terhadap HAM dan juga melanggar hukum internasional karena tidak adanya perlindungan terhadap warga sipil di Thailand Selatan.
2. Kejahatan Kemanusiaan Di Thailand Selatan Ditinjau Dari Statuta
Roma
Di dalam Statuta Roma, khususnya di pasal 7 sudah dijelaskan dengan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan
kemanusiaan menurut pasal 7 statuta Roma adalah serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil.
Lalu timbul pertanyaan, apakah Mahkamah Pidana Internasional ICC yang berlandaskan kepada Statuta Roma relevan dapat mengadili kejahatan
kemanusiaan di Thailand Selatan yang notabene belum meratifikasi atau belum menjadi peserta dari Statuta Roma? Dan apakah bisa mengadili kembali kasus
yang sudah pernah disidangkan secara nasional oleh negara Thaialnd ne bis in idem ?
Negara Thailand secara nyata memang belumlah meratifikasi Statuta Roma, dan juga belum menjadi peserta atau para pihak sehingga Statuta Roma
belum terikat kepada Thailand. Dan secara legal-formal juga atau hukum positif dapat dikatakan kalau Mahkamah tidak mungkin mengadili kembali kasus yang
berlaku surut dan kasus yang sudah pernah disidangkan di pengadilan nasional negara tersebut seperti yang terjadi di Thailand Selatan ne bis in idem. Namun
jangan dilupakan bahwa ada diluar itu ada prinsip-prinsip lain yang mungkin saja dapat untuk kembali menyidangkan dan mengadili kasus kejahatan kemanusiaan
di Thailand Selatan ini, sehingga pandangan legal-formal tidaklah berlaku mutlak dan tidak bisa juga dikatakan Thailand bebas untuk dikenai proses peradilan
kembali oleh Mahkamah, karena masih ada ruang dan celah untuk Mahkamah untuk mengadili kembali kasus ini.
Dalam prakteknya, hukum internasional dewasa ini, dapat dikatakan, tak mengakui sepenuhnya prinsip larangan penuntutan kedua di negara lain untuk
perbuatan yang sama dan telah menjadi subyek putusan akhir di suatu negara
128
. Hal ini diperkuat dengan ditegaskan komisi HAM PBB yang menyimpulkan
bahwa Pasal 14 7 Konvensi ini tidak menjamin ne bis in idem berkaitan dengan yurisdiksi nasional dua negara atau lebih. Komisi mempelajari dan menyimpulkan
bahwa ketetapan itu melarang double joepardy hanya jika berkenaan dengan pelanggaran yang diputuskan di suatu negara saja
129
Pembatasan jangkauan asas ne bis in idem ini memberikan kesempatan bagi pengadilan negara kedua berikutnya agar bisa bertindak secara efektif
sebagai wakil masyarakat internasional dalam menekan perbuatan pidana atau kejahatan yang dimaksud dalam hukum internasional apabila pengadilan di suatu
negara pertama atau terdahulu tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban atau tanggungjawab hukumnya terhadap hal ini. Untuk dan seiring hal itu, Komisi
Hukum Internasional, yang beranggotakan para pakar dan dibentuk Majelis Umum PBB untuk menyusun undang-undang dan secara progresif membangun
termasuk semacam kodefikasi hukum internasional, memang telah mendeklarasikan komentarnya atas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana
128
Erikson Hasiholan Gultom. Op.cit. Hal 249
129
Ibid
Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Kemananan Manusia di tahun 1996 bahwa “hukum internasional tidaklah membebankan kewajiban bagi negara-negara untuk
mengakui keputusan pidana yang dijatuhkan di negara asing lain
130
. Badan ini juga menambahkan bahwa apabila suatu sistem pengadilan nasional tak berfungsi
secara independen atau memihak atau apabila pelaksanaannya dirancang untuk melindungi tersangka dari tanggungjawab pidana internasional, maka “masyarakat
internasional tak diminta untuk mengakui keputusan tersebut yang merupakan hasil dari proses Pengadilan pidana yang melakukan kesalahan besar semacam
itu”.
