menjadi energi kimia, juga bertindak sebagai penyumbang elektron utama P680, P700, maupun penerima elektron utama. Feofitin berasal dari klorofil, dengan
penggantian Mg dengan H
+
di pusat struktur kimia klorofil Salisbury dan Ross, 1995. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Sediadi dan Edward, 2003, terdapat
perbedaan kandungan klorofi a pada perairan laut, keadaan ini berkaitan dengan kondisi masing-masing perairan dan proses percampuran air dari bawah ke atas
upwelling di laut.
2.5 Hubungan antara Produktivitas Primer dengan Faktor Fisik Kimia
Menurut Nybakken 1988, sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Bermacam-macam faktor fisik dan kimia dapat mempengaruhi pertumbuhan
kelangsungan hidup, dan produktivitas tumbuhan teresterial maupun perairan. Faktor – faktor yang sangat penting bagi tumbuhan tersebut ialah cahaya, suhu, kadar zat-zat
hara. Jelas kiranya bahwa bagi suatu tumbuhan yang hidup tersuspensi dalam air, baik air maupun tanah tidak penting artinya. Kisaran suhu di Biosfer teresterial dapat
mencapai suatu tingkat yang dapat mempengaruhi produktivitas.
Hubungan Nilai Produktivitas Primer dengan faktor fisik kimia perairan adalah sebagai berikut :
1 Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,
evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O
2
, CO
2
, N
2
, dan CH
4
.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa sifat thermal air seperti panas jenis, nilai kalor penguapan dan nilai peleburan air mengakibatkan minimnya perubahan suhu air, sehingga variasi suhu air
lebih kecil bila dibandingkan dengan variasi suhu udara. Danau di daerah tropik mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu antara 20-30
C, dan menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Oleh karena itu perubahan suhu
dapat menghasilkan stratifikasi yang mantap sepanjang tahun, sehingga pada danau yang amat dalam cenderung hanya sebagian yang tercampur Effendi, 2003; Hadi,
2005.Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat
biasanya berada pada daerah eufotik, sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik bagian bawah.
Menurut Goldman Horne 1989, bila pada danau tersebut tidak mengalami pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan,
yaitu: 1 epilimnion, lapisan yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang, 2 hipolimnion, merupakan lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan
3 metalimnion adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion.Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin yaitu lapisan dimana
suhu akan turun sekurang-kurangnya 1 C dalam setiap 1 meter. Suhu merupakan
controling factor faktor pengendali bagi proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus
reproduksinya Hutabarat dan Evans, 1986.
Menurut hukum Vant Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 10 C hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir akan meningkat laju metabolisme dari
organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya
temperatur akan mengakibatkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi
Barus, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada laju
fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksinya. Selain itu suhu juga berpengaruh tidak
langsung terhadap kelarutan CO
2
yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan O
2
yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut.
Daya larut O
2
akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan Ruyitno, 1980. Suhu yang sesuai untuk kehidupan fitoplankton berkisar 20-30
o
C, sedangkan suhu yang baik untuk menumbuhkan plankton adalah 25-30
o
C. Pengamatan tentang suhu secara umum hampir merata di seluruh kolom air. Hal ini dapat dimengerti oleh
karena daerah penelitian masih dikategorikan perairan pantai dan dangkal. Selanjutnya, seiring dengan semakin besarnya sudut datang matahari, secara
berkelanjutan intensitas cahaya semakin kuat masuk ke kolam perairan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap aktivitas fitoplankton untuk
membelahmemperbanyak diri, sehingga pada kolam air yang mendapat penyinaran yang lebih besar akan mempunyai jumlah fitoplankton lebih banyak. Oleh karena
kedalaman dekat permukaan mendapatkan penyinaran yang lebih banyak tentunya akan semakin banyak ditemukan kelimpahan fitoplankton lebih tinggi dari pada
kedalam yang lebih dalam. Hal ini terlihat pada selang waku inkubasi kedua dan ketiga yang mendapatkan kelimpahan tertinggi pada kedalaman 0 m. Di samping itu
pada kedalaman 0 m intensitas cahaya yang masuk ke perairan sangat cocok untuk perkembangan fitoplankton dan bukan merupakan faktor penghambat,sehingga
dengan kondisi seperti itu fitoplankton cenderung semakin aktif berkembang biak dan bertahan pada kedalaman 0 m adanya kesesuaian intensitas cahaya.
2 Penetrasi Cahaya dan Intensitas Cahaya Matahari
Menurut Barus 2004. Faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan
Universitas Sumatera Utara
diabsorpsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Dengan bertambahnya lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang
signifikan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang mengakibatkan
kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Sedangkan menurut Herlina, 1987 penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisma
fotosintetik fitoplankton dan juga penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu.
Menurut Nybakken, 1988, fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai kesuatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas
tertentu. Cahaya matahari dibutuhkan oleh tumbuhan air fitoplankton untuk proses assimilasi. Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air
yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta
kepadatan plankton suatu perairan.
Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan
air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air.
Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz, 1992, padatan tersuspensi akan
mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat.
