Jalan keluar dari Dhalâl

B. Jalan keluar dari Dhalâl

B.l. Pengendalian Diri atau Mengekang Hawa Nafsu

Dhalâl dalam pengertian yang umum sebagaimana terurai dalam Bab II

90 Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme, h. 42-43 90 Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme, h. 42-43

yang beriman apalagi yang mengingkari ayat-ayat Allah. Kondisi bingung dapat bersifat sementara misalnya orang yang lagi dapat banyak pekerjaan sehingga mengalami stress atau menjadi tabiat dari sesorang yang selalu memutuskan segala sesuatu dengan gegabah secara emosional. Orang-orang tersebut secara psikologis dikategorikan sebagai orang yang temperamental atau labil.

Menurut Izutsu, orang-orang Arab dikategorikan jahiliah karena memiliki

sifat umum seperti kebanggaan akan kekuatan manusia, percaya diri yang melampaui batas, merasa dirinya kaya, menolak untuk tunduk pada penguasa yang

lebih tinggi, rasa bangga yang berlebihan terhadap kemuliaan dirinya dan lainnya. 91 Dalam al-Qur̀an sifat tersebut dicontohkan sebagai salah satu dari sifat orang kafir

dalam surat al-Fath ayat 26:

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mùmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Fath, 48: 26)

Orang-orang yang memiliki kepribadian negatif sebagaimana di atas tidak

91 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan, h. 241 91 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan, h. 241

Kesenangan duniawi yang mereka miliki hanyalah sumber penderitaan dan kesengsaraan karena harta tersebut telah memperbudaknya. Mereka harus menimbun, mengembangkan dan membela hartanya itu dari segala ancaman. 92

Untuk itulah al-Qur̀an sebagai petunjuk manusia tidak melarang menuruti hawa nafsu dengan memiliki kesenangan duniawi, tetapi hawa nafsu tersebut harus dikendalikan sehingga manusia tidak terjebak pada persaingan memperebutkan

kekayaan dan kebangaan duniawi semata dalam perjalanan hidup ini. Sebagaimana peringatan surat al-Taubah ayat 85:

Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir. (al-Taubah, 9: 85)

Dalam Teori Freud tentang jiwa, id yang merupakan dorongan hawa nafsu atau al-nafs al-lauwwâmah senantiasa bertentangan dengan superego yang merupakan tempat nilai-nilai luhur yaitu al-nafs al-muthmainnah. Prinsip kesenangan yang menjadi pendorong dari id, menurut Freud berakar pada dan merupakan ekspresi dari kekuatan pendorong dalam jiwa manusia yang disebut libido . Konsep yang lebih luas dari libido disebut eros yaitu kecenderungan memburu kesenangan dan menjauhi kesakitan. Konsep ini lebih tepat disejajarkan

92 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr, h. 192 92 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr, h. 192

seksual maupun aspek kesenangan hidup lainnya. Eros tersebut perlu dikendalikan dengan proses pertimbangan dan seleksi, kalau perlu melalui represi. Bahkan al-Qur̀an menganjurkan untuk mengendalikan dorongan kesenangan dengan konfrontasi. 93

Diri atau jiwa yang terkendali akan terekspresi dalam ketenangan yaitu al-nafs al-Muthmainnah . Jiwa tersebut mengarah pada al-Nafs al-kâmilah yang

mengarah pada kesempurnaan dan al-nafs al-mardhiyyah yang cenderung untuk mejalankan petunjuk yang baik guna memilih ridha Allah. Jiwa ini akan memilih keutamaan dalam bertindak dan menjauhi perasaan-perasaan dengki, rakus, iri dan semacamnya. Sebagimana pemyataan Allah bahwa jiwa yang tenang tersebut telah diridhai-Nya dan Allah dengan terbuka menerima serta mempersilahkan mereka untuk masuk dalam kumpulan hamba-hamba Allah yang shalih:

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamàah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (al-Fajr, 89: 27-30)

Menurut penelitian Toni Victor M. Wanggai bahwa jiwa yang tenang ditandai dengan pribadi yang memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan kepada kebenaran, memiliki rasa aman, teguh pendirian (istiqâmah), terbebas dari rasa

93 M. Dawam Raharjo, Eksikloped;, h. 270-271 93 M. Dawam Raharjo, Eksikloped;, h. 270-271

B.2. Bertaubat dan Mengikuti Petunjuk Allah dengan Penuh Keyakinan

Setelah seseorang dapat mengendalikan dirinya dan mengetahui akan kekeliruan dan kesesatannya maka ia akan bertaubat dan kembali ke jalan yang benar yaitu dengan mengikuti jalan Allah. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Adam as. begitu mereka berdua bersama istrinya menyadari telah melanggar perintah Allah maka langsung bertaubat.

Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?". Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang- orang yang merugi". (al-Àrâf, 7:22-23)

Setelah Adam dan istrinya menyesali perbuatannya dan memohon ampun maka Allah mengampuni mereka berdua dan meminta agar mengikuti

Toni Victor M. Wanggai, "Konsep Dzikir Dalam Al-Qur an ", Tesis (Jakarta: Perpustakaan PPS UIN Syarif HidayatuUah, 2002) h. 101-102, t.d .

petunjuk-Nya sehingga tidak ada ketakutan dan kesedihan.

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi

Maha Penyayang. Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (al-Baqarah, 2:37-38).

Dari peristiwa Adam tersebut di atas menurut Mutawalli Syàrawi ada tiga tahap proses pengampunan. Pertama, Allah membuka pintu taubat bagi hamba-Nya. Kedua, Ketika mereka bertaubat, Allah akan menerima Taubat

mereka, dan ketiga, mereka tidak akan mengulangi perbuatan maksiatnya. 95 Setelah seseorang bertaubat dan taubatnya diterima oleh Allah maka kemudian dia

harus memiliki i’tikad untuk tidak akan mengulangi perbuatannya yang sesat. Dengan demikian sebagaimana Adam, orang tersebut akan mengikuti petunjuk Allah. Bagi orang yang bertaubat dengan jalan seperti itulah Allah berjanji akan memberi petunjuk.

95 Muhammad Mutawalli Syà rawi, Bagaimana Setan Menggoda Manus;a (Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1992) h 60-61

Katakanlah: "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada Nya", (al-Ràd, 13:27)

Dengan tidak akan mengulangi perbuatannya yang sesat dan akan mematuhi perintah Allah akan lahir profil manusia sebagaimana digambarkan dalam al-Qur̀an surat al-Taubah ayat 112:

Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang rukù, yang sujud, yang menyuruh berbuat màruf dan meneegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mùmin itu. (al- Taubah, 9:112).

Dengan demikian kesungguhan yang sejati untuk bertaubat termanivestasikan dalam keyakinan yang kuat yang dapat menggerakkan manusia kepada perbuatan-perbuatan baik. Jika orang yang bertaubat, kembali ke jalan Allah, dan berikeyakinan tidak memiliki perbuatan yang baik, maka keyakinan tersebut tidaklah sungguh-sungguh. Sifat fundamental dari rasa berdosa dan kekhusy'uan terhadap Tuhan, kepasrahan yang sepenuhnya terhadap kehendak Tuhan, rasa syukur yang diungkapkan dengan tulus terhadap rahmat yang diterima nya dari Tuhan merupakan wujud dari keimanan Islam yang paling tinggi yang

terwujud dalam perbuatan baik (shâlihat). 96 Orang-orang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh dengan tidak akan

96 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama, h. 301 96 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama, h. 301

dengan penuh keyakinan sehingga terwujud perilaku yang baik maka Allah telah memberi jaminan bahwa orang tersebut tidak akan tersesat dan mengalami kehancuran di dunia dan akhirat,

lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (Thâhâ, 20:123)

Janji Allah tersebut tentu bukanlah hal yang retoris belaka, hal tersebut karena seorang yang bertaubat, mengikuti petunjuk Allah, memiliki keyakinan yang kuat dan memiliki perilaku dan perbuatan yang baik adalah manusia yang seeara mental memiliki kebahagiaan dan keharmonisan. Menurut Zakiah Daradjat, pakar Ilmu Jiwa, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang tidak akan eukup mengantarkannya kepada kebahagiaan. Hal tersebut karena apabila pengalaman dan pendidikan yang dilalui dimasa kecil kurang membawa ketentraman, maka perasaan orang itu akan goncang dan kemampuan berpikirpun akan terganggu. Di sinilah fungsinya iman, seorang yang keimanannya telah menguasainya, walau apapun yang terjadi tidak akan mengganggu atau mempengaruhinya. Ia yakin bahwa keimanan itu akan membawanya kepada

ketentraman dan kelegaan batin. 97

97 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: PT. Taka Gunung Agung, 1982) h. 13-14