131
Dalam konteks ICTY dan ICTR, ketentuan mengenai prinsip ne bis in idem atau pelarangan ‘double jeopardy’ terdapat di pasal 102 menetapkan
sebagai berikut: 1 Tidak seorangpun akan atau boleh diadili di hadapan suatu
pengadilan nasional untuk perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan internasional menurut Statuta ini, untuk
mana dia telah diadili oleh Pengadilan Internasional; 2 Orang merupakan pelanggaran berat terhadap kemanusiaan
internasional dapat diadili lagi oleh Pengadilan Internasional hanya jika:
a Perbuatan yang karenanya dia sudah diadili telah digolongkan sebagai suatu kejahatan biasa; atau
130
Ibid
131
Laporan Sesi ke 48 Komisi Hukum Internasional – 6 Mei sampai 26 Juli 1996, UN Doc.A5110, 1996, Hal.76
b Proses pengadilan nasional tersebut bersifat tidak imparsial atau independen, dirancang atau dibentuk untuk melindungi terdakwa
dari pertanggungjawaban pidana internasional atau terhadap kasusnya tak dilakukan penuntutan secara serius.
Dalam Statuta Roma sendiri, prisnip ne bis in idem terdapat di dalam pasal 203 yang berbunyi: “Tidak seorangpun yang telah diadili oleh pengadilan yang
lain untuk perbuatan yang juga dilarang berdasarkan Pasal 6, 7, atau 8 Statuta ini boleh diadili oleh Mahkamah Pengadilan berkenaan dengan perbuatan yang
sama kecuali bila proses dalam pengadilan lain tersebut: a bertujuan untuk melindungi orang-orang tersebut dari
pertanggungjawaban pidana atas kejahatan dibawah yurisdiksi Mahkamah; atau
b selain itu, tidak dilakukan secara independen atau imparsial sesuai dengan norma-norma mengenai proses peradilan yang adil yang
diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang, dalam keadaan tersebut, tidak konsisten dalam membawa orang
tersebut ke Pengadilan.” Jadi dari pasal diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip ne bis in idem atau
pelarangan “double jeopardy” tidak berlaku jika Pengadilan bertujuan untuk melindungi tersangka dari pertanggungjawaban pidana dan tidak dilakukan
secara independen dan serius bersifat memihak. Dalam konteks masyarakat internasional, dengan terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan di Thailand Selatan ditambah kegagalan Thailand dalam
mengadili kasus kekerasan tersebut, Thailand dipandang telah gagal melaksanakan kewajiban hukumnya berdasarkan Piagam PBB dan hukum
internasional. Sementara PBB dan komunitas internasional beserta forum-forum nasional dan regional memiliki kewajiban hukum dalam menjamin bahwa kadar
yang tepat bagi pertaanggungjawaban pidana internasional yang sudah terlaksana telah dan harus tercapai.
Masalah berikutnya adalah tentang pengenaan Statuta Roma terhadap negara-negara yang belum meratifikasinya, termasuk dalam hal ini Thailand. Jika
melihat kembali ke belakang latar belakang dibentuknya Statuta Roma ini adalah dengan tujuan meningkatkan kerjasama internasional dalam mengadili kejahatan-
kejahatan paling serius yang merupakan keprihatinan internasional. Pada kenyataannya, tidak dapat dibantah kalau jaman sekarang peningkatan kebutuhan
akan suatu mekanisme penegakan keadilan supranasional yang mampu melindungi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan memberikan peringatan bahwa di
masa yang akan datang tidak akan ada toleransi terhadap immpunitas bagi setiap pelanggarannya. Sementara implementasi hukum adalah sentral untuk membuat
HAM menjadi efektif dalam prakteknya
132
. Dalam pertimbangan tersebut mendorong pembentukan Statuta Roma
oleh negara-negara dalam suatu forum tertinggi PBB. Statuta Roma memiliki ketentuan-ketentuan yang dapat dikategorikan sebagai jus cogens dan bersifat
erga omnes. Karena itu peraturan-peraturan Statuta mengikat secara universal dan berlaku terhadap seluruh warga dunia baik secara langsung maupun tidak
132
Erikson Hasiholan Gultom. Op.cit. hal 256
langsung. Artinya Statuta mengikat bukan hanya bagi negara-negara peserta yang telah meratifikasinya saja, namun juga terhadap negara-negara yang belum atau
termasuk peserta
133
. Misalnya dalam perkembangan terakhir, tim pendahulu dari pengadilan
kejahatan internasional telah tiba di Uganda untuk mempersiapkan penyelidikan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam perang antara pasukan pemerintah dan
pemberontak di Uganda
134
. Langkah ini juga dapat dilakukan terhadap kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan, meskipun Thailand belum
meratifikasi Statuta Roma. Mahkamah Pidana Internasional ICC berkewajiban untuk mengadili
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan karena jelas-jelas telah melanggar HAM dan hukum internasional. Mahkamah dapat saja
dan tidak dilarang secara absolute untuk menjalankan kewenangannya dalam relasi yurisdiksi universal seperti yang diselenggarakan Pengadilan Nuremberg
dengan melakuakan suatu pendekatan hukum kebiasaan internasional yang progresif radikal terhadap yurisdiksi universal
135
. Disinilah Mahkamah tidak dihadapkan pada pintu yang tertutup rapat untuk mengadopsi terobosan atau
Pengadilan Nuremberg tersebut, meski dengan begitu bahkan akan terdapat ketentuan ‘inkondusif’ tertentu dari Statuta yang tersimpangi
136
. Namun pada prinsipnya, sejauh yang disimpangi bukan merupakan atau termasuk ketentuan jus
cogens dan penyimpangan tersebut tidak menyimpang dari, atau justru selaras
133
Ibid
134
Dikutip dari www.kontras.org.index.php.hal=siaran_persid=240 diakses pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 21.17 WIB
135
Erikson Hasiholan Gultom, op.cit. hal 257
136
Ibid
dengan, prinsip erga omnes maka langkah tersebut dianggap positif dan dibenarkan
137
. Demikian pula lah yang terjadi pada kasus kejahatan kemanusiaan di
Thailand Selatan, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran sekolah, dan ketidakbebasan untuk menjalankan kepercayaan dalam beribadah yang dilakukan
oleh pihak berkuasa dalam hal ini negara Thailand masih tetap ada kemungkinan bagi Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan
yurisdiksinya terhadap kasus ini, karena fakta-fakta yang terjadi dalam kasus kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan ini telah terpenuhi syarat materilnya
yang ditetapkan dalam Statuta Roma khususnya yang ada di pasal 7 berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada umumnya pengadilan Thailand yang telah menyidangkan kasus- kasus-kasus tentang kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan lebih condong
dalam membela kerajaan Thailand khususnya apa yang dilakukan oleh militer Thailand di 3 provinsi Thailand Selatan , yakni Pattani, Yala, dan Narathiwat,
sehingga dinilai gagal dalam melaksanakan kewajiban untuk mengadili individu- individu yang bertanggungjawab dalam konflik kejahatan kemanusiaan di
Thailand Selatan. Hal tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya vonis berarti bagi pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan, dengan mudahnya
pihak hakim untuk memutusbebas para terdakwa yang terlibat dalam konflik di Thailand Selatan tersebut. Misalnya saja dalam putusan pengadilan mengenai
kasus berdarah Tak Bai yang dapat dikatakan salah satu peristiwa kekerasan serta
137
Ibid
kejahatan kemanusiaan paling mengenaskan dalam 10 tahun terakhir di dunia, tapi Hakim Yingyut Tanor-Rachin dan Hakim Jutarath Santisevee dalam
persidangan membebaskann pasukan keamanan Thailand dan mengatakan bahwa polisi dan militer Thailand hanya menjalankan tugas dan mempunyai alasan yang
sah untuk mengangkut lebih dari 1000 pengunjuk rasa yang ditahan dari Tak Bai di perbatasan Thailand-Malaysia ke Kamp tentara Ingkayuthaborihan di Pattani
pada 25 Oktober 2004. Contoh lain dari ketidakseriusan pemerintah Thailand dalam mengusut
pelanggaran HAM terhadap konflik kejahatan kemanusiaan di Thailand Selatan seperti yang dikemukakan oleh Wakil Direktur Human Rights Watch HRW Asia
