BAB V STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT LOKAL DESA GOROWONG
5.1 Strategi Nafkah Kampung Ater dan Kampung Ciawian
Strategi nafkah dalam kehidupan sehari-hari direprensentasikan oleh keterlibatan individu-individu dalam proses perjuangan untuk mendapatkan suatu
jenis mata pencaharian atau bentuk pekerjaan produktif demi mempertahankan ataupun meningkatkan derajat kehidupan dalam merespons dinamika sosio-
ekonomi, ekologi dan politik mengenai mereka Dharmawan 2007. Strategi nafkah yang diteliti adalah strategi nafkah masyarakat Desa Gorowong khususnya
Kampung Ater dan Kampung Ciawian setelah adanya industri batu bata. Strategi nafkah yang dilakukan oleh kedua kampung tersebut berbasis pada strategi nafkah
rumahtangga, yaitu pengerahan anggota keluarga untuk mencapai derajat hidup yang diinginkan oleh keluarga tersebut. Strategi nafkah yang dilakukan oleh
rumahtangga responden di Kampung Ater tidak berbeda jauh dengan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga responden di Kampung Ciawian. Bab ini
akan menjelaskan bagaimana dan apa saja strategi nafkah yang diterapkan oleh Kampung Ater sebagai kampung yang memiliki industri batu bata tinggi, dan
Kampung Ciawian yang memiliki aktivitas pertanian lebih banyak dibandingkan dengan Kampung Ater.
5.1.1 Pengusahaan Mata Pencaharian Pertanian
Tranformasi sektor pertanian menjadi sektor non-pertanian, merupakan suatu hal yang tidak dapat terelakkan di daerah yang memiliki aktivitas industri.
Transformasi ini akan memberikan berbagai dampak terhadap struktur sosial masyarakat Desa Gorowong terutama Kampung Ater dan Kampung Ciawian
sebagai daerah fokus penelitian. Pada mulanya mayoritas penduduk Desa Gorowong bergerak di sektor pertanian, namun lambat laun berubah menjadi
industri karena hasil pertanian yang tidak memuaskan akibat dari kondisi tanah di Desa Gorowong yang asam, sehingga masyarakat Desa Gorowong mulai
meninggalkan pertanian dan beralih kepada sektor industri batu bata. Hal ini dikarenakan tanah di Desa Gorowong lebih cocok digunakan sebagai bahan baku
batu bata dibandingkan untuk ditanami padi. Meskipun pertanian di Desa
Gorowong tidak begitu banyak, namun masih ada beberapa kampung di Desa Gorowong yang masih menerapkan pertanian secara subsisten untuk dikonsumsi
sendiri. Pada Gambar 5 di bawah ini dapat dilihat persentasi masyarakat Kampung Ater dan Kampung Ciawian yang masih menerapkan mata pencaharian
pertanian.
Keterangan:
n
Kampung Ater = 30 rumahtangga
n
Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 5. Pengusahaan Mata Pencaharian Pertanian di Kampung Ater dan Kampung Ciawian
Terlihat pada Gambar 5, sebesar 13,33 persen atau sebanyak empat responden Kampung Ater masih mengusahakan matapencaharian pertanian, dan
sebesar 86,67 persen atau sebanyak 26 responden di Kampung Ater sudah tidak mengusahakan pertanian lagi. Berbeda dengan Kampung Ater, Kampung Ciawian
merupakan kampung di Desa Gorowong yang tergolong banyak warganya yang bermata pencaharian di sektor pertanian, terlihat dari 36,67 persen atau sebanyak
11 responden masih bermata pencaharian di sektor pertanian, walaupun tidak semua dari 11 responden tersebut memiliki lahan, karena sebagian besar dari 11
responden tersebut bertani dengan sistem bagi hasilbawon. Masyarakat Kampung Ciawian yang sudah tidak mengusahakan sektor pertanian lagi yaitu sebesar 63,33
persen atau sebanyak 19 responden bekerja diluar sektor pertanian. Responden di kedua kampung, baik Kampung Ciawian dan Kampung Ater yang mengusahakan
sektor pertanian juga mengusahakan matapencaharian dari sektor non pertanian
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung
Ciawian
13.33 36.67
86. 67
63. 33
tidak mengusahakan Pertanian
Mengusahakan Pertanian
atau disebut dengan pola nafkah ganda. Hal ini dikarenakan, sebagian besar mereka adalah buruh tani, sehingga pendapatan dari sektor pertanian saja tidak
mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
5.1.2 Migrasi
Salah satu strategi nafkah yang biasanya diterapkan oleh masyarakat untuk memperoleh pekerjaan atau hidup yang lebih baik adalah dengan cara migrasi
atau perpindahan spasial penduduk, baik masih dalam satu wilayah kenegaraan maupun lintas negara yang bersifat permanen maupun sementara. Migrasi pada
suatu daerah dapat dilihat apakah migrasi tersebut termasuk dalam migrasi ke dalam atau keluar. Migrasi ke dalam maksudnya adalah banyak penduduk luar
daerah datang ke daerah tersebut. Sementara migrasi keluar adalah banyaknya penduduk daerah asal yang pergi menuju daerah baru. Umumnya migrasi keluar
terjadi ketika daerah asal sudah tidak bisa memberikan jaminan hidup yang lebih baik bagi penduduknya, sementara migrasi ke dalam terjadi jika daerah tujuan
memiliki jaminan penghidupan yang lebih baik. Desa Gorowong merupakan desa yang terkenal dengan industri batu
batanya, dengan lokasi berdekatan dengan kota besar yaitu Tangerang dan Jakarta. Dimana permintaan akan bahan baku bangunan seperti batu bata meningkat setiap
waktunya, oleh karena itu tidak mengherankan banyak masyarakat luar daerah Desa Gorowong datang untuk bekerja di daerah ini. Penelitian ini melihat jumlah
migrasi yang dilakukan oleh masyarakat di Kampung Ater dan Ciawian, migrasi yang diteliti adalah migrasi ke luar yang dilakukan oleh masyarakat di kedua
kampung penelitian. Gambar 6 di bawah terlihat persentase migrasi ke luar daerah yang dilakukan oleh warga baik Kampung Ater maupun Kampung Ciawian hanya
sedikit. Persentase Responden di Kampung Ater yang keluarganya bekerja di luar daerah sebesar 16,67 persen atau sebanyak lima responden. Kelima responden ini
bermigrasi ke daerah yang berbeda-beda ada yang ke luar negeri untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia TKI, ada pula yang bekerja di kota besar seperti
Tangerang.
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 6. Persentase Responden yang Melakukan Migrasi di Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
Masyarakat di Kampung Ciawian yang melakukan migrasi sebesar 6,67 persen atau sebanyak dua responden bekerja di luar daerah Desa Gorowong yaitu
mereka bekerja di daerah Jakarta dan sekitarnya. Alasan responden memilih bekerja di luar daerah Desa Gorowong bermacam-macam, diantaranya ada
sebagian dari mereka yang enggan bekerja di sektor industri batu bata, dan ada pula yang mencoba peruntungan untuk bekerja di luar negeri menjadi TKITKW.
Persentase warga yang masih menetap di Kampung Ater dan Kampung Ciawian yaitu sebesar 83,33 persen dan 93,33 persen atau mayoritas dari warga kedua
kampung tersebut tidak mencari pekerjaan di luar daerah, karena sumber nafkah di Desa Gorowong yang cukup tersedia, yaitu dengan jumlah industri batu bata
yang semakin banyak di daerah ini sehingga peluang kerja semakin terbuka. Hal ini juga ditegaskan oleh Kepala Desa Gorowong:
“
Kalau di Gorowong sendiri hanya sedikit yang pergi ke luar daerah atau menjadi TKI, karena Gorowong dikenal sebagai sentra batu bata. Semakin
hari permintaan batu bata semakin tinggi, biasanya permintaan batu bata dari daerah Tangerang, Jakarta, dan Bekasi. Jadi, semakin kesini semakin banyak
Lio-Lio baru yang ada, sehingga menarik orang-orang dari luar daerah seperti Cirebon, Cianjur, dll. Jadi di Gorowong justru banyak masyarakat luar yang
masuk ke Gorowong untuk bekerja sebagai buruh ngeleng menyetak batu bata
–red, supir truk, dll.” Sry, 46 tahun, Kepala Desa Gorowong
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung
Ciawian
16.67 6.67
83. 33
93. 33
Tidak Melakukan Migrasi Melakukan Migrasi
Hal ini juga ditegaskan oleh salah satu ketua RT di Kampung Ciawian:
“Dahulu ketika Lio belum banyak di desa ini, banyak warga yang pergi keluar desa untuk mencari kerja, kemudian setelah Lio batu bata masuk
sekitar tahun 80-an, banyak warga yang tadinya bekerja di luar daerah kembali lagi ke desa untuk nge-Lio
” Spd, 43 tahun Ketua RT 03
Berdasarkan penuturan dari kedua tokoh tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa berkembangnya industri batu bata di Desa Gorowong mampu membuka
peluang kerja baik bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luar desa. Industri batu bata juga mampu mengerem laju terjadinya migrasi desa-kota yang
berpontesi terjadinya konflik dan kepadatan penduduk di kota. Jadi, dapat dikatakan bahwa minimnya masyarakat di Desa Gorowong yang melakukan
migrasi ke luar desa adalah salah satu contoh manfaat dari berkembanganya industri batu bata di wilayah Desa Gorowong.
5.1.4 Pola Nafkah Ganda
Pola nafkah ganda merupakan salah satu strategi nafkah yang diteliti pada penelitian ini. Pola nafkah ganda banyak dilakukan oleh masyarakat untuk
meningkatkan kesejahterahan hidup rumahtangganya. Pola nafkah ganda pada penelitian ini dibedakan menjadi dua sektor yaitu pola nafkah ganda berdasarkan
sektor mata-pencaharian seperti pola nafkah ganda pertanian dengan non- pertanian dan pola nafkah ganda non-pertanian dengan non-pertanian, serta pola
nafkah ganda berdasarkan golongan ekonomi rumahtangga, yaitu penerapan pola nafkah ganda di rumahtangga ekonomi rendah, menengah dan tinggi, sehingga
akan terlihat pada golongan mana saja yang paling banyak menerapkan pola nafkah ganda. Gambar 7 merupakan persentase penerapan pola nafkah ganda pada
kedua kampung yang dijadikan sebagai sampel penelitian.
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 7. Persentase Pola Nafkah Ganda Berdasarkan Sektor Matapencaharian Responden di Kampung Ater dan Kampung Ciawian
Pola nafkah ganda pada Gambar 7 di atas merupakan analisis data berdasarkan sektor mata pencaharian responden. Persentase penerapan pola
nafkah ganda pertanian-nonpertanian di Kampung Ater hanya sebesar 10 persen atau sebanyak tiga responden yang menerapkan pola nafkah ganda ini, hal ini
disebabkan karena sedikitnya jumlah responden yang bekerja di bidang pertanian, sementara di Kampung Ciawian dimana angka pertaniannya lebih banyak
dibanding Kampung Ater persentase pola nafkah ganda pertanian dengan non- pertanian sebesar 30 persen atau sebanyak sembilan responden. Hasil pertanian
yang tidak mencukupi kebutuhan rumahtangga merupakan alasan utama mengapa responden mempunyai dua pekerjaan yang berbeda. Responden di Kampung Ater,
pada umumnya memilih sektor pertanian bukanlah mata pencaharian utama melainkan sebagai mata pencaharian tambahan.
“
Disini Gorowong sawahnya sedikit dibandingkan desa yang lain, hal ini dikarenakan tanah yang pertanian memiliki kandungan asam yang tinggi,
dan tanahnya lebih cocok untuk dijadikan batu bata Lio atau bahan baku keramik. Sekarang banyak yang bertani hanya untuk kebutuhan dapur saja
tidak untuk dijual bapak Bnk, 56 tahun, ketua kelompok tani Desa Gorowong.
Umumnya pekerjaan pertanian yang dilakukan oleh 10 persen dan 30 persen responden di kedua kampung tersebut adalah sebagai pekerja di industri
20 40
60 80
100
Kampung Ater Kampung
Ciawian 10
30 43.33
16.67 0.00
3.33 46.67
50 Nafkah Tunggal Non-
Pertanian Nafkah Tunggal Pertanian
Nafkah ganda Non Pertanian dan Non
Pertanian Nafkah Ganda Pertanian-
Non Pertanian
batu bata, hal ini dikarenakan untuk membuat batu bata tidak diperlukan keahlian khusus dan dengan hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bertani.
Terlihat pada gambar basis nafkah ganda masyarakat di Kampung Ater adalah non-pertanian dengan non-pertanian, dimana pola nafkah ganda non-pertanian
tampak dominan yaitu sebesar 43,33 persen. Sebaliknya, basis nafkah ganda masyarakat Ciawian adalah sektor pertanian dengan non-pertanian, dimana peran
gabungan antara sektor pertanian dan non-pertanian cenderung lebih besar yaitu menyumbang sekitar 30 persen. Jika dilihat dari penerapan pola nafkah ganda
terlepas dari apakah pola nafkah ganda pertanian dengan non-pertanian dan non- pertanian dengan non-pertanian, mayoritas responden di Kampung Ater yang
menerapkan pola nafkah ganda yaitu sebesar 53,33 persen sedangkan di Kampung Ciawian penerapan pola nafkah tunggal dan pola nafkah ganda memiliki jumlah
dan persentase yang hampir sama yaitu sebesar 53,33 persen yang memilki pola nafkah tunggal serta sebesar 46,67 persen responden yang memiliki pola nafkah
ganda. Sektor non pertanian merupakan sumber nafkah yang dominan dipilih oleh responden baik di Kampung Ater maupun Ciawian. Umumnya pekerjaan yang
dilakukan lebih bermacam-macam seperti menjadi supir truk, buruh batu bata, bengkel, berdagang, wiraswasta, pemilik industri batu bata, dan lain-lain.
Sebagaimana telah dirancang dalam penelitian ini, akan dibandingkan sejauh mana keterlibatan masyarakat di dua kampung terhadap pola nafkah ganda
berdasarkan lapisan sosial. Terdapat tiga lapisan sosial yang dicoba untuk dianalisis menggunakan basis tingkat pendapatan, yatu lapisan atau golongan
ekonomi rendah, menengah dan atas di kedua lokasi penelitian yaitu di Kampung Ater dan Kampung Ciawian. Basis tingkat pendapatan di kedua Kampung tersebut
berbeda satu dengan lainnya, sehingga lapisangolongan ekonomi di kedua Kampung tersebut berbeda pula. Lapisangolongan ekonomi rendah di Kampung
Ciawian adalah rumahtangga responden yang memiliki kisaran tingkat pendapatan lebih kecil dari Rp 12.513.819,00tahun. Lapisangolongan ekonomi menengah di
Kampung Ciawian adalah rumahtangga responden yang memiliki kisaran tingkat pendapatan yang diperoleh antara Rp 12.513.819,00tahun hingga lebih kecil dari
Rp 29.570.848,00tahun dan lapisangolongan ekonomi atas adalah rumahtangga yang memiliki pendapatan lebih besar atau sama dengan Rp 29.570.848,00tahun.
Lapisangolongan ekonomi di Kampung Ater dikatakan rendah apabila memiliki pendapatan dari Rp 16.852.479,00tahun. Lapisan golongan ekonomi menengah
jika pendapatan yang diperoleh antara Rp 16.852.479,00tahun hingga lebih kecil dari Rp 54.777.368,00tahun, sedangkan lapisangolongan ekonomi tinggi apabila
pendapatan yang diperoleh lebih besar atau sama dengan Rp 54.777.386,00tahun. Gambar 8 merupakan persentase pola nafkah ganda yang digambarkan
secara menyeluruh dan dengan membaginya ke dalam cluster atau pembagian kelas sosial. Jika melihat dari hasil olahan data penelitian, di Kampung Ater dan
Kampung Ciawian yang memiliki pola nafkah tunggal mayoritas berasal dari responden golongan ekonomi rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya modal
dan keahlian yang mereka miliki sehingga pola nafkah yang mereka lakukan hanya terbatas pada satu pekerjaan saja.
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 8. Persentase Pola Nafkah Ganda berdasarkan Golongan Ekonomi Rumahtangga di Kampung Ater dan Kampung Ciawian Tahun 2011
Keseluruhan masyarakat baik di Kampung Ater dan Kampung Ciawian yang berada dalam golongan ekonomi tinggi menerapkan pola nafkah ganda non-
pertanian, hal ini tentu saja wajar mengingat golongan ekonomi tinggi memiliki
37.50 50
100
42.86 52.38
100 62.50
50 57.14
47.62
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
golongan ekonomi
rendah golongan
ekonomi menengah
golongan ekonomi
tinggi golongan
ekonomi rendah
golongan ekonomi
menengah golongan
ekonomi tinggi
pola nafkah ganda pola nafkah tunggal
Kampung Ater Kampung Ciawian
akses baik sumberdaya alam dan manusia serta modal yang kuat. Semakin kayatinggi lapisan sosial masyarakat di kedua kampung maka semakin besar
peranan sektor non-pertanian terutama sektor industri batu bata dalam struktur nafkah rumahtangga. Pola nafkah rumahtangga ganda semakin dominan dengan
meningkatnya lapisan sosial. Bila non-pertanian adalah industri batu bata maka industri batu bata adalah sektor yang menjamin kelangsungan ekonominafkah
dan kemakmuran masyarakat di kedua lokasi. Adanya industri batu bata ini, menyebabkan perubahan pada pola nafkah di daerah Gorowong, yaitu mayoritas
pola nafkah yang diterapkan responden adalah pola nafkah di sektor industri batu bata.
5.1.5 Tindakan Adaptif Rumahtangga Saat Menghadapi Krisis
Setiap rumahtangga pasti pernah mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan suatu rumahtangga perlu melakukan tindakan-tindakan untuk
mengatasi krisis yang terjadi. Pada penelitian ini dilihat mengenai tindakan rasional yang dilakukan oleh rumahtangga ketika mengalami krisis ekonomi.
Tindakan rasional dilihat dari tindakan pengambilan tabungan yang dimiliki oleh rumahtangga tersebut, menggadaikan barang-barang berharga, menjual barang-
barang atau aset-aset rumahtangga, serta meminjam pada saudara, tetangga bahkan dengan bank atau rentenir, dengan tujuan agar dapat terlepas dari krisis
yang menerpa rumahtangga tersebut. Berikut Gambar 9 yang menerangkan persentase dari Kampung Ater dan Kampung Ciawian dalam melakukan tindakan
rasional ketika rumahtangga responden menghadapi krisis.
Keterangan: n Kampung Ater = 30 rumahtangga
n Kampung Ciawian = 30 rumahtangga
Gambar 9. Tindakan Rumahtangga Responden di Kampung Ater dan Kampung Ciawian Saat Menghadapi Krisis
Pada Gambar 9 di atas, terlihat mayoritas responden dari kedua kampung tersebut melakukan tindakan meminjam uang sebagai tindakan rasional utama
ketika terlilit krisis, sebesar 73,33 persen atau sebanyak 22 responden di Kampung Ater melakukan tindakan meminjam uang baik kepada saudara, orang
tua, tetangga bahkan ada beberapa yang meminjam dari bank. Begitu pula dengan responden di Kampung Ciawian, sebesar 80 persen responden atau sebanyak 24
responden melakukan peminjaman uang ketika terlilit krisis. Banyaknya responden yang menjawab meminjam uang kepada saudara, orangtua, ataupun
tetangga karena menurut para responden merupakan cara yang cepat serta paling nyaman, serta hal tersebut merupakan hal yang lumrah di lingkungan tempat
tinggal mereka. Mayoritas responden yang meminjam uang ketika mengalami krisis adalah responden yang berlatar belakang dari berbagai sektor pekerjaan baik
petani, bengkel, buruh batu bata, dan lain sebagainya, kebanyakan responden yang melakukan peminjaman uang adalah buruh batu bata disebabkan karena jumlah
penghasilan yang dapat disisihkan untuk menabung kecil, sehingga untuk mengatasi kebutuhan pada saat terjadi krisis adalah dengan meminjam uang pada
kerabatnya. Sementara itu, tindakan rasional kedua yang banyak dilakukan oleh responden di kedua kampung tersebut adalah menggadaikan barang-barang
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kampung Ater Kampung
Ciawian 6.67
10 10
20 10
3.33 73.33
80 20
6.67 lain-lain
Meminjam Uang Menjual aset-aset
rumahtangga Menggadaikan barang
berharga Mengambil Tabungan
berharga. Di Kampung Ater sebesar 10 persen atau sebanyak tiga responden menggadaikan barang-barang berharga yang mereka miliki, dan sebanyak 20
persen responden di Kampung Ciawian atau sebanyak enam responden juga melakukan hal yang sama yaitu menggadaikan barang-barang berharga yang
mereka miliki baik ke bank atau ke pegadaian. Responden yang meminjam uang ke bank adalah responden yang bekerja sebagai pengusaha batu bata, hal ini
disebabkan karena penghasilan dari industri batu bata cukup besar, dan mereka memiliki barang-barang investasi yang dapat digunakan sebagai jaminan ketika
mengalami krisis. Pada Gambar 9 di atas, terlihat bahwa persentase tindakan yang dilakukan pada saat krisis di Kampung Ciawian lebih besar dibandingkan dengan
Kampung Ater, artinya tingkat pendapatan yang rendah di Kampung Ciawian menyebabkan masyarakat di Kampung Ciawian rentan terhadap krisis ekonomi,
sementara di Kampung Ater walaupun persentase tindakan adaptif saat terjadi krisis tidak terlampau jauh dari Kampung Ciawian, namun hal ini menunjukkan
bahwa tingkat pendapatan di Kampung Ater sedikit lebih baik dibandingkan dengan Kampung Ciawian sehingga dengan pendapatan yang lebih tinggi tersebut
responden di Kampung Ater mampu bertahan agar tidak mengalami krisis ekonomi.
5.1.6 Alokasi Waktu Kerja Produktif dan Reproduktif Rumahtangga
Strategi nafkah yang juga dilakukan oleh rumahtangga responden adalah pengalokasian waktu kerja rumahtangga, termasuk di dalamnya alokasi waktu
kerja produktif dan reproduktif. Beberapa hasil kepustakaan menunjukkan bahwa pada umumnya alokasi waktu bekerja pria untuk kegiatan produksi cenderung
lebih tinggi dibandingkan untuk kegiatan reproduksi, sedangkan pada wanita cenderung sebaliknya atau minimal berimbang antara waktu untuk kegiatan
produksi dengan kegiatan reproduksi. Namun demikian wanita dan pria pada dasarnya sama-sama terlibat dalam kegiatan reproduksi dan produksi, tetapi
berbeda dalam hal intensitas curahan waktu kerja Mangkuprawira dalam Ariyanto 2004.
Tabel. 5. Jumlah JamHari
dan Persentase
Waktu Kerja
Produktif menurut Kategori Anggota Rumahtangga di Kampung Ater dan
Ciawian
Anggota rumahtangga
Rumahtangga Kampung Ater Rumahtangga Kampung Ciawian
Jamhari Jamhari
Suami 8,13
63,37 9,13
72,69 Istri
2,53 19,72
1,6 12,74
Anggota keluarga lain
2,17 16,91
1,83 14,57
Total 12, 83
100,00 12,56
100,00
Kontribusi alokasi waktu rata-rata yang dicurahkan untuk aktivtitas bekerja dari masing-masing anggota rumahtangga di Kampung Ater dan
Kampung Ciawian tidak begitu berbeda, yaitu sebesar 12,83 jamhari dan 12,56 jamhari merupakan total waktu kerja yang dicurahkan oleh rumahtangga di kedua
kampung, dan alokasi kerja produktif mayoritas yang memberi kontribusi tinggi adalah kontribusi jam kerja dari suami, sementara hanya sebesar 2,53 jamhari
atau sebesar 19,72 persen istri menyumbang kontribusinya pada kegiatan produktif. Hal ini menunjukkan bahwa pemegang dan kendali untuk kegiatan
mencari nafkah masih didominasi pada suami. Akibat berkembangnya industri batu bata di daerah Gorowong khususnya
Kampung Ater dan Ciawian, maka kontribusi pekerjaan dalam rumahtangga mengalami sedikit perubahan, seperti terlihat pada Tabel 5 di atas yaitu anggota
rumahtangga seperti istri dan anak juga ikut berperan dalam menyumbang perekonomian keluarga, mayoritas istri atau anak bekerja di bidang industri batu
bata, karena bekerja di industri batu bata terutama buruh batu bata cukup mudah, dan tidak memerlukan keahlian khusus.
Hasil penelitian yang dilakukan Fizzanty dalam Ariyanto 2004 menunjukkan bahwa pada setiap lapisan rumahtangga di desa contoh, pekerjaan
rumahtangga cenderung dialokasikan pada kaum istri. Hasil penelitian ini juga memberikan hasil serupa seperti penelitian yang dilakukan Fizzanty dan Ariyanto,
terlihat pada Tabel 6, rata-rata anggota responden yang paling besar memiliki waktu reproduktif adalah istri.
Tabel 6. Jumlah JamHari dan Persentase Waktu Reproduktif menurut Kategori Anggota Rumahtangga di Kampung Ater dan Ciawian
Anggota rumahtangga
Rumahtangga Kampung Ater Rumahtangga Kampung Ciawian
Waktu senggang
JamHari Waktu
reproduktif JamHari
Waktu senggang
JamHari Waktu
reproduktif JamHari
Suami 8,74
26,9 7,13
26,4 8,57
23,4 6,3
27,7 Istri
10,15 31,3
11,32 41,9
13,46 36,7
8,94 39,3
Anggota keluarga
lainnya 13,56
41,8 8,55
31,67 14,67
40 7,5
33 Total
32,45 100
27 100
36,7 100
22,74 100
Di Kampung Ater waktu reproduktif istri terbagi dalam waktu senggang dan waktu kerja domestik, dimana waktu senggang yang dimiliki oleh istri adalah
sebesar 10,51 jamhari, yang termasuk waktu senggang adalah waktu untuk tidur malam dan siang, berbincang-bincang dengan tetangga, dan menonton televisi,
sedangkan di Kampung Ciawian, waktu senggang yang dimiliki oleh istri adalah sebesar 13,46 jamhari. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa waktu
senggang yang dimiliki oleh para istri di Kampung Ciawian lebih banyak dibandingkan dengan waktu senggang yang dimiliki oleh para istri di Kampung
Ater. Alokasi waktu kerja reproduktif adalah curahan waktu kerja untuk mengurusi rumahtangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah,
mengurus anak, dan lain-lain. Alokasi waktu kerja reproduktif yang dimiliki oleh istri di Kampung Ater terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah waktu
kerja domestik yang dimiliki istri di Kampung Ciawian, yaitu sebesar 11,52 jamhari di Kampung Ater dan sebesar 8,94 jamhari di Kampung Ciawian. Jika
dijumlahkan maka jumlah alokasi waktu kerja yang dimiliki oleh para istri di Kampung Ater adalah sebesar 21,47 jamhari sedangkan di Kampung Ciawian
yaitu sebesar 22,4 jamhari, berdasarkan jumlah tersebut dapat terlihat bahwa beban kerja yang dimiliki oleh para istri di Kampung Ater lebih besar daripada
beban kerja yang dimiliki oleh para istri di Kampung Ciawian, karena selain mengurusi rumahtangga para istri juga harus bekerja untuk membantu
perekonomian rumahtangga.
5.2 Ikhtisar