3. ‘Amiha

C.3. ‘Amiha

Padanan kata lafadz dhalâl selanjutnya yang digunakan dalam al-Qur`an adalah ‘amiha yang memuat salah satu konsepsi dhalâl yaitu bergelimang dalam

kesesatan dengan membabi buta. 43 Penggunaan lafadz ‘amiha dalam konsep tersebut dapat dilihat dalam surat al-Naml ayat 4:

43 Izutsu, Etika Beragama, h. 220

Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka,

maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). (al-Naml: 4)

Ibn Katsîr menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fahum ya’mahûn dalam ayat tersebut adalah fahum yatîhûn fi dhalâlihim (maka mereka bergelimang dalam kesesatan mereka). 44

C.4. Ghaflah

Padanan kata lafadz dhalâl selanjutnya yang digunakan dalam al-Qur`an yang cukup penting untuk menjadi bahan kajian adalah ghaflah. Al-Qur`an menggunakan lafadz ghaflah baik dalam pengertian asal makna bahasanya yaitu kelengahan atau kecerobohan, maupun dalam konsep keagamaan yaitu menyimpang dari jalur hidayah.

Contoh penggunaan lafadz ghaflah dalam al-Qur`an dengan makna bahasanya adalah dalam surat Yûsuf ayat 13:

Berkata Ya`qub; "Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah daripadanya." (Yûsuf 13)

44 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`an, Juz III, h. 470

Lafadz ghaflah dalam al-Qur`an surat al-A’râf ayat 178-179 digunakan dalam konsep keagamaan untuk secara langsung menunjuk golongan orang yang

sesat (dhalâl).

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda- tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang- orang yang lalai. (al-A’râf :179)

Mereka disebut al-ghâfilûn karena meninggalkan untuk mengambil pelajaran (tadabbur) dan mengabaikan adanya surga dan neraka. 45

Ghaflah sebagaimana dhalâl juga digunakan dalam al-Qur`an untuk menunjukkan kondisi umat terdahulu yang sesat sebelum datangnya wahyu al- Qur`an. Konsep ini dapat dikaji dalam surat Yûsuf ayat 3:

45 al-Qurthûbî, al-Jâmi’, Juz IV, h.

Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum

mengetahui. (Yûsuf: 3)

C.5. Thaghâ

Di antara padanan kata lafadz dhalâl selanjutnya yang digunakan dalam al-Qur`an yang sangat sentral adalah konsep thaghâ. Thaghâ menurut arti bahasanya adalah sewenang-wenang, meluap, bergelombang atau melewati batas, sebagaimana dalam surat al-‘Alaq ayat 6 dan surat Thâhâ ayat 81, berikut ini:

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, (al- ‘Alaq: 6)

Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan- Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia. (Thâhâ: 81)

Dari arti bahasa tersebut, al-Qur`an menggunakan lafadz thaghâ dalam pengertian keagamaan yang menunjukkan jalan kesesatan sebagaimana lafadz dhalâl . Penggunaan al- Qur`an terhadap lafadz thaghâ yang menunjuk pada jalan

Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. (al-A’râf : 186)

Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas". (Thâhâ : 24)

Fir’aun diklaim sebagai thaghâ karena ia telah melakukan pelanggaran berat (maksiat), sombong, kafir dan melampaui batas. 46

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Hûd: 112)

Al-Qur`an juga secara tegas menyatakan bahwa kesesatan itu adalah jalan syaithan, sebagaimana dalam surat al-Nisâ` 60 dan 76 berikut ini.

46 al-Qurthûbî, al-Jâmi’, Juz VI, h. 112

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-

jauhnya.(al-Nisâ: 60)

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (al-Nisâ`: 76)

Menurut ‘Alî al-Shâbûnî maksud ayat wa al-ladzîna kafarû yuqâtilûna fî sabîl al-thâghût adalah bahwa orang-orang kafir berperang di jalan syaithan yang

mengajak pada kekafiran dan kesesatan (al-thughyân). 47

47 Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr (Mesir, Dâr al-Shâbûnî, tth) Jilid 1, h. 290

BAB III

SEBAB-SEBAB TERJADINYA KESESATAN