Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Konflik di Thailand

Jika merujuk pada konsep identitas yang diungkapkan oleh Fisher 2001 35 yang mengasumsikan bahwa kemunculan konflik Pattani yang masih berlangsung hingga sekarang disebabkan oleh karena adanya identitas yang terancam, berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak dapat diselesaikan. Disini masyarakat Pattani berusaha menjaga identitas aslinya karena adanya agama dan mekanisme internal kelompok yaitu adanya perasaan bersama atas nenek moyang yang keturunan bangsa Melayu. Karena merasa menjadi bagian dari bangsa Melayu kemudian mereka menolak ide pembaruan politik dan akulturasi budaya orang-orang Thai.

2. Faktor-Faktor Utama Penyebab Terjadinya Konflik di Thailand

Selatan Jika melihat dari uraian tentang sejarah 3 wilayah utama di Thailand Selatan Pattani, Yala, dan Narathiwat, sejatinya ada 3 faktor penyebab atau akar permasalahan terjadinya konflik dan di Thailand Selatan. Ketiga faktor tersebut dibagi terhadap faktor yang menyebabkan kekerasan struktural, kultural, dan sejarah. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut: TINGKAT KEKERASAN FAKTOR PENYEBAB Struktural 1. Ketidakadilan dari politik sentralisasi pemerintahan 2. Kemiskinan cukup tinggi Kultural Hegemoni sistem pendidikan, konflik identitas, didasarkan atas perbedaan tradisi dan agama Sejarah Penaklukan Kerjaan Pattani oleh Siam pada 1785 Sumber: the NRC Executive Summary June 2006 35 Fisher dkk, Mengelola Konflik, British Council, Jakarta, 2001 hal 8-9 Dalam faktor struktural Dominasi politik berdampak pada dominasi ekonomi sehingga pengelolaan sumber daya alam di ketiga daerah direncanakan dan ditentukan oleh pejabat-pejabat pemerintahan di Bangkok. Demokrasi Siam yang tidak membawa manfaat bagi Melayu Muslim ditulis seorang sejarawan Pattani, yaitu Ibrahim Syukri. Dia menerangkan mengenai hubungan antara antara demokrasi dengan masyarakat Melayu Muslim sebagai berikut 2005: 100: “Di Pattani, demokrasi seperti tidak tampak kedatangannya dan tidak diketahui oleh masyarakat Melayu Muslim, Siam demokrasi hanya nampak di Bangkok dan sekitarnya. Siam demokrasi untuk rakyat Siam, untuk penganut agama Budha, untuk penindasan terhadap Melayu, dan untuk melanggar prinsip- prinsip Islam. Dengan demikian, benar jika dikatakan bahwa demokrasi Siam tidak sesuai dengan masyarakat Melayu Muslim….Di antara 100 juta orang Melayu tahun 1949, Melayu Pattani adalah komunitas Melayu yang nasibnya paling buruk. Meskipun hidup dalam demokrasi Siam, namun demokrasi tersebut terbatas. Nasib orang Melayu ibarat suatu tanaman yang tumbuh tapi tidak bisa lebih besar dari pagar yang menjaganya.” 36 Dengan demikian, kekerasan struktural bersumber dari struktur politik yang menjajah. Struktur yang menjajah memberikan kesempatan terciptanya struktur ekonomi yang timpang, di mana sumber daya alam dari daerah minoritas dikuasai oleh pihak mayoritas. Struktur seperti ini menimbulkan situasi keterasingan atau alienasi secara politik dan ekonomi. Struktur politik dan ekonomi seperti ini yang mirip antara penjajah dengan terjajah memiliki potensi 36 Ibrahim, S. 2002 Sejarah Kerajaan Melayu Patani. Bangi. Penerbit Univirsiti Kebangsaan Malaysia. hal 100 yang cukup besar untuk memunculkan gerakan separatis, karena berkaitan dengan pembagian sumber daya politik dan ekonomi. Walaupun dewasa ini gerakan- gerakan separatis hanya muncul di wilayah tertentu seperti di kalangan minoritas Muslim, namun tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lain atau segmen- segmen lain dalam masyarakat lokal akan memisahkan diri dengan pemerintah pusat . 37 Sementara itu, kekerasan kultural terjadi disebabkan ketiadaan politics of differentiation untuk mengakomodasi masyarakat minoritas. Konflik yang disebabkan struktur ekonomi tidak semata-mata dapat berkembang secara langsung menjadi tindakan kekerasan politik apabila tidak disertai konflik yang menyangkut identitas seperti etnis, bahasa, dan agama. Pada umumnya, hal-hal yang menyangkut identitas terkait dengan tradisi dan agama yang, menurut Emilie Durkheim, dapat dikategorikan sebagai bentuk fakta sosial. Fakta sosial adalah setiap cara berpikir, berbicara, dan bertindak yang mengikat seluruh anggota masyarakat dan menentukan perilaku individu ketika berinteraksi dengan individu lain. Dengan kerangka ini, maka agama dan tradisi memiliki fungsi menyatukan tindakan-tindakan individu menjadi tindakan sosial. Apabila konflik ekonomi dan politik muncul; semakin tinggi kohesifitas kelompok dan semakin tinggi kemampuan elit untuk memobilisasi kelompok, maka akan semakin tinggi dampak konflik yang ditimbulkan, termasuk penggunaan kekerasan. 38 Pada dasarnya, kekerasan kultural adalah konsekuensi logis dari politik identitas yang dijalankan oleh negara, yaitu asimilasi kebudayaan. Sebagaimana 37 Cahyo Pamungkas, op.cit. hal 275 38 Ibid. hal 276 dijelaskan dalam Bab I, David Brown 1994 mengatakan bahwa kebijakan asimilasi budaya yang dilakukan negara dapat memicu separatisme etnis minoritas dan pemberontakan. Kebijakan asimilasi kebudayaan dilakukan dengan mempertentangkan antara identitas masyarakat lokal atau minoritas dengan identitas masyarakat mayoritas yang menjadi identitas nasional. Misalnya, pemaksaan oleh negara terhadap masyarakat minoritas untuk mengganti bahasa dan tradisi lokalnya, kemudian menggunakan bahasa dan tradisi baru yang selama ini digunakan masyarakat mayoritas 39 . Pemerintah Thailand menerapkan kebijakan tersebut secara sempurna pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Phibun Songram. Hingga saat ini, sebagian dari politik asimilasi masih dijalankan, seperti penggunaan bahasa Thai dan huruf Thai yang mengganti bahasa Melayu dan huruf Jawi. Asimilasi juga dipaksakan hingga ke tataran perilaku, yaitu agar orang-orang Melayu Muslim sepenuhnya berperilaku layaknya orang-orang Thai, misalnya menyanyi dan menari seperti orang Thai kebanyakan 40 . Instrumen yang digunakan dalam asimilasi kebudayaan adalah penerapan sistem pendidikan yang berfungsi menanamkan nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat. Sementara itu, masyarakat Muslim di kedua wilayah ini memiliki nilai-nilai tertentu yang berbeda dengan nilai-nilai sekuler. Sebagaimana telah dipaparkan di muka, mereka lebih senang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah Islam, karena takut anaknya akan meninggalkan agama Islam atau meninggalkan tradisi Melayu Muslim. Hal ini dapat dimengerti mengingat 39 Ibid 40 Ibid dalam sistem pendidikan sekuler, nilai-nilai dan agama Islam tidak diajarkan. Pondok di ketiga daerah perbatasan selatan menjadi alternatif bagi sistem pendidikan sekuler atau sebagai bentuk perlawanan pada tekanan asimilasi kebudayaan 41 . Kedua, agama menjadi simbol dan alat perjuangan. Organisasi gerakan separatis, seperti BRN, PULO dan lain sebagainya, tidak bisa terlepas dari isu agama untuk mengajak warga masyarakat bergabung dengan gerakan mereka. Kontribusi agama, dalam konflik ini, menjadikan agama dapat berfungsi negatif, yaitu mengajak pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan atau berperang. Bahkan, dalam ajaran agama Islam sendiri, jihad khususnya perang melawan orang-orang kafir yang memusuhi Muslim adalah kewajiban. Namun, seringkali organisasi-organisasi tersebut merupakan organisasi sekuler, tetapi mengangkat isu agama untuk memberikan makna dan legitimasi bagi perjuangan mereka. 42 Namun, menganggap konflik di Thailand Selatan dan Filipina Selatan sebagai konflik antaragama cenderung menyesatkan, karena isu agama seringkali hanya digunakan sebagai pembungkus bagi konflik ekonomi dan politik. Sebaliknya, kalau dikatakan bahwa konflik di Thailand Selatan tidak terkait dengan konflik antarumat beragama, hal ini tidak benar disebabkan agama berperan secara signifikan sebagai alat mobilisasi massa dalam konflik. 43 Sedangkan dari segi sejarah Pembunuhan sejarah lokal adalah yang paling kejam di Thailand Selatan, karena pemerintah melarang untuk mengingat warisan Kerajaan Melayu Pattani. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, 41 Ibid 42 Ibid 43 Ibid sejarah kerajaan Melayu Pattani tidak diajarkan dalam sejarah nasional. Selain itu, nama jalan dan kampung yang memiliki latar belakang sejarah harus diubah ke dalam bahasa Thailand. 44 Bentuk-bentuk dominasi sejarah yang terjadi di Thailand Selatan antara lain adalah sebagai berikut: 1 penamaan daerah-daerah baru, tempat-tempat publik, jalan dengan nama- nama di luar bahasa lokal mereka; 2 simbol-simbol yang digunakan tidak melihat latar belakang sejarah daerah tersebut, misalnya patung Raja Thailand di Pattani ; 3 penghargaan terhadap pahlawan-pahlawan lokal yang masih belum banyak diakui; 4 penulisan sejarah nasional yang tidak memberi tempat pada sejarah lokalitas. 45

B. Perjalanan Konflik dan Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Pelanggaran