Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Faktor Fisik Kimia Air Di Muara Sungai Asahan

(1)

HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON

DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

OLEH

MAIDAR BR. GALINGGING

087030015

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON

DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

OLEH

MAIDAR BR. GALINGGING

087030015

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Penelitian : Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Faktor Fisik Kimia Air Di Muara Sungai Asahan Nama : MAIDAR BR. GALINGGING

NIM : 087030015 Program Studi : BIOLOGI

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus M.Sc Prof. Dr. Dwi Suryanto M. Sc Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Dwi Suryanto M. Sc Dr. Sutarman M. Sc


(4)

PERNYATAAN

HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON

DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan faktor Fisik Kimia Air Di Muara sungai asahan” dalam waktu yang telah ditetapkan.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc selaku Dosen Pembimbing II, atas segala kesabaran, kebaikan, perhatian dan kemurahan hati yang telah diberikan yang tidak mungkin bisa saya balas.

2. Prof. Dr. Sengli J. Damanik, M.Sc dan Dr. Suci Rahayu, sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan hasil penelitian ini.

3. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Sekolah Pascasarjana Jurusan Biologi Universitas Sumatera Utara Medan yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.

5. Gubernur Sumatera Utara dan Kepala Bapeda Sumatera Utara Medan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada Sekolah Pascasaarjana Biologi Universitas Sumatera Utara.

6. Teman-teman S2 dan adik-adik mahasiswa S1 Departeman Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara yang telah meluangkan waktunya menemani penulis sejak awal survey sampai saat menyelesaikan penelitian.

7. Keluarga Besar SMA Negeri 18 Medan yang telah memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan S2.


(6)

8. Khusus kepada ayahanda P. Galingging (alm.), Ibunda E. Br. Naibaho ananda ucapkan dari lubuk hati yang paling dalam terima kasih yang tiada terhingga atas segala pengorbanan dan doanya.

9. Mertua K. Br. Sitanggang dan keluarga besar Sinurat terima kasih atas segala dukungan dan doanya.

10.Abang, Kakak beserta keluarga besar Galingging terima kasih atas doa dan dukungannya

11.Suami tercinta St. Maruli Tua Sinurat ucapan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas segala kasih sayang, doa, dorongan, pengorbanan, waktu, dan kesabaran mendampingi saya dalam menyelesaikan studi ini. Kepada anak-anakku tersayang, Yoshua Abib Mula, Yoshua Anggi, Hayeta Dorea Maylita, Gracia Hineni Paidevo terima kasih mama ucapkan atas doa dan pengertiannya.

Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengasihi, menolong dalam segala aktivitas kita,dan semoga penelitian ini bermanfaaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sunggal Kota Madya Medan Sumatera Utara, pada tanggal 11 Mai 1966 anak ke enam dari enam bersaudara.

Adapun riwayat pendidikan penulis adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD) Swasta Brigjen Katamso, kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan dari tahun 1973-1979.

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Sunggal, Kecamatan Sunggal Kota Medan dari tahun 1979-1982.

3. Sekolah Menengah Atas di Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan Negeri 24 (SMPP N 24) Medan Sunggal Kota Medan dari tahun 1982-1985.

4. Diploma III, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara,dari tahun 1985-1988.

5. Tingkat Sarjana (S1) Jurusan Biologi IKIP Negeri Medan dari tahun 1996-1997 (Memperoleh Gelar S.Pd).

6. Tahun 2008 mendapat kesempatan belajar pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Biologi FMIPA USU Medan, dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Riwayat pekerjaan penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1988 Guru honorer di SMA Swasta Kalam Kudus Pekan Baru Riau. 2. Tahun 1988 CPNS, Guru SMA Negeri kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. 3. Tahun 1989-1994 PNS, Guru SMA Negeri Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. 4. Tahun 1995 sampai sekarang Guru SMA Negeri 18 medan Sumatera Utara.


(8)

ABSTRAK

Penelitian tentang hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan faktor fisik kimia air di Muara Sungai Asahan telah dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan titik stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Purposive random sampling. Penelitian dilakukan pada 3 lokasi dan masing-masing lokasi terdiri dari 3 kedalaman. Nilai produktivitas primer diukur dengan menggunakan metode winkler yang menggunakan botol terang dan botol gelap, sedangkan klorofil a diukur dengan menggunakan spektrofotometer.

Dari hasil penelitian diperoleh nilai produktivitas primer berkisar antara 150,144 hingga 375,360 mgC/m3/hari dengan rata-rata tertinggi diperoleh pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2. Berdasarkan hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari nilai produktivitas primer antar stasiun dan antar kedalaman. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara faktor fisik kimia, konsentrasi klorofil a dan kelimpahan fitoplankton dengan produktifitas primer, ditemukan bahwa oksigen terlarut, fosfat, klorofil a dan kelimpahan fitoplankton berkorelasi sangat kuat dan positif dengan produktivitas primer.


(9)

ABSTRACT

A study on primary productivity of phytoplankton and it’s relationship with physical and chemical factors of water in Estuary of Asahan River was done in August 2009. The sampling station was determinated by Purposive random sampling method. Samples were collected from 3 sampling station with 3 water depth. The primary productivity was measured by the Winkler method, while the concentration of chlorophyll a was measured by spectrophotometer.

The result showed that of primary productivity range from 150,144 to 375,360 mgC/m3/day with the highest value at station 3 and the lowest value at station 2. There is no significance difference of value primary productivity between station and deepness. Analysis of correlation between physical and chemical factors, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton with value of primary productivity showed that dissolved oxygen, phosphate, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton had very strong and positive correlation with primary productivity.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Penghargaan v

Riwayat Hidup vii

Abstrak viii

Abstract ix

Daftar Isi x

Daftar Tabel xi

Daftar Lampiran xii

Bab 1. Pendahuluan

1.1Latar Belakang 1

1.2Rumusan Masalah 2

1.3Tujuan Penelitian 3

1.4Hipotesis 4

1.5Manfaat Penelitian 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Ekosistem Estuari 6

2.2 Produktivitas Primer 7

2.3 Klorofil a 8

2.4 Fitoplankton 10

2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan 11

Bab 3. Bahan dan Metode

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 22

3.2 Metode Penelitian 22

3.3 Alat dan Bahan 22

3.4 Deskripsi Area 23

3.5 Faktor Biologi yang Diukur 21

3.6 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 24

3.7 Analisis Data 28

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan

Kelimpahan Fitoplankton 31

4.2 Faktor Fisik Kimia Perairan 38

4.3 Hubungan antara Produktivitas Primer dengan faktor

Fisik Kimia Perairan 50

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 54

5.2 Saran 55


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran

Faktor Fisik Kimia Perairan

28 Tabel 2 Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan

Kelimpahan Fitoplankton

31 Tabel 3 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing

Stasiun Penelitian

39 Tabel 4 Nilai Analisis Korelasi Produktivitas Primer dengan

Faktor Fisik - Kimia Perairan

45


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 60 Lampiran B Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 61

Lampiran C Bagan Kerja Untuk Mengukur COD 62

Lampiran D Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3) 63

Lampiran E Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO43-) 64

Lampiran F Bagan Kerja Pengukuran absorban Klorofil a 65

Lampiran G Gambar Spektrofotometer 66

Lampiran H Peta Lokasi Penelitian 66

Lampiran I Foto Lokasi Penelitian 67

Lampiran J Nilai Konsentrasi Klorofil a 68

Lampiran K Contoh Perhitungan 68

Lampiran L Hasil Analisis Variance 69

Lampiran M Lampiran Analisis Korelasi SPSS 70

Lampiran N Lampiran Baku Mutu Air Laut 71

Lampiran O Hasil Analisis Laboratorium Nitrat dan Fosfat 72 Lampiran P Hasil Analisis Laboratorium COD, TDS dan TSS 73 Lampiran Q Hasil Analisis Laboratorium Substrat Organik 74


(13)

HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON

DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(14)

Telah diuji pada

Tanggal 13 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc

2. Prof. Dr. Sengli J. Damanik, M.Sc 3. Dr. Suci Rahayu


(15)

ABSTRAK

Penelitian tentang hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan faktor fisik kimia air di Muara Sungai Asahan telah dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan titik stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode Purposive random sampling. Penelitian dilakukan pada 3 lokasi dan masing-masing lokasi terdiri dari 3 kedalaman. Nilai produktivitas primer diukur dengan menggunakan metode winkler yang menggunakan botol terang dan botol gelap, sedangkan klorofil a diukur dengan menggunakan spektrofotometer.

Dari hasil penelitian diperoleh nilai produktivitas primer berkisar antara 150,144 hingga 375,360 mgC/m3/hari dengan rata-rata tertinggi diperoleh pada stasiun 3 dan terendah pada stasiun 2. Berdasarkan hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari nilai produktivitas primer antar stasiun dan antar kedalaman. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara faktor fisik kimia, konsentrasi klorofil a dan kelimpahan fitoplankton dengan produktifitas primer, ditemukan bahwa oksigen terlarut, fosfat, klorofil a dan kelimpahan fitoplankton berkorelasi sangat kuat dan positif dengan produktivitas primer.


(16)

ABSTRACT

A study on primary productivity of phytoplankton and it’s relationship with physical and chemical factors of water in Estuary of Asahan River was done in August 2009. The sampling station was determinated by Purposive random sampling method. Samples were collected from 3 sampling station with 3 water depth. The primary productivity was measured by the Winkler method, while the concentration of chlorophyll a was measured by spectrophotometer.

The result showed that of primary productivity range from 150,144 to 375,360 mgC/m3/day with the highest value at station 3 and the lowest value at station 2. There is no significance difference of value primary productivity between station and deepness. Analysis of correlation between physical and chemical factors, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton with value of primary productivity showed that dissolved oxygen, phosphate, concentration of chlorophyll a, abundance of phytoplankton had very strong and positive correlation with primary productivity.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muara Sungai Asahan yang berada di Kota Tanjung Balai merupakan perairan yang sangat padat aktivitas, karena di wilayah ini terdapat dua pelabuhan yang letaknya berhadapan langsung dengan pelabuhan negara tetangga Malasya atau Port Klang. Lokasi pelabuhan yang pertama terletak di Teluk Nibung dan lebih dikenal dengan nama Pelabuhan Teluk Nibung yang berada di ambang luar Sungai Asahan. Letak kedua pelabuhan yang berada di pemukiman yang sangat padat penduduknya menyebabkan berbagai dampak lingkungan seperti berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya yang ada di perairan tersebut. Selain limbah domestik dari pemukiman, terdapatnya beberapa gudang ikan dan industri di sepanjang muara sungai ini tentunya akan memberi andil terjadinya degradasi ekosistem di perairan ini.

Produktivitas primer fitoplankton merupakan salah satu sumber oksigen di perairan. Oksigen yang dihasilkan digunakan dalam proses-proses ekologis di perairan, misalnya respirasi dan dekomposisi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas primer fitoplankton, khususnya di perairan estuari diantaranya adalah ketersediaan nutrien, cahaya matahari, suhu dan salinitas (Nybakken, 1992). Meningkatnya penggunaan perairan sebagai sarana berbagai macam kegiatan


(18)

masyarakat dapat menyebabkan perubahan pada faktor-faktor tersebut. Keberadaan dan aktivitas fitoplankton berhubungan dengan lingkungan perairan sekitarnya. Kondisi lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap fitoplankton diantaranya adalah cahaya dan unsur hara (Madubun, 2008). Kedua faktor tersebut terdistribusi secara tidak merata di perairan. Hal ini terjadi karena adanya masukan berbagai zat buangan dari darat dan sifat hidromorfologi perairan sehingga berdampak terhadap produktivitas primer fitoplankton dan pada akhirnya berdampak pada perairan Muara Teluk Nibung.

1.2 Rumusan Masalah

Pertumbuhan dan produksi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, cahaya matahari, suhu, salinitas. Tingginya tingkat pemanfaatan di perairan Muara Teluk Nibung menjadi penyebab limpahan bahan organik. Bertambahnya kandungan bahan organik di perairan meningkatkan kebutuhan oksigen untuk dekomposisi. Salah satu yang mensuplai kebutuhan oksigen di perairan adalah fitoplankton. Di sisi lain bertambahnya bahan organik akibat berbagai aktivitas masyarakat di sepanjang perairan seperti pelabuhan, pemukiman padat penduduk, industri dapat mengakibatkan penurunan atau pengurangan kecerahan perairan sehingga menurunkan penetrasi cahaya secara mencolok, yang selanjutnya hal ini dapat menurunkan fotosintesis fitoplankton dan mempengaruhi nilai produktivitas. sehubungan dengan hal tersebut, maka muncul berbagai pertanyaan berikut :


(19)

1. Bagaimana produktivitas primer fitoplankton di perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai.

2. Bagaimana hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton tersebut dengan faktor biofisik kimia perairan Muara Sungai Asahan.

3. Bagaimana korelasi antara produktivitas primer fitoplankton dengan konsentrasi klorofil a di perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian yang akan dilakukan di perairan Muara Sungai Asahan untuk mengetahui :

1. Nilai produktivitas primer fitoplankton di perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai Sumatera Utara.

2. Hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton dengan faktor biofisika kimia lingkungan di perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai Sumatera Utara. 3. Hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton dengan konsentrasi klorofil di

perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai Sumatera Utara.

1.4 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan nilai produktivitas primer pada setiap lokasi penelitian dan juga pada setiap kedalaman.


(20)

2. Terdapat korelasi antara faktor abiotik (fisik-kimia) dan faktor biotik (kelimpahan fitoplankton) dengan nilai produktivitas primer.

3. Terdapat korelasi antara nilai produktivitas primer dengan konsentrasi klorofil a.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang nilai produktivitas primer dan kaitannya dengan faktor biofisik kimia lingkungan di perairan Muara Teluk Nibung yang untuk selanjutnya sebagai acuan kepada pemerintah daerah dan instansi yang terkait dalam pengelolaan pengembangan dan pelestarian kawasan perairan Muara Sungai Asahan Tanjung Balai Sumatera Utara.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Estuari

Estuari merupakan teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Di antara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat organik. Bahan ini menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari (Dahuri et al., 1996). Keberadaan substrat berlumpur di estuari dapat mempengaruhi tingkat kekeruhan perairan yang berakibat adanya variasi produktivitas fitoplankton (Cloern, 1989).

Estuari merupakan daerah yang mempunyai sejumlah besar bahan organik, sejumlah besar organisme, dan produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer di sekitar estuari, kenyataannya bukan sumber bahan organik satu-satunya. Estuari bertindak sebagai tempat penimbunan bahan-bahan organik yang di bawa oleh sungai atau dibawa masuk dari laut. Sukar untuk memperkirakan peranan produktivitas primer dalam sistem estuari pada sumbangannya terhadap produksi organik total karena beberapa alasan. Pertama hanya sedikit herbivora yang langsung makan tumbuhan. Oleh karena itu, kebanyakan bahan tumbuhan harus dihancurkan dulu menjadi detritus sebelum memasuki berbagai jaringan makanan. Proses penguraian


(22)

ini melibatkan kerja bakteri. Begitu pula bahan tumbuhan menjadi detritus, tidak mudah membedakannya dari detritus organik lainnya yang dibawa ke dalam sistem tersebut dari sungai dan laut (Nybakken, 1992).

Jumlah organisme yang menghuni estuari jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, terutama fluktuasi salinitas yang sangat besar sehingga hanya beberapa spesies saja yang mampu bertahan hidup di estuari. Selain miskin dalam jumlah organisme, estuari juga miskin flora. Perairan estuari sangat keruh sehingga tumbuhan mencuat saja yang dapat tumbuh (Dahuri et al., 1996).

Walaupun tingkat nutrien di estuari tinggi, keadaannya tidak seimbang, nitrogen sering kali rendah dan bahkan dapat menjadi faktor pembatas bagi fitoplankton di estuari. Populasi fitoplankton yang rendah biasanya terjadi pada akhir musim gugur dan musim dingin karena berkurangnya cahaya dan kekeruhan yang tinggi, sebagai akibat besarnya debit air sungai dan turbulensi. Hal ini diikuti juga oleh pertumbuhan diatoma yang pesat pada akhir musim dingin. Pertumbuhan yang pesat ini berhenti pada akhir musim semi, seringkali bukan karena dimakan zooplankton tetapi karena berkurangnya sumber nitrogen dan menyebabkan penumpukan diatom diatas permukaan lumpur (Nybakken, 1992).

Rendahnya produktifitas primer di kolom air, sedikit herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus secara nyata menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan pada ekosistem estuari merupakan rantai makanan detritus. Detritus


(23)

membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan alga, yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi binatang pemakan suspensi dan detritus (Dahuri et al., 1996).

2.2 Produksivitas Primer

Adanya kehidupan di bumi berpangkal pada kemampuan tumbuhan hijau dalam menggunakan energi cahaya matahari untuk mensintesis molekul-molekul organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Proses ini ialah fotosintesis yang mempunyai persamaan umum.

6CO2 + 6H2O C2H12O6 + 6O2

Pangkal semua kehidupan di dalam laut berupa aktivitas fotosintetik tumbuhan akuatik. Namun kondisi-kondisi kimia dan fisik tertentu mengakibatkan terdapatnya perbedaan-perbedaan besar dalam bentuk tumbuhan dan lokasi, serta tingkat aktivitas fotosintetik maksimum di laut (Nybakken, 1992). Jadi jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses fotosintesis dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup, yang secara kolektif disebut respirasi, tinggal sebagian dari produksi total yang tersedia bagi pemindahan atau pemanfaatan oleh organisme lain. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan tumbuhan untuk respirasi. Produksi primer bersih ini yang tersedia bagi


(24)

tingkatan-tingkatan trofik, Odum (1971) menyatakan bahwa produktivitas yang tinggi di daerah estuari disebabkan oleh estuari adalah perangkap nutrien, secara fisika dan biologi.

Daur ulang nutrien yang sangat cepat oleh aktivitas mikroba, bentos, dan hewan penggali menciptakan semacam sistim penyuburan sendiri. Namun kecenderungan alami ini menyebabkan estuari rentan terhadap polusi, karena polutan akan terperangkap termasuk nutrien-nutrien yang bermanfaat. Perangkap nutrien secara fisika terkait gerakan pasang surut.

1. Estuari memiliki keanekaragaman jenis produser yang dapat berfotosintesis. Banyak estuari yang ditemukan memiliki semua tiga tipe produser yang ada di dunia, yaitu makrofita (rumput laut, lamun, dan rumput gambut/marsh grass), mikrofita dasar, dan fitoplankton.

2. Peran pasang surut dalam menciptakan sebuah ekosistim dengan tinggi muka air yang berfluktuasi. Pada umumnya, semakin besar amplitudo pasang maka semakin besar potensi produksi, jika arus yang terjadi tidak terlalu abrasif. Goldman dan Home (1983) menyatakan air yang dangkal dan lumpur yang dengan mudah terpapar cahaya matahari saat surut, dapat meningkatkan daur ulang nutrien melalui dekomposisi oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan hewan bentik.

2.3 Klorofil a

Proses fotosintesis berlangsung dalam kloroplas, suatu organel yang terdapat di dalam sel tumbuhan hijau. Kloroplas memiliki membran atau pembungkus


(25)

mengelilingi suatu ruas pusat yang besar yang dinamai stroma. Stroma mengandung beberapa banyak enzim larut yang berbeda yang berfungsi untuk menggabungkan sebagian organik. Di dalam stroma, membran juga membentuk granum. Setiap granum terdiri dari satu timbunan kantung atau ceper yang dinamai tilakoid. Granum dihubungkan antara satu sama lain oleh lamella stroma. Klorofil ada pada membran granum, dan menjadikannya sistem penyimpanan energi bagi kloroplas. Setiap tilakoid berbentuk seperti kantung. Pergerakan ion-ion dari ruang ini melintasi membran tilakoid dipercaya penting dalam proses sintesis. Klorofil tidak menyerap panjang gelombang cahaya dengan banyak. Karena itu, cahaya ini dipantulkan ke mata dan kita melihat klorofil sebagai suatu pigmen hijau (Mader, 1995).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa klorofil a memainkan peranan penting pada fotosistem I dan II (dahulu disebut fotoreaksi gelombang pendek dan gelombang panjang). Pada tahun 1957, Bessel Kok menemukan adanya klorofil a khusus yang dinamakan P700 dan menurut pendapatnya bahwa P700 adalah pusat reaksi klorofil a fotosintesis. Selanjutnya diperkirakan keberadaan klorofil a khusus lainnya berada di pusat reaksi lainnya, yakni pusat reaksi P680 dari sistem gelombang pendek. Klorofil a tidak hanya berperan dalam cahaya permanen dan pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia, juga bertindak sebagai penyumbang elektron utama (P680, P700), maupun penerima elektron utama. Feofitin berasal dari klorofil, dengan penggantian Mg dengan H+ di pusat struktur kimia klorofil (Salisbury dan Ross, 1995). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Sediadi dan Edward (2003), terdapat perbedaan kandungan klorofi a pada perairan laut, keadaan ini berkaitan dengan


(26)

kondisi masing-masing perairan dan proses percampuran air dari bawah ke atas (upwelling) di laut.

2.4 Fitoplankton

Plankton merupakan organisma yang berukuran sangat renik yang hidup melayang-layang dalam air dan memiliki kemampuan gerak yang sangat lemah sehingga perpindahannya sangat dipengaruhi oleh pergerakan massa air. Plankton yang berukuran mikroskopis meliputi tumbuhan dan hewan. Golongan dari tumbuhan disebut fitoplankton dan dari hewan disebut zooplankton (Odum, 1971; Nybakken, 1992).

Pengelompokan plankton biasanya didasarkan pada ukuran (net dan net-net plankton), habitat (haliplankton dan limnoplankton) dan daur hidup (holoplankton dan meroplankton). Berdasarkan ukurannya, Levinton (1982) dan Nybakken (1992) mengelompokkan plankton atas ultraplankton (<2 µm), nanoplankton (2-20 ȝm), mikroplankton (20-200 ȝm), makroplankton (0,2-2 mm), dan megaplankton (>2 mm). Menurut Levinton (1982), komponen-komponen fitoplankton terutama terdiri dari Diatom (kelas Bacillariophyceae), Dinoflagellata, Cocolithopore dan alga coklat emas lainnya (kelas Heptophyceae), blue green alga (kelas Cyanophyceae disebut juga Cyanobacteria), alga hijau (kelas Chlorophyceae) dan Flagellata Cryptomonas (kelas Cryptophyceae). Masing-masing komponen tersebut memiliki ukuran tubuh serta bentuk-bentuk sel yang berbeda dan menyumbangkan komposisi yang bervariasi


(27)

pula terhadap struktur komunitas fitoplankton, serta kehadirannya dapat mencirikan kondisi lingkungan tertentu.

