suami 22.680.620
63,32 14,293,100
63.59 Istri
8.461.724 23,63
4,114,167 18.31
Anggota keluarga lainnya
4.672.589 13,05
4,067,273 18.10
Total 35.814.933
100 22.474.539
100
Keterangan: n Kampung Ater = 30 Rumahtangga
n Kampung Ciawian = 3 Rumahtangga
Data pada Tabel 7 di atas, menunjukkan bahwa persentase pendapatan istri responden di Kampung Ater lebih besar dibandingkan dengan pendapatan istri
di Kampung Ciawian yaitu rata-rata berjumlah Rp 8.461.724,00tahun dan di Kampung Ciawian berjumlah Rp 4.114.167,00tahun. Hal ini disebabkan karena
jenis atau sumber nafkah yang dipilih oleh istri di kedua kampung tersebut berbeda. Pada umumnya di Kampung Ciawian para istri bekerja sebagai buruh
tani, sementara di Kampung Ater bermacam-macam ada yang bekerja sebagai buruh batu bata, pedagang, juga pemilik industri batu bata. Jenis pekerjaan
pemilik industri batu bata adalah penyumbang terbesar tingkat pendapatan istri, sehingga rata-rata pendapatan di Kampung Ater menjadi tinggi. Pendapatan suami
menunjukkan persentase yang jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase anak maupun istri, di Kampung Ater yaitu rata-rata berjumlah Rp 22.680.620,
00tahun dan di Kampung Ciawian rata-rata berjumlah Rp 14.293.100,00tahun. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa suami sangat berperan besar dalam
menghidupi rumahtangga, karena pendapatan suami lebih dominan dibandingkan dengan anggota rumahtangga lainnya.
Gambar 10 di bawah ini, menjelaskan peran industri batu bata dalam menyusun pendapatan rumahtangga responden di kedua kampung. Pada Gambar
tersebut terlihat di Kampung Ater peran industri batu bata cukup besar walaupun tidak termasuk mayoritas. Namun, jika dibandingkan dengan Kampung Ciawian
maka peran industri batu bata di Kampung Ater lebih besar dalam menyumbang perekonomian rumahtangga.
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 10. Persentase Sumber Pendapatan Rumahtangga di Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
Terlihat pada Gambar, peran industri batu bata yaitu sebesar 41 persen dari rata-rata pendapatan rumahtangga di Kampung Ater dan sebesar 39 persen dari
rata-rata pendapatan rumahtangga di Kampung Ciawian. Perbedaan di kedua kampung tidak begitu jauh, artinya banyak masyarakat di kedua kampung tersebut
yang mendapatkan pendapatan dari sektor industri batu bata dan ditambah dengan sektor non-industri batu bata yang lebih beragam, sehingga dapat dikatakan
bahwa sektor industri batu bata baik di Kampung Ater dan Kampung Ciawian memiliki peran penting dalam menyusun pendapatan rumahtangga di kedua
kampung. Mayoritas rumahtangga di Kampung Ater, bekerja di sektor non pertanian
serta ada beberapa rumahtangga yang bermata-pencaharian sebagai pemilik industri batu bata, sehingga pendapatan yang diperoleh rumahtangga selama
setahun sangatlah besar. Sementara di Kampung Ciawian, pemilik industri batu bata sangatlah jarang, rata-rata responden di Kampung Ciawian bekerja sebagai
petani, buruh di industri batu bata, supir, pedagang dan lain-lain. Sehingga, rata- rata pendapatan responden rumahtangga di Kampung Ciawian tidaklah sebesar
responden rumahtangga di Kampung Ater.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung
Ciawian 41
39 59
61 Pendapatan dari non-industri
batu bata Pendapatan dari industri batu
bata
Tingkat pendapatan masyarakat pada penelitian ini digolongkan menjadi tiga kategori yaitu kategori rendah, menengah dan tinggi. Rata-rata tingkat
pendapatan antara dua kampung yang menjadi lokasi penelitian berbeda satu sama lainnya, berdasarkan standar deviasi yang digunakan yaitu setengah dari standar
deviasi, di Kampung Ater setengah dari standar deviasi dari penghasilan selama setahun adalah sebesar Rp. 18.962.453,00, dan di Kampung Ciawian setengah
standar deviasi dari penghasilan selama setahun adalah sebesar Rp 8.635.804,00
berdasarkan standar deviasi tersebut, tingkat pendapatan masyarakat di Kampung Ciawian, dikatakan rendah apabila pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari Rp
12.513.819,00tahun. Tingkat pendapatan sedang apabila pendapatan yang diperoleh antara Rp 12.513.819,00tahun hingga lebih kecil dari Rp
29.570.848,00tahun dan tingkat pendapatan tergolong tinggi apabila pendapatan yang diperoleh lebih besar atau sama dengan Rp 29.570.848,00tahun. Kampung
Ater tingkat pendapatan dikatakan rendah apabila pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari Rp 16.852.479,00tahun, tingkat pendapatan sedang apabila
pendapatan yang diperoleh antara Rp 16.852.479,00tahun hingga lebih kecil dari Rp 54.777.368,00tahun, sedangkan tingkat pendapatan rumahtangga tergolong
tinggi apabila pendapatan yang diperoleh lebih besar atau sama dengan Rp 54.777.386,00tahun. Tingkat pendapatan ini diperoleh dengan menggunakan
rumus sebaran normal pada rataan pendapatan berdasarkan jumlah pendapatan dari aktivitas pekerjaan, yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun selama
bulan Januari hingga Desember 2010. Perbedaan tingkat pendapatan antara Kampung Ater dan Kampung Ciawian yang cukup besar disebabkan karena
perbedaan pilihan sumber nafkah antara kedua kampung tersebut. Adapun pada penelitian ini, sektor pekerjaan tersebut dibedakan menjadi dua kategori yaitu
sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Berdasarkan batas tingkat pendapatan tersebut maka dapat terlihat persentase kelas sosial pada masyarakat Kampung
Ater dan Kampung Ciawian, seperti pada Gambar 11 di bawah ini
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 11. Persentase Tingkat Pendapatan Rumahtangga di Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
Gambar 11 di atas menunjukkan perbandingan tingkat pendapatan rumahtangga di Kampung Ater dan Kampung Ciawian. Berdasarkan gambar
tersebut terlihat mayoritas penduduk di Kampung Ater berada pada tingkat pendapatan rendah dengan persentase sebesar 73 persen atau sebanyak 22
responden rumahtangga, sedangkan mayoritas masyarakat di Kampung Ciawian memiliki pendapatan rendah dengan persentase sebesar 77 persen atau sebanyak
23 rumahtangga. Hanya sebesar 10 persen atau sebanyak tiga rumahtangga di Kampung Ater yang memiliki tingkat pendapatan rendah dan sebesar 13 persen
atau sebanyak empat rumahtangga di Kampung Ciawian memiliki tingkat pendapatan rendah. Masyarakat di Kampung Ater yang memiliki pendapatan
tinggi dengan pendapatan di atas Rp 54.777.386,00tahun adalah sebesar 17 persen atau hanya sebanyak lima rumahtangga responden yang memiliki tingkat
pendapatan tinggi, sedangkan di Kampung Ciawian jumlah rumahtangga responden yang memiliki tingkat pendapatan tinggi yaitu diatas Rp
29.570.848,00tahun, hanya sebesar 10 persen atau sebanyak tiga rumahtangga. Berdasarkan tingkat pendapatan masing-masing Kampung, maka Kampung Ater
memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan Kampung Ciawian.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ciawian Kampung Ater
77 73
13 10
10 17
Tinggi Sedang
Rendah
Tingkat pendapatan yang diperoleh rumahtangga berhubungan dengan alokasi waktu kerja yang dikerahkan oleh anggota rumahtangga tersebut,
walaupun hubungan antara pengerahan alokasi waktu kerja rumahtangga dengan tingkat pendapatan rumahtangga tidak selalu berbanding lurus. Pada umumnya
semakin banyak rumahtangga tersebut mencurahkan waktunya untuk bekerja, maka pendapatan yang diterima akan semakin besar, tetapi hal tersebut berlaku
untuk rumahtangga golongan menengah kebawah, dimana mereka bekerja sebagai buruh atau pekerja. Sebaliknya, pada rumahtangga golongan ekonomi tinggi,
alokasi waktu kerja yang dicurahkan oleh anggota rumahtangga pada umumnya rendah, karena pada golongan ekonomi tinggi mereka bertugas sebagai pemilik
dimana mereka hanya memantau pekerjanya saja, sehingga tidak dibutuhkan waktu yang banyak. Jadi, dapat dikatakan tidak selamanya alokasi waktu kerja
berbanding lurus dengan tingkat pendapatan, karena semakin tinggi golongan ekonomi rumahtangga, maka alokasi waktu kerjanya akan lebih sedikit
dibandingkan dengan golongan ekonomi menengah ke bawah, dimana mereka mencurahkan sebagian besar waktunya untuk bekerja.
Tingkat pendapatan yang diperoleh rumahtangga berhubungan erat dengan ragam pola nafkah, suatu rumahtangga yang memiliki pola nafkah ganda akan
memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada rumahtangga yang hanya memiliki satu pola nafkah saja. Selain penerapan ragam pola nafkah, yang juga
menentukan tingkat pendapatan rumahtangga adalah pilihan nafkah rumahtangga, biasanya jika anggota rumahtangga menerapkan pola nafkah ganda sejenis maka
tingkat pendapatan yang diperoleh tidak akan berbeda jauh. Apabila dibandingkan dengan standar garis kemiskinan menurut World
Bank yaitu sebesar USD 2kapitahari atau kira-kira Rp 18.000,00kapitahari. Rata-rata pendapatan total rumahtangga di Kampung Ater adalah sebesar Rp
35.814.933,00kapitatahun dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga adalah lima orang, maka pendapatan rata-rata perkapita per tahunnya adalah sebesar Rp
7.162.986,00kapitaTahun. Pendapatan rata-rata perkapita per bulannya adalah sebesar Rp. 596.915,00kapitabulan, kemudian pendapatan rata-rata perharinya
adalah sebesar Rp. 19.897,00kapitahari. Rata-rata pendapatan total rumahtangga di Kampung Ciawian adalah sebesar Rp. 22.474.539,00kapitatahun dengan rata-
rata jumlah anggota keluarga lima orang, maka pendapatan rata-rata perkapita pertahunnya adalah sebesar Rp 4.494.908kapitatahun. Pendapatan rata-rata
perkapita perbulannya adalah sebesar Rp 374.575kapitatahun. Kemudian, pendapatan rata-rata parharinya adalah sebesar Rp 12.485kapitahari. World Bank
menetapkan garis kemiskinan adalah 2 USDkapitahari. Berdasarkan dengan pendapatan per kapita di atas, dapat disimpulkan bahwa seluruh responden di
Kampung Ciawian hidupnya di bawah garis kemiskinan, sementara di Kampung Ater warganya sedikit berada di atas garis kemiskinan yaitu hanya sebesar Rp.
19.897,00kapitahari, sementara standar garis kemiskinan yang ditetapkan oleh World Bank adalah sebesar Rp. 18.000,00kapitahari.
Berdasarkan pengolahan data tersebut, maka dapat dikatakan mayoritas responden hidupnya berada di garis
kemiskinan terutama responden di Kampung Ciawian, hal ini dikarenakan pilihan sumber nafkah responden yaitu mayoritas buruh batu bata. Sebaliknya di
Kampung Ater, berdasarkan rata-rata jumlah pendapatan maka hampir seluruhnya responden di Kampung Ater sedikit berada di atas garis kemiskinan, namun tidak
membuktikan bahwa seluruh masyarakatnya berada di garis kemiskinan, adapula masyarakat di Kampung Ater yang berada di bawah garis kemiskinan, terutama
responden yang hanya memilki satu pola nafkah atau disebut dengan pola nafkah tunggal.
6.1.3 Kemampuan Menabung Rumahtangga a.
Menyisihkan Pendapatan
Kemampuan suatu rumahtangga dalam menyisihkan pendapatan atau menabung merupakan salah satu unsur dalam struktur nafkah rumahtangga,
semakin tinggi kemampuan suatu rumahtangga dalam menyisihkan pendapatan untuk ditabung maka semakin tinggi atau kuat struktur nafkah rumahtangga
tersebut. Gambar berikut merupakan persentase dari kedua Kampung tempat penelitian dimana pada Gambar 12 di bawah ini terlihat persentase kemampuan
menabung Kampung Ater dan Kampung Ciawian.
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 12. Persentase Kemampuan Menyisihkan Pendapatan Rumahtangga di Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
Gambar 12 di atas menjelaskan bahwa kemampuan masyarakat Kampung Ater dalam menyisihkan pendapatannya untuk menabung relatif lebih besar
dibandingkan masyarakat di Kampung Ciawian. Hal ini ditunjukkan oleh 70 persen
masyarakat Kampung
Ater yang
menyisihkan pendapatannya, dibandingkan 63,33 persen masyarakat Kampung Ciawian untuk hal yang sama.
Kemampuan Kampung Ater untuk mengakumulasikan pendapatan untuk ditabung, disebabkan oleh sumbangan nafkah dari aktivitas industri batu bata
yang cukup signifikan lihat Gambar 10. Arisan merupakan tempat atau wadah menabung yang dipergunakan oleh
mayoritas rumahtangga baik di Kampung Ater maupun di Kampung Ciawian, hal ini dapat terlihat dari Gambar 13 di bawah ini. 56,67 persen rumahtangga atau
sebanyak 17 responden di Kampung Ciawian menggunakan arisan sebagai wadah untuk menabung, begitu pula dengan rumahtangga di Kampung Ater yaitu sebesar
36,67 persen atau sebanyak 11 responden memilih arisan sebagai tempat menabung. Alasan memilih arisan karena selain sebagai tempat menabung juga
merupakan ajang para ibu-ibu rumahtangga untuk berkumpul, sehingga keakraban antara tetangga semakin dekat.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung
Ciawian 70
63.33 30
36.67 tidak menyisihkan
pendapatan menyisihkan pendapatan
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 13 Persentase Tempat Pilihan Menabung Rumahtangga Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
T
empat menabung yang juga menjadi pilihan rumahtangga berikutnya adalah bank, terlihat di Kampung Ater sebanyak 20 persen atau enam responden
memilih bank sebagai tempat menabung, kemudian di Kampung Ciawian sebanyak 13,33 persen atau sebanyak empat responden memilih bank sebagai
tempat menabung. Pada umumnya responden yang menabung di bank adalah responden yang memiliki tingkat pendapatan tinggi yaitu responden yang bermata
pencaharian sebagai pengusaha industri batu bata, dan mayoritas responden yang menabung di bank intensitasnya adalah sebulan sekali dengan jumlah yang cukup
besar dibandingkan dengan arisan, hal ini dikarenakan pengahasilan dari usaha batu bata terutama pengusaha batu bata sangat besar.
Intensitas menabung merupakan seberapa sering suatu rumahtangga menyisihkan tabungannya untuk ditabung. Intensitas menabung ini terbagi dalam
beberapa waktu yaitu setiap hari, beberapa hari sekali, seminggu sekali, beberapa minggu sekali, sebulan sekali, hingga tidak tentu. Seperti yang terlihat di Gambar
14 di bawah ini.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung Ciawian
20 13.33
36.67 56.67
6.67
Lainnya Arisan
Bank
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 14 Persentase Intensitas Menabung Rumahtangga Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
Mayoritas rumahtangga di Kampung Ciawian menabung setiap hari yaitu sebesar 50 persen atau sebanyak 15 responden menabung setiap hari, sementara di
Kampung Ater intensitas menabung setiap hari hanya 23,33 persen atau sebanyak tujuh responden yang menabung setiap hari. Kegiatan menabung setiap hari ini
mayoritas dilakukan di arisan, walaupun ada juga beberapa rumahtangga yang menabung di arisan namun tidak setiap hari, yaitu beberapa hari sekali atau
seminggu sekali. Intensitas menabung sebulan sekali dilakukan oleh responden dari Kampung Ater yaitu sebesar 16,67 persen atau sebanyak lima responden, dan
di Kampung Ciawian sebesar 10 persen atau sebanyak tiga responden yang menabung sebulan sekali. Umumnya responden yang menabung dengan intensitas
sebulan sekali ini memilih bank atau lembaga keuangan lainnya untuk menabung. Selain intensitas sebulan sekali, adapula responden yang tidak tentu intensitasnya,
ketika memiliki kelebihan pendapatan maka responden ini akan menabung kelebihan tersebut, sebanyak 13,33 persen atau sebanyak empat responden dari
Kampung Ater yang memiliki intensitas menabung tidak tentu, sementara di Kampung Ciawian tidak ada responden yang memiliki intensitas menabung tidak
tentu. Besaran menabung rata-rata perhari di Kampung Ater adalah sebanyak Rp. 18.714,00 sementara Kampung Ciawian yaitu sebesar Rp. 19.687,00 untuk
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung
Ciawian 23.33
50 13.33
6.67 16.67
10 13.33
36.67 30
tidak menabung tidak tentu
sebulan sekali beberapa minggu sekali
seminggu sekali beberapa hari sekali
setiap hari
besaran menabung rata-rata per minggu Kampung Ater yaitu sebesar Rp. 42.000,00 dan Kampung Ciawian sebesar Rp. 130.000,00 untuk rata-rata perbulan
besar tabungan responden di Kampung Ater adalah Rp. 666.800,00 sementara Kampung Ciawian yaitu sebesar Rp. 166.666,00. Perbedaan rata-rata besar
tabungan ini tergantung dari berapa banyak responden yang menabung baik perhari, perminggu, perbulan, maupun tidak tentu, serta jumlah pendapatan yang
mereka tabung. Mayoritas rumahtangga yang penghasilannya berasal dari buruh industri batu bata maka akan menabung di arisan dengan jumlah yang kecil setiap
harinya antara Rp 1.000,00 hingga Rp. 20.000,00 tergantung pada pengeluaran konsumsi mereka. Sebaliknya, rumahtangga yang penghasilannya berasal dari
pengusaha industri batu bata, dimana penghasilan yang diperoleh sangat besar maka akan cenderung untuk menabung di bank setiap bulan atau setiap minggu
dengan jumlah yang relatif besar.
6.1.4 Investasi a
Kepemilikan Lahan
Kepemilikan lahan merupakan salah satu bentuk kepemilikan investasi. Pada umumnya rumahtangga yang memiliki lahan adalah rumahtangga dengan
kelas sosial menengah ke atas. Hal ini juga terjadi di Desa Gorowong terutama di Kampung Ater dan Kampung Ciawian. Kepemilikan Lahan di Kampung Ater dan
Kampung Ciawian terbilang cukup rendah, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 15 yakni, hanya sebesar 23,33 persen atau sebanyak tujuh responden di Kampung
Ater yang memiliki lahan. Sedangkan 30 persen atau sebanyak sembilan responden di Kampung Ciawian yang memiliki lahan dan sisanya sebesar 76,67
persen atau sebanyak 23 responden di Kampung Ater tidak memiliki lahan yang digunakan untuk investasi. Begitu pula dengan Kampung Ciawian yaitu sebesar
70 persen responden atau sebanyak 21 responden tidak memiliki lahan. Kepemilikan lahan di Kampung Ater terbatas pada jenis lahan tidur dan lahan
industri batu bata, sementara di Kampung Ciawian kepemilikan lahan dengan jenis lahan pertanian dan lahan untuk industri batu bata. Lahan untuk pertanian di
Kampung Ciawian lebih banyak dibandingkan dengan lahan untuk industri batu bata, hal ini berbanding terbalik dengan Kampung Ater yang mayoritas lahannya
adalah untuk industri batu bata.
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 15 Persentase Kepemilikan Lahan Responden Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
Rata-rata jumlah kepemilikan lahan di Kampung Ater dan Kampung Ciawian adalah sebesar 1269 m
2
. Lahan yang dimaksud pada penelitian ini adalah lahan yang dapat dijadikan sebagai investasi baik berupa lahan pertanian maupun
lahan yang digunakan untuk industri batu bata. Gambar 16 menunjukkan bahwa golongan ekonomi tinggi merupakan golongan masyarakat yang memiliki
persentase tertinggi dalam kepemilikan lahan yaitu sebesar 100 persen atau berjumlah lima rumahtangga. sementara di Kampung Ciawian juga seluruh
responden rumahtangga memiliki lahan pertanian yaitu berjumlah 100 persen atau sejumlah tiga rumahtangga responden yang memiliki lahan sebagai investasi.
Mayoritas lima responden di Kampung Ater memiliki lahan yang dipergunakan sebagai industri batu bata, lahan pertanian dan ada pula responden yang
membiarkan lahannya tidur. Sedikit berbeda dengan Kampung Ciawian, pada umumnya lahan yang dimiliki digunakan untuk pertanian, namun ada pula
responden yang memiliki lahan yang dipergunakan sebagai industri batu bata.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung Ciawian
23.33 30
76.67 70
Tidak Memiliki Memiliki
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 16 Persentase Kepemilikan Lahan Menurut Golongan Ekonomi
Rumahtangga Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011 Baik di Kampung Ater dan Kampung Ciawian rumahtangga dengan
golongan ekonomi tinggi memiliki persentase sebesar 100 persen atau semua responden rumahtangga golongan ekonomi tinggi memiliki lahan. Semetara
sisanya adalah golongan ekonomi menengah, bahkan ada pula golongan ekonomi rendah yang memiliki lahan seperti yang ada di Kampung Ciawian.
b. Status Kepemilikan Rumah