KONSEP DHAL ÂL DALAM AL-QUR’AN (Suatu Kajian Tafsir Tematik) Tesis Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam IImu Agama Islam

KONSEP DHALÂL DALAM AL-QUR’AN (Suatu Kajian Tafsir Tematik)

Tesis Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam IImu Agama Islam

Oleh:

Ratno Ghani. S.Ag.

NIM.99.2.00.1.05.01.0121

Pembimbing:

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dr. A. Wahib Mu ’thi, MA.

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS PROGRAM PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2005

PENGESAHAN

Tesis dengan judul: “KONSEP DHALÂL DALAM AL-QUR’AN (Suatu Kajian Tafsir Tematik)“ yang disusun oleh Ratno Ghani, S.Ag. NIM. 99.2.00.1.05.01.0121, telah diujikan pada tanggal 25 Juli 2005 dan telah

dilakukan perbaikan sebagaimana saran dan masukan yang disampaikan oleh tim penguji.

Jakarta, 9 November 2005

Tim Penguji

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dr. A. Wahib Mu ’thi, MA.

Penguji III Penguji IV

Prof. Dr. Rif ’at Syauqi Nawawi, MA. Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan

PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS PROGRAM PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2005

PERSEMBAHAN

Karya Tesis ini dipersembahkan

Kepada:

Kedua Orang Tercinta KH. M. Miswandi

Hj. Siti Muthmainnah

Istri Tersayang Siti Nurhamidah

KATA PENGANTAR

Syukur al-hamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, penulis berhasil menyelesaikan studi S-2 sampai pada penulisan Tesis untuk memperoleh gelar Magister dalam IImu Agama Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa selama penulisan karya ini, tak terhitung bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak, baik perorangan maupun lembaga. Oleh karena itu, menjadi kewajiban penulis untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka semua tanpa

terkecuali. Ucapan terima kasih ini pertama-tama penulis sampaikan kepada Bapak Direktur, segenap Asisten Direktur dan Dosen Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliaulah yang paling banyak memberikan dorongan, motivasi, arahan dan tentunya bekal ilmu kepada penulis selama penulis mengikuti program studi S-2.

Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. dan Dr. A. Wahib Mu’ti, MA. adalah dua orang dosen penulis yang sekaligus bertindak sebagai pembimbing dalam menyusun tesis ini. Bimbingan dan arahan-arahan yang tulus dari kedua beliau tersebut sangat menolong penulis menyelesaikan karya ini. Kepada keduanya, penulis menghaturkan banyak terima kasih.

Kepada kedua orang tua penulis, yang telah melahirkan, memelihara dan .mendidik penulis dengan penuh kasih sayang, kepada keduanya penulis persembahkan karya kecil ini sebagai salah satu wujud baktinya kepada beliau berdua. Tak lupa penulis senantiasa memanjatkan do'a semoga Tuhan merahmati, mengasihi, dan mengampuni dosa-dosa keduanya, dan menentramkan kehidupan keduanya di dunia dan diakhirat.

Kepada semua pihak yang namanya tidak sempat disebut satu-demi satu, yang turut memberi andil bagi terselesaikannya penulisan karya ini, penulispun tidak lupa mengucapkan terimakasih.

Penulis sangat menyadari bahwa karya ini hanyalah langkah awal dari upaya tanpa akhir untuk mengembangkan diri dan memberi dedikasi dalam Penulis sangat menyadari bahwa karya ini hanyalah langkah awal dari upaya tanpa akhir untuk mengembangkan diri dan memberi dedikasi dalam

Akhirnya kepada Allah jualah, penulis mempersembahkan puja-puji dan syukur tak terhingga karena atas rahmat dan taufiq-Nyalah, penulisan karya ini dapat terselesaikan dengan baik.

ABSTRAK TESIS KONSEP DHALÂL DALAM AL-QUR’AN (Suatu Kajian Tafsir Tematik)

Oleh:

Ratno Ghani, S.Ag.

Kajian tafsir al-Qur’an telah banyak dilakukan oleh para penafsir terdahulu, namun bukan berarti kajian terhadap al-Qur’an sudah tidak diperlukan lagi, akan tetapi justru perlu diperbanyak lagi kajian yang lebih mendalam dan komprehensif terhadap tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an, sehingga pada akhirnya al-Qur’an dapat lebih mudah dipahami secara utuh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu topik yang banyak diungkap di dalam al-Qur’an, dan menurut hemat penulis sangat penting adalah tentang dhalâl ( ل ﻼﻀ ). Seorang mukmin

yang aktif dan rutin menjalankan shalat fardhu yang lima waktu, setidaknya berdo’a memohon kepada Allah SWT. agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah Allah anugerahi nikmat; bukan (jalan) orang- orang yang dimurkai Allah dan bukan (pula) jalan orang-orang yang sesat sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam

Dari segi bahasa (etimologi) lafazh ( ل ﻼﻀ ) merupakan lawan lafazh

al-hudâ ( ﻯ ﺩﻬﻟﺍ ) atau al-rasyâd ( ﺩﺸ ﺭﻟﺍ ), dikatakan: لﻼﻀﻠﻟ ﻪﺘﻬﺠﻭﺍﺫﺍ ﺎﻨﻼﻓ ﺕﻠﻠﻀﺍ

ﻕ ﻴ ﺭﻁﻟﺍ ﻥﻋ : aku telah menyesatkan Fulan, yaitu apabila aku telah mengarahkannya sesat dari jalan yang sebenarnya; Abu Manshur berkata: pada dasarnya pada percakapan orang Arab pemaknaan lafazh dhalâl dalam bentuk lain juga

berkembang seperti: ﻪﺘﺒﻴﻏ ﺍﺫﺍ ﻲ ﺸﻟﺍ ﺕﻠﻠﻀﺃ dan ﻪﺘﻓﺩ , ﺕﻴﻤﻟﺍ ﺕﻠﻠﻀﺃ : aku telah menyesatkan sesuatu, yaitu apabila aku telah menghilangkannya, dan aku telah

menyesatkan mayat, yaitu apabila telah menguburkannya. Sedang menurnt istilah (terminology) dhalâl berarti keluar/ menyimpang dari jalan yang lurus, baik penyimpangan itu disengaja ataupun tidak, sedikit ataupun banyak. Dengan

demikian dhalâl atau kesesatan itu berlaku untuk semua jenis kesalahan. Dalam al-Qur’an banyak disebutkan bahwa syaithan dengan segala daya

dan upayanya selalu berupaya agar dapat menyesatkan anak manusia; diantaranya adalah firman Allah yang artinya sebagai berikut: “Dan aku (syaithan) benar- benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merubahnya. Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata“ (QS. al-Nisâ’, 4:19).