Kennish (1992) menyatakan bahwa diatom (kelas Bacillariophyceae), dinoflagellata (kelas Dinophyceae), cocolitthopor (kelas Prymnesiophyceae), silicoflagellata (kelas Chrysophyceae), dan blue-green (kelas Cyanophyceae) adalah taksa utama dari produser planktonik di laut. Organisme autotrof ini mempunyai peranan penting di laut karena melakukan paling sedikit 90% fotosintesis di laut. Oleh karena laut menutupi 72% permukaan bumi, fitoplankton merupakan produser primer yang paling penting.

Menurut Kennish (1992), Mallin (1994), dan Thoha (2003), fluktuasi kondisi lingkungan estuari seperti salinitas, musim dan zat makanan menyebabkan fitoplankton membelah dengan laju yang bervariasi, akibatnya produktivitas primer berbeda dari satu wilayah geografi dengan wilayah geografi lainnya, serta berbeda menurut musim di wilayah geografi yang sama. Faktor alam dan antropogenik dapat mengatur faktor lingkungan yang akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan suksesi fitoplankton di estuari (Kepel et al., 1999). Hubungan antara keragaman fitoplankton dan faktor kualitas air memperlihatkan bahwa keragaman fitoplankton memiliki keterkaitan dengan alkalinitas dan bahan organik terlarut (BOT) (Pirzan dan Petrus 2008).


(28)

2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

Menurut Nybakken (1992), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisma dengan faktor-faktor abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus, 2004). Parsons et al. (1984), menjelaskan bahwa distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti nutrien, cahaya, suhu, salinitas, oksigen dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan tertentu.

Faktor abiotik (fisika kimia) perairan yang mempengaruhi produktivitas primer antara lain:

a. Suhu

Cahaya matahari merembes sampai pada kedalaman tertentu pada semua perairan, sehingga permukaan air hangat (agak panas). Air yang hangat kurang padat dibanding air yang dingin, sehingga lapisan air yang dingin disebut epilimnion dan lapisan air yang hangat disebut hipolimnion. Pemisah dari kedua lapisan tersebut dinamakan metalimnion dan diantara kedua lapisan tersebut terjadi peningkatan suhu yang tajam yang disebut termoklin (Whitten et al., 1987).

Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik


(29)

sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10oC (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm dan Maijering 1990 dalam Barus, 2004).

Menurut Nontji (1984), suhu air permukaan di Perairan Nusantara umumnya berkisar pada 23-31°C. Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan yang lebih hangat karena mendapat radiasi matahari siang pada siang hari. Oleh karena kerja angin, maka lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m dapat terjadi pengadukan, akibatnya di lapisan kedalaman 50-70 m terdapat suhu hangat yang homogen (sekitar 28°C). Di perairan dangkal lapisan homogen ini dapat berlanjut sampai ke dasar. Suhu di permukaan dipengaruhi oleh kondisi metereologi. Faktor-faktor metereologi yang berperan disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban, udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman.

b. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini


(30)

dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu perairan (Suin, 2002). Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu.

Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik, dan musim (Nybakken, 1992).

Dengan demikian kedalaman yang dapat dicapai oleh cahaya dengan intensitas tertentu merupakan fungsi dari kecerahan air dan absorpsi dari berbagai panjang gelombang yang merupakan komponen cahaya. Karena absorpsi cahaya oleh air bersifat konstan, perbedaan kedalaman efektif yang dapat dicapai oleh cahaya terutama disebabkan oleh perbedaan dalam kadar partikel-partikel yang tersuspensi dalam air. Dalam perairan yang banyak mengandung partikel, seperti dalam perairan pesisir, kedalaman penetrasi cahaya dapat sangat berkurang dan hanya beberapa meter dari permukaan, besarnya intensitas sudah tidak mencukupi bagi


(31)

berlangsungnya fotosintesis. Sebaliknya, di wilayah tropik, dalam laut yang cerah yang tidak banyak mengandung partikel, intensitas cahaya di kedalaman 100-120 m mungkin masih besar bagi berlangsungnya fotosintesis.

Menurut Levinton (1982), intensitas cahaya umumnya sangat tinggi dekat permukaan sehingga fotosintesis dapat terhambat melalui pemutihan (bleaching) pigmen fotosintesis seperti klorofil a, atau produksi pigmen penangkap sinar matahari lainnya. fotosintesis fitoplankton menggunakan klorofil a, b, c, dan berbagai variasi accesory pigmen seperti fucoxantin dan peridinin, untuk menggunakan secara maksimal semua radiasi cahaya dalam spectrum cahaya tampak. Dalam penggunaan panjang gelombang 400-700 nm, cahaya yang diserap oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi atas (a) cahaya dengan panjang gelombang lebih besar dari 600 nm, diserap terutama oleh klorofil, dan (b) cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, diserap terutama oleh accessory pigmen.

Kelompok-kelompok fitoplankton akan merespon secara berbeda terhadap jumlah intensitas cahaya matahari yang tiba. Respon ini kemudian mengelompokkan fitoplankton yang senang cahaya sun type dan yang kurang senang dengan cahaya shade type. Tipe sun memiliki nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya yang juga tinggi. Yang tergolong tipe shade, akan beradaptasi dengan baik pada intensitas cahaya rendah, dan menghasilkan nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya rendah (Parsons et al., 1984).

Penelitian Tambaru (2000) mendapatkan hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton (mgC/m3/jam) dan intensitas matahari (lux) terhadap kedalaman perairan


(32)

Teluk Harun Lampung, yang menunjukkan inhibitor dengan nilai rata-rata produktivitas primer fitoplankton yang optimal 36,97 - 38,81 (mgC/m3/jam) dengan intensitas 30671 - 55213 (lux) pada kedalaman 5 - 10 m. Intensitas cahaya yang memasuki lapisan perairan menurun sejalan dengan penambahan kedalaman dengan kata lain cahaya mengalami peredupan. Hasil pengukuran intensitas cahaya pada tiap meter kedalaman menujukkan nilai peredupan bervariasi. Hal ini menujukkan terdapatnya bahan-bahan tersuspensi yang berbeda pada tiap kedalaman (Sunarto et al., 2004).

c. Salinitas

Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuari khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil atau stenohalin.

Nontji (1984) menyatakan bahwa meskipun salinitas mempengaruhi produktivitas individu fitoplankton namun peranannya tidak begitu besar, tetapi di perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi jenis pada produktivitas secara keseluruhan. Karena salinitas bersama-sama dengan suhu menentukan densitas air, maka salinitas ikut pula mempengaruhi pengambangan dan penenggelaman fitoplankton.


(33)

d. pH

Organisma akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisma karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya mengancam kelangsungan organisma akuatik. Sementara pH yang tinggi menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organism (Barus, 2004).

Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002). Nilai pH air yang normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto, 2002).


(34)

e. Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Dengan terjadinya peningkatan

suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004).

Menurut Effendi (2004), oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan air laut, tekanan atmosfer semakin rendah. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Difusi oksigen kedalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam/ stagnan (Yin et al., 2004).


(35)

f. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20oC. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari, jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang disebut BOD5 (Barus, 2004).

BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air untuk menguraikan senyawa organik. Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisma di dalam lingkungan air merupakan proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995).

g. Kandungan Nitrat dan Fosfat

Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fosfat (Nybakken, 1992). Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil. Setiap unsur hara mempunyai fungsi


(36)

khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel dan cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Bahan nutrisi merupakan salah satu faktor yang mengontrol perkembangan dari fitoplankton yang berperan sebagai makanan utama dari sumber daya biologi Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri, bahan peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts dan Santika, 1984).

Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai organisma akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi dari organisme yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan konsentrasi fosfat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air lainnya secara cepat. Peningkatan fosfat akan menyebabkan timbulnya proses eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut, diikuti dengan timbulnya kondisi anaerob yang menghasilkan berbagai senyawa toksik misalnya methan, nitrit dan belerang (Barus, 2004).


(37)

Karbon, oksigen dan hidrogen dibutuhkan dalam jumlah paling besar karena nutrien ini merupakan komponen penting dalam senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein, tetapi untuk elemen-elemen ini dapat diperoleh dengan mudah dari H2O (untuk hidrogen) dan CO2 (untuk karbon dan oksigen). Pada perairan laut

CO2 terdapat dalam keadaan berlimpah. Zat anorganik utama yang diperlukan

fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak adalah nitrogen dan fosfor. Disamping itu, silikat juga merupakan salah satu hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan organisme laut (Nybakken, 1992). Kelimpahan komunitas fitoplankton di laut sangat berhubungan dengan kandungan nutrien seperti fosfat, nitrat, silikat, dan hara lainnya. Kandungan nutrien dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dan sebaliknya fitoplankton yang padat dapat menurunkan kandungan nutrien dalam air. Perubahan komposisi fitoplankton selanjutnya dapat mempengaruhi komposisi zooplankton dan komunitas plankton secara keseluruhan dalam suatu ekosistim (Prescott, 1970).


(38)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Muara Sungai Asahan, Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02o59’30,2”- 03o03’33,8” LU dan 099o51’43,7”- 099o51’22,3” BT. Di sepanjang muara sungai ini banyak terdapat aktifitas manusia, diantaranya adalah: aktivitas sehari-hari penduduk sekitar lokasi penelitian, penangkapan ikan, dan pelabuhan.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel air adalah Purposive Random Sampling pada 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga kedalaman yaitu pada permukaan (0 meter), kedalaman 1,2 meter, kedalaman 1,5 meter dengan masing-masing kedalaman dibuat 2 ulangan pada setiap stasiun pengamatan.

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel di lokasi penelitian adalah botol terang, botol gelap, botol alkohol, tool box, cool box, keping secchi, luxmeter, dan plankton net. Alat yang digunakan saat analisis sampel adalah kuvet, erlenmeyer,


(39)

buret, mikroskop, gelas objek, spektrofotometer, pipet tetes, pipet serologi, alu, lumping, kain kasa, dan tabung sentrifus.

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel air sebagai bahan utama. Beberapa bahan pendukung untuk analisis parameter kimia adalah asam sulfat pekat, natrium thiosulfat, HCl, aseton, MnSO4, KOH_KI, amilum dan larutan lugol

1%.

3.4 Deskripsi Area

Di perairan hilir Sungai Asahan ini banyak terdapat aktifitas, seperti pelabuhan, pemukiman, daerah mangrove, dan berbagai aktifitas lain yang dapat berpengaruh terhadap perairan.

a. Stasiun 1

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02o59’30,2” LU – 99o51’43,7” BT. Daerah ini merupakan daerah mangrove. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran H dan I.

b. Stasiun 2

Stasiun ini secara geografis terletak pada 03o1’20,8” LU – 99o51’37,6” BT. Daerah ini merupakan daerah pemukiman penduduk dan pelabuhan. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran H dan I.


(40)

c. Stasiun 3

Stasiun ini secara geografis terletak pada 03o3’33,8” LU – 99o51’22,3” BT. Daerah ini merupakan muara. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran H dan I.

3.5 Faktor Biologi yang Diukur

a. Pengukuran Nilai Produktivitas Primer

Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan menggunakan metode botol winkler terang dan gelap. Masing-masing botol tersebut diberi label dan ditandai dengan kedalaman serta ulangannya. Untuk memperoleh sampel air dari kedalaman 1,2 m dan 1,5 m dilakukan dengan menggunakan lamnot. Sampel air yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian ditutup rapat dan dilakban, lalu diikat dengan tali, ukuran tali disesuaikan berdasarkan kedalaman setiap sampel. Sebelum perendaman botol dilakukan, DO awal masing-masing sampel setiap kedalaman dihitung terlebih dahulu. Perendaman botol-botol winkler dimulai pada pukul 09.00 – 15.00 WIB. Setelah 6 jam lamanya, botol-botol yang sudah direndam diangkat kembali kemudian diukur nilai DO akhir dan dihitung nilai produktivitas primernya (Barus et al., 2008).

b. Klorofil a

Air laut diambil sebanyak 1000 ml dari kedalaman 0 meter, 1,2 meter, 1,5 meter pada ketiga stasiun pengamatan. Sampel air dibawa ke Laboratorium Pusat


(41)

Penelitian USU dan diukur konsentrasi klorofil a dengan menggunakan spektrofotometer. Bagan kerja terlampir (Lampiran G).

c. Kelimpahan Fitoplankton

Air laut diambil sebanyak 25 liter untuk setiap kedalaman. Untuk memperoleh sampel air pada kedalaman 0 meter dipergunakan ember kapasitas 5 liter, sedangkan kedalaman 1,2 meter dan 1,5 meter dipergunakan lamnot kapasitas 5 liter, pengambilan air diulang sebanyak 5 kali dari setiap kedalaman. Air disaring dengan menggunakan plankton net ukuran mata 25 µm. Air yang telah disaring ditampung dalam botol bucket selanjutnya dimasukkan kedalam botol film kemudian diawetkan dengan lugol sebanyak 2-3 tetes setiap botol film. Sampel plankton yang diperoleh dari lapangan dibawa ke Laboratorium Ekologi Tumbuhan FMIPA USU dengan menggunakan termos es yang berisi es agar suhu tidak terlalu tinggi, kemudian disimpan di lemari es, selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan menggunakan alat Hemositometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Isnansetyo dan Kurniatuty (1995), yaitu :

N =

W v V p P L

T 1

× × × Keterangan:

N = jumlah plankton per liter

T = luas penampang permukaan Hemositometer (mm2) L = luas satu lapang pandang (mm2)


(42)

P = jumlah plankter yang dicacah p = jumlah lapang yang diamati

V = volume konsentrasi plankton pada bucket (ml) v = volume konsentrat di bawah gelas penutup (ml) W = volume air media yang disaring dengan plankton net

Karena sebagian besar dari unsur-unsur rumus ini telah diketahui pada Hemositometer, yaitu T = 196 mm2 dan v = 0,0196 ml (19,6 mm3) dan luas penampang pada Haemocytometer sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (l) dengan jumlah lapang yang diamati. Sehingga rumusnya menjadi:

K =

W PV 0196 ,

0 ind./l

3.6 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Suhu

Sampel air diambil dari dasar perairan dengan menggunakan ember, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur suhu dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air sekitar 10 menit kemudian skalanya dibaca (Suin, 2002).

b. Salinitas

Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan sampel air ke kaca refraktometer, skala salinitas yang tertera dibaca (Suin, 2002).


(43)

c. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keping secchi, keping secchi dimasukkan ke dalam badan air sampai tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).

d. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya cahaya, kemudian angka yang tertera pada lux meter tersebut dibaca (Suin, 2002).

e. pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat konstan, kemudian angka yang tertera pada pH meter dibaca (Barus, 2004).

f. Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).

g. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel

air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Bagan kerja terlampir (Lampiran B).


(44)

h. COD (Chemycal Oxygen Demand)

Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran C).

Tabel 1. Parameter dan Alat yang Dipakai untuk Mengukur Faktor Biofisik Kimia Perairan

No Parameter Satuan Alat Uji Tempat

A Fisika

1 Intensitas cahaya Lux Luxmeter In-situ

2 Suhu °C Termometer In-situ

3 Penetrasi Cahaya Cm Keping Secchi In-situ

4 TDS mg/l Spektrofotometer Lab

5 TSS mg/l Spektrofotometer Lab

B Kimia

1 pH - pH meter In-situ

2 DO mg/l Metode Winkler In-situ

3 COD mg/l Metode Refluks In-situ

4 BOD5 mg/l Metode Winkler Lab

5 Salinitas mg/l Refraktometer Lab

6 Fosfat mg/l Spektrofotometer Lab

7 Nitrat mg/l Spektrofotometer Lab

C Biologi

1 Klorofil-a mg m3 Spektrofotometer Lab

2 Produktivitas primer

mgCm-3 Metode Winkler In-situ

3 Fitoplankton Ind./l Pencacahan/mikroskop Lab

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan menghitung nilai produktivitas primer perairan, konsentrasi klorofil a fitoplankton, analisis variasi (uji F), dan korelasi.

a. Produktivitas Primer

Metode pengukuran produktivitas primer dengan menggunakan metode botol gelap dan botol terang. Produktivitas primer dapat diukur sebagai produktivitas kotor


(45)

dan atau produktivitas bersih. Untuk menghitung produktivitas primer digunakan rumus:

Produktivitas bersih (PN) = Produktivitas kotor (PG) – Respirasi (R)

R = [O2] awal – [O2)akhir pada botol gelap

Pg = [O2]akhir pada botol terang – [O2]akhir pada botol gelap

Untuk mengubah nilai mg/l oksigen menjadi mg C/m3, maka nilai dalam mg/l dikalikan dengan faktor 375,36, sehingga menghasilkan mg C/m3 untuk jangka waktu pengukuran. Untuk mendapatkan nilai produktivitas dalam satu hari, nilai perjam harus dikalikan dengan 12, mengingat cahaya matahari hanya diperoleh selama 12 jam perhari (Barus, 2004).

b. Konsentrasi Klorofil a

Konsentrasi klorofil a dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Klorofil a (mg/m3) = (11,0) (2,43) (A1-A2) (V1/V2)/d

Dengan catatan:

11,0 adalah koefisien koreksi 2,43 adalah faktor koreksi

A1 adalah absorban klorofil a dan pheophytin sampel

A2 adalah absorban yang diberi HCl

V1 adalah volume ekstrak aseton (liter)

V2 adalah volume sampel yang disaring (m3)


(46)

c. Kelimpahan Plankton

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), yaitu:

K =

l ind. W 0.0196

PV

e. Analisis Varian (uji F) dan Analisis Korelasi

Analisis varian (uji F) digunakan untuk mengetahui perbedaan signifikan nilai produktivitas primer antar kedalaman dan antar stasiun penelitian, sedangkan analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai produktivitas primer.


(47)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan Kelimpahan Fitoplankton

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai produktivitas primer, konsentrasi klorofil a, kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan seperti pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Nilai Produktivitas Primer, Konsentrasi Klorofil a, dan Kelimpahan Fitoplankton

Produktivitas

Primer (mgC/m3/hari) Klorofil a (mg/m

3

) Kelimpahan

Fitoplankton (ind/L) Stasiun 1

Kedalaman

0 meter 262,752 2,486 1.836,736

1,2 meter 225,216 1,791 2.204,082

1,5 meter 225,216 13,124 3.591,837

Rata-rata 237,726 5,800 2.544,218

Stasiun 2

Kedalaman

0 meter 300,288 2,913 6.571,431

1,2 meter 225,216 2,673 7.306,124

1,5 meter 150,144 0,214 16.081,326

Rata-rata 225,216 1,933 9.986,294

Stasiun 3

Kedalaman

0 meter 375,360 15,824 13.714,286

1,2 meter 300,288 22,533 28.816,326

1,5 meter 262,752 1,737 36.653,061

Rata-rata 312,800 13,365 26.394,560

Keterangan:

Stasiun 1: Daerah Mangrove

Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Muara


(48)

a. Produktivitas Primer

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai produktivitas primer pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 150,144 – 375,360 mg C/m3/hari. Nilai produktivitas primer tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu pada permukaan dengan nilai sebesar 375,360 mg C/m3/hari dan nilai produktivitas primer terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu pada kedalaman 1,5 meter dengan nilai sebesar 150,144 mgC/m3/hari.

Dari data yang diperoleh, diketahui nilai rata-rata produktivitas primer tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai rata-rata sebesar 312,800 mgC/m3/hari dan terendah pada stasiun 2 dengan nilai sebesar 225,216 mgC/m3/hari. Tingginya nilai produktivitas primer pada stasiun 3 disebabkan kelimpahan fitoplankton dan nilai klorofil a yang cukup tinggi sehingga nilai oksigen terlarut pada stasiun ini cukup tinggi. Hasil analisis korelasi menunjukkan hubungan yang sangat kuat dan memiliki korelasi yang positif (searah) antara produktivitas primer dengan suhu, penetrasi cahaya, TDS, pH, salinitas, DO, fosfat, klorofil a, dan kelimpahan fitoplankton.

Nilai produktivitas primer terendah yang terdapat pada stasiun 2. Rendahnya nilai produktivitas primer di stasiun 2 dapat disebabkan oleh kandungan nutrisinya yang rendah yaitu nitrat 0,106 mg/l dan fosfat 0,108 mg/l. Menurut Millero dan Sohn (1991), bila konsentrasi nitrat di perairan di bawah 0,0434 mg/l maka pembelahan sel fitoplankton akan berhenti. Untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat 0,90-3,50 mg/l. Dari data yang diperoleh kandungan nitrat di


(49)

stasiun 2 menunjukkan angka di bawah optimal, sehingga kurang mendukung bagi kehidupan fitoplankton yang melakukan fotosintesis.

Variasi nilai produktivitas primer fitoplankton secara vertikal atau antar kedalaman pada setiap stasiun umumnya menunjukkan adanya penurunan dari permukaan hingga kedalaman yang paling bawah yaitu 1,5 m. Variasi nilai yang serupa mirip dengan konsentrasi klorofil a yang menujukkan adanya penurunan dari permukaan hingga kedalaman yang paling bawah yaitu 1,5 m pada setiap stasiun. Sedangkan kelimpahan fitoplankton menunjukkan adanya peningkatan dari permukaan hingga kedalaman paling bawah yaitu 1,5 m. Dari hasil uji analisis varian produktivitas primer antar kedalaman tidak berbeda signifikan. Hal ini dapat disebabkan faktor fisik dan kimia peraiaran tidak berbeda jauh dan masih cocok bagi pertumbuhan fitoplankton yang masih dalam kisaran batas toleransi yang mendukung kehidupan fitoplankton yang melakukan fotosintesis, sehingga laju produktivitas primer antar kedalaman tidak berbeda signifikan.

Dari hasil uji analisis varian produktivitas primer antar stasiun tidak berbeda signifikan. Hal ini disebabkan faktor fisik kimia (oksigen terlarut, suhu, salinitas, BOD, nitrat dan fosfat) perairan antar stasiun tidak berbeda jauh dan masih dalam kisaran batas toleransi yang masih mendukung bagi kehidupan fitoplankton yang melakukan fotosintesis, sehingga laju produktivitas primer antar stasiun tidak berbeda signifikan.

