Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960-an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian
di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu, sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan
pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada
saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Hal tersebut melahirkan koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet,
koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas yang ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah
dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama, yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota. Pada sub sektor
pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis sebagai alat untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk
mencapai swasembada beras Bukopin, 2005. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru yang mengaitkan
dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian
ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian, terutama pupuk, dengan membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program
pembangunan sektor pertanian. Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai
“restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu,
konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan
pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini, hampir di semua Koperasi Unit Desa KUD, yaitu unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga
kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur
pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa
pendukung pertanian jasa penggilingan dan pelayanan lainnya yang membatasi insentif berkoperasi.
Di subsektor perdagangan umum misalnya, 80 usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya
memiliki omset di bawah Rp. 5 jutatahun, sehingga usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar berskala gurem SMERU, 2000. Program yang
secara bersinggungan mencoba mengatasi masalah ini pada umumnya masih dikaitkan dengan program penanggulangan kemiskinan. Untuk tidak
mencampuradukan permasalahan, maka tawaran pendekatan yang dapat dimanfaatkan adalah melihat sisi kehidupan masyarakat ini dari dua sisi, yaitu
pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus diperlakukan sebagai usaha mikro,
sehingga tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas produktifnya; Kedua, sebagai rumah tangga konsumen setiap
pendapatanpengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis kemiskinan harus diperlakukan sebagai penduduk miskin yang harus
ditingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut DKP, 2006.
Untuk mendorong usaha mikro disadari bahwa modal bukan satu- satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang
secara mudah dapat dijangkau adalah sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang.
Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong
produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari
keberadaan lembaga keuangan yang hadir di tengah masyarakat. Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidakberdayaan inilah yang
menjadi alasan penting, mengapa LKM yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat sangat strategis. Oleh karena itu, perlu
dipahami secara baik berbagai aspek LKM dengan segmen-segmen pasar yang
masih sangat beragam, disamping hal-hal lainnya yang masing-masing terkotak-kotak.
Menurut Yusuf 1999, LKM di Indonesia telah membuktikan bahwa : a. Tumbuh dan berkembang di masyarakat, serta melayani UKM.
b. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya UKM. c. Mandiri dan mengakar di masyarakat.
d. Jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas. e. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau melayani anggota
dan masyarakat. f. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi
anggotannya tanpa agunan. g. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak
dapat dijangkau oleh kelompok miskin. h. Mengurangi berkembangnya pelepas uang informal money lenders.
i. Membantu menggerakan usaha produktif masyarakat. j. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat, sehingga setiap surplus yang
dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.
Keunggulan di atas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil, karena merupakan sumber pembiayaan yang
mudah diakses oleh UKM, terutama usaha mikro. Pelajaran Bank Rakyat Indonesia BRI-Unit sebagai LKM telah memberikan pelayanan sampai ke
pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak memerlukan subsidi. Disamping itu, secara empiris tingkat pengembalian baik, mutu pelayanan
lebih penting, mengenal dan pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan risiko dalam penyaluran.
LKM lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus bank Muamalat dan bank lain serta Bank Perkreditan Rakyat-Syariah BPR-S,
sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil BMT di bawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil PINBUK,
Baitul Tamwil BTM yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren.
Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi
pengembang.