Selain syaithan, hawa nafsu juga menjadi sumber kesesatan dan selalu mengajak untuk berbuat suk atau jahat. Allah berfmnan: “.. .maka janganlah kamu mengikuti keinginan hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran“... (QS. Al-Nisâ’,4:135). dan masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini.

Disamping terjadi pada manusia biasa kesesatan atau kebingungan juga biasa terjadi kepada orang yang alim, ahli ibadah dan bahkan terjadi pada seorang yang mengaku dirinya sebagai rasul. Untuk itulah dhalâl sangat menarik untuk diteliti.

Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pokok-pokok masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Apa dan bagaimana konsep dhalâl yang dapat dipahami dari ayat-ayat al- Qur’an? .

2. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan manusia bisa menjadi sesat?

3. Bagaimana cara keluar dari kesesatan?

Ruang lingkup penelitian ini adalah tafsir tematik yang akan mengkaji suatu kata kunci tertentu dari al-Qur’an untuk ditemukan konsep makna dari al-

Qur’an mengenai kata kunci tersebut Dengan demikian yang dimaksud konsep dalam penelitan ini adalah mencari topik-topik pembicaraan dari suatu ayat yang

mengandung lafazh dhalâl dan menemukan hubungan-hubungannya dalam kesemua ayat al-Qur’an yang memuat lafazh dhalâl sehingga dapat dilihat pengertian, konteks dan penggunaan al-Qur’an terhadap lafazh dhalâl

Penelitian ini diharapkan akan sangat berguna sebagai sumbangan kepada masyarakat dengan menghadirkan sebuah pemahaman yang komprehensif dan pandangan al-Qur’an yang lebih utuh mengenai konsep dhalâl , suatu istilah yang benar-benar menjadi peringatan bagi seorang muslim yang diidentikkan dalam Islam sebagai penempuh jalan lurus.

Sepanjang kajian penulis, belum ditemukan penelitian ilmiah yang khusus membahas atau meneliti masalah dhalâl . Kebanyakan hasil penelitian yang penulis temui, menempatkan dhalâl hanya dalam sub bab yang sempit dari suatu tema tertentu. Misalnya dari hasil disertasi Harifuddin Cawidu yang telah diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang dengan judul Konsep Kufr dalam al- Qur ’an, di sana dhalâl dibahas dalam sub-bab term-term yang secara tidak langsung menunjuk kekafiran

Sumber data penelitian ini yang pertama adalah mushaf al-Qur’an. Dalam hal ini, mushaf yang digunakan adalah al-Qur’an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh khâdim al-Haramain al-Syarîfain Fahd bin’ Abd al-Azîz al- Su’ûdiyah Mâlik al-Mamlakah al-’Arabiyah al-Su’ûdiyah. Guna mempermudah pelacakan ayat-ayat al-Qur’an digunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al- Qur ’an al-Karîm karya Muhammad Fuâd al-Bâqi. Sumber data berikutnya adalah bahan analisis data meliputi kitab-kitab tafsir

Metode tafsir yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsir maudhû’i (tafsir tematik) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas

2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar di berbagai surat yang berkaitan dengan obyek kajian.

3. Menyusunnya dengan sistematis menurut kerangka pembahasan yang telah disusun.

4. Memberikan uraian dan penjelasan dengan ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, dengan sebab turunnya dan munasabatnya (baca: tafsir 4. Memberikan uraian dan penjelasan dengan ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, dengan sebab turunnya dan munasabatnya (baca: tafsir

5. Melengkapi uraian tersebut dengan mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SAW. (baca: tafsir al-Qur’an dengan hadits) dan merujuk pada ungkapan- ungkapan bahasa arab dalarn menjelaskan ayat-ayat tersebut.

6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian sarna atau mengkonsultasikan antara ’âm (umum) dan khâsh (khusus), muthlaq dan muqayyad (terikat) dan yang tampak bertentangan.

Setelah dilakukan pembahasan dan analisis ditemukan bahwa dhalâl dalam al-Qur’an digunakan baik dalam pengertian makna bahasanya yaitu bingung, hilang, lenyap dan sia-sia maupun dalam makna metaforisnya yaitu tersesat pada jalan kehidupan yang tidak sesuai dengan petunjuk Allah (hidâyah). Ketersesatan tersebut meliputi: pertama, orang-orang yang betul-betul menolak hidâyah dan memilih jalannya sendiri yaitu orang-orang kafir, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 90 berikut ini:

Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki- Nya di antara harnba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.(al-Baqarah,2 : 90).

Kedua adalah orang-orang musyrik

Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (al-Nisâ’, 4: 116)

Konsep orang-orang musyrik lebih menunjuk kepada orang-orang Arab di zaman Rasulullah SAW. Ciri-ciri mereka berpaham politeisme, paganisme dan tidak memiliki kitab suci atau pun pseudo kitab suci. Jadi mereka yang memiliki kitab suci atau pseudo kitab suci, meskipun tampak berpaham wathaniyyât tidak dapat dianalogikan dengan al-Musyrikûn.

Ketiga adalah orang-orang beriman yang tidak sepenuh hati dalam mengikuti hidayah sebagaimana dijalani orang-orang munafiq.

Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu (orang-orang beriman) yang melakukannya (membantu orang-orang kafir), maka sesungguhnya dia telah terse sat dari jalan yang lurus. (al-Mumtahanah: 1)

Dan keempat dhalâl juga meliputi orang-orang yang masih kebingungan karena belum mendapat hidayah sebagaimana dialami para calon anbiyâ

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (al-Dhuha: 7)

Diantara hubungan dhalâl dengan makna bahasanya yaitu sia-sia yaitu bahwa jalan sesat tersebut tidak akan mengantarkan seseorang sampai ketujuan sehingga apa yang dilakukan oleh orang-orang yang menempuh jalan sesat akan sia-sia dan mereka akan terombang-ambing dalam kebingungan.

Faktor-faktor yang menyebabkan dhalâl adalah hawa nafsu yang tidak terkontrol dan mendominasi pola fikir dan pola hidup manusia. Seseorang yang dikuasai hawa nafsu menjalani pola kehidupan yang materialis dan individualis sehingga hidupnya dipenuhi dengan persaingan mendapatkan prestise dan kebanggaan duniawi yang berwujud harta dan anak semata. Hidup bermegah- megahan dan menumpuk harta ini dapat mengenai siapa saja, kalau hal tersebut mengenai orang yang beriman maka ia akan tersibukkan dalam kehidupan duniawi dan melalaikan kehidupan ukhrawi sehingga imannya akan mengeropos menjadi orang beriman yang setengah hati atau munafiq bahkan akan dapat melalaikan imannya dan murtad. Kalau pola hidup yang didominasi oleh hawa nafsu di atas mengenai orang-orang kafir dan musyrik maka ia akan menjadi semakin sombong, membanggakan diri dan keturunannya dihadapan Rasulullah bahkan Allah dan suka membantah hidayah atau kebenaran tanpa argumen yang ilmiah.

Dhalâl juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Seseorang yang tidak mengikuti trend budaya dan pola hidup yang umum dan sedang berlaku dimasyarakat cenderung dijauhi oleh anggota masyarakat lain. Fenomena tersebut sangat terasa bagi komunitas kesukuan Arab di mana hubungan ketergantungan antar anggota masyarakat dalam menjaga keberlangsungan kehidupan sangat tinggi. Selain faktor budaya, dhalâl juga disebabkan oleh pengaruh propaganda misionaris dari agama-agama lain seperti Nasrani dan Yahudi yang disebut ahl al- kitâb. Diantara mereka ada yang keras perlawanannya terhadap Islam dan secara terprogram menyesatkan seseorang.

Jalan keluar dari dhalâl adalah mengendalikan hawa nafsu dan mengbangkitkan jiwa ketenangan (al-nafs al-Muthmainnah). Dengan jiwa yang Jalan keluar dari dhalâl adalah mengendalikan hawa nafsu dan mengbangkitkan jiwa ketenangan (al-nafs al-Muthmainnah). Dengan jiwa yang

dan menjalaninya dengan penuh keyakinan dibuktikan dengan mewujudkan pola hidup yang seimbang dunia akhirat, tidak bermegah-megahan, memperhatikan kaum dhuafa dan senantiasa berbuat kebaikan terhadap lingkungan.

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

ة ah;at ض

sh

dh

B. Vokal Pendek

D. Vokal Panjang

C. Diftong

E. Pembauran (لا)

F. Tasydid ( ّ )

Rabbana = ﺎﻨﺑر

G. Kata Arab yang di Indonesiakan

Kata, nama, istilah, yang telah populer di dalam bahasa Indonesia ditulis sesuai ejaan Indonesia, seperti, Allah, hadits Muhammad, sahabat, ulama, setan, makna dan lain sebagainya.

H. Singkatan

1. swt.

= Subhânah wa-Ta’âla

2. saw.

= Shallâ Allâh ‘layh wa Sallam

3. r.a.

= Radhy Allâh ‘Anhu/ ‘Anha

4. H. = Hijriyah

5. M.

= Masehi

6. w.

= wafat

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur`an al-karim bagi umat Islam adalah kitab suci yang diyakini mutlak kebenarannya. Oleh sebab itu, ia dijadikan sebagai haluan dan pedoman dalam kehidupannya. Kitab suci ini menempati posisi sentral, sebagai inspirator dan pemandu semua aktifitas mereka semenjak berabad-abad lamanya.

Al-Qur`an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan aqidah,

syari`ah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah menugaskan Rasul SAW., untuk memberikan keterangan lengkap mengenai dasar-dasar itu. 1 Allah berfirman: Kami menurunkan kepadamu al-Dzikr (al-Qur`an) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berfikir (QS. 16:44)

Al-Qur`an sendiri menyatakan dirinya sebagai بﺎﺘﻜﻟا (al-Kitâb) yang berarti buku (QS. 2:2), ىﺪھ (hudâ) yang berarti petunjuk (QS. 27:2), نﺎﻗﺮﻔﻟا (al- Furqân ) yang berarti pembeda, ﺔﻤﺣر (Rahmah) yang berarti rahmat (QS. 17:82), ءﺎﻔﺷ (Syifâ`) yang berarti obat penawar (QS. 17:82), ﺮﻛﺬﻟا (al-dzikr) yang berarti peringatan (QS. 21:50), juga atribut ﺊﯿﺷ ﻞﻜﻟ ﺎﻧﺎﯿﺒﺗ (QS. 16: 89) dan ﺊﯿﺷ ﻞﻜﻟ ﻼﯿﺼﻔﺗ

(QS. 12:111) yang berarti penjelasan tentang segala sesuatu. 2 Sebagai kitab suci yang tetap relevan dengan berbagai situasi, kondisi

dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân) al-Qur`an yang berisikan

1 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an ( Bandung: Mizan, 1993) h. 35 2 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Al-Wahy al-Muhammady (Kairo: Maktabah al-Qâhirah, 1960) h.126-

agar diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Usaha kreatif dan produktif umat Islam yang merupakan respon positif terhadap rangsangan al-Qur`an ini telah melahirkan karya-karya tafsir yang tak

ternilaikan, karya-karya tersebut sangat variatif dalam metodenya (tharîqah) 3 dan corak penafsirannya (al-wân al-tafsîr). 4 Variasi-variasi penafsiran tersebut sangat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, basis keilmuan dan aliran madzhab penafsir.

Pada saat ini sudah banyak sekali karya kitab tafsir yang telah ditulis oleh para mufassirin terdahulu, baik itu berupa tafsir bi al-ma`tsûr, bi al-ra`yi, tahlîly, maudhû ’i, dan yang lainnya. Di antara mereka ada yang menafsirkan seluruh al- Qur`an yakni mulai surat al-Fâtihah sampai surat al-Nâs, menafsirkan surat-surat dan ayat-ayat tertentu, bahkan banyak yang menafsirkan tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur`an.

Meskipun kajian tafsir al-Qur`an telah banyak dilakukan oleh para penafsir terdahulu, namun bukan berarti kajian terhadapa al-Qur`an sudah tidak diperlukan lagi, akan tetapi justru perlu diperbanyak lagi kajian yang lebih mendalam dan komprehensif terhadap tema-tema tertentu yang terdapat dalam al-

Tafsir ditinjau dari segi bentuknya dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama tafsir bi al- ma`tsûr , yaitu tafsir yang berasal dari ayat al-Qur`an sendiri yang menjelaskan ayat yang lainnya, bersumber dari riwayat Nabi (hadits) dan riwayat para sahabat. Kedua tafsir bi al-ra`yi, yaitu tafsir dari ijtihad penafsirnya dengan melalui pemahaman aspek-aspek kebahasaan, asbab al-nuzul, nasakh mansukh dan lain sebagainya. Ketiga tafsir bi al-isyari, yaitu jenis penafsiran yang bersumber dari isyarat yang ada di balik symbol-simbol kebahasaan (ayat), dan tafsir ini banyak digunakan oleh suluk sufi (Muhammad ‘Abd al-Adzîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al- Qur`ân (Isa al-Bâby al-Habîby wa syurakâuhu, tth.) Juz II, h. 78-79

4 Dalam ‘Ulûm al-tafsîr dikenal beberapa corak penafsirannya (alwân al-tafsîr) yaitu corak sastra bahasa, corak falsafi, corak fiqhi, corak ilmy, corak tasawuf dan corak budaya kemasyarakatan.

Qur`an, sehingga pada akhirnya al-Qur`an dapat lebih mudah dipahami secara utuh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu topik yang banyak diungkap di dalam al-Qur`an, dan menurut hemat penulis sangat penting adalah tentang dhalâl ( لﻼﺿ ). Seorang mu`min yang aktif dan rutin menjalankan shalat fardhu yang lima waktu, setidaknya berdo`a memohon kepada Allah SWT. agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah Allah anugerahi nikmat; bukan (jalan) orang-

orang yang dimurkai Allah dan bukan (pula) jalan orang-orang yang sesat 5

sebanyak tujuh belas kali dalam sehari semalam. Berkenaan dengan do`a di atas ada beberapa pertanyaan yang pantas kita ajukan, dan selanjutnya kita yang mencari jawabannya dalam al-Qur`an. Pertama: Siapakan yang dimaksudkan oleh al-Qur`an sebagai orang-orang yang telah dianugerahi nikmat, dan bagaimana pula karakteristiknya?. Kedua: Siapakah yang dimaksudkan oleh al-Qur`an sebagai orang-orang yang telah dimurkai oleh Allah, dan bagaimana pula karakteristiknya?. Ketiga: Siapakah yang dimaksudkan al-Qur`an sebagai orang- orang yang sesat, serta bagaimana pula karakteristiknya.

Dari segi bahasa (etimologi) lafazh ( ﻼﺿ ل ) merupakan lawan lafazh al- hudâ ( ىﺪﮭﻟا ) atau al-rasyâd ( دﺎﺷﺮﻟا ), dikatakan: ﻖﯾﺮﻄﻟا ﻦﻋ لﻼﻀﻠﻟ ﮫﺘﮭﺟو اذإ ﺎﻧﻼﻓ ﺖﻠﻠﺿأ : aku telah menyesatkan Fulan, yaitu apabila aku telah mengerahkannya sesat dari jalan yang sebenarnya; Abu Manshûr berkata: pada dasarnya pada percakapan orang Arab pemaknaan lafazh dhalâl dalam bentuk lain juga berkembang sperti: ﮫﺘﺒﯿﻏ اذإ ﺊﯿﺸﻟا ﺖﻠﻠﺿأ dan ﮫﺘﻨﻓد ﺖﯿﻤﻟا ﺖﻠﻠﺿأ , : aku telah menyesatkan sesuatu, yaitu

5 Lihat Surat al-Fâtihah, 6-7 5 Lihat Surat al-Fâtihah, 6-7

berbarti keluar/ menyimpang dari jalan yang lurus, baik penyimpangan itu disengaja ataupun tidak, sedikit ataupun banyak. Dengan demikian dhalâl atau

kesesatan itu berlaku untuk semua jenis kesalahan. 7 Dalam al-Qur`an banyak disebutkan bahwa syaithan dengan segala daya

dan upayanya selalu berupaya agar dapat menyesatkan anak manusia; diantaranya adalah firman Allah yang artinya sebagai berikut: “Dan aku (syaithan) benar-

benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merubahnya. Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata” (QS 4:19).

Selain setan, hawa nafsu juga menjadi sumber kesesatan dan selalu mengajak untuk berbuat suk atau jahat. Allah berfirman: “…maka janganlah kamu mengikuti keinginan hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran”… (QS. 4:135). Dalam ayat lain Allah juga berfirman: “…. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sebab dia akan menyesatkannmu dari jalan Allah…” (QS. Shâd:26), dan masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini. Lihat: QS. Al-Najm:84, QS al-Nâzi’at: 40-41, QS. Al-A’râf:176, QS. Al-Qashas:50, dan ayat-ayat yang lain.

6 Ibn Manzhûr al-Anshârî, Lisân al-‘Arab, XI (Mesir: Dâr al-Mishriyat li al-Ta`lîf wa al-Nasyr: tt) h. 390-391

7 Al-Râghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur`ân (Beirut: Dar al-Fikr: tt) h.306

Disamping terjadi pada manusia biasa kesesatan juga biasa terjadi kepada orang yang alim, ahli ibadah dan bahkan terjadi pada seorang yang mengaku

dirinya sebagai rasul.

B. Perumusan Masalah

Merujuk pada kenyataan-kenyataan pada uraian di atas, maka pertanyaan mendasar yang mengemuka adalah “Bagaimana konsep dhalâl dalam al-Qur`an?”, pertanyaan ini mencakup beberapa masalah sebagai berikut:

1. Apa dan bagaimana konsep dhalâl yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur`an?.

2. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan manusia bisa menjadi sesat?.

3. Bagaimana cara keluar dari kesesatan?

C. Pembatasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini adalah tafsir tematik yang akan mengkaji suatu kata kunci tertentu dari al-Qur`an untuk ditemukan konsep makna dari al- Qur`an mengenai kata kunci tersebut.

Konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menunjuk pada beberapa pengertian diantaranya, rancangan atau program surat dsb., ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, dan gambaran mental dari obyek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami

hal-hal lain 8 .

8 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1995) h. 520

Dalam penelitian ini, yang dimaksud konsep adalah sebagaimana dalam pengertian istilah linguistik yang telah dikembangkan oleh ahli tafsir tematik.

Sebagaimana dinyatakan oleh Machasin, dosen Sejarah Pemikiran Dalam Islam UIN Yogya yang concern dalam kajian al-Qur`an bahwa metode tematik atau maudhû ’i berusaha untuk menangkap konsep al-Qur`an mengenai sesuatu, seperti keadilan, kebahagiaan dan kepemimpinan. Hal itu dilakukan dengan mengumpulkan semua kata yang dipakai al-Qur`an untuk menunjukkan

pengertian atau topik tertentu dan semua ayat yang mempergunakannya. 9

Dengan demikian yang dimaksud konsep dalam penelitan ini adalah mencari topik-topik pembicaraan dari suatu ayat yang mengandung lafazh dhalâl dan menemukan hubungan-hubungannya dalam kesemua ayat al-Qur`an yang memuat lafazh dhalâl sehingga dapat dilihat pengertian, konteks dan penggunaan al-Qur`an terhadap lafazh dhalâl.

D. Tujuan dan Keguanaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahuai bagaimana konsep dhalâl yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur`an.

2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat menyebabkan manusia bisa menjadi sesat?.

3. Untuk mengetahui jalan keluar dari kesesatan? Penelitian yang demikian diharapkan akan sangat berguna:

9 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Penerjemah: Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997) h. xiv

1. Sebagai sumbangan kepada masyarakat dengan menghadirkan sebuah pemahaman yang komprehensif mengenai pandangan al-Qur`an terhadap

suatu masalah dari istilah-istilah kunci yang dikandungnya. Dengan metode tafsir tematik, penelitian ini akan menghadirkan pemahaman yang lebih utuh mengenai konsep dhalâl, suatu istilah yang benar-benar menjadi peringatan bagi seorang muslim yang diidentikkan dalam Islam sebagai penempuh jalan lurus.

2. Dengan posisi al-Qur`an yang demikian sentral yaitu sebagai pedoman dan

petunjuk bagi umat Islam, maka pemahaman terhadap al-Qur`an tidak hanya cukup pada pemahaman tekstual saja. Tafsir tematik ini diharapkan dapat meneliti kandungan makna dari suatu tema atau istilah dalam al- Qur`an seperti dhalâl dan mengetahui bagaimana konteks serta operasi atau kinerja dari istilah tersebut dalam masyarakat pada masa turunnya wahyu sehingga istilah tersebut berfungsi dan hidup di masyarakat. Dengan pemahaman seperti ini, masyarakat yang hidup di zaman sekarang yang jauh dari masa pewahyuan akan mendapat pemahaman yang sesuai dengan realitas kesejarahannya sehingga al-Qur`an benar-benar dapat membumi sebagi pedoman hidup.

E. Kajian Kepustakaan

Sepanjang kajian penulis, belum ditemukan penelitian ilmiah yang khusus mebahas atau meneliti masalah dhalâl. Kebanyakan hasil penelitian yang penulis temui, menempaktkan dhalâl hanya dalam sub bab yang sempit dari suatu tema tertentu. Misalnya dari hasil disertasi Harifuddin Cawidu yang telah Sepanjang kajian penulis, belum ditemukan penelitian ilmiah yang khusus mebahas atau meneliti masalah dhalâl. Kebanyakan hasil penelitian yang penulis temui, menempaktkan dhalâl hanya dalam sub bab yang sempit dari suatu tema tertentu. Misalnya dari hasil disertasi Harifuddin Cawidu yang telah

langsung menunjuk kekafiran. Kajian tersebut cukup mereduksi konsep dhalâl yang merupakan istilah yang independent dalam al-Qur`an. Dhalâl dalam al- Qur`an memiliki fungsi sejajar dengan istilah-istilah kunci lainnya seperti kafir, karena dhâlal digunakan untuk menunjuk satu perilaku manusia atau suatu komunitas sebagaimana dalam akhir surat al-Fâtihah.

Selain dari hasil disertasi di atas, penulis juga mendapati pembahsan

dhalâl sebagai sub-bab dari kajian Toshihiko Izutsu dalam kedua bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Tiara Wacana yang berjudul Relasi Tuhan Dan Manusia serta Etika beragama dalam Al-Qur`an. Dalam kedua buku ini Izutsu telah mengkaji dhalâl dalam suatu bagian dari tema besar yaitu turunnya ayat-ayat dari Tuhan. Sebagai respon yang ditimbulkan dari turunnya ayat ini adalah munculnya masyarakat yang membenarkannya dan mengimaninya dan masyarakat yang mendustakannya yaitu kafir.

Menurut Izutsu iman dipahami sebagai Ihtidâ`, maka lawannya kufr, jelaslah dapat diartikan dengan tersesat dari jalan yang benar. Istilah khas yang digunakan dalam al-Qur`an ini adalah merupakan kata kerja dhalla (nominal

dhalâl 10 ah atau dhalâl). Dengan demikian Izutsu telah menempatkan dhalâl dalam posisi yang sentral sebagaimana istilah-istilah lain dalam al-Qur`an.

Namun metode yang digunakan Izutsu adalah metode semantik yang mengkaji pandangan dunia (weltanschaung) dari al-Qur`an atas tema tertentu

10 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Qur`an, Penerjemah: Manshuruddin Djoely (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995) h. 212 10 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Qur`an, Penerjemah: Manshuruddin Djoely (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995) h. 212

juga dilihat dalam hubungannya dengan konsep-konsep lain dalam hubungannya dengan tema tersebut. Kajian ini sebagaimana dikatakan oleh Machasin dalam pengantar tebitan buku Izutsu yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menyatakan bahwa metode yang digunakan oleh Izutsu ini dapat dipergunakan untuk memperkokoh landasan pemahaman terhadap konsep-konsep al-Qur`an yang diusahakan oleh metode tematik. Hal itu karena metode semantik berusaha

menangkap pandangan dunia al-Qur`an melalui analisis terhadap istilah-istilah kunci yang dipakai al-Qur`an sedangkan metode tafsir tematik berusaha

menangkap konsep al-Qur`an mengenai tema atau suatu kata kunci. 11

F. Metodologi Penelitian

F.1. Sumber Data

Sumber data penelitian ini yang pertama adalah mushaf al-Qur`an. Dalam hal ini, mushaf yang digunakan adalah al-Qur`an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh khâdim al-Haramain al-Syarîfain Fahd bin ‘Abd al-Azîz al-Su’ûdiyah Mâlik al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’ûdiyah. Guna mempermudah pelacakan ayat-ayat al-Qur`an digunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâzh al-Qur`ân al-Karîm karya Muhammad Fuad al-Bâqi.

11 Izutsu, Relasi Tuhan, h. xv

Sumber data berikutnya adalah bahan analisis data meliputi kitab-kitab tafsir yaitu:

1. Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, karya ‘Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ` Ismâ’îl Ibn Katsîr, Kuwait: Jam’iyyâh Ihyâ` al-Turâts al-Islâmiy, 1998

2. al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Karya Abî ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshârî, al-Qurthûbî, Beyrut: Dâr al-Fikr, 1994

3. Fî Dzilâl al-Qur`ân, Karya Sayid Quthb Mesir: Dâr al-Syurûq, 1992

4. Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, Karya Muhammad Husain al-

Thabâthabâ`î, Beyrût: Muassasah al-A’lamî, 1991.

Sebagai rujukan untuk analisis makna kata-kata dan term-term tertentu dari ayat-ayat al-Qur`an, maka digunakan

1. Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr al-Anshârî (w. 1232-1311 M),

2. al-Mufradât fi Gharîb al-Qur`ân

3. al-Mu`jam Mufradât alfâdh al-Qur`ân karya Abu al-Qâsim al- Husain Ibn al-Râghib al-Ashfahâny (w. 502 H).

Sumber rujukan berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah untuk melacak sebab turunnya ayat. Sebagai sumber data mengenai asbâb al- nuzûl dipergunakan kitab Asbâb al-Nuzûl karya Abu Hasan ‘Aly Ibn Ahmad al-Wâhidy al-Naisabûry (w. 468 H). dan karya-karya ilmiah lainnya yang dianggap representatif sebagai data pelengkap yang diperlukan dalam penelitian ini..

F.2. Metode dan Analisis Data

Obyek penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur`an dan berfokus kepada

sebuah tema, maka pendekatan yang dipilih adalah pendekatan ilmu tafsir. Ilmu tafsir mengenal beberapa metode dan corak penafsiran yang masing-masing mempunyai ciri khas. Para ahli tafsir membaginya menjadi empat metode dalam menafsirkan al-Qur`an, yaitu metode

tahlîly 12 , metode ijmâly, metode muqârin, dan metode maudhû’i. Metode tafsir yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode tafsir

maudhû ’i (tafsir tematik). Dalam penelitian ini penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas

2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang tersebar di berbagai surat yang berkaitan dengan obyek kajian.

3. Menyusunnya dengan sistematis menurut kerangka pembahasan yang telah disusun.

4. Memberikan uraian dan penjelasan dengan ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, dengan sebab turunnya dan munasabatnya (baca: tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an)

Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1992), cet. ke-2,h. 71-74

13 Metode ini berusaha mencari jawaban al-Qur`an tentang suatu masalah tertentu dari berbagai macam tema doctrinal, sosial, dan kosmologi dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang yang

dimaksud, lalu mengaanalisanya lewat ilmu ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk kemudian melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur`an tentang tema tersebut. Lihat Abd al-Hayy al-Farmâwy, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’i, (Mesir: Maktabah al-Jumhûriyah, 1977) h. 52. Bandingkan dengan ‘Ali al-‘Aridl, Tarîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manhaj al-Mufassirîn, alih bahasa oleh Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), cet ke-1,

h. 41

5. Melengkapi uraian tersebut dengan mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SAW. (baca: tafsir al-Qur`an dengan hadits) dan merujuk

pada ungkapan-ungkapan bahasa arab dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut.

6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian sama atau mengkonsultasikan antara ‘am (umum) dan khash (khusus), muthlaq dan muqayyad (terikat) dan yang tampak bertentangan.

G. Sistematika Pembahasan

Rumusan hasil penelitian ini disusun dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut. BAB I

: Merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang dan perumusan masalah, pembatasan masalah, kajian pustaka, metodologi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II : Membahas tentang makna dhalâl, pengungkapan lafazh dhalâl dalam al-Qur`an, lafazh-lafazh yang semakna atau berdekatan makna dengan lafazh dhalâl serta lafazh-lafazh yang merujuk pada kesesatan.

BAB III : Membahas sebab-sebab terjadinya kesesatan, yang meliputi analisa konsep kesesatan dalam al-Qur`an dan sebab-sebab terjadinya kesesatan.

BAB IV : Dalam bab ini penulis membahas akibat-akibat perilaku dhalâl, yang meliputi akibat dhalâl dalam perilaku keagamaan, praktek

penegakan moral dan hukum, serta perlakuan terhadap perempuan. Sub bab berikutnya adalah jalan keluar dari dhalâl yang meliputi pengendalian diri atau mengekang hawa nafsu dan bertaubat dengan mengikuti petunjuk Allah dengan penuh keyakinan.

BAB V : Penutup yang mengemukakan kesimpulan dari seluruh

pembahasan sebelumnya, yang sekaligus merupakan jawaban dari pokok-pokok masalah yang dikemukakan, saran, dan daftar pustaka.

BAB II MAKNA DAN PENGUNGKAPAN

DHAL

ÂL DALAM AL-QUR`AN

A. Makna Dhalâl

Dhalâl secara etimologi berasal dari bahasa arab dengan fi’il atau kata kerja “ dhalla – yadhillu” ( ﱡﻞِﻀَﯾ – ﱠﻞَﺿ ), lafazh dhalâl (لﻼﺿ) yang juga mempunyai bentuk lain yaitu dhalâlah (ﺔﻟﻼﺿ) adalah mashdar atau kata benda abstrak. Susunan tersebut mengikuti wazan fa’ala – yaf’ilu seperti dharaba -

yadhribu . Selain wazan di atas, ada versi lain yaitu fa’ila – yaf’alu seperti ta’iba – yat ’abu sehingga menjadi dhalla – yadhallu ( ُﻞ َﻀﯾَ - ﻞﺿ ) .

Kata dhalâl dalam bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dengan kata “sesat”, pemaknaan dhalâl sebagaimana dimaksud di atas merupakan lawan kata dari ihtadâ “ ىﺪﺘھا “ yang berarti “mendapatkan petunjuk”, yang berarti pula batil, menyimpang dari agama, menyimpang dari yang haq atau keluar dari jalan yang lurus.

Kata dhalâl dalam penggunaannya dalam bahasa arab mempunyai beberapa arti yang beragam dan berbeda; di antaranya: 1). Berarti “hilang” seperti ungkapan “ ﺐھذو عﺎﺿ : ﮫﻨﻋ ءﻲﺸﻟا ﻞﺿ ” sesuatu itu telah hilang darinya; 2). Berarti “gagal atau tidak berhasil” seperti ungkapan “ ﮫﯿﻌﺳ ﻞﺿ : ﺢﺠﻨﯾ ﻢﻟ “ seseorang itu telah gagal usahanya; 3). Berarti “ sia-sia/menyia-nyiakan “ seperti ungkapan “ ﮫﻋﺎﺿأ : ءﻲﺸﻟا - ﻞﺿأ “ seseorang itu telah menyia-nyiakan sesuatu; 4). Berarti “ lupa” seperti ungkapan” ﮫﯿﺴﻧ يا ﻞﺟﺮﻟا : - ﻞﺿ “ Zaid telah lupa kepada seseorang;

5).berarti “hancur/ menghancurkan“ seperti ungkapan “ ﮫﻜﻠھأ يا : ءﻲﺸﻟا - ﻞﺿأ “ Seseorang telah menghancurkan sesuatu; 6). Berarti “ bingung”.

Apabila dikaitkan dengan arti benda materi, kata al-dhalal (ﻞﻠﻀﻟا) berarti air yang mengalir dibawah padang pasir atau di bawah pohon yang tidak terkena

sinar mata hari ( 14 ﺲﻤﺸﻟا ﮫﺒﯿﺼﯾ ﻻ , ةﺮﺠﺸﻟا ﺖﺤﺗ وأ ةﺮﺨﺼﻟا ﺖﺤﺗ ىﺮﺠﯾ ىﺬﻟا ءﺎﻤﻟا : ﻞﻠﻀﻟا ).

Sedangkan dhalâl secara terminologi menurut al-Râghib al-Ashfahânî adalah “ Menyimpang dari jalan yang haq/benar/lurus, baik disengaja atau lupa, baik penyimpangan itu sedikit ataupun banyak”. Kesesatan atau dhalâl, bisa

terjadi kepada siapapun, baik orang kafir, fasik, munafiq ataupun orang mukmin, dan bahkan bisa terjadi pada seorang nabi atau rasul, meskipun perbedaan pengertian sesat atau dhalâl antar dua kelompok tersebut sangatlah jauh. Menurut al-Ashfahânî juga, bahwa berjalan mengikuti jalan yang lurus (shirâth al-

musthaqîm 15 ) yang diridhai oleh Allah sangatlah sulit untuk dilakukan. Dari asal bahasa dan perkembangan penggunaan lafadz dhalâl

sebagaimana kajian para filolog di atas, Thosihiko Izutsu menyimpulkan bahwa dalam kajian tentang jangkauan konsep dhalâl tidak dapat lepas dari prinsip penting yang saling berlawanan yaitu “lurus” dan “bengkok”. Kedua prinsip tersebut memiliki makna yang bernilai sangat penting setelah al-Qur`an menggunakan dhalâl dalam kancah religius. Jalan lurus adalah bernilai positif karena merupakan jalannya orang-orang beriman yang mengikuti agama Allah dan jalan bengkok adalah bernilai negatif karena menggambarkan orang-orang kafir yang senantiasa berlawanan dengan agama Allah yang lurus.

14 Louis, Ma’lûf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-A’lam (Beirut: Dâr al-Masriq, 1994) h.452

15 Al-Râghif al-Ashfahânî, Mu’jam Mufradât alfâzh al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t) h.307

Konsep jalan lurus dan bengkok yang dikembangkan al-Qur`an terhadap lafadz dhalâl menurut Izutsu bukan hal yang baru dalam khazanah kosakata Arab.

Bangsa Arab Jahiliyah yang tinggal di gurun pasir sudah memiliki masalah dengan teknik mengetahui jalan lurus dan benar supaya tidak tersesat. Di wilayah padang pasir dimana penduduknya tinggal bersuku-suku, mengetahui jalan yang benar apalagi ketika berjalan di wilayah suku lain merupakan satu masalah besar. Mereka berhadapan dengan padang pasir yang luas tanpa batas dan penuh bahaya (ahwal) yang mereka gambarkan dan sungguh-sungguh mereka rasakan sebagai

monster yang ganas yang siap menerkam dan memangsa tiap saat. Maka dapat dimengerti bila orang-orang Arab jahiliyah sudah mengembangkan seperangkat

jaringan konseptual yang mengacu pada hudâ dan jalan. 16

Mencermati pengertian dhalâl di atas, dapat diketahui bahwa lafazh tersebut merupakan kata-kata arab yang bersifat umum, dapat dipergunakan dalam berbagai tingkat pembicaraan. Kata tersebut dapat dipergunakan menurut pengertian kongkrit, misalnya “ kehilangan jalan pada saat bepergian di padang pasir” dan dapat juga dipergunakan dalam pengertian kiasan. Dan dalam kasus pengertan kiasan ini, kita dapat membedakan antara dua tingkat pembicaraan yang berbeda; religius dan non-religius atau sekular.

Tentang penggunaan non-religius terhadap kata ini dalam al-Qur’an sendiri memberikan beberapa contoh, yang salah satu di antaranya menunjukkan tentang cinta Ya’qub yang berlebihan terhadap Yusuf dibandingkan dengan anak- anak yang lain, yakni saudara-saudara Yusuf. (yaitu) ketika mereka berkata:

16 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap al-Qur`an, Penerjemah: Agus Fachri H, dkk (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997) h. 157-158

“Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat)

sesungguhnya ayah kita dalam kekeliruan (dhalâl) yang nyata. ( QS. Yusuf: 8). Dalam al-Qur’an kata sesat (dhalâl) jauh lebih sering dipergunakan menurut pengertian religius. Kita menemukan pertentangan konsep yang mendasar antara dhalla dan ihtida yang dinyatakan dimana-mana dalam al-Qur’an dengan cara yang sangat tegas.

B. Makna dan Pengertian Dhalâl dalam al-Qur`an

Dalam al-Qur`an lafdz dhalâl dengan berbagai kata turunannya sebagaimana terungkap dalam pembahasan dhalâl menurut bahasa di atas terulang

sebanyak 191 kali. 17 Setelah dilakukan pengkajian terhadap lafadz dhalâl dan kata turunannya yang berada dalam konteks ayat-ayat al-Qur`an, ditemukan makna dan

pengertian dhalâl yang berbeda-beda. Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk makna dan pengertian dhalâl dalam konteks ayat-ayat al-Qur`an.

B.1. Kufr

Allah SWT. telah mengutus seorang utusan (Rasul) dan menurunkan sebuah kitab sebagai petunjuk jalan yang lurus sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Isra` ayat 9, S. al-Nisâ` ayat 174-175, dan al-Syurâ ayat 52.

17 Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Bâqî, al-Mu`jam al-Mufahras li alfâzh al-Qur`ân al-Karîm (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981) h. 421-424

Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (al-

Isrâ`: 9)

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu`jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an). Adapun orang- orang yang beriman kepada Allah dan berpegang kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (al-Nisâ: 174-175).

Istilah jalan lurus sebagai jalannya orang Islam, orang yang mengikuti petunjuk Allah yaitu ayat-ayat yang turun dari-Nya berupa al-Qur`an sudah mengakar diubun-ubun umat Islam karena istilah tersebut telah menjadi bagian dari surat al-Fâtihah ayat ke-6 yang menjadi bacaan wajib dalam shalat.

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (al-Fâtihah 6)

Dengan ayat ini menurut al-Thabâthabâ`î dalam tafsirnya al-Mîzân Allah telah menetapkan untuk semua makhluqnya sebuah jalan dimana mereka

menggunakan jalan tersebut untuk titian menuju kepada Allah. Hal itu karena sebagaimana keterangan surat al-Insyiqâq ayat 6 bahwa pada prinsipnya manusia itu dalam perjalan menuju Tuhannya.

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.(al-Insyiqâq 6)

Namun Allah menerangkan bahwa jalan tersebut tidak satu dengan pengikut yang satu pula, namun telah terbagi dalam dua golongan yaitu dua jalan. Sebagaimana diterangkan dalam surat Yâsîn ayat 60-61:

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. (Thâhâ ayat 60-61)

Dengan demikian yang dimaksud ayat 5 dari surat al-Fâtihah di atas menurut al-Thabâthabâ`î adalah sebagai do'a dan ibadah dengan ikhlas. Karena ibadah dan do'a adalah cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah agar

do'a hambanya karena Allah itu dekat dengan mereka. Mengenai sifat dari jalan lurus telah dijelaskan oleh kelanjutan ayat dari surat al-Fâtihah sebagai jalan orang-orang yang mendapat nikmat.

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; (al-Fâtihah 7)

Menurut Ibn Katsîr tafsir dari ayat di atas berhubungan dengan surat al- Nisâ` ayat 69 berikut ini:

Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (al- Nisâ`: 69)

Dengan mengutip riwayat dari al-Dhahhâk dari ibn ‘Abbâs bahwa yang dimaksud ayat shirâth al-dhîna an’amta ‘alayhim adalah dengan mentaati Allah,

18 Muhammad Husain al-Thabâthabâ`î, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, (Beyrût: Muassasah al- A’lamî, 1991) Juz 1, h. 30-31

Sedangkan lawan dari jalan lurus tersebut adalah jalan orang-orang yang dimurkai Allah dan jalan orang-orang yang sesat, sebagaimana ditegaskan pada akhir surat al-Fâtihah

bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(al-Fâtihah: 7)

Dalam tafsir Ibn Katsîr dinyatakan bahwa yang dimaksud al-maghdhûb ‘alayhim adalah orang-orang Yahudi dan al-dhâllîn adalah menunjuk kepada

kaum Nasrani. Kedua jalan dari kedua golongan ini sama-sama jalan yang sesat. 20

Orang-orang Yahudi dijadikan mascot sebagai orang yang menempuh jalan sesat dan dimurkai Allah (al-maghdhûb ‘alayhim) sebagaimana penjelasan dari ayat berikut ini:

19 ‘Imâd al-Dîin Abî al-Fidâ` Ismâ’îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Kuwait: Jam’iyyâh Ihyâ` al-Turâts al-Islâmiy, 1998) Juz I, h. 43

20 Ibin Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân, Juz I, h. 44

Katakanlah: "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka

(ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (al-Mâ`idah : 60)

Orang-orang Yahudi adalah termasuk golongan umat nabi Musa as. maka mereka digolongkan sebagai ahl-kitâb karena mereka pernah menerima jaran monoteisme. Namun sebagaimana dikisahkan dalam ayat di atas mereka termasuk

golongan orang sesat yang dimurkai oleh Allah karena golongan Yahudi pada masa Nabi Muhammad SAW. hanya mempercayai Taurat namun tidak mempercayai Injil yang dibawa nabi Isa as. dan al-Qur`an. Lebih dari itu, kepercayaan mereka sendiri terhadap Taurat juga tidak utuh, mereka sering mendustakannya sehingga menimbulakan kekacauan di masyarakat sebagaimana

keterangan surat al-Baqarah ayat 85 dan 90. 21

Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan

21 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân, Juz I, h. 167. Lihat juga Ali ‘Imrân ayat 21, 70, 98, dan 112.

Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki

bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki- Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.(al-Baqarah : 90).

Sedangkan kaum Nasrani dinyatakan sebagai al-dhâllîn sesuai dengan keterangan Surat al-Mâidah ayat 77 berikut ini:

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (al-Mâidah 77).

Menurut ibn Katsîr, dikelompokkannya orang-orang nashrani kedalam kelompok orang-orang sesat dikarenakan mereka berlebih-lebihan dalam

Hal demikian karena mereka mengikuti pembesar-pembesar (syuyûkh) yaitu pembesar kesesatan yang telah mendahului mereka dari orang yang sesat yang

telah keluar dari jalan yang lurus dan benar ke jalan yang salah dan sesat. 22 Baik orang Yahudi maupun Nasrani jelas digolongkan sebagai orang

Kafir, karena meskipun mereka pernah menerima dan mempelajari wahyu dari Allah yang berarti mereka mempercayai pokok-pokok aqidah yang juga diyakini

dalam Islam, namun kepercayaan mereka tidak utuh dan penuh dengan penyimpangan-penyimpangan. 23

Dengan keterangan dari surat al-Fâtihah dan penafsirannya di atas menjadi jelas bahwa dalam mengarungi bahtera kehidupan ini manusia disuguhkan kepadanya dua jalan. Mereka yang percaya kepada apa yang dikirimkan Allah akan dipimpin dan dibimbing ke jalan yang lurus dan sebaliknya mereka yang menolaknya akan tetap berada dalam jalan yang sesat, gelap dan pengap. Penegasan ini sesuai dengan pesan Surat Yûnus ayat 108.