Menurut Barus (2004), perubahan keanekaragaman plankton di suatu ekosistem perairan dapat menyebabkan laju fotosintesis yang tinggi sehingga


(50)

menghasilkan produktivitas primer yang tinggi. Pada fotosintesis terjadi proses penyerapan energi cahaya dan karbondioksida serta pelepasan oksigen yang berupa salah satu produk fotosintesis tersebut.

b. Konsentrasi Klorofil a

Dari hasil pengukuran terhadap nilai konsentrasi klorofil a diketahui bahwa nilai konsentrasi klorofil a dari setiap stasiun penelitian berkisar antara 0,214 – 22,533 mg/m3. Nilai konsentrasi klorofil a tertinggi terdapat pada stasiun 3 pada kedalaman 1,2 meter dengan nilai 22,533 mg/m3 dan konsentrasi klorofil a terendah terdapat pada stasiun 2 pada kedalaman 1,5 meter dengan nilai 0,214 mg/m3. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa nilai rata-rata tertinggi konsentrasi klorofil a terdapat pada stasiun 3 dengan nilai rata-rata 13,365 mg/m3 dan nilai rata-rata konsentrasi klorofil a terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai rata-rata sebesar 1,933 mg/m3. Di stasiun 3 di kedalaman 1,2 meter, konsentrasi klorofil a jauh lebih besar dari konsentrasi klorofil a di kedalaman yang sama pada kedua stasiun yang lain. Fluktuasi konsentrasi klorofil a perkedalaman tidak menunjukkan kesamaan dengan besarnya nilai kelimpahan fitoplankton, yang berarti walaupun kelimpahan fitoplankton tinggi tidak berarti konsentrasi klorofil a tinggi. Hal seperti ini bisa dilihat dari data di stasiun 2 kedalaman 1,5 meter dan di stasiun 3 kedalaman yang sama ditemukan kelimpahan fitoplankton paling tinggi untuk setiap stasiun. Sebaliknya konsentrasi klorofil a yang didapatkan justru yang paling rendah. Hal demikian diduga berkaitan dengan ukuran fitoplankton. Ukuran sel akan


(51)

mempengaruhi jumlah klorofil a yang dikandung masing-masing sel fitoplankton, sehingga diduga hal ini menyebabkan tinggi rendahnya kandungan klorofil a (Madubun, 2008). Perbandingan konsentrasi klorofil a antar stasiun menunjukkan adanya perbedaan nutrisi di stasiun 3, hal ini ditunjukkan dengan tingginya kandungan nutrisi fosfat. Kondisi yang serupa ini dijumpai juga oleh Nontji (1984) pada perairan pantai Bekasi yang tercatat konsentrasi klorofil a sebesar 14,28 mg/m3. Pada stasiun dekat muara sungai nilai tersebut dua kali lebih tinggi dari nilai yang diukur pada stasiun yang jauh dari pantai. Tingginya nilai klorofil a tergantung pada jenis fitoplankton. Menurut Nybakken (1992), kandungan klorofil berbeda menurut spesies fitoplankton, dan bahkan berbeda pada individu-individu dari spesies yang sama, karena kandungan klorofil bergantung pada kondisi individu. Tingginya konsentrasi klorofil a pada stasiun 3 dapat disebabkan jenis fitoplankton pada stasiun ini memiliki konsentrasi klorofil a yang paling banyak. Berdasarkan hasil analisis korelasi, bahwa produktivitas primer berkorelasi positif dengan konsentrasi klorofil a.

Klorofil a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di perairan. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil sangat terkait dengan kondisi lingkungan suatu perairan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Wehlr (1991) dalam Wang et al. (1997), bahwa pola distribusi ukuran fitoplankton juga sangat berhubungan dengan kondisi trofik. Fitoplankton dengan ukuran besar sering di temukan di perairan eutrofik. Beberapa parameter fisik kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil a. Berdasarkan hasil penelitian Sediadi dan Edward (2003), terdapat perbedaan kandungan klorofil a pada


(52)

perairan laut, keadaan ini berkaitan dengan kondisi masing-masing perairan dan proses percampuran air dari bawah ke permukaan (upwelling) di laut.

c. Fitoplankton

Fitoplankton adalah organisme yang hidup melayang di perairan dan merupakan organisme dominan yang menyediakan oksigen di perairan melalui fotosintesis. Dari penelitian ditemukan 57 genus fitoplankton yang berasal dari 5 kelas yaitu Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Chrysophyceae, Myxophyceae, dan Xanthophyceae. Nilai rata-rata kelimpahan fitoplankton yang ditemukan berkisar antara 2.544,218 – 26.394,560 ind./L. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 3 di kedalaman 1,5 meter yaitu sebesar 36.653,061 ind./l. Nilai terendah terdapat pada stasiun 1 di kedalaman 0 meter yaitu sebesar 1.836,736 ind/l. Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 3. Tingginya fitoplankton pada stasiun ini menyebabkan laju produktivitas primer lebih tinggi dan didukung oleh tersedianya kandungan nutrisi yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi fosfat di stasiun 3 merupakan kosentrasi tertinggi sebesar 0,139 mg/l. Fosfat memainkan peranan penting penyedia sumber energi dalam proses fotosintesis. Millero dan Sohn (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung pada konsentrasi fosfat, bila konsentrasi di bawah 0,0186 mg/l maka perkembangan sel fitoplankton menjadi terhambat. Untuk pertumbuhan optimum fitoplankton, konsentrasi fosfat yang di butuhkan berkisar 0,27-5,51 mg/l. Dari hasil pengukuran konsentrasi fosfat di stasiun 3 menunjukkan angka dibawah optimum


(53)

sehingga pertumbuhan fitoplankton belum mencapai pertumbuhan optimum. Berdasarkan nilai kelimpahan dapat dikatakan kelimpahan fitoplankton di muara Sungai Asahan rendah. Hal ini diduga disebabkan tingkat kekeruhan yang cukup tinggi sehingga perairan sulit ditembus cahaya, sementara fitoplankton adalah organisme yang bersifat fototaksis.

Dari data yang di peroleh nilai kelimpahan fitoplankton di setiap stasiun cenderung lebih rendah pada permukaan. Distribusi vertikal memperlihatkan peningkatan dari permukaan dan mencapai maksimum di kedalaman 1,5 meter pada setiap stasiun. Menurut Cloern (1989) di ekosisitem perairan dangkal yang dipengaruhi oleh sungai, transport horizontal mengikuti sirkulasi air yang digerakkan oleh arus pasang surut, hembusan angin di permukaaan air, dan perbedaan horizontal densitas air. Selanjutnya transport tersebut memindahkan biomassa fitoplankton secara memanjang sepanjang kontinum sungai laut dan secara lateral antara bagian yang dangkal dan yang dalam, yang habitatnya sangat berbeda untuk pertumbuhan fitoplankton. Stasiun 2 yang dangkal berada di daerah mangrove akan menerima pengaruh aliran air sungai dan arus yang ditimbulkan oleh pasang surut lebih besar dari kedua stasiun yang lain. Ketika surut aliran air sungai memasuki muara dan mendorong massa air ke arah laut, sebaliknya ketika pasang air laut mendorong masuk ke muara. Perpindahan massa air ini memindahkan pula fitoplankton masuk dan keluar dari muara sesuai kondisi pasang surut

Kennish (1992) menyatakan bahwa diatom (kelas Bacillariophyceae), dinoflagellata (kelas Dinophyceae), cocolithopor (kelas Prymnesiophyceae),


(54)

52

silicoflagellata (kelas Chrysophyceae), dan blue-green algae (kelas Cyanophyceae) adalah taksa utama dari produser planktonik di laut. Di estuari atau lagun, terdapat susunan taksonomi yang lain dan yang juga penting bagi lingkungan setempat, misalnya alga hijau (kelas Chlorophyceae), fitoflagellata coklat (kelas Haptophyceae), dan euglena (kelas Euglenophyceae). Fluktuasi kondisi lingkungan estuari menyebabkan fitoplankton membelah dengan laju yang bervariasi, akibatnya produktivitas primer berbeda dari satu wilayah geografi dengan wilayah geografi lainnya, serta berbeda menurut musim di wilayah geografi yang sama.

4.2. Faktor Fisik Kimia Perairan

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai faktor fisik kimia pada setiap stasiun seperti pada Tabel 3 berikut:


(55)

Tabel 3. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Stasiun

No Parameter Satuan Mutu Baku 1

Kedalaman (m) Rata- rata 2 Kedalaman (m) Rata- rata 3 Kedalaman (m) Rata- rata

0 1,2 1,5 0 1,2 1,5 0 1,2 1,5

Fisik

1 Suhu Air °C 28-32 28 28 28 28 28 30,5 30 29,5 30,5 30 29 29,83

2 P. Cahaya Cm - 50 100 120

3 I. Cahaya Lux - 248 384 343

4 TDS mg/l 12752 21178 23036

5 TSS mg/l 80 84 68 62

Kimia

6 pH Air - 6,5-8,5 5,2 5,2 5,2 5,2 5,6 5,6 5,6 5,6 6,6 5,7 5,8 6,03

7 Salinitas 0/00 s/d 34 8,5 12 18 12,83 22 26 24 24 26,5 21,6 27,3 25,13

8 DO mg/l >5 5,8 5,5 5,4 5.56 5,2 4,8 5,6 5,2 6 6 6 6

9 BOD5 mg/l <20 0,4 1,2 0,9 0,83 1,2 2,6 1,6 1,8 0,8 0,5 1 0,76

10 COD mg/l <80 42,4 54,4 25,6

11 Nitrat mg/l 0,008 0,145 0,124 0,110 0,123 0,108 0,104 0,108 0,106 0,090 0,082 0,084 0,085

12 Fosfat mg/l 0,015 0,096 0,093 0,103 0,097 0,106 0,109 0,114 0,109 0,129 0,143 0,146 0,139

Keterangan:

Stasiun 1: Daerah Mangrove

Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Muara


(56)

a. Suhu

Dari hasil pengukuran suhu pada masing-masing stasiun penelitian suhu berkisar antara 28-30,5°C. Fluktuasi suhu yang teramati selama penelitian tidak menunjukkan variasi yang besar, baik antar stasiun maupun kedalaman. Hal ini di mungkinkan karena kondisi cuaca selama pengamatan relatif sama. Rata-rata suhu tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 29.83°C, tingginya suhu pada stasiun 3 disebabkan oleh tingginya intensitas cahaya dan adanya pencampuran air dengan udara dari atmosfer yang tidak merata. Suhu yang terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 28°C, pada stasiun ini suhu relatif konstan yakni 28°C pada kedalaman yang berbeda. Suhu yang konstan disebabkan adanya pencampuran air dengan udara dari atmosfer yang merata dan gerakan angin permukaan sehingga air bercampur dengan merata. Hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pada dasarnya masih normal dan belum membahayakan kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu air laut yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Effendi (2003) menyatakan bahwa Chlorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30-35°C dan 20-30°C. Dengan demikian, suhu di muara sungai Asahan tidak menghambat aktivitas fitoplankton untuk berfotosintesis. Menurut Basmi (1999) suhu berperan penting dalam proses metabolisme dan laju fotosintesis organisme fitoplankton. Pennock dan Sharp (1986) menambahkan bahwa suhu yang lebih hangat dan ketersediaan cahaya pada musim panas dapat meningkatkan produktivitas fitoplankton. Produksi fitoplankton juga berbeda secara spasial di estuari sesuai dengan perubahan faktor lingkungan.


(57)

b. Penetrasi Cahaya

Hasil pengukuran penetrasi cahaya pada ketiga stasiun berkisar antara 50 cm- 120 cm. Terendah pada stasiun 1 (mangrove) sebesar 50 cm. Keadaan ini bisa terjadi dilihat dari tipe substratnya bahwa pada daerah mangrove merupakan sedimen berlumpur. Penetrasi cahaya yang paling tinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 120 cm. Stasiun ini letaknya cenderung jauh dari sungai yang mengarah ke laut. Menurut Agusnar (2007), padatan tersuspensi mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis. Selanjutnya menurut Nybakken (1992), pengaruh ekologi dari kekeruhan berupa penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Selanjutnya hal ini menurunkan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik, yang mengakibatkan turunnya produktivitas.

Edward (1995) menyatakan kecerahan yang baik untuk kehidupan biota adalah jumlah cahaya yang masuk tidak terlalu besar, sehingga proses fotosintesis dapat berjalan seimbang dan jumlah fitoplanton memadai untuk kehidupan semua biota perairan. Hasil pengukuran kecerahan pada ke tiga stasiun jika dibandingkan dengan baku mutu air laut berada di bawah normal. Menurut Sastrawijaya (1991), partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang datang, sehingga akan menurunkan intensitas cahaya yang ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas.


(58)

c. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terdapat di stasiun 2 (daerah pemukiman dan dermaga) yaitu 384 Lux. Hal ini disebabkan karena sedikitnya vegetasi di sekitar daerah ini dan pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi oleh awan. Terendah di stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 248 Lux. Rendahnya intensitas cahaya ini karena adanya vegetasi di sekitar daerah yaitu tumbuhan mangrove. Menurut Barus (2004), vegetasi dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari.

Intensitas cahaya matahari di udara bervariasi dari waktu ke waktu. Variasi nilai- nilai ini terjadi akibat adanya berbagai zat di udara yang menyerap maupun yang membaurkan seberkas cahaya yang melewatinya, letak lintang, posisi matahari di atas cakrawala, dan penutupan awan (Valiela 1995). Dalam penelitian ini waktu pengamatan berkisar antara pukul 10.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB ketika botol winkler terang dan gelap sudah dimasukkan ke dalam badan air untuk diinkubasi. Sehingga data yang diperoleh mempunyai variasi pada setiap stasiun.

Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001), banyaknya cahaya yang menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya. Kennish (1990),


(59)

menyatakan bahwa penyusutan intensitas cahaya di estuari lebih besar daripada di laut, seiring dengan bertambahnya kedalaman. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Hal ini terutama disebabkan oleh konsentrasi partikel tersuspensi dan bahan terlarut yang lebih tinggi di estuari.

d. Total Dissolved Solid (TDS)

Jumlah padatan tersuspensi pada perairan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya. Semakin tinggi padatan terlarut berarti semakin menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan. Hal ini secara langsung akan berakibat terhadap penurunan aktivitas dari fotosintesis oleh organisme berklorofil yang terdapat pada perairan seperti hydrophita dan fitoplankton. Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan terlarut pada Perairan Muara Sungai Asahan berkisar 12752 – 23036 mg/l, dimana padatan terlarut tertinggi berada di stasiun 3, dan terendah di stasiun 1. Menurut Hutter (1990) dalam Barus (2004) perairan yang konsentrasi mineralnya sedikit mempunyai harga total dissolved solid berkisar antara 50 mg/l – 400 mg/l, sementara pada perairan yang kaya akan mineral mempunyai harga total dissolved solid pada kisaran antara 500 mg/l – 2000 mg/l.

e. Total Suspended Solid (TSS)

Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan tersuