Makna dan Pengertian Dhalâl dalam al-Qur`an

B.2. Syirk

Konsep dhalâl juga meliputi pengertian syirk yaitu mempersekutukan Allah dengan selain-Nya. Penegasan ini termuat dalam al-Qur`an surat al-Nisâ` ayat 116.

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh- jauhnya. (al-Nisâ`: 116)

Konsep Syirk merupakan bagian dari kufr dari sisi penentangannya terhadap Allah dan Rasulnya. Pada zaman nabi Muhammad SAW masyarakat

Menurut riwayat dari Ibn Jarîr dari Al-Dhahhâk bahwa orang-orang musyrik berkata, “Para malaikat adalah anak perempuan Allah, sesungguhnya kami menyembah mereka agar mereka mendekatkan kami kepada Allah secara lebih intim”. Al-Dhahhâk berkata, “Maka mereka menjadikan para malaikat sebagai tuhan, membuatkan patung-patungnya dalam sosok wanita, kemudian mereka

berhakim dan menaatinya”. 28

Dalam catatan sejarah, berhala-berhala yang dibikin oleh masyarakat Arab tersebut dianggap sebagai dewa-dewa kecil yang disebut anak perempuan Tuhan, ibu-bapak Tuhan dan sahabat-sabat Tuhan. Tiga diantaranya yang paling terkenal di Makkah adalah Latta, Uzzah, dan Manat. 29

Penuturan keadaan masyarakat Makkah yang Politeis tersebut terdapat dalam surat al-Najm ayat 18-23.

28 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân, Juz I, h. 726-727 29 Faruq Sherif, al-Qur`an Menurut al-Qur`an, Penerjemah: MH Assagaf dan Nur Hidayah

(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001) h. 171

Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?. Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada- adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan- sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (al-Najm: 20-23)

Menyembah berhala dan semua benda-benda selain Allah jelas dinilai sebagai kesesatan karena berhala-hala itu adalah benda mati yang tidak bisa memberi manfaat apa-apa kepada manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Haj ayat 12.

Ia menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat kepadanya. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (al-Haj:12)

Orang beriman yang menyembah satu Tuhan Allah dinilai sebagai pejalan di jalan yang lurus bukan yang sesat digambarkan sebagai manusia yang berfikir logis dan sehat. Orang beriman tidak akan menyembah selain Allah karena Allah adalah Tuhan yang sesungguhnya yang akan sanggup melindunginya dari segala bahaya, sedangkan berhala-berhala yang diciptakan dan disembah oleh orang- orang musyrik jelas tidak akan memberikan manfaat apa-apa, apalagi

Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?. Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata. (Thâhâ:23-24)

Katakanlah: "Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah: "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk".(al-An’âm: 57)

Menurut sebuah penelitian, orang-orang musyrik lebih menunjuk kepada orang-orang Arab di zaman Rasulullah SAW. Ciri-ciri mereka berpaham politeisme, paganisme dan tidak memiliki kitab suci atau pun pseudo kitab suci. Jadi mereka yang memiliki kitab suci atau pseudo kitab suci, meskipun tampak berpaham wathaniyyât tidak dapat dianalogikan dengan al-Musyrikûn. Untuk itu

pengikut Majusi dan Sabi`un tetap tergolong sebagi ahl-kitab. 30

30 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr, h. 168

B.3. Nifâq

Dalam beberapa ayat yang memuat kata dhalâl dapat ditemukan bahwa

konsep dhalâl tidak hanya ditujukan untuk golongan manusia yang secara penuh menentang jalan Allah. Sebagaimana diterangkan dalam surat al-Mumtahanah ayat 1 berikut ini dhalâl juga ditujukan kepada orang-orang beriman karena melakukan perbuatan yang merugikan agama Allah. Diantara segolongan umat Islam karena kecintaannya pada dunia yang berlebih masih tidak luput dari perbuatan yang mengikuti hawa nafsunya sampai mau bekerjasama dengan lawan

(kaum kuffar), sehingga tidak peduli bila perbuatan mereka itu akan berakibat buruk buat kelangsungan dakwah Islam. Orang-orang beriman inilah yang disebut sebagai orang munafiq.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk

Menurut riwayat ayat tersebut turun berkenaan dengan perbuatan Hathib bin Abi Balta`ah. Ia adalah seorang muhajirin yang juga pernah ikut dalam perang badar. Ketika Nabi membuat keputusan untuk menyerang Makkah (fath Makkah) Hathib bin Abi Balta`ah hendak membocorkan rencana Nabi tersebut kepada kaum Kafir Makkah. Balta’ah merasa tidak sebagaimana sahabat muhajirin lain yang punya kerabat di Makkah yang bisa melindungi harta bendanya, sehingga ia bermaksud membuat jasa baik kepada orang-orang kafir Makkah agar mereka

melindungi harta dan keluarganya. 31

Ayat tersebut turun untuk melarang orang-orang beriman bersahabat, bekerjasama dengan orang-orang musyrik dan kafir atau bahkan mengangkat mereka sebagai pemimpinnya. Larangan ini karena orang-orang beriman yang bekerjasama dengan orang-orang kafir atau bahkan mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpinnya maka orang-orang beriman tersebut telah dikatagorikan sebagai masuk golongan orang kafir. Maka tindakan orang beriman tersebut dinilai sebagai tindakan yang sesat sebagaimana sesatnya orang-orang kafir dan

musyrik. 32

31 Abî al-Hasan ‘Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naysâbûrî, Asbâb al-Nuzûl (ttp: Maktabah wa Mathba’ah al-Manâr, tth)h. 239-240

32 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân, Juz IV, h. 443

Dalam analisis Faruq Sherif, al-Qur`an lebih banyak menyebutkan kemunafikan dalam konteks peristiwa sejarah atau orang-orang tertentu. Orang-

orang munafiq dicirikan dalam sejarah sebagai orang yang memiliki iman yang palsu. Pada peristiwa ketika Nabi memerangi musuh-musuhnya, orang-orang munafiq meskipun secara lahiriah mengaku beriman, tetapi menunjukkan tingkah laku permusuhan. Mereka bekerjasama (kooperatif) dengan orang-orang kafir

bahkan menentang rencana-rencana Nabi. 33

B.4. Kebingungan Para Calon Nabi

Dhalâl dalam al-Qur`an juga digunakan untuk menunjukkan masa lalu para nabi dan rasul Allah sebelum turunnya wahyu sebagai hidayah atau petunjuk. Dalam konteks ini lafazh dhalâl sangat jelas dipertentangkan dengan hudâ. Tergambar dalam ayat-ayat berikut ini bahwa para nabi itu dulunya juga mengalami kebingungan bahkan kekeliruan tetapi kemudian diberi petunjuk (hudâ) oleh Allah.

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (al-Dhuhâ: 7)

Dalam tafsir ibn Katsîr diterangkan bahwa sebagian mufassir menjelaskan maksud ayat tersebut adalah keterangan bahwa Muhammad SAW. pada masa

33 Faruq Sherif, al-Qur`an, h. 176

Pada surat al-Syu’arâ` juga diterangkan tentang Musa as. yang mengatakan bahwa beliau dulunya juga dalam kesesatan.

Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. (al-Syu’arâ`: 20)

Dikotomi sesat dan mendapat petunjuk dalam masa lalu para nabi juga tergambar dalam surat al-An`âm ayat 77. Dalam ayat tersebut diceritakan bahwa dalam perjalananya mencari Tuhan yang tidak kunjung memuaskan, Ibrahim berujar bahwa apabila tidak mendapat petunjuk dari Tuhan maka pastilah Ibrahim akan berada dalam kesesatan.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang- orang yang sesat". (al-An’âm: 77)

34 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân, Juz IV, h.676

Dalam kisah nabi Ya`qub yang mencintai anaknya Yusuf secara berlebihan di atas saudaranya yang lain dinilai oleh keluarga Ya`qub sebagai sesat

(dhalâl) karena telah menimbulkan sikap yang membeda-bendakan kepada anak- anaknya.

Keluarganya berkata: "Demi Allah, sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu". (Yûsuf: 95)

Menurut Ibn ‘Abbas bahwa yang dimaksud dhalâlika al-qadîm adalah bahwa Ya`qub berada dalam kesalahannya yang dahulu. 35