Kecamatan Jumlah org
Nisbah RTP RTBP Total
1. Kapetakan 638
2.275 2.913
21.90 2. Cirebon Utara
818 3.694
4.512 18.13
3. Mundu 689
4.265 4.954
16.15 4. Astanajapura
5. Pangenan 302
1.446 1.748
20.89 6. Gebang
2.830 7.245
9.075 39.06
7. Losari 325
925 1.250
26.00 Total
4.602 19.850 24.452 18.82
Sumber : Laporan Tahunan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang, 2003, dalam LEPP- M3, 2006.
Keterangan: Nisbah = persentase RTP terhadap Total RTP = Rumah Tangga Perikanan
RTBP = Rumah Tangga Bukan Perikanan
Seluruh RTP itu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Indikasi itu ditunjukkan dengan jumlah perahu yang relatif sebanding dengan jumlah
RTP Tabel 6. Para nelayan menggunakan alat yang beragam. Tabel 6 menunjukkan jenis alat tangkap, produksi, dan frekuensi melaut setiap bulan.
Produksi tertinggi dicapai oleh nelayan dengan alat tangkap jaring insang hanyut, dogol dan rawai tetap. Pengumpul kerang juga berhasil mencapai
tingkat produksi cukup tinggi LEPP-M3, 2006.
Tabel 6. Jumlah perahu dan kapal motor Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 Kecamatan
Jumlah unit Motor
Tempel Kapal
Motor Jumlah
1. Kapetakan 677
26 703
2. Cirebon Utara 855
3 858
3. Mundu 695
2 697
4. Astanajapura 88
88 5. Pangenan
193 2
195 6. Gebang
1.853 8
1.863 7. Losari
325 325
Total 4.686 41
4.729
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006 Tabel 7. Produktivitas menurut jenis alat tangkap Kabupaten Cirebon pada tahun 2004
Jenis Alat Jumlah
unit Produksi ton
Frekuensi tripbln
1. Payang 401
2.178 11
2. Dogol 373
10.859 18
3. Pukat Rantai 4
219 13
4. Jaring Insang Hanyut 1.864
13.596 10
5. Jaring Lingkar 221
1.059 8
6. Jaring Insang Tetap 2.634
1.799 16
7. Trammel Net 2.204
1.430 15
8. Bagan Tancap 180
774 13
9. Rawai Tetap 185
5.250 14
10. Pengumpul Kerang 1.080
3.681 10
Total 9.100 40.850
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Potensi tambak di Kabupaten Cirebon cukup besar, yaitu mencapai 7.500 ha, yang baru dimanfaatkan 68,56 Tabel 8. Potensi yang masih
tersedia dalam jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan. Pengembangan tambak Udang, tambak Bandeng dan rumput laut tersebar di
Kecamatan Kapetakan, Gebang, Losari, Astanajapura, Pangenan, Cirebon
Utara dan Mundu. Untuk pengembangan tambak udang dan bandeng
tersedia lahan 500 Ha, tersebar di Kecamatan Kapetakan, Babakan, Losari, Astanajapura dan Cirebon utara. Bendung Karet di Kapetakan serta rencana
Bendung Karet di Bondet dan Losari akan menunjang pembudidayaan perikanan air tawar ini.
Tabel 8. Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon 2004
Kecamatan Potensi
ha Pemanfaatan
Ha 1.
Losari 2.500 1.382 55,28
2. Gebang 600 491
81,83 3.
Pangenan 1.834 1.074 58,56
4. Astanajapura 66
28 42,42
5. Mundu 100
71 71,00
6. Cirebon Utara 300
185 61,67
7. Kapetakan
2.100 1.911 91,00 Total
7.500 5.152 68,56
Sumber : DKP Kab. Cirebon, 2006
Di Kabupaten Cirebon terdapat 813 unit pengolahan ikan, yang tersebar di 9 kecamatan Tabel 8. Pengolah ikan itu pada umumnya
berskala rumah tangga. Selain itu, terdapat 7 perusahaan pengolah hasil perikanan skala industri, yang mengolah jenis produk berikut :
1. Paha kodok dan udang beku 1 perusahaan.
2. Udang beku 1 perusahaan. 3. Chitinchitosan 1 perusahaan.
4. Teri nasi 2 perusahaan. 5. Daging rajungan 2 perusahaan.
PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang. Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara Desa Mertasinga, Grogol,
dan Jatimerta dan Kecamatan Kapetakan Desa Karangreja. Jenis usaha yang dilayani adalah penangkapan ikan.
PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181 orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan Desa Pengarengan dan
Kecamatan Gebang Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir. Jenis usaha yang dilayani adalah :
1. Budidaya bandeng. 2. Pembuatan terasi.
3. Pengolahan ikan. 4. Galangan perahu.
5. Penangkapan ikan. 6. Penangkapan keong macan.
PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482 orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu Desa Mundu Pesisir,
Bandengan, Citemu, dan Waruduwur dan Kecamatan Losari Desa Tawangsari. Selain itu, dibangun juga 2 unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan
Gebang, masing-masing dengan kapasitas 8,000 liter. PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable
untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya berlokasi di Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah
pedagang, sedangkan nelayan hanya 2 debitur. LKM Swamitra Mina di Kabupaten Cirebon terletak di tengah-
tengah perkampungan nelayan di Kecamatan Gebang Ilir. LKM Swamitra Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh masyarakat pesisir yang
direpresentasikan oleh Koperasi. LKM Swamitra Mina dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga muda pesisir yang sebelumnya telah
memperoleh pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank Bukopin Cabang, Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga LKM
terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan masyarakat pesisir.
Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka nelayan dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha deviden
setiap tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra Mina dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat
suku bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya.
Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula
sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses masyarakat pesisir.
2. LKM Swamitra Mina
Tidak dapat disangkal lagi bahwa masyarakat pesisir merupakan segmen anak bangsa yang paling tertinggal tingkat kesejahteraannya
dibandingkan dengan anak bangsa lainnya yang bergelut di sektor non perikanan. Betapa tidak, nelayan kecil yang jumlahnya cukup banyak
mendiami wilayah pesisir mempunyai pendapatan hanya sekitar Rp 300.000,-bulankeluarga. Memang sungguh ironis, padahal wilayah pesisir
sangat kaya sumber daya kelautan dan perikanan serta jasa kelautan lainnya. Ditengarai bahwa kejadian ini terjadi karena lemahnya masyarakat pesisir
dalam mengakses permodalan. Keterbatasan akses permodalan ditandai dengan realisasi modal
melalui investasi pemerintah dan swasta selama periode Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama PJPT I yang hanya 0,02 dari
keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, terutama nelayan, kebutuhan permodalan dipenuhi oleh para tengkulak, toke, atau ponggawa,
yang kenyataannya tidak banyak menolong untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, malah cenderung menjeratnya dalam lilitan utang
yang tidak pernah bisa dilunasi.
Melihat kenyataan ini, Departemen Kelautan dan Perikanan menginisiasi program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP.
Program ini pun berhasil mengangkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sukses yang diraih itu belum memuaskan, karena ada
obsesi untuk menjadikan profesional dan mandiri para pengelola Koperasi LEPP-M3. Untuk itu Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama
dengan PT. BANK BUKOPIN mendirikan sebuah LKM Swamitra Mina. Hadirnya lembaga ini di masyarakat pesisir akan menjadi lokomotif
permodalan bagi masyarakat pesisir. Lembaga ini telah hadir di 139 kabupatenkota. Launching LKM Swamitra Mina telah dilaksanakan dan
diresmikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada tanggal 12 Desember 2004 di Cilincing, Jakarta Utara.
Cikal bakal pelaksanaan program Swamitra Mina bermula dari program PEMP. Pada tahun 2004 program PEMP mendapat kucuran dana
sebesar Rp 140 milyar untuk mengakomodir 160 kabupatenkota. Adapun pagu untuk Dana Ekonomi Produktif DEP yang digunakan sebagai
penguatan modal sebesar Rp 98.347.592,000 yang dikelola melalui LKM Swamitra Mina, BPR-Pesisir, dan USP. Adapun jumlah LKM Swamitra
Mina yang ada saat ini sebanyak 139 buah yang kesemuanya adalah Koperasi LEPP-M3Koperasi Perikanan yang telah berbadan hukum.
Dengan status berbadan hukum, maka telah memenuhi persyaratan perundang-undangan yang mensyaratkan bahwa untuk menyerap dana
masyarakat dan memberikan pinjaman kepada masyarakat hanyalah lembaga perbankan dan koperasi yang berbadan hukum. Tentu bukan itu
saja persyaratan yang harus dimiliki LKM Swamitra Mina. Selain berbadan hukum, juga harus mempunyai SDM yang profesional untuk mengelolanya,
sebab pelaksanaan transaksi di LKM ini dilakukan pula secara profesional, yaitu penggunaan perangkat Teknologi Informasi. Dengan demikian semua
transaksi yang terjadi di LKM Swamitra Mina sudah dapat dimonitoring secara real time dan on time.
Dipilihnya Bank Bukopin sebagai Bank Pelaksana didasarkan bahwa hanya Bank Bukopin yang memiliki program Swamitra dan telah banyak
sukses di daerah pedesaan seluruh Indonesia. Yang lebih penting bahwa Bank Bukopin punya komitmen untuk berperan sebagai executor dan
menyalurkan 100 dana ekonomi produktif yang dimiliki Koperasi LEPP- M3. Selain itu bank ini juga berkomitmen untuk mengadakan pelatihan dan
pendampingan bagi pengelola LKM Swamitra Mina. Dengan kerja keras yang dilakukan Departemen Kelautan dan
Perikanan, kini telah berdiri 139 LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir. Dari 139 ini sampai pertengahan Februari 2005 tercatat 60 LKM Swamitra
Mina telah melakukan transaksi pinjaman kepada masyarakat, dan diharapkan pada akhir Maret semua LKM ini telah melakukan transaksi
kepada masyarakat pesisir. Adapun bunga pinjaman yang diterapkan di lembaga ini bervariasi antara 12 – 24 secara efektif per tahun. Bunga
pinjaman ini dirasakan masyarakat pesisir cukup kompetitif. Begitu pula variasi bunga pinjaman ini sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi, dan
kesepakatan masyarakat pesisir setempat. Memang disadari bahwa dalam mengelola Swamitra Mina yang
lokasinya berada jauh di wilayah pesisir, diperlukan dua tipe pengelolaannya yaitu online dan offline. Apabila di lokasi tersedia jaringan telepon yang
secara mutu dapat dilalui dengan data, maka LKM Swamitra Mina bersifat online
. Begitu pula apabila daerah tersebut tidak mampu mendapatkan jaringan yang layak untuk data, maka dikelola secara offline. Walaupun
statusnya offline tetap disediakan sarana komunikasi. Artinya pencatatan secara komputerisasi tetap dilakukan, hanya data tersebut pada waktu
tertentu di upload atau dikirim rata-rata 1 - 2 minggu sekali, kemudian digabungkan dengan data yang online dan disatukan kemudian dikirim ke
Jakarta. LKM Swamitra Mina merupakan salah satu unit usaha milik koperasi
yang bergerak di bidang pelayanan permodalan bagi masyarakat pesisir, terutama untuk segmen usaha mikro. Unit usaha ini bermitra dengan Bank
Bukopin dengan orientasi pelayanan permodalan berbasiskan sistem teknologi perbankan yang online. Dengan teknologi ini diharapkan kegiatan
usaha keuangan dapat berjalan secara profesional, transparan, dapat dipantau setiap saat, baik di tingkat pusat maupun daerah Bukopin, 2005.
Pengembangan kelembagaan LKM ini sesuai dengan tahapan PEMP, yaitu :
a. Tahap Inisiasi pada tahun 2001 – 2003, b. Tahap Institusionalisasi pada tahun 2004 – 2006,
c. Tahap Diversifikasi pada tahun 2007 – 2009. Tahap institusionalisasi yang dimulai pada tahun 2004-2006 telah
terbentuk LKM, antara lain 141 unit Swamitra Mina 41 unit di antaranya beroperasi dengan sistem online, 9 unit Unit Simpan-Pinjam USP dan 20
unit BPR pesisir. Pada tahun 2005 sebanyak 80 unit LKM dikembangkan melalui diversifikasi usaha. Usaha-usaha yang dikembangkan adalah
pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan SPDN dan Kedai Pesisir yang tersebar di beberapa daerah. Tujuannya adalah agar Koperasi
LEPP-M3Koperasi Perikanan dapat mengarah kepada cita-cita untuk menjadi holding company DKP, 2006.
Tahap institusionalisasi ditandai dengan perluasan lokasi sasaran Program PEMP melalui pembentukan LKM di 20 KabupatenKota yang
baru. Pada saat ini, kegiatan LKM dikerjasamakan dengan berbagai lembaga perbankan dan non perbankan, seperti Bank Bukopin, Bank BRI, Bank
Pembangunan Daerah Maluku dan Papua, dan PT Permodalan Nasional Madani PNM. Sesuai dengan tujuannya, maka untuk daerah khusus seperti
Nangro Aceh Darussalam NAD direncanakan pula menciptakan micro finance
dan bekerjasama dengan lembaga perbankan berbasis syariah PT Bank Mandiri Syariah. Adapun pembangunan SPDN bekerjasama dengan
PT Pertamina dan PT Elnusa Petrofin dan untuk Kedai Pesisir bekerja sama dengan Distributor Ritel DKP, 2006.
Swamitra Mina merupakan unit simpan-pinjam milik seluruh masyarakat pesisir yang direpresentasikan oleh Koperasi LEPP-
M3Koperasi Perikanan lainnya. Swamitra Mina dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga muda pesisir yang sebelumnya telah memperoleh
pelatihan dari Bank Bukopin. Dengan pendampingan Bank Bukopin Cabang, Swamitra Mina diharapkan akan menjadi lembaga keuangan mikro
terkemuka di daerah pesisir, yang mudah diakses oleh para nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.
Sebagai konsekuensi dari kepemilikan Swamitra Mina, maka nelayan dan masyarakat pesisir akan mendapatkan sisa hasil usaha deviden setiap
tahun dari keuntungan Swamitra Mina. Selain itu, melalui Swamitra Mina dana masyarakat dapat dimobilisasi melalui tabungan dengan tingkat suku
bunga yang kompetitif serta dana dari sumber lain, untuk akhirnya disalurkan kembali ke masyarakat pesisir dari lembaga keuangan lainnya.
Swamitra Mina merupakan proses pembelajaran bagi nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengakses dana dari pihak perbankan, begitu pula
sebaliknya proses pembelajaran bagi perbankan dalam mengakses masyarakat pesisir.
Agar masyarakat pesisir dapat mengakses dengan mudah LKM Swamitra Mina serta mengelola secara efesien modal yang telah
diperolehnya, maka disediakan tenaga pendamping desa TPD masing- masing dua orang tiap kabupatenkota. TPD tersebut terdiri atas sarjana-
sarjana baru yang sebelumnya dilatih secara nasional. Selain itu, juga disediakan Konsultan Manajemen Perguruan Tinggi, LSM, atau lembaga
konsultan profesional untuk membantu mengembangkan dan meningkatkan kinerja kelembagaan dan pemasaran.
Hadirnya LKM Swamitra Mina di wilayah pesisir, maka secara bertahap peran tengkulak dan rentenir akan berkurang sehingga LKM dapat
memobilisasi dana masyarakat dengan adanya suku bunga tabungan yang menarik. Dengan lancarnya pengelolaan LKM Swamitra Mina maka
perlahan tapi pasti bantuan modal yang disalurkan di masyarakat pesisir bukan lagi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN,
tapi dari LKM Swamitra Mina itu sendiri. Sehingga LKM Swamitra Mina semakin dilirik oleh lembaga keuangan lainnya untuk bermitra mengakses
permodalan. Dengan demikian LKM Swamitra Mina sebagai lokomotip dapat menggandeng lembaga keuangan lainnya dalam kiprahnya
membangun usaha sektor perikanan dan kelautan Direktorat PEMP – Ditjen P3K, 2005.
B. Deskripsi Hasil Studi 1. Analisis kelembagaan non LKM dan LKM.
Peran pelaksana lembaga ini akan sangat menentukan kondisi lembaga keuangan. Berbagai permasalahan muncul ketika kegiatan usaha
dilaksanakan seperti kredit macet, kinerja pengguna jasa yang rendah dan kurangnya pengawasan dari lembaga itu sendiri. Kondisi yang spesifik di
masyarakat pesisir membutuhkan pemahaman khusus dari pihak lembaga keuangan. Beberapa hal yang sangat berpengaruh dalam masyarakat nelayan
dan pesisir. Hal ini perlu diperhatikan untuk pengembangan aquabisnis masyarakat nelayan. Keunikan tersebut meliputi 1 kehidupan masyarakat
nelayan dan petani ikan sangat tergantung pada ekosistem dan lingkungan yang sangat rentan pada kerusakan seperti pencemaran dan degradasi kualitas
lingkungan, 2 sangat tergantung pada musim, dan 3 sangat tergantung pasar. Kondisi ini menimbulkan risiko yang cukup besar pada
kesinambungan permodalan usaha. Akibatnya akan menjadi sangat susah bagi nelayan untuk mengakses berbagai permodalan yang ada. Bagi lembaga
keuangan memberikan akses permodalan akan memiliki risiko dalam akumulasi modal usaha serta pengembangan lembaga tersebut. Dampak pada
lembaga ini akan dapat mempengaruhi kinerja lembaga keuangan yang ada. LKM dan Non LKM terbentuk melalui program PEMP .Dalam
pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif, yaitu perbaikan
manajemen, perbaikan teknologi, dan perbaikan akses masyarakat pada modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai
bentuk perbaikan tiga komponen di atas. Dalam prakteknya, kebijakan permodalan masyarakat pesisir telah berkembang menjadi jiwa program
PEMP. Pemberian modal ‘secara komersial’ telah menjadi penciri program PEMP.
PEMP yang dilaksanakan sejak tahun 2001 hingga saat ini masih terus mencari bentuk ideal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
pesisir. Setidaknya terdapat 2 dua unsur penting dalam memperkuat peran PEMP sebagai akselerator peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir,
yaitu penguatan peran kelembagaan institutional strengthening pengelola program, dan peningkatan kapasitas capacity building lembaga ekonomi
mikro. Namun demikian, kedua unsur ini tidak dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan jika tidak didukung oleh unsur lainnya, seperti
Kelompok Masyarakat Pemanfaat KMP, keterlibatan stakeholders dan kemitraan yang dibangun oleh program dengan instansi terkait lainnya.
Adapun tabel hasil analisis kelembagaan dengan metode Focus Group Discusion
FGD berikut :
a. Kelembagaan non LKM dan LKM Koperasi LEPP-M3
Hasil analisis kelembagaan antara LKM Swamitra Mina dan non LKM menunjukkan bahwa dari segi pemahaman terhadap tugas pokok
dan fungsi tupoksi masing-masing jabatan, kedua lembaga tersebut masing-masing mampu memahaminya dengan baik. Namun, dari segi
pelaksanaan tupoksi, terlihat bahwa manajerial LKM dikelola secara lebih profesional dibandingkan dengan non LKM dan untuk nasabah
LKM memiliki hak untuk mengajukan kredit secara perorangan. LKM Swamitra Mina sudah berbadan hukum sejak awal tahun
2004 sedangkan non-LKM baru berbadan hukum pada tahun 2005. Kedua lembaga keuangan tersebut memiliki mekanisme pembentukan
dan pemilihan pengurus dengan nilai baik skor 3, karena keduanya berjalan secara transparan dan melibatkan tokoh masyarakat, sehingga
dinilai ada keterlibatan langsung dari masyarakat. Dari hal tersebut diperkirakan menampung aspirasi masyarakat, yang ditunjukkan oleh
masuknya tokoh-tokoh masyarakat dalam kepengurusan kedua lembaga tersebut. Namun, hal yang menjadi pembeda adalah pada LKM