yang berkedudukan di New York, Elaine Person
138
. Dia mengungkapkan kalau kegagalan pemerintah Thailand untuk menangkap dan mengadili mereka yang
bertanggungjawab atas masjid Al-Furqan telah membuat janji-janji tentang keadilan hanyalah omong kosong. Menurutnya Pemerintah Thailand khususnya
dalam hal ini PM Abhisit sama sekali tidak membuat kemajuan dalam kasus- kasus serius lainnya terkait pelanggaran HAM yang melibatkan pasukan
keamanan Thailand. Sebagai contoh, pada bulan Februari 2010 Jaksa Agung memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan terhadap pasukan terlibat dalam
pembunuhan di masjid Krue Se pada tahun 2004
139
. Daripada itu, hukum internasional telah memenuhi persyaratan-
persyaratan agar kasus kekerasan di Thailand Selatan tersebut dapat diadili kembali. Intervensi maupun pengambilalihan Mahkamah Pidana Internasional
138
Dikutip dari islamflash.blogspot.com200912Thailand-tak-serius-usut- pelanggaran.html?m=11 pada tanggal 12 Februari 2014 pukul 21.22 WIB
139
Ibid
untuk mengadili kembali kasus Thailand Selatan ini merupakan salah satu solusi alternatif untuk mendapatkan keadilan khususnya bagi korban-korban kejahatan
kemanusiaan di Thailand Selatan, karena memang pengulangan kembali proses pengadilan tersebut tidak akan melanggar prinsip-prinsip dasar hukum
internasional, baik itu jus cogens dan asas ne bis in idem. Pengulangan kembali proses pengadilan tersebut justru merupakan
kewajiban yang bersifat erga omnes bagi setiap atau seluruh komunitas dunia dan menurut hukum internasional haruslah direalisasikan. Pengulangan yang
dimaksud juga sangat selaras dengan jus cogens
140
. Sehingga daripada hal tersebut, Mahkamah Pidana Internasional dapat
mencapai fungsi-fungsi dan tujuannya dengan kapasitas personalitas hukum dan yurisdiksi internasional. Karena memang Mahkamah Pidana Internasional tersebut
harus dapat menjalankan kompetensinya sebagaimana yang ditetapkan dalam Statuta Roma sendiri, atas wilayah Negara peserta, dan dengan perjanjian khusus,
atas wilayah suatu negara lainnya, yaitu negara bukan peserta seperti Thailand. Berdasarkan prinsip pelengkap diatas, Mahkamah dapat berperan aktif
dalam menajalankan kompetisinya tersebut apabila dalam suatu kasus, sistem pengadilan nasional negara yang bersangkutan nyata-nyata telah gagal memenuhi
kewajibannya dalam mengadili kasus kejahatan HAM. Pengadilan nasional yang dimaksud tidak mampu dan tidak mau melakukan secara sungguh-sungguh dan
adil proses penyidikan, penuntutan, dan pengadilan terhadap individu-individu
140
Erikson Hasiholan. Op.cit
ataupun para pihak dari pemerintah yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM
141
. Konsekwensinya, apabila pemenuhan tersebut gagal, maka mekanisme
internasional akan mengambil alih pelaksanaan pemenuhan kewajiban penegakan HAM tersebut. Disini Mahkamah dapat bertindak dan berperan
sebagai suatu sistem mekanisme stabilisator yang berdaya guna atas yurisdiksi nasional dari negara-negara dalam memenuhi kewaajiban hukumnya masing-
masing dalam penegakan hukum HAM dan kemansiaan. Hal ini berlaku baik bagi negara peserta maupun bukan negara peserta
142
. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili individu-
individu yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan kemanusiaan didasarkan pada pasal 5 1 pasal 4 dan pasal 7 Statuta Roma sebagai dasar legal-
formal internasional dan ,selain itu, jus cogens, hukum kebiasaan internasional relevan-konstruktif bagi penegakan HAM. Dasar-dasar ini satu sama lain bersifat
setara dan harus disenergikan oleh Mahkamah dan komunitas dunia dalam menjalankan kompetensinya ini dan menegakkan HAM. Kompetensi itu sendiri
mengikat seluruh anggota komunitas internasional tanpa pengecualian
143
.
141
Ibid
142
Ibid
143
Ibid
C. Pasal-pasal dalam Statuta Roma yang Berkenaan pada Kejahatan