Mahida, 1993, mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan
umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat,
Universitas Sumatera Utara
lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air.
Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus.
Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat
penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesbiono, 1979, pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas
fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Di samping itu Effendi, 2003, menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan
juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk Effendi, 2003. Kecerahan perairan sangat
dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partike-lpartikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat
mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan Nybakken, 1992.
3 Total Suspended Solid TSS
Tingkat kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan suspensi massa air yang berasal dari sungai . Kandungan zat padat tersuspensi yang tinggi
dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan Prayitno dan Edward, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Ditambahkan oleh Nybakken, 1992, peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga
kedalaman perairan produktif menjadi turun. Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk
mengevaluasi kekuatan air,buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh
karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan.
4 Total Dissolved Solid TDS
Total Dissolved Solid merupakan jumlah kandungan zat padat terlarut dalam air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan perairan.
Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya matahari akan berkurang, akibatnya proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya mengurangi tingkat
produktifitas perairan Sastrawijaya, 2000. Menurut Hutter, 1990 dalam Barus, 2004 menyatakan pada perairan yang
konsentrasi mineralnya sedikit mempunyai harga total dissolved solid berkisar antara 50 mgl – 400 mgl, sementara pada perairan yang kaya akan mineral mempunyai
harga total dissolved solid pada kisaran antara 500 mgl – 2000 mgl. Keputusan Gubernur Bali No 8 tahun 2007 menetapkan Baku mutu TDS adalah 2000 mgl.
Dari hasil pengukuran bahwa nilai TDS pada ketiga stasiun melebihi baku mutu air.
5 pH Air Derajat Keasaman
pH merupakan suatu ekspresi dari konsentarsi ion hidrogen H+ didalam air. Biasanya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentasi ion H. pH sangat penting
sebagai parameter kualitas air, karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup
pada selang pH tertentu. Sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu
Universitas Sumatera Utara
apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjung kehidupan organisme air Rifai,1993.
Organisme dapat hidup dalam suatu perairan yang mempuyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi
kehidupan organisme air pada umumnya sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme, karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi Barus, 2004.
Derajat keasaman pH merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. Setiap organisme membutuhkan derajat
keasaman pH yang optimum bagi kehidupannya. Pescod, 1973, mengatakan bahwa batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi bergantung pada faktor
fisika, kimia dan biologi. pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton berkisar antara 6.5-8.0.
Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat
keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH 7 dikatakan kondisi
perairan bersifat basa Effendi, 2003. Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam mineral bebas dan asam
karbonat menaikkan keasaman suatu perairan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut Mahida, 1993 menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.
Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H
2
S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah.
Universitas Sumatera Utara
6 Oksigen Terlarut DO = Disolved Oxygen
Oksigen diperlukan oleh organisme air untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan pemeliharaan keseimbangan
osmotik, dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen terlarut di perairan sangat sedikit maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan makhluk hidup lainnya yang hidup
di perairan,karena akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan organisme air tersebut. Kandungan oksigen terlarut minimum 2 mgl, sudah cukup mendukung
kehidupan organisme perairan secara normal Warhdana, 1995.
Pengaruh oksigen terlarut terhadap fisiologis air terutama adalah dalam proses respirasi. Konsentrasi oksigen terlarut hanya berpengaruh secara nyata terhadap
organisme air yang memang tidak mutlak membutuhkan oksigen terlarut untuk respirasinya.Konsumsi oksigen bagi organisme air berfluktuasi mengikuti proses-
proses hidup yang dilaluinya. Pada umumnya konsumsi oksigen bagi organisme air ini akan mencapai maksimum pada masa-masa reproduksi berlangsung. Konsumsi
oksigen juga dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut itu sendiri Barus, 2004.
Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh
organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air
hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton . Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant diam atau
terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat,
meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang. sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan aktivitas fotosintesis. Pada
proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen.
Universitas Sumatera Utara
CO2 + 6 H2O 12O6 + 6 O2
Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zone epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang
dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen
terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan atmosfer.
Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut alam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar
tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran hewan dan manusia, sampah organik, bahan-bahan
buangan dari industri dan rumah tangga. Menurut Connel and Miller 1995, sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah
organik. Menurut Lee et al., 1978, kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan DO Lee et al., 1978
No Kadar oksigen terlarutmgl
status kualitas air 1
1 6,5 Tidak tercemar sampai
tercemar sangat ringan 2
2 4,5 – 6,4 Tercemar ringan
3 3 2,0 – 4,4
Tercemar sedang 4
4 2,0 Tercemar berat
7 Biochemical Oxygen Demand BOD
BOD kebutuhan oksigen biologis adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme dalam lingkungan air, pengukuran BOD didasarkan
kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya
Universitas Sumatera Utara
hanya terhadap senyawa yang terdapat yang mudah diuaraikan secara biologis seperti senyawa yang terdapat dalam rumah tangga. Untuk produk- produk kimiawi, seperti
senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit dan bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme Barus, 2004.
BOD
5
merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD
5
tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan
melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik.
Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob
yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al., 1978 menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai
BOD
5
-nya, seperti disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Status Kualitas Air Berdasarkan Nilai BOD
5
Lee et al., 1978
No Nilai BOD
5
ppm Status kualitas air
1 2,9
Tidak tercemar 2
3,0 – 5,0 Tercemar ringan
3 5,1 – 14,9
Tercemar sedang 4
15 Tercemar berat
Selain BOD
5
, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai COD. Effendi 2003 menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO
2
dan H
2
O. Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling baik dalam
menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak.
Universitas Sumatera Utara
8 Chemycal Oxygen Demand COD
COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam O
2
l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan sacara biologis Barus, 2004.
9 Kandungan Nitrat dan Fosfat
Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N
2
, NO
2 -
, NO
3 -
, NH3 danNH4
+
serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks Haryadi, 2003. Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80 dalam bentuk nitrogen
bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit NO
2 -
,ion nitrat NO
3 -
, ammonia NH
3
, ion ammonium NH4
+
dan molekul N
2
yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air. Effendi, 2003
menyatakan bahwa bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi ada yang melibatkan mikrobiologi dan ada yang tidak sebagai bagian dari siklus
nitrogen. Transformasi nitrogen secara mikrobiologi mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Asimilasi nitrogen anorganik nitrat dan ammonium oleh tumbuhan dan
mikroorganisme bakteri autotrof untuk membentuk nitrogen organik misalnya asam amino dan protein.
2. Fiksasi gas nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen organik oleh
mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh beberapa jenis alga Cyanophyta alga biru dan bakteri.
N
2
+ 3 H
2
2 NH
3
ammonia; atau NH
4
+ ion ammonium.
Universitas Sumatera Utara
Ion ammonium yang tidak berbahaya adalah bentuk nitrogen hasil hidrolisis
ammonia yang berlangsung dalam kesetimbangan seperti reaksi berikut: H
2
O + NH
3
NH
4
OH NH
4
+ + OH- Kondisi pada pH tinggi suasana basa akan menyebabkan ion ammonium
menjadi ammonium hidroksida yang tidak berdisosiasi dan bersifat racun Goldman and Horne, 1989.
3. Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat dilakukan oleh
bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8 dan berkurang secara nyata pada pH 7.
NH
4+
+ 32 O
2
2 H
+
+ NO
2 -
+ H
2
O Nitrosomonas
NO
2 -
+ ½ O
2
NO
3 -
Nitrosobacter Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat langsung
digunakan dalam proses biologis Hendersen-Seller, 1987. 4.
Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan
jamur yang membutuhkan oksigen untuk mengubah senyawa anorganik menjadi karbondioksida Hendersend-Seller, 1987. Selain itu, autolisasi atau pecahnya sel
dan eksresi ammonia oleh zooplankton dan ikan juga berperan sebagai pemasok ammonia.
5. Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit NO
2
-, dinitrogen oksida N
2
O dan molekul nitrogen N
2
. Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik tak ada oksigen. Dinitrogen oksida N
2
O adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan
molekul nitrogen N
2
adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang pada kondisi pH dan suhu rendah,
tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi
Universitas Sumatera Utara
anaerob di sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg l hari Jorgensen, 1980.
Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali blooming. Konsentrasi nitrogen organik di perairan
berkisar 0,1 sampai 5 mgl, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen bisa mencapai 100 mgl . Konsentrasi nitrit yang tinggi dapat menyebabkan perairan
menjadi tercemar. Schmit, 1978 dalam Wardoyo, 1989 menyatakan bahwa pencemaran perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nitritnya Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Nitrit Schmit,197 dalam Wardoyo, 1989
No Kadar nitrit mgl Status kualitas air
1 1 0,003
Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan 2
0,003 – 0,014 Tercemar sedang
3 0,014
Tercemar berat
Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam
transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate ATP dan adenosine diphosphate ADP. Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat
adalah bentuk yang paling sederhana di perairan Boyd, 1982. Reaksi ionisasi
ortofosfat ditunjukkan dalam persamaan berikut: H
3
PO
4
H
+
+ H2PO
4-
H
2
PO
4 -
H
+
+ HPO
4 2-
HPO
4 -
H
+
+ PO
4 3-
Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat P
2
O
7 4-
, metafosfat P
3
O
9 3
dan polifosfat P
4
O
13 6-
dan P
3
O
10 5-
serta fosfat yang terikat secara organik
Universitas Sumatera Utara
adenosin monofosfat. Senyawa ini berada sebagai larutan,partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik Ferguson, M.N,1996.
Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk
ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Menurut Perkins 1974, kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak
lebih dari 0,1 mgl, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat.
Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di perairan Danau Siais Kecamatan Angkola Sangkunur Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Berdasarkan zona
lingkungan yang ada ditetapkan 5 stasiun pengamatan yang berbeda. Perairan Danau Siais banyak digunakan untuk berbagai aktivitas masyarakat antara lain budidaya
ikan, transportasi air, pariwisata, pemukiman penduduk, peternakan dan pertanian juga tempat bermuaranya sungai anak Batangtoru dan sungai Rianiate.
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian