Analisis Kelayakan Usaha Pembuatan Batu Bata Dengan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar (Studi Kasus: Desa Jentera Barat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat)

(1)

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA

DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

SEBAGAI BAHAN BAKAR

(Studi Kasus: Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

FINKA ADISTI NST 110304104 AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA

DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

SEBAGAI BAHAN BAKAR

(Studi Kasus: Desa Jentera Barat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat)

SKRIPSI

OLEH:

FINKA ADISTI NST

110304104 AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Ir. Lily Fauzia, M. Si.) (Ir. A.T. Hutajulu, M.S.) NIP. 196308221988032003 NIP.194606181980032001

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

FINKA ADISTI NST (110304104/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi “ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR STUDI KASUS DI DESA JENTERA STABAT, KEC. WAMPU, KAB. LANGKAT”. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 dengan dibimbing oleh Ir. Lily Fauzia, M.Si dan Ir. A.T Hutajulu, M.S.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui besar pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian, dan mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian.

Penentuan daerah dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilah secara sengaja dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan peneliti. Penentuan sampel dilakukan dengan metode sensus dengan jumlah sampel sebanyak 20 pengrajin batu bata. Data yang digunakan adalah data primer dengan bantuan daftar pertanyaan kuisioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait. Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) yaitu menggunakan metode deskriptif, untuk mengetahui pendapatan menggunakan metode analisis pendapatan, untuk menganalisis kelayakan usaha menggunakan R/C Ratio dan BEP, dan untuk mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar yaitu menggunakan metode deskriptif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa input (bahan baku, modal, tenaga kerja) cukup tersedia di daerah penelitian. Pendapatan usaha pembuatan batu bata adalah Rp 3.722.321,-/bulan atau Rp 644.277,-/10.000 batu bata. Diperoleh nilai R/C ratio > 1, BEP Produksi < Produksi, dan BEP Harga < Harga Jual. Pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar dalam usaha pembuatan batu bata memberikan dampak positif, dimana abu pembakaran TKKS tersebut dapat dijual sehingga menambah pendapatan bagi pengarajin batu bata, mengurangi pencemaran lingkungan dari limbah PKS dan penebangan hutan secara liar.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar layak untuk diusahakan secara finansial di daerah penelitian.

Kata Kunci: Batu Bata, Tandan Kosong Kelapa Sawit, R/C Ratio, Break Event Point (BEP)


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kisaran pada tanggal 22 Januari 1994 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari Ayahanda Habinsaran Nasution dan Ibunda Zulfa Hanum Hasibuan.

Penulis telah menempuh jenjang pendidikan formal sebagai berikut: 1. Sekolah Dasar di SD Diponegoro Kisaran, lulus pada Tahun 2006.

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kisaran, lulus pada tahun 2008.

3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kisaran, lulus pada tahun 2011. 4. Mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Securai Selatan,

Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara pada bulan Agustus 2014 sampai dengan September 2014.

5. Mengadakan penelitian skripsi di Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat pada tahun 2015.


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta Shalawat beriring salam juga penulis persembahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Pembuatan Batu Bata Dengan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar (Studi Kasus: Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat)”, guna memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda tercinta Habinsaran Nasution dan Ibunda tercinta Zulfa Hanum Hasibuan, serta Abangda Kevin Muhammad Nst atas kasih saying yang selalu dilimpahkan kepada penulis dan telah memberi dukungan, doa, dan motivasi selama menjalani perkuliahan hingga sampai sekarang penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Ir. Lily Fauzia, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ir. A.T.Hutajulu, M.S. selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan, masukan, bimbingan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

Segala hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada kekasih tersayang Boby W. Rambe yang telah banyak memberikan dukungan dalam bentuk doa dan motivasi serta turut membantu dalam penyelasian skripsi ini.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat tercinta Juwita Sari Manullang, Nidya Diani, Noviarny Anggasta L.S, Karina Shafira, Sonia Ramadhani, Faqita Iqlima Putry, Fadiah Atikah, dan Astri Andani yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, serta kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Salmiah dan Dr. Ir. Satia Negara, M. Ec, selaku ketua dan sekretaris Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. 2. Seluruh staff pengajar dan pegawai di program Studi Agribisnis, khususnya

Kak Yani, Kak Runielda, dan Kak Anita yang memberikan kelancaran dalam hal administrasi.

3. Seluruh instansi dan responden yang terkait dengan penelitian ini dan turut serta membantu penulis dalam memperoleh data yang diperlukan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, yang disebabkan adanya keterbatasan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan penulis, baik mengenai materi, teknik penyusunan, maupun hasil dan analisisnya. Oleh karenanya, dengan hati terbuka penulis menerima setiap saran dan kritik dari pembaca untuk penyempurnaan pada masa yang akan datang.


(7)

Akhirnya dengan kerendahan hati penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2015


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Tinjauan Pustaka ... 8

2.2 Landasan Teori ... 13

2.2.1 Aspek-aspek Studi Kelayakan ... 13

2.2.2 Teori Produksi ... 14

2.2.3 Faktor Produksi (Input) ... 15

2.2.4 Biaya Produksi... 16

2.2.3 Pendapatan ... 17

2.3 Penelitian Terdahulu... 17

2.4 Kerangka Pemikiran ... 18

2.5 Hipotesis Penelitian ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 21

3.2 Metode Penentuan Sampel ... 21

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 21

3.4 Metode Analisis Data ... 23

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional ... 26

3.5.1 Definisi ... 26


(9)

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

RESPONDEN ... 28

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 28

4.1.1 Luas Wilayah, Batas, dan Letak Geografis ... 28

4.1.2 Tata Guna Lahan... 29

4.1.3 Keadaan Penduduk ... 30

4.2 Karakteristik Responden ... 31

4.2.1 Umur ... 32

4.2.2 Tingkat Pendidikan ... 32

4.2.3 Jumlah Tanggungan... 33

4.2.4 Pengalaman Berusaha... 33

4.2.5 Luas Lokasi Usaha... 34

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

5.1 Proses Pembuatan Batu Bata ... 36

5.2 Ketersediaan Input (Bahan Baku, Modal, dan Tenaga kerja) ... 44

5.2.1 Ketersediaan Bahan Baku ... 44

5.2.2 Ketersediaan Modal ... 45

5.2.3 Ketersediaan Tenaga Kerja ... 46

5.3 Analisis Pendapatan Usaha Pembuatab Batu Bata ... 47

5.4 Analisis Kelayakan Usaha ... 51

5.5 Dampak Penggunaan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Dalam Usaha Pembuatan Batu Bata ... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

6.1 Kesimpulan ... 56

6.2 Saran ... 57

6.2.1 Saran Kepada Pemerintah ... 57

6.2.2 Saran Kepada Pemilik Usaha Batu Bata ... 57

6.2.3 Saran Kepada Peneliti Selanjutnya ... 58 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Persentase Produk dan Limbah Padat Kelapa Sawit Setiap 1

(Satu) Ton Tandan Buah Segar (TBS) ... 11

2. Persentase Unsur Hara Yang Terkandung Dalam Abu Tandan Kosong Kelapa Sawit ... 12

3. Jenis dan Sumber Data Yang Dikumpulkan ... 23

4. Distribusi Penggunaan Lahan di Desa Jentera Stabat Tahun 2014... 29

5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Jentera Stabat Tahun 2014 ... 30

6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Jentera Stabat Tahun 2014... 31

7. Umur Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 32

8. Tingkat Pendidikan Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 32

9. Jumlah Tanggungan Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 33

10. Pengalaman Berusaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 33

11. Luas Lokasi Usaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata ... 34

12. Rekapitulasi Karakteristik Pemilik Usaha Batu Bata di Daerah Penelitian ... 34

13. Rata-Rata Volume dan Biaya Bahan Baku Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 44

14. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah penelitian ... 46

15. Rata-Rata Biaya Tetap Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 47

16. Rata-Rata Biaya Variabel Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 49

17. Total Pendapatan Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian ... 50

18. R/C Ratio Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian (Per Bulan) ... 51

19. BEP Volume Produksi dan BEP Harga Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian (Per Bulan) ... 52

20. Perbandingan Biaya Pembelian Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Kayu Bakar ... 53


(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Aspek-Aspek Kelayakan Usaha ... 14

2. Skema Kerangka Pemikiran ... 19

3. Tanah Bukit dan Tanah Sawah Sebagai Bahan Baku Pembuatan Batu Bata ... 37

4. Tandan Kosong Kelapa Sawit Saat Dijemur ... 38

5. Mesin Pencetakan Batu Bata ... 39

6. Proses Penjemuran Batu Bata di Barak ... 40

7. Batu Bata Yang Telah Disusun Didapur ... 41

8. Proses Pembakaran Batu Bata Sedang Berlangsung ... 42


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1. Karakteristik Responden (Pemilik Usaha Pembuatan Batu Bata Dengan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar)

2. Jumlah Peralatan Produksi Usaha Pembuatan Batu Bata

3. Biaya Penyusutan Peralatan Produksi Usaha Pembuatan Batu Bata 4. Biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

5. Penggunaan Tenaga Kerja Usaha Pembuatan Batu Bata 6. Biaya Tenaga Kerja Usaha Pembuatan Batu Bata

7. Biaya Bahan Baku (Tanah Sawan dan Tanah Bukit) Usaha Pembuatan Batu Bata

8. Biaya Bahan Penunjang Usaha Pembuatan Batu Bata

9. Total Biaya Tetap Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulam) 10.Total Biaya Variabel Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1

Bulan)

11.Total Biaya Produksi Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)

12.Total Penerimaan Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi Produksi (1 Bulan)

13.Pendapatan Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)

14.Perhitungan R/C Ratio Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)

15.Perhitungan Break Event Point (BEP) Usaha Pembuatan Batu Bata Per Periode Produksi (1 Bulan)

16.Biaya Bahan Baku Usaha Pembuatan Batu Bata (Per 10.000 Batu Bata) 17.Total Biaya Tetap Usaha Pembuatan Batu Bata (Per 10.000 Batu Bata) 18.Total Biaya Variabel Usaha Pembuatan Batu Bata (Per 10.000 Batu Bata) 19.Total Biaya Produksi Usaha Pembuatan Batu Bata (Per 10.000 Batu Bata) 20.Total Penerimaan Usaha Pembuatan Batu Bata (Per 10.000 Batu Bata) 21.Pendapatan Usaha Pembuatan Batu Bata (Per 10.000 Batu Bata)


(13)

ABSTRAK

FINKA ADISTI NST (110304104/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi “ANALISIS KELAYAKAN USAHA PEMBUATAN BATU BATA DENGAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR STUDI KASUS DI DESA JENTERA STABAT, KEC. WAMPU, KAB. LANGKAT”. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 dengan dibimbing oleh Ir. Lily Fauzia, M.Si dan Ir. A.T Hutajulu, M.S.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui besar pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar, Mengetahui tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian, dan mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian.

Penentuan daerah dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilah secara sengaja dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan peneliti. Penentuan sampel dilakukan dengan metode sensus dengan jumlah sampel sebanyak 20 pengrajin batu bata. Data yang digunakan adalah data primer dengan bantuan daftar pertanyaan kuisioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait. Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) yaitu menggunakan metode deskriptif, untuk mengetahui pendapatan menggunakan metode analisis pendapatan, untuk menganalisis kelayakan usaha menggunakan R/C Ratio dan BEP, dan untuk mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar yaitu menggunakan metode deskriptif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa input (bahan baku, modal, tenaga kerja) cukup tersedia di daerah penelitian. Pendapatan usaha pembuatan batu bata adalah Rp 3.722.321,-/bulan atau Rp 644.277,-/10.000 batu bata. Diperoleh nilai R/C ratio > 1, BEP Produksi < Produksi, dan BEP Harga < Harga Jual. Pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar dalam usaha pembuatan batu bata memberikan dampak positif, dimana abu pembakaran TKKS tersebut dapat dijual sehingga menambah pendapatan bagi pengarajin batu bata, mengurangi pencemaran lingkungan dari limbah PKS dan penebangan hutan secara liar.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar layak untuk diusahakan secara finansial di daerah penelitian.

Kata Kunci: Batu Bata, Tandan Kosong Kelapa Sawit, R/C Ratio, Break Event Point (BEP)


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu negara dapat disebut negara berkembang atau negara maju didasarkan pada keberhasilan pembangunan oleh negara yang bersangkutan. Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional). Negara berkembang juga dapat dicirikan dengan pemanfaatan kekayaan alam yang dimiliki belum mampu diolah secara optimal. Dalam pemanfaatannya, negara berkembang masih bekerja sama dengan negara maju dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki. Hasil sumber daya alam ini pada akhirnya dijadikan komoditas perdagangan (ekspor) karena belum memiliki teknologi untuk mengolahnya lebih lanjut. Oleh karena itu, pada umumnya negara berkembang mengandalkan ekspor dari hasil alam mentah (Anonimous, 2011).

Pada masa awal kemerdekaan, negara-negara sedang berkembang pada umumnya tertarik dengan gagasan industrialisasi karena menurut Gunnar Myrdal, industrialisasi diwujudkan dengan pembangunan industri-industri besar dan modern. Keadaan itu menurut para perencana pembangunan di negara -negara sedang berkembang adalah simbol dari kemajuan dan pembangunan. Selain itu industrialisasi dianggap sebagai kunci yang dapat membawa masyarakat kearah kemakmuran, atau sebagai motor pertumbuhan (engine of growth) ekonomi.


(15)

Industrialisasi diharapkan dapat mengatasi masalah kesempatan kerja yang kurang menarik di sektor pertanian (Pasaribu, 2010).

Sektor pertanian sebagai sektor primer mulai ditinggalkan, dan beralih menjadi sektor sekunder yaitu industri. Pemilihan sektor industri untuk meningkatkan pendapatan negara didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, pada masa itu negara-negara diseluruh dunia juga mengerjakan proyek industrialisasi di negara masing-masing karena dukungan teori-teori ekonomi yang memadai, sehingga apabila strategi industrialisasi dilaksanakan telah ada konsep yang mencukupi untuk menetukan arah pembangunan ekonomi. Kedua, sejarah negara-negara yang telah berhasil memajukan ekonominya selalu melewati tahapan industrialisasi pada proses pembangunannya. Strategi ini dianggap berhasil karena secara perlahan-lahan menggeser kegiatan ekonomi dari semula terkonsentrasi pada sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri/jasa). Sektor sekunder dipandang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi daripada sektor primer sehingga dapat mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut kegiatan industrialisasi dengan konsisten dilaksanakan di Indonesia, melalui program-program pembangunan yang terencana berdasarkan repelita dan program pembangunan jangka panjang (Purwanto, 2003).

Arti penting perindustrian terhadap perkembangan perekononomian dapat dilihat dari arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam GBHN 2000-2004, yaitu

“mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan

teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan,


(16)

pertambangan, pariwisata serta industri kecil dan kerajinan rakyat, serta mengembangkan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi dalam rangka meningkatkan daya saing global dengan membuka aksesabilitas yang sama terhadap kesempatan kerja dan berusaha bagi segenap rakyat dan seluruh daerah melalui keunggulan kompetitif terutama berbasis keunggulan SDA dan SDM

dengan menghapus segala bentuk perlakuan diskriminatif dan hambatan”.

Selanjutnya disebutkan dalam UU No. 25 tahun 2001 tentang program pembangunan ekonomi nasional (Propenas) yang mengamanatkan bahwa dalam rangka memacu peningkatan daya saing global dirumuskan lima strategi utama, yaitu pengembangan ekspor, pengembangan industri, penguatan institusi pasar, pengembangan pariwisata, dan peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa perkembangan industri sangat penting untuk menghadapi persaingan ketat, baik dipasar dalam negeri maupun pasar ekspor dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia. Oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia. Industri memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan perekonomian sehingga benar-benar perlu didukung dan diupayakan perkembangnnya (Raha, 2014).

Lahan pertanian merupakan faktor produksi utama dalam menyerap tenaga kerja dan sumber pendapatan petani. Pentingnya lahan pertanian bagi penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani serta kondisi menurunnya lahan pertanian, mengakibatkan sempitnya pengusahaan lahan pertanian oleh rumah tangga petani


(17)

dan semakin terbatasnya kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga petani di pedesaan. Langkah yang tepat untuk mengatasinya adalah dengan pengembangan industri kecil atau industri rumah tangga yang ada di pedasaan (Mubyarto, 2001). Pembangunan sektor industri secara nasional diarahkan untuk mendorong terciptanya struktur ekonomi yang seimbang dan kokoh yang meliputi aspek perubahan ekonomi. Fokus perhatian pembangunan sektor ekonomi dirasa perlu diberikan pada subsektor industri kecil dan kerajian yang memiliki potensi dan peranan penting. Keberadaannya yang sebagian besar di daerah pedesaan tentunya menjadikan industri kecil dan kerajinan ini memberikan sumbangan bagi daerah dan masyarakatnya (Tambunan, 1999).

Industri kecil dan kerajinan rakyat yang sebagian besar didaerah pedesaan dapat memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi karena memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk desa, memberikan tambahan pendapatan, da n dalam beberapa hal mampu memproduksi barang-barang keperluan penduduk setempat dan daerah sekitarnya secara lebih efisien dan lebih murah dibanding dengan industri besar (Mubyarto, 1997).

Usaha pembuatan batu bata dengan menggunakan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar belum pernah ada dilakukan didaerah lain, sedangkan di Desa Jentera Stabat ini sudah sekitar 10 tahun menggunakan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakarnya. Hal ini dikarenakan harga kayu bakar yang mahal saat ini dan sulit pula untuk didapatkan. Dengan tidak menggunakan kayu bakar, tentunya secara tidak langsung akan mengurangi penebangan hutan secara liar yang marak terjadi belakangan ini. Tandan kosong kelapa sawit sendiri adalah ampas dari pabrik CPO di sekitar daerah penelitian yang dapat dimanfaatkan, bahkan hasil


(18)

pembakaran tandan kosong tersebut dapat menghasilkan abu yang berguna sebagai pupuk kalium, ada pengumpul yang mengumpulkan abu hasil pembakaran tandan kosong tersebut dari setiap pengusaha batu bata di daerah penelitian yang kemudian akan dijual ke Pekanbaru, Kalimantan, dan daerah lainnya. Abu tersebut akan diolah untuk menjadi pupuk kalium oleh mereka. Melihat prospek tersebut, pengusaha batu bata pun turut menjual abu tandan kosong kelapa sawit tersebut walaupun dengan harga yang murah, sehingga penerimaan yang didapat oleh pengusaha batu bata bukan hanya dari pembuatan batu bata saja tetapi juga penerimaan dari penjualan abu tandan kosong kelapa sawit.

Oleh karena itu, saya tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk melihat apakah usaha ini layak atau tidak layak dilakukan secara ekonomis.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian?

2. Berapa pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian?

3. Bagaimana tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian?


(19)

4. Apa dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) pada usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian.

2. Mengetahui besar pendapatan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian.

3. Mengetahui tingkat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di daerah penelitian.

4. Mengetahui dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar untuk usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang mengembangkan usaha abu tandan kosong kelapa sawit untuk pengembangan usaha ke depan.

3. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian lainnya yangberhubungan dengan penelitian ini.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tinjauan Pustaka

Sebagian besar para petani yang tinggal di daerah pedesaan nyatanya tidak hanya melaukan pekerjaan dibidang pertanian, tetapi juga dibidang lain seperti usaha dagang, kerajinan tangan, dan industri. Perilaku tersebut timbul karena dorongan keadaan ekonomi yang kurang memuaskan sehingga mendesak anggota keluarga untuk melakukan pekerjaan lain dalam rumah tangga yang dapat menambah penghasilan keluarga atau bekerja diluar rumah yang membutuhkan tenaga mereka dengan bayaran yang telah disetujui (Sajogyo, 1996).

Keadaan ekonomi yang kurang memuaskan membuat masyarakat mengembangkan usaha industri kecil sebagai tambahan ekonomi bagi keluarga. Adapun faktor utama yang mempengaruhi peranan industri kecil di Indonesia adalah antara kecilnya modal, produktivitas tenaga kerja rendah, kemampuan memimpin perusahaan kurang dan sebagainya. Peranan industri kecil dalam pertumbuhan ekonomi negara berkembang adalah besar sekali. Di Indonesia peranan industri kecil masih rendah dalam kemampuannya menyerap tenaga kerja (Syahruddin, 1998).

Industri adalah kegiatan untuk memproses atau mengolah barang dengan menggunakan sarana dan peralatan. Penggolongan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, dapat dibagi sebagai berikut:

1. Industri rumah tangga adalah yang menggunakan tenaga kerja kurang dari 4 orang. Ciri industri ini memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja


(21)

berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengolah industri biasanya kepala rumah tangga itu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri anyaman, industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan. 2. Industri kecil adalah industri yang tenaga kerjanya berjumlah sekitar lima

sampai 19 orang. Ciri industri kecil adalah memiliki midal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya: industri genteng, industri batu bata, dan industri pengolahan rotan.

3. Industri sedang adalah industri yang menggunakan tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang. Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja 13 orang memiliki keterampilan tertentu dan pemimpin perusahaan memiliki kemampuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri border, dan industri keramik.

4. Industri besar adalah industri dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan kelayakan (fit and proper test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besi baja, dan industri pesawat terbang (Siahaan, 1996).

Industri kecil adalah industri yang tenaga kerjanya berjumlah 5 sampai 19 orang. Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Industri batu bata termasuk golongan industri kecil, yang dimaksud dengan industri batu bata adalah industri yang mengolah bahan baku tanah liat dan bahan pembantu berupa air dan


(22)

pasir serta serbuk gergaji melalui proses pencampuran, perbentukan bahan, pengeringan dan pembakaran. Industri batu bata mengolah sumber daya alam, dimana lokasinya berada dekat sumber bahan baku. Batu bata atau bata merah dibuat dengan bahan dasar lempung atau secara umum dikatakan sebagai tanah liat yang merupakan hasil pelapukan dari batuan keras (beku) dan batuan sedimen (Suwardono, 2002).

Tanah liat terdiri dalam beberapa jenis berdasarkan tempat dan jarak pengankutannya dari daerah asalnya, yaitu sebagai berikut:

1. Tanah liat residual yaitu tanah liat yang terdapat pada tempat dimana tanah liat tersebut belum berpindah tempat sejak terbentuk.

2. Tanah illuvial yaitu tanah liat yang telah terangkat dan mengendap pada satu tempat tidak jauh dari asalnya, misalnya kaki bukit.

3. Tanah liat alluvial atau limpa sungai yaitu tanah liat yang diendapkan oleh air sungai.

4. Tanah liat formasi adalah tanah liat yang terjadi dari endapan yang berada dilaut.

5. Tanah liar rawa adalah tanah liat yang diendapkan di rawa-rawa dan berwarna hitam.

6. Tanah liat danau adalah tanah liat yang diendapkan di danau air tawar (Murray, 2011).

Di Indonesia pembuatan batu bata pada umumnya menggunakan tanah liat alluvial. Padahal sebagian besar sawah-sawah di Indonesia terdapat endapan alluvial, sehingga kesuburan sawah-sawah pada tempat pembuatan batu bata sangat rendah.


(23)

Ini berarti pembuatan batu bata atau barang lain yang terbuat dari tanah liat akan merugikan pertanian, karena pada umumnya para pengusaha industry batu bata dalam mencari dan menggunakan bahan baku tidak atau kurang memperhatikan kerugian yang timbul sebagai akibat cara pengambilan bahan baku yang tidak teratur. Misalnya kerugian bagi usaha pertanian apabila dalam pengambilan tanah liat tersebut terambil pula lapisan tanah yang mengandung zat-zat penyubur tanaman (Murray, 2011).

Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah utama berligniselulosa yang belum termanfaatkan secara optimal dari industri pengolahan kelapa sawit. Basis satu ton tandan buah segar akan dihasilkan minyak sawit kasar sebanyak 0,21 ton (21%), minyak inti sawit sebanyak 0,05 ton (0,5%), dan sisanya merupakan limbah dalam bentuk tandan kosong, serat, dan cangkang biji yang masing-masing sebanyak 0,23 ton (23%), 0,135 ton (13,5%), dan 0,055 ton (5,5%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Persentase Produk dan Limbah Padat Kelapa Sawit Setiap 1 (Satu) Ton Tandan Buah segar (TBS)

Produk TBS Kelapa Sawit Jumlah (Ton)

Persentase (%)

Minyak sawit kasar 0,21 21

Minyak inti sawit 0,05 0,5

Tandan kosong 0,23 23

Serat 0,135 13,5

Cangkang biji 0.055 5,5

Sumber: Darnoko, 1992

Padahal tandan kosong kelapa sawit berpotensi untuk dikembangkan menjadi barang yang lebih berguna, salah satunya menjadi bahan baku bioetanol. Hal ini karena tandan kosong kelapa sawit banyak mengandung selulosa yang dapat dihirolisis menjadi glukosa kemudian difermentasi menjadi bioetanol. Kandungan


(24)

selulosa yang cukup tinggi yaitu sebesar 45% menjadikan kelapa sawit sebagai prioritas untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol (Aryafatta, 2008).

Abu janjang merupakan produk akhir pembakaran Tandan Kosong pada incinerator pabrik kelapa sawit. Abu janjang bersifat sangat alkalis (pH=12), sangat higroskopis (mudah menyerap uap air dari udara), menyebabkan iritasi tangan karyawan (menyebabkan gatal dan memperparah luka), dan mengandung hara yang sangat mudah larut dalam air. Berdasarkan analisis sampel, secara umum abu janjang mengandung sedikitnya 40% K2O serta unsur hara makro dan mikro lainnya. Untuk lebih jelasnya, unsur hara yang terkandung dalam abu janjang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Persentase Unsur Hara Yang Terkandung Dalam Abu Tandan Kosong Kelapa Sawit

No. Jenis Unsur Hara Persentase

(%)

1. K2O 35-47

2. P2O5 2,3-3,5

3. MgO 4-6

4. CaO 4-6

Sumber: Pahan, 2010

Aplikasi abu janjang memiliki keuntungan karena mengandung Kalium (K) yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mensubtitusi biaya pupuk MOP. Selain sifatnya yang sangat alkalis (pH=12), aplikasi abu janjang dapat memperbaiki pH tanah asam, mengaktifkan pertumbuhan akar, serta meningkatkan ketersediaan hara tanah dan aktivitas mikroorganisme tanah. Atas pertimbangan tersebut, abu janjang (sama dengan janjangan kosong dan decanter solid) dilihat sebagai produk bernilai tinggi dan dianggap penting untuk membantu dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi TBS tanaman kelapa sawit.


(25)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Aspek-Aspek Studi Kelayakan

Dalam melakukan studi kelayakan dibutuhkan aspek–aspek yang akan mendukung tingkat kelayakan suatu bisnis menurut Kasmir dan Jakfar (2007:4) secara umum memprioritaskan aspek–aspek yang perlu dilakukan dalam studi kelayakan kedalam tujuh prioritas seperti yang terdapat dalam diagram pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Aspek-Aspek Kelayakan Usaha Keterangan:

a. Aspek Pasar dan Pemasaran

Aspek ini meneliti seberapa besar pasar yang akan dimasuki dan seberapa besar kemampuan perusahaan untuk mengusainya serta bagaimana strategi yang akan dijalankan nantinya.

b. Aspek Keuangan

Aspek ini menilai kemampuan perusahaan dalam memperoleh pendapatan serta besarnya pendapatan yang dikeluarkan. Metode yang akan digunakan nantinya dengan Pd, NPM, B/C, BEP serta dengan rasio keuangan lainnya.

c. Aspek Teknis/Operasional

Aspek Keuangan

Aspek Teknis dan Operasional

Aspek Manajemen dan Organisasi

Aspek Sosial dan Ekonomi Aspek

Penilaian Hasil Studi

Aspek Pasar dan Pemasaran


(26)

Dalam aspek ini yang diteliti adalah mengenai lokasi usaha, baik kantor pusat, cabang pabrik atau gudang serta teknologi yang akan digunakan.

d. Aspek Manajemen/Organisasi

Yang dinilai dari aspek ini adalah pengolahan usaha dan struktur organisasi yang ada.

e. Aspek Ekonomi Sosial

Aspek ekonomi adalah melihat seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan jika proyek tersebut dijalankan. Dampaknya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Demikian pula dampak sosial yang akan ada seperti tersedia sarana dan prasarana.

2.2.2 Teori Produksi

Pengertian produksi yaitu hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi diartikan sebagai aktivitas dalam menghasilkan output dengan menggunakan teknik produksi tertentu untuk mengolah atau memproses input sedemikian rupa (Sukirno, 2002).

Elemen input dan output merupakan elemen yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam pembahasan teori produksi. Dalam teori produksi, elemen input masih dapat diuraikan berdasarkan jenis ataupun karakteristik input (Gaspersz, 1996).

2.2.3 Faktor Produksi (Input)

Istilah faktor produksi sering pula disebut “korbanan produksi”, karena faktor produksi tersebut “dikorbankan” untuk menghasilkan produksi. Dalam bahasa Inggris, faktor produksi ini disebut dengan “input”. Macam faktor produksi atau


(27)

input ini, berikut jumlah dan kualitasnya perlu diketahui oleh seorang produsen. Oleh karena itu, untuk menghasilkan suatu produk, maka diperlukan pengetahuan antara faktor produksi (input) dan produk (output) (Soekartawi, 1994).

Berikut penjelasan input yang akan dibahas dalam penelitian ini:

a. Bahan Baku

Bahan baku (raw material) adalah bahan yang digunakan dalam membuat produk dimana bahan tersebut secara menyeluruh tampak pada produk jadinya (atau merupakan bagian terbesar dari bentuk barang) (Nata, 2014).

b. Modal

Menrut Soekartawi (1994), besar kecilnya modal dalam usaha pertanian tergantung dari berbagai hal, antar lain skala usaha, macam komoditas, dan tersedia atau tidaknya kredit.

c. Tenaga Kerja

Faktor produksi tenaga kerja, merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah yang cukup, bukan saja dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi juga kualitas dan macam tenaga kerja perlu diperhatikan (Soekartawi, 1994).

2.2.4 Biaya Produksi

Menurut Mulyadi (2005), Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual. Menurut Hansen (2001), biaya produksi adalah biaya yang berkaitan dengan pembuatan barang dan penyediaan jasa.


(28)

Menurut Mulyadi (2005), biaya produksi dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi tiga jenis biaya, yaitu:

1. Biaya bahan baku langsung (Direct Material Cost)

Suatu baiya produksi disebut biaya bahan baku langsung apabila bagian tersebut merupakan bagian yang integral, dapat dilihat dan diukur secara jelas dan mudah serta ditelusuri baik fisik maupun nilainya dalam wujud produk yang dihasilkan. 2. Biaya tenaga kerja langsung (Direct Labour Cost)

Suatu biaya produksi disebut biaya tenaga kerja langsung bila biaya itu dikeluarkan atau dibebankan karena adanya pembayaran upah kepada tenaga kerja yang langsung ikut serta bekerja dalam membentuk produksi akhir.Biaya ini dapat ditelusuri karena secara dapat diukur dengan waktu yang dipergunakannya dalam keikutsertaannya secara langsung membentuk produk akhir.

3. Biaya Overhead pabrik (Factory Overhead Cost)

Biaya ini adalah semua biaya pabrik yang bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung yang timbul dan dibebankan terhadap pabrik karena sifatnya baik sebagai bagian yang memiliki aksistensi dalam produksi akhir maupun hanya memberikan pelayanan guna menunjang, memperlancar, mempermudah, atau sebagai penggerak kegiatan itu sendiri. Umumnya biaya ini sukar ditelusuri secara konkrit dalam produk akhir

2.2.5 Pendapatan

Pendapatan perusahaan merupakan penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan perusahaan, sedangkan biaya operasinya merupakan pengeluaran yang juga karena perusahaan (Umar, 2005).


(29)

Dalam pendapatan usahatani ada dua unsur yang digunakan yaitu unsur penerimaan dan pengeluaran dari usahatani tersebut. Penerimaan adalah perkalian jumlah produk total dengan satuan harga jual, sedangkan pengeluaran atau biaya yang dimaksudkan sebagai nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dikeluarkan pada proses produksi tersebut (Ahmadi, 2001).

2.2Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai analisis kelayakan yang menjadi rujukan adalah

Sianturi (2013) dengan judul “Analisis Usaha Pengolahan Batu Bata di Kabupaten Deli Serdang”, dimana hasil penelitian tersebut adalah nilai R/C > 1 (1,18 > 1), jumlah produksi batu bata berada diatas BEP produksi (84.900 >70.247,92), dan harga jual batu bata juga berada diatas BEP harga (301,67 > 252,31), yang berarti industri batu bata layak untuk diusahakan di daerah penelitian.

2.3 Kerangka Pemikiran

Industri pembuatan batu bata dengan menggunakan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar bergerak di bidang produksi batu bata. Dikarenakan bahan bakar yang digunakan adalah tandan kosong kelapa sawit, tentunya memiliki dampak bagi pengrajin batu bata dan llingkungan, baik dampak positif ataupun negatif, serta dalam pembakaran tandan kosong tersebut dihasilkan abu yang dapat dijual karena berguna sebagai bahan baku pupuk kalium, sehingga penerimaan yang diperoleh pengrajin batu bata berasal dari dua jenis produk, yaitu batu bata itu sendiri dan abu tandan kosong kelapa sawit.

Dalam mengusahakan pembuatan batu bata ini diperlukan input produksi berupa bahan baku, modal, dan tenaga kerja. Tentunya untuk menyediakan semua input produksi ini dibutuhkan biaya produksi, yang nantinya akan mempengaruhi


(30)

pendapatan pengrajin batu bata. Pengrajin harus memperhitungkan setiap biaya produksi yang dikeluarkan agar dapat menentukan harga jual produk.

Jumlah produksi yang dihasilkan akan mempengaruhi penerimaan usaha. Penerimaan yang dikurangi dengan biaya produksi akan menghasilkan pendapatan usaha tersebut. Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh pengrajin batu bata tergantung dari penerimaan dan juga biaya produksinya.

Dari segala aspek yang telah dibahas, yaitu biaya produksi, penerimaan, dan pendapatan, akan dilihat kelayakan usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar ini.

Skema kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Industri Pembuatan Batu Bata

Ketersediaan Input: - Bahan Baku - Modal

- Tenaga Kerja

Produk Utama (Batu Bata)

Penerimaan Biaya Produksi

Pendapatan

Analisis Kelayakan

Layak Tidak

Layak

Ampas (Abu Tandan Kosong)

Dampak Pemakaian TKKS


(31)

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan: : menyatakan pengaruh

2.4Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan landasan teori, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar layak dikembangkan secara ekonomi di daerah penelitian.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu daerah penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan penelitian (Singarimbun, 1989). Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat dipilih berdasarkan survey secara langsung oleh penulis karena akses ke daerah penelitian yang mudah dijangkau.

3.2 Metode Penentuan Sampel

Dalam penelitian ini menggunakan pengambilan sampel dengan metode sensus. Metode sensus adalah metode pengambilan sampel apabila semua populasi digunakan sebagai sampel. Adapun banyaknya sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak semua anggota pupulasi, yaitu 20 industri pembuatan batu bata di daerah penelitian.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pengumpulan seluruh data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara yang meliputi:

1. Wawancara

Pihak-pihak yang diwawancarai terutama adalah pemilik usaha, serta pihak lain yang berhubungan langsung denganusaha abu tandan kosong ini, guna


(33)

memperoleh data primer ini akan diambil bentuk wawancara tidak terstruktur denganpertanyaan yang bersifat terbuka sehingga memberikan keleluasaan bagi responden untuk memberi pandangan secara bebas dan memungkinkan peneliti untuk mengajukan perntanyaan secara mendalam.

2. Observasi

Melihat secara langsung obyek yang akan diteliti terutama terhadap praktek- praktek yangdilakukan saat proses produksi.

3. Studi literatur dan kepustakaan

Bertujuan untuk dapat menganalisa secara teoritis terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan penulisan dengan membaca skripsi, studi kepustakaan dilakukan dengan membaca berbagai textbook, jurnal, artikel-artikel yang relevan, sumber-sumber lain guna memperoleh data sekunder.

Jenis dan sumber data yang dikumupulkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan

No. Jenis Data Sumber

Data

Metode Pengumpulan

Data

Alat yang Digunakan 1. Identitas pengusaha Responden Wawancara Kuisioner 2. Jenis usaha Responden Wawancara Kuisioner 3. Produk yang dihasilkan Responden Wawancara Kuisioner 4. Proses produksi Responden Wawancara Kuisioner 5. Jenis dan jumlah input Responden Wawancara Kuisioner


(34)

yang dibutuhkan 6.

Ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja)

Responden Wawancara Kuisioner

3.4Metode Analisis Data

Untuk menjawab Hipotesis 1, dianalisis dengan metode deskriptif yaitu dengan mengumpulkan informasi/data tentang ketersediaan input (bahan baku, modal, tenaga kerja) di daerah penelitian.

Untuk menyelesaikan masalah 2, maka akan dianalisis dengan menggunakan rumus pendapatan.

- Penerimaan

TR = Y. Py Dimana:

TR = Total Penerimaan (Total Revenue) (Rp) Y = Produksi yang diperoleh (kg)

Py = Harga jual (Rp) - Biaya Produksi

TC = FC + VC

Dimana:

TC = Total biaya (Rp) FC = Biaya tetap (Rp) VC = Biaya variable (Rp)

Maka Pendapatan dapat dihitung dengan rumus Pd = TR – TC


(35)

Dimana:

Pd = Pendapatanusaha abu janjang TR = Total Revenu (Total Penerimaan) TC = Total Cost (Total Biaya)

(Soekartawi, 2002).

Hipotesis 2 dianalisis dengan memperhitungkan R/C Ratio dan Break Even Point (BEP).

- R/C Ratio (Return Cost Ratio) atau dikenal sebagai perbandingan atau nisbah antar penerimaan dan biaya. Secara matematika dapat dituliskan sebagai berikut:

R/C = �� � � � � � R = Py.Y C = FC + VC R/C = ��.�

��+��

Dimana:

R = Penerimaan (Rp) C = Biaya (Rp)

Py = Harga Output (Rp) Y = Output (kg)

FC= Biaya tetap (Rp) VC = Biaya tidak tetap (Rp)


(36)

Dengan kriteria uji;

a. Jika R/C > 1 maka usaha pembuatan batu bata layak diusahakan b. Jika R/C < 1 maka usaha pembuatan batu bata tidak layak diusahakan c. Jika R/C = 1 maka usaha pembuatan batu bata impas

(Soekartawi, 1994)

- Break Even Point (BEP) adalah titik pulang pokok dimana total revenue sama dengantotal cost. Dihitung menggunakan rumus berikut:

BEP Volume Produksi = Total Biaya Produksi Harga di Tingkat Produsen

BEP Harga Produksi = Total Biaya Produksi Total Produksi Kriteria uji:

a. BEP Volume Produksi <Produksi yang dihasilkan, maka usaha layak b. BEP Volume Produksi = Produksi yang dihasilkan, maka usaha mencapai

titik impas, artinya tidak untung dan tidak rugi

c. BEP Volume Produksi >Produksi yang dihasilkan, maka tidak layak d. BEP Harga Produksi < Harga jual produk, maka usaha layak

e. BEP Harga Produksi = HArga jual produk, maka usaha mencapai titik impas, artinya tidak untung dan tidak rugi

f. BEP Harga Produksi > Harga jual produk, maka usaha tidak layak

Untuk menyelesaikan masalah 4, dianalisis dengan metode deskriptif yaitu dengan mengumpulkan informasi/data tentang penggunaan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar dalam usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian.


(37)

3.5 Defenisi Dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka penulis membuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut:

3.5.1 Defenisi

1. Usaha yang dilakukan adalah usaha mandiri, dimana bahan baku dibeli dari pemasok untuk kemudian diolah dan dijual lagi kepada konsumen.

2. Produk utama adalah hasil produksi utama berupa batu bata.

3. Dampak pemakaian tandan kosong kelapa sawit adalah akibat/efek yang ditimbulkan dari pemakaian tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar bagi pengrajin sendiri maupun lingkungan, dapat berupa dampak positif atau dampak negatif.

4. Ampas adalah hasil yang tersisa dari proses pembakaran batu bata, yaitu tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar yang telah menjadi abu.

5. Input produksi adalah faktor-faktor yang mendukung perkembangan usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian seperti bahan baku, modal, dan tenaga kerja.

6. Penerimaan usaha pembuatan batu bata adalah total produksi yang dihasilkan usaha pembuatan batu bata selama masa produksi dan ampas yang dapat dijual yang dihitung dalam bentuk rupiah.

7. Biaya produksi usaha pembuatan batu bata adalah jumlah biaya yang harus dikeluarkan selama masa produksi hingga menghasilkan produk.

8. Pendapatan usaha pembuatan batu bata adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya produksi.


(38)

9. Analisis kelayakan usaha adalah suatu metode perhitungan untuk mengetahui apakah suatu usaha layak atau tidak layak diusahakan secara ekonomis.

3.5.2 Batasan Operasional

1. Daerah penelitian di Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

2. Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2015.

3. Sampel dalam penelitian ini adalah pengrajin batu bata yang menggunakan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar.


(39)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK RESPONDEN

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat. Berikut ini adalah deskripsi daerah penelitian:

4.1.1 Luas Wilayah, Batas, dan Letak Geografis

Kecamatan Wampu memiliki luas wilayah sebesar 19.421 Ha (194,21 km2). Kecamatan Wampu barada 4 meter diatas permukaan laut, sebagian besar dataran rendah, termasuk Desa Jentera Stabat. Desa Jentera Stabat sendiri memiliki luas wilayah sebesar 501 Ha (5,10 km2) atau seluas 1,50% dari total luas kecamatan.

Kecamatan Wampu berbatasan dengan:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Hinai  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Serapit

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Batang Tualang & Batang Serangan

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Stabat dan Kecamatan Selesai Desa Jentera Stabat memiliki batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Suka Jadi Kecamatan Hinai  Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Stabat Lama


(40)

 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Stabat Lama Barat 4.1.2 Tata Guna Lahan

Desa Jentera Stabat memiliki luas lahan 125,6 Ha. Sebagian besar lahan digunakan sebagai sawah. Penggunaan lahan yang paling luas adalah untuk ditanami padi sawah dan selebihnya digunankan untuk pertanian bukan sawah, serta lahan non pertanian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Distribusi Penggunaan Lahan di Desa Jentera Stabat Tahun 2014 No. Jenis Penggunaan Lahan Luas Areal

(Ha)

Persentase (%)

1 Sawah 69 54,94

2 Tanaman Palawija 10,8 8,60

3 Sayur Mayur 7 5,58

4 Perkebunan Rakyat 24 19,11

5 Pemukiman 9,4 7,48

6 Perkantoran 5,4 4,29

Jumlah 125,6 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Jentera Stabat, 2014

Dari Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan yang paling banyak digunakan adalah lahan untuk pertanian sawah seluas 69 Ha atau 54,94%. Untuk lahan pertanian bukan sawah, yaitu palawija, sayur, dan perkebunan rakyat seluas 10,8 Ha atau 8,60%, 7 Ha atau 5,58%, dan 24 Ha atau 19,11%. Selebihnya digunakan untuk lahan pemukiman seluas 9,4 Ha atau 7,48% dan untuk lahan perkantoran seluas 5,4 Ha atau 4,29%.


(41)

4.1.3 Keadaan Penduduk

Desa Jentera Stabat memiliki 8 dusun dan masing-masing dusun memiliki jumlah penduduk yang berbeda-beda. Jumlah penduduk Desa Jentera Stabat yang digolongkan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Jentera Stabat Tahun 2014

No. Jenis Kelamin Jumlah

(Jiwa)

Persentase (%)

1 Laki-laki 2507 49,99

2 Perempuan 2508 50,01

Jumlah 5015 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Jentera Stabat, 2014

Dapat dilihat dari Tabel 5 bahwa jumlah penduduk Desa Jentera Stabat sebanyak 5015 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 2507 jiwa atau 49,99% dan jumlah perempuan sebanyak 2508 jiwa atau 50,01% dari jumlah seluruh penduduk. Hal ini sangat menarik karena selisih antara jumlah laki-laki dan perempuan hanya 1, sehingga dapat dikatakan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan sama.

Dengan luas wilayah 2,91 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 5015, kepadatan penduduk di desa jentera stabat sebesar 1618 jiwa/km2. Jumlah rumah tangga di Desa Jentera Stabat ada sebanyak 1328 KK, dengan rata-rata per rumah tangga sekitar 3,87 jiwa. Agama Islam adalah agama yang dominan di Desa jentera Stabat, yaitu sebesar 99,82%. Selanjutnya untuk suku bangsa, suku jawa adalah suku yang dominan, yaitu sebesar 72,40%. Selebihnya ada suku melayu, madina, suku batak, dan lainnya. Selanjutnya distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.


(42)

Tabel 6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Jentera Stabat Tahun 2014

No. Mata Pencaharian Jumlah

(Jiwa)

Persentase (%)

1 Pertanian 1441 71,16

2 Industri/Kerajinan 63 3,11

3 PNS dan ABRI 74 3,65

4 Perdagangan 87 4,30

5 Angkutan 124 6,12

6 Buruh 236 11,66

Jumlah 2025 100

Sumber: Kantor Kepala Desa Jentera Stabat, 2014

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Jentera Stabat bekerja di bidang pertanian, yaitu sebanyak 1441 jiwa atau 71,16%. Penduduk yang bekerja di bidang industri/kerajinan berjumlah 63 jiwa atau 3,11%. Selanjutnya penduduk yang bekerja sebagai PNS dan ABRI sebanyak 74 jiwa atau 3,65%, di bidang perdagangan sebanyak 87 jiwa atau 4,30%, di bidang angkutan sebanyak 124 jiwa atau 6,12%, dan penduduk yang bekerja sebagai buruh sebanyak 236 jiwa atau 11,66%.

4.2 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah pemilik usaha pembuatan batu bata dengan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan bakar di Desa Jentera Stabat, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 20 pemilik usaha. Karakteristik responden yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusaha. Berikut akan dibahas masing-masing karakteristik tersebut.


(43)

4.2.1 Umur

Tabel 7. Umur Responden Pemilik Usaha Batu Bata

No. Kelompok Umur

(tahun)

Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1 32-46 7 35

2 47-61 10 50

3 62-75 3 15

Jumlah 20 100

Sumber:Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015

Dapat dilihat dari Tabel 7 jumlah terbesar umur responden pemilik usaha batu bata berada pada kelompok umur 47-61 tahun, dengan jumlah sebanyak 10 responden atau 50% dari jumlah seluruh responden. Sedangkan jumlah terkecil berada pada kelompok umur 62-75 tahun, dengan jumlah hanya 3 responden atau 15% dari jumlah seluruh responden. Pada kelompok umur 32-46 tahun memiliki jumlah responden sebanyak 7 atau 35% dari jumlah seluruh responden. Rata-rata umur responden dengan kelompok umur 32-75 tahun adalah 49,7 tahun.

4.2.2 Tingkat Pendidikan

Tabel 8. Tingkat Pendidikan Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Tingkat Pendidikan Jumlah

(jiwa)

Persentase (%)

1 SD 4 20

2 SMP 10 50

3 SMA 6 30

Jumlah 20 100

Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015

Dari Tabel 8 dapat dilihat tingkat SMP adalah tingkat pendidikan terbanyak dari responden pemilik usaha batu bata ini, yaitu sebanyak 10 responden atau setengah


(44)

yaitu hanya 4 responden atau sebanyak 20%. Tingkat SMA sebanyak 6 responden atau 30% dari jumlah seluruh responden. Rata-rata tingkat pendidikan responden adalah SMP.

4.2.3 Jumlah Tanggungan

Tabel 9. Jumlah Tanggungan Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Jumlah Tanggungan

(jiwa)

Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1 <2,35 13 65

2 >2,35 7 35

Jumlah 20 100

Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015

Dapat dijelaskan dari Tabel 9, jumlah tanggungan keluarga yang lebih kecil dari rata-rata (< 2,35) sebanyak 13 jiwa yaitu 65% dari jumlah seluruh responden. Sedangkan Jumlah tanggungan keluarga yang lebih besar dari rata-rata (> 2,35) berjumlah 7 jiwa atau 35% dari jumlah seluruh responden.

4.2.4 Pengalaman Berusaha

Tabel 10. Pengalaman Berusaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Pengalaman Berusaha

(tahun)

Jumlah (jiwa)

Persentase (%)

1 4-10 15 75

2 11-17 2 10

3 18-25 3 15

Jumlah 20 100

Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015

Dapat dilihat pada Tabel 10, pengalaman berusaha terlama berada pada kelompok 18-25 tahun, namun jumlah respondennya hanyak sebanyak 3 responden atau 15% dari jumlah seluruh responden. Pengalaman berusaha dengan responden terbanyak


(45)

berada pada kelompok 4-10 tahun dengan jumlah sebanyak 15 responden atau 75% dari jumlah seluruh responden. Kemudian yang lainnya berada pada kelompok 11-17 tahun dengan jumlah responden sebanyak 2 atau hanya 10% dari jumlah seluruh responden. Rata-rata pengalaman berusaha responden adalah 9,8 tahun.

4.2.5 Luas Lokasi Usaha

Tabel 11. Luas Lokasi Usaha Responden Pemilik Usaha Batu Bata No. Luas Lokasi Usaha

( m2)

Jumlah (Jiwa)

Persentase (%)

1 400-2933 14 70

2 2934-5467 3 15

3 5468-8000 3 15

Jumlah 20 100

Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015

Dari tabel 11 dapat dilihat kelompok luas lokasi usaha yang memiliki responden terbanyak adalah kelompok 400-2933 dengan responden berjumlah 14 jiwa atau 70% dari jumlah seluruh responden. Selanjutnya kelompok 2934-5467 dan 5468-8000 yang masing-masing berjumlah 3 responden atau 15% dari jumlah seluruh responden. Rata-rata luas lokasi usaha responden sekitar 2760 m2.

Dari uraian diatas maka rekapitulasi karakteristik pemilik usaha batu bata di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12. Rekapitulasi Karakteristik Pemilik Usaha Batu Bata di Daerah Penelitian


(46)

No. Uraian Range Rata-Rata

1 Umur (Tahun) 32-75 49,7

2 Tingkat Pendidikan (Tahun) 6-12 9,3

3 Jumlah Tanggungan (Jiwa) 1-4 2,35

4 Pengalaman Berusaha (Tahun) 3-25 9,8

5 Luas Lokasi Usaha (m2) 400-8000 2760

Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 1, 2015

Dari Tabel 12 dapat dilihat rangkuman dari setiap karakteristik pemilik usaha batu bata di daerah penelitian. Pertama, umur responden berada pada rentang antara 32-75 tahun dengan rata-rata 49,7 tahun. Selanjutnya tingkat pendidikan responden berada pada rentang antara 6-12 tahun (SD sampai SMA) dengan rata-rata 9,3 tahun (SMP). Kemudian jumlah tanggungan responden berkisar antara 1-4 jiwa dengan rata-rata sebanyak 2,35 jiwa. Selanjutnya pengalaman berusaha responden memiliki rentang yang cukup jauh, yaitu antara 3-25 tahun dengan rata-rata 9,8 tahun. Terkahir adalah luas lokasi usaha responden yang juga memiliki rentang yang sangat jauh, yaitu 400-8000 m2 dengan rata-rata seluas 2760 m2.


(47)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Proses Pembuatan Batu Bata

Proses pembuatan batu bata memang membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 10-14 hari. Namun sebenarnya proses pengolahannya sendiri tidak terlalu rumit. Dimulai dari penyediaan bahan baku (tanah sawah dan tanah merah), kemudian mencampurkan kedua tanah tersebut sampai rata, lalu dilakukanlah proses pencetakan, lalu batu bata yang sudah dicetak dijemur, lalu setelah penjemuran selama 2 minggu, batu bata disusun di dapur, dan dibakar. Setelah dibakar, batu bata siap untuk dipasarkan. Berikut tahapan-tahapan pembuatan batu bata akan diuraikan secara rinci.

Tahap I: Penyediaan Bahan Baku dan Bahan Penunjang

Bahan baku dalam pembuatan batu bata adalah tanah sawah dan tanah bukit. Tanah sawah biasanya diperoleh dari pemasok. Pemasok mendapatkan tanah sawah dari masyarakat sekitar yang memiliki tanah sawah. Biasanya banyak lahan sawah digali untuk membuat irigasi atau mendapatkan cukup banyak air, sehingga tanah hasil galian tersebut yang dijadikan bahan baku pembuatan batu bata. Begitu juga dengan tanah bukit, diperoleh dari pemasok. Pemasok mendapatkan tanah bukit dari masyarakat yang memiliki tanah bukit ataupun dari penjual tanah bukit.


(48)

Gambar 3. Tanah Bukit dan Tanah Sawah Sebagai Bahan Baku Pembuatan Batu Bata

Selanjutnya bahan penunjang disiapkan. Bahan penunjang dalam proses pembuatan batu bata disini adalah tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan pembakaran di tungku, minyak solar sebagai bahan bakar mesin pencetakan batu bata, dan CPO sebagai bahan pengoles batu bata. Yang paling penting disiapkan disini adalah tandan kosong kelapa sawit, karena tandan kosong kelapa sawit ini perlu dijemur terlebih dahulu sampai benar benar kering. Hal ini sangat penting karena tandan kosong tidak akan bisa terbakar secara maksimal apabila tandan kosong masih dalam keadaan basah. Proses pengeringan ini biasanya membutuhkan waktu sekitar 10-14 hari. Untuk itu sebenarnya tandan kosong perlu disiapkan terlebih dahulu dibandingkan bahan bakunya sendiri. Tandan kosong yang sudah kering ditandai dengan warnanya yang berubah menjadi semakin abu-abu dan serabut-sarabut pada pinggirnya sudah terlihat berpisah.


(49)

Gambar 4. Tandan Kosong Kelapa Sawit Saat Dijemur Tahap II: Pencampuran tanah bukit dan tanah sawah

Selanjutnya tanah bukit dan tanah sawah diaduk rata dengan menggunakan cangkul dan sekop. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh 5 orang tenaga kerja. Pengadukan harus benar-benar rata agar menghasilkan agar menghasilkan batu bata yang kokoh. Perbandingan tanah bukit dan tanah sawah biasanya adalah 2:1 atau ada juga responden yang menggunakan perbandingan 1:1. Dengan perbandingan 1:1, batu bata yang dihasilkan akan lebih bagus dan kokoh. Waktu yang dibutuhkan untuk proses pencampuran ini tergantung dari jumlah batu yang ingin dihasilkan, biasanya berlangsung selama 2 jam untuk menghasilkan 10.000 batu bata.


(50)

Tahap III: Pencetakan Batu Bata

Setelah proses pencampuran tanah bukit dan tanah sawah selesai, proses pencetakan batu bata dimulai. Di daerah penelitian biasanya mesin pencetakan batu bata disebut mesin press batu bata. Proses pencetakan ini dilakukan oleh 5 orang tenaga kerja yang sama dengan tenaga kerja dalam proses pencampuran tanah. Seorang tenaga kerja memasukkan tanah campuran kedalam mesin pres batu bata. Seorang lainnya siap menampung hasil cetakan batu bata dengan menggunakan papan sambil mengoleskan CPO ke setiap sisi batu bata agar batu bata tidak saling lengket satu dengan lainnya. Apabila sudah penuh dalam satu papan, seorang lagi menaikkan papan berisi batu bata tersebut kedalam becak. Setelah becak penuh, becak dibawa menuju barak untuk dijemur. Dua orang lainnya siap menunggu di barak untuk menurunkan batu bata tersebut. Proses pencetakan ini biasanya berlangsung sekitar 8-10 jam.


(51)

Tahap IV: Penjemuran

Setelah batu bata diturunkan dari becak, batu bata akan disusun didalam barak untuk dijemur. Proses ini dilakukan oleh 2 orang tenaga kerja. Batu bata disusun sedemikian rupa dengan rapi agar muat diletakkan didalam barak. Setelah semua batu bata siap disusun, setiap pinggiran dari susunan batu bata ditutupi dengan plastik terpal. Hal ini dimaksudkan agar batu bata tidak basah lagi terkena air hujan. Proses penjemuran batu bata ini dilakukan selama 2 minggu.

Gambar 6. Proses Penjemuran Batu Bata di Barak Tahap V: Penyusunan di dapur

Setelah 2 minggu dijemur, batu bata disusun didapur untuk mulai proses pembakaran. Proses ini dilakukan oleh 2 orang. Batu bata disusun sedemikian rupa


(52)

agar pembakaran merata keseluruh batu bata. Proses penyusunan ini biasanya berlangsung selama2-5 jam tergantung dari banyaknya batu yang akan dibakar.

Gambar 7. Batu Bata Yang Telah Disusun di Dapur Tahap VI: Pembakaran dan Pendinginan

Setelah batu bata disusun dengan rapi di dapur, proses pembakaran siap untuk dimulai. Proses pembakaran ini biasanya hanya dilakukan oleh 1 orang tenaga kerja saja. Pertama-tama beberapa tandan kosong kelapa sawit yang sudah dikeringkan, dimasukkan kedalam tungku pembakaran dengan menggunakan gancu. Tungku diisi sampai penuh kedalam. Untuk memasukkan tandan kosong sampai padat kedalam, digunakan alat tojok. Selanjutnya karet ban kira-kira sepanjang 30 cm dibakar, lalu diletakkan diatas salah satu tandan kosong yang juga akan dimasukkan. Setelah dipastikan tandan kosong tersebut telah berubah menjadi bara


(53)

api, tandan kosong tersebut didorong masuk kedalam tungku sampai menyentuh tandan kosong yang sudah dimasukkan diawal tadi. Setelah dipastikan bara api tetap hidup, tunggu sampai menjadi abu dan tandan kosong dimasukkan lagi. Disekeliling tungku juga diberikan sekam padi agar pembakaran merata keseluruh bagian. Rata-rata pembakaran ini berlangsung 7-10 hari tergantung dari jumlah batu bata yang dibakar. Setelah proses pembakaran dilakukan, batu bata dibiarkan dingin kira-kira selama 2-3 hari.


(54)

Tahap VII: Siap untuk dipasarkan

Setelah batu bata dingin, batu bata siap untuk dipasarkan. Biasanya usaha batu bata ini sudah memiliki langganannya masing-masing, kegiatan penjual-belian dilakukan via telefon. Setelah negosiasi disetujui, pembeli akan datang dengan membawa truk dan tukang muat sendiri, lalu mengangkut batu bata tersebut. Sehingga pengrajin batu bata tidak perlu membayar upah tenag kerja untuk memuat batu bata.

Berdasarkan uraian tahapan pembuatan batu bata, dapat diringkas secara skematis seperti pada Gambar 9 berikut.

Gambar 9. Skema Proses Pembuatan Batu Bata Penyediaan Bahan Baku

dan Bahan Penunjang

Pencampuran Tanah Bukit dan Tanah Sawah

Pencetakan Batu Bata

Penjemuran

Penyusunan di Dapur

Pembakaran

Siap Untuk Dipasarkan Pendinginan


(55)

5.2 Ketersediaan Input (Bahan Baku, Modal, dan Tenaga Kerja) 5.2.1 Ketersediaan Bahan Baku

Bahan baku merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kelangsungan usaha pembuatan. Bila suatu usaha pembuatan kekurangan bahan baku, maka usaha tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar. Selain itu bahan baku juga harus selalu tersedia setiap kali pembuatan akan dilakukan untuk menjamin kontinuitas usaha pembuatan itu sendiri. Bahan baku yang digunakan untuk proses pembuatan batu bata ini adalah tanah sawah dan tanah bukit.

Rata-rata kebutuhan tanah sawah dan tanah bukit yang digunakan untuk memproduksi batu bata di daerah penelitian adalah 2,45 truk dan 2,95 truk. Banyaknya tanah sawah dan tanah bukit yang dibutuhkan tergantung dari jumlah tungku yang dimiliki pemilik usaha batu bata, semakin banyak tungku yang dimiliki, semakin banyak batu bata yang dapat dibakar, dan semakin banyak pula tanah yang dibutuhkan. Untuk mengetahui rata-rata volume dan biaya bahan baku usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian, dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.

Tabel 13. Rata-Rata Volume dan Biaya Bahan Baku Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian

No. Uraian Per Bulan Per 10.000 Batu Bata

1 Volume Bahan Baku (Truk) 5,40 0,91

2 Biaya Bahan Baku (Rp) 2.160.000 365.486 Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampran 7 dan 16, 2015

Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata bahan baku yang dibutuhkan dalam usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian sebanyak 5,40 truk per bulan atau 0,91


(56)

truk per 10.000 batu bata, dengan biaya bahan baku sebesar Rp 2.160.000 per bulan atau Rp 365.486 per 10.000 batu bata.

Pemilik usaha batu bata memperoleh bahan baku dari para pemasok. Pemasok mendapatkan tanah sawah dari masyarakat sekitar yang memiliki tanah sawah. Biasanya banyak lahan sawah digali untuk membuat irigasi atau mendapatkan cukup banyak air, sehingga tanah hasil galian tersebut yang dijadikan bahan baku pembuatan batu bata. Begitu juga dengan tanah bukit, diperoleh dari pemasok. Pemasok mendapatkan tanah bukit dari masyarakat yang memiliki tanah bukit ataupun dari penjual tanah bukit.

Untuk mengetahui apakah bahan baku (tanah sawah dan tanah bukit) tersedia atau tidak di daerah penelitian, dapat dilihat dari hasil wawancara dengan 20 pemilik usaha batu bata yang mengatakan bahwa sampai saat ini belum pernah mengalami kekurangan bahan baku dalam pengusahaannya. Dari uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa bahan baku untuk pembuatan batu bata selalu tersedia bagi pengarjin.

5.2.2 Ketersediaan Modal

Modal merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungannya suatu usaha, karena dalam proses pengolahan dibutuhkan dana awal untuk bahan baku dan biaya operasional untuk menghasilkan suatu produk. Untuk itu tersedia atau tidaknya modal dalam suatu usaha penting untuk diketahui agar dapat menentukan langkah apa yang akan diambil selanjutnya.

Dari 20 pengrajin yang diteliti, semuanya menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usaha pembuatan batu bata (Lampiran 1). Selanjutnya Untuk


(57)

melanjutkan usahanya, para pengrajin batu bata memperoleh modal dari hasil penjualan batu bata. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa modal untuk usaha pembuatan batu bata tersedia di daerah penelitian.

5.2.3 Ketersediaan Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam usaha pembuatan batu bata adalah warga daerah penelitian yang belum mendapatkan pekerjaan, biasanya pemuda-pemuda setempat yang masih mencari pekerjaan tetap. Namun ada juga orang yang memang bekerja tetap sebagai pembakar batu bata karena merasa sudah cukup untuk membiayai kehidupannya. Untuk mengetahui kebutuhan tenaga kerja dalam usaha pembuatan batu bata di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Usaha Pembuatan Batu Bata di daerah Penelitian

No. Uraian Rata-Rata

(Jiwa)

Range (Jiwa)

Upah (Rp/batu)

1 Pencampuran dan Pencetakan 5,5 4-8 40

2 Penjemuran 2,85 1-5 10

3 Penyusunan di Dapur 3,05 0-5 11

4 Pembakaran 1 0-1 13

Sumber: Data Primer Diolah Dari Lampiran 5, 2015

Dari Tabel 14 dapat dilihat rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usaha pembuatan batu bata dan upah masing-masing kegiatan. Proses pencampuran dan pencetakan dibutuhkan rata-rata 5,5 orang dengan upah Rp 40/batu. Proses penjemuran dibutuhkan rata-rata 2,85 orang dengan upah Rp 10/batu. Penyusunan di dapur dibutuhkan rata-rata 3,05 orang dengan upah Rp 11/batu. Untuk proses pembakaran rata-rata hanya dibutuhkan 1 orang saja dengan upah Rp 13/batu. Untuk setiap proses pembuatannya hanya dibutuhkan tenaga kerja pria saja, baik


(58)

tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) ataupun tenaga kerja luar keluarga (TKLK) berdasarkan hasil wawancara, selama ini pengrajin batu bata belum pernah mengalami kekurangan tenaga kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tenaga kerja usaha pembuatan batu bata tersedia di daerah penelitian.

5.3 Analisis Pendapatan Usaha Pembuatan Batu Bata

Untuk menghitung besarnya pendapatan, perlu diketahui terlebih dahulu total biaya dan total penerimaan usaha tersebut. Biaya dibagi menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya variable. Berikut tabel-tabel mengenai biaya tetap, biaya variable, dan penerimaan.

Tabel 15. Rata-Rata Biaya Tetap Usaha Pembuatan Batu Bata di Daerah Penelitian

No. Uraian Per Bulan

(Rp)

Per 10.000 Batu Bata (Rp)

1 Penyusutan Alat-Alat

a. Tungku 14.175 2.654

b. Mesin Press Batu Bata 234.583 47.522

c. Parang 2.432 459

d. Sekop 1.631 304

e. Cangkul 7.901 1.418

f. Angkong 15.425 2.895

g. Gancu 926 170

h. Tojok 1.254 236

i. Barak 396.667 70.134

j. Dapur 24.083 4.861

k. Becak 7.250 1.441

l. Papan 18.125 3.424

m. Kuas 583 118

n. Plastik 7.000 1.276

2 PBB 3.633 578

Total Biaya Tetap 735.670 137.489


(59)

Dari Tabel 15 diketahui biaya penyusutan tungku dalam satu bulan adalah Rp 14.175 dan untuk 10.000 batu bata dibutuhkan biaya sebesar Rp 2.645. Kemudian biaya penyusutan mesin press batu bata dalam satu bulan sebesar Rp 234.583 dan untuk 10.000 batu bata biayanya sebesar Rp 47.522. Selanjutnya biaya penyusutan parang sebesar Rp 2.432/bulan dan Rp 459/10.000 batu bata. Untuk biaya penyusutan sekop dibutuhkan biaya Rp 1.631/bulan atau Rp 304/10.000 batu bata. Kemudian biaya penyusutan cangkul dalam satu bulan adalah Rp 7.901 dan untuk 10.000 batu bata dibutuhkan Rp 1.418. Selanjutnya untuk angkong dibutuhkan biaya penyusutan sebesar Rp 15.425/bulan atau Rp 2.895/10.000 batu bata. Biaya penyusutan gancu dalam satu bulan adalah Rp 926 dan Rp 170 untuk 10.000 batu bata. Selanjutnya biaya penyusutan tojok adalah Rp 1.254/bulan dan untuk 10.000 batu bata biayanya Rp 236. Kemudian barak dibutuhkan biaya penyusutan sebesar Rp 396.667/ bulan atau Rp 70.134/10.000 batu bata. Selanjutnya biaya penyusutan dapur dalam sebulan adalah Rp 24.083 dan untuk 10.000 batu bata biayanya Rp 4.861. Selanjutnya untuk becak biaya penyusutannya sebesar Rp 7.250/bulan atau Rp 1.441/10.000 batu bata. Untuk papan biaya penyusutannya sebesar Rp 18.125/bulan atau Rp 3.424/10.000 batu bata. Selanjutnya biaya penyusutan kuas adalah Rp 583/bulan atau Rp 118/10.000 batu bata. Terakhir untuk plastik dibutuhkan biaya penyusutan sebesar Rp 7.000/bulan atau Rp 1.276/10.000 batu bata. Setelah itu biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam satu bulan sebesar Rp 3.633 atau untuk 10.000 batu bata sebesar Rp 578. Sehingga total biaya tetap per periode produksi (satu bulan) adalah Rp 735.670 dan untuk 10.000 batu bata dibutuhkan biaya tetap sebesar Rp 137.489.


(1)

Lampiran 18. Total Biaya Variabel Per 10.000 Batu Bata

Sampel Biaya Bahan Baku Biaya Bahan Penunjang Biaya Tenaga Kerja Total Biaya Variabel

(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)

1 266,667 116,678 740,000 1,123,345

2 416,667 110,546 740,000 1,267,213

3 400,000 127,900 740,000 1,267,900

4 571,429 176,186 740,000 1,487,615

5 250,000 113,358 740,000 1,103,358

6 266,667 174,900 740,000 1,181,567

7 380,952 122,138 740,000 1,243,090

8 400,000 164,900 740,000 1,304,900

9 355,556 118,233 740,000 1,213,789

10 250,000 111,275 740,000 1,101,275

11 355,556 118,900 740,000 1,214,456

12 444,444 115,567 740,000 1,300,011

13 416,667 108,463 740,000 1,265,130

14 380,952 122,138 740,000 1,243,090

15 266,667 118,900 740,000 1,125,567

16 375,000 161,275 740,000 1,276,275

17 355,556 116,678 740,000 1,212,234

18 312,500 156,588 740,000 1,209,088

19 400,000 128,775 740,000 1,268,775

20 444,444 117,456 740,000 1,301,900

Total 7,309,722 2,600,852 14,800,000 24,710,576


(2)

Lampiran 19. Total Biaya Produksi Per 10.000 Batu Bata

Sampel Total Biaya Tetap Total Biaya Variabel Total Biaya

(Rp) (Rp) (Rp)

1 150,482 1,123,344 1,273,826

2 97,914 1,267,213 1,365,126

3 105,579 1,267,900 1,373,479

4 156,894 1,487,614 1,644,509

5 124,630 1,103,358 1,227,988

6 177,296 1,181,567 1,358,863

7 160,910 1,243,090 1,404,000

8 117,736 1,304,900 1,422,636

9 153,837 1,213,789 1,367,626

10 159,594 1,101,275 1,260,869

11 142,066 1,214,456 1,356,522

12 101,497 1,300,011 1,401,508

13 102,987 1,265,129 1,368,116

14 184,278 1,243,090 1,427,368

15 142,374 1,125,567 1,267,941

16 176,283 1,276,275 1,452,558

17 149,116 1,212,233 1,361,349

18 136,670 1,209,088 1,345,757

19 110,918 1,268,775 1,379,693

20 98,711 1,301,900 1,400,611

Total 2,749,771 24,710,574 27,460,345


(3)

Lampiran 20. Total Penerimaan Per 10.000 Batu Bata

Sampel Produksi Batu Bata Penerimaan Batu Bata Produksi Abu Tandan Penerimaan Abu TKKS Total Penerimaan

(Buah) (Rp) Kosong (Kg) (Rp) (Rp)

1 10,000 2,000,000 122.22 17,111 2,017,111

2 10,000 2,000,000 130.21 18,229 2,018,229

3 10,000 2,000,000 50 7,000 2,007,000

4 10,000 2,000,000 196.43 27,500 2,027,500

5 10,000 2,000,000 114.58 16,041 2,016,041

6 10,000 2,000,000 233.33 32,666 2,032,666

7 10,000 2,000,000 95.24 13,334 2,013,334

8 10,000 2,000,000 91.67 12,834 2,012,834

9 10,000 2,000,000 122.22 17,111 2,017,111

10 10,000 2,000,000 135.42 18,959 2,018,959

11 10,000 2,000,000 122.22 17,111 2,017,111

12 10,000 2,000,000 122.22 17,111 2,017,111

13 10,000 2,000,000 104.17 14,584 2,014,584

14 10,000 2,000,000 130.95 18,333 2,018,333

15 10,000 2,000,000 100 14,000 2,014,000

16 10,000 2,000,000 171.88 24,063 2,024,063

17 10,000 2,000,000 122.22 17,111 2,017,111

18 10,000 2,000,000 62.5 8,750 2,008,750

19 10,000 2,000,000 137.5 19,250 2,019,250

20 10,000 2,000,000 105.56 14,778 2,014,778

Total 200,000 40,000,000 2470.54 345,876 40,345,876 Rata-rata 10,000 2,000,000 123.53 17,294 2,017,294 Note: Harga Jual Batu Bata :Rp 200/buah


(4)

Lampiran 21. Pendapatan Per 10.000 Batu Bata

Sampel Total Penerimaan Total Biaya Pendapatan

(Rp) (Rp) (Rp)

1 2,017,111 1,273,826 743,285

2 2,018,229 1,365,126 653,103

3 2,007,000 1,373,479 633,521

4 2,027,500 1,644,509 382,991

5 2,016,041 1,227,988 788,053

6 2,032,666 1,358,863 673,803

7 2,013,334 1,404,000 609,334

8 2,012,834 1,422,636 590,198

9 2,017,111 1,367,626 649,485

10 2,018,959 1,260,869 758,090

11 2,017,111 1,356,522 660,589

12 2,017,111 1,401,508 615,603

13 2,014,584 1,368,116 646,468

14 2,018,333 1,427,368 590,965

15 2,014,000 1,267,941 746,059

16 2,024,063 1,452,558 571,505

17 2,017,111 1,361,349 655,762

18 2,008,750 1,345,757 662,993

19 2,019,250 1,379,693 639,557

20 2,014,778 1,400,611 614,167

Total 40,345,876 27,460,345 12,885,531


(5)

Lampiran 22. Perhitungan R/C Ratio Per 10.000 Batu Bata

Sampel Total Penerimaan Total Biaya R/C

(Rp) (Rp)

1 2,070,000 1,273,826 1.63

2 2,070,000 1,365,126 1.52

3 2,070,000 1,373,479 1.51

4 2,070,000 1,644,509 1.26

5 2,070,000 1,227,988 1.69

6 2,070,000 1,358,863 1.52

7 2,070,000 1,404,000 1.47

8 2,070,000 1,422,636 1.46

9 2,070,000 1,367,626 1.51

10 2,070,000 1,260,869 1.64

11 2,070,000 1,356,522 1.53

12 2,070,000 1,401,508 1.48

13 2,070,000 1,368,116 1.51

14 2,070,000 1,427,368 1.45

15 2,070,000 1,267,941 1.63

16 2,070,000 1,452,558 1.43

17 2,070,000 1,361,349 1.52

18 2,070,000 1,345,757 1.54

19 2,070,000 1,379,693 1.50

20 2,070,000 1,400,611 1.48

Total 41,400,000 27,460,345 30.26 Rata-rata 2,070,000 1,373,017 1.51


(6)

Lampiran 23. Perhitungan Break Event Point (BEP) Per 10.000 Batu Bata

Sampel Total Biaya Harga Jual Total Produksi BEP Volume

Produksi BEP Harga

(Rp) (Rp/buah) (Buah)

1 1,273,826 200 10,000 6369.13 127.38

2 1,365,126 200 10,000 6825.63 136.51

3 1,373,479 200 10,000 6867.40 137.35

4 1,644,509 200 10,000 8222.55 164.45

5 1,227,988 200 10,000 6139.94 122.80

6 1,358,863 200 10,000 6794.32 135.89

7 1,404,000 200 10,000 7020.00 140.40

8 1,422,636 200 10,000 7113.18 142.26

9 1,367,626 200 10,000 6838.13 136.76

10 1,260,869 200 10,000 6304.35 126.09

11 1,356,522 200 10,000 6782.61 135.65

12 1,401,508 200 10,000 7007.54 140.15

13 1,368,116 200 10,000 6840.58 136.81

14 1,427,368 200 10,000 7136.84 142.74

15 1,267,941 200 10,000 6339.71 126.79

16 1,452,558 200 10,000 7262.79 145.26

17 1,361,349 200 10,000 6806.75 136.13

18 1,345,757 200 10,000 6728.79 134.58

19 1,379,693 200 10,000 6898.47 137.97

20 1,400,611 200 10,000 7003.06 140.06

Total 27,460,345 4,000 200,000 137301.73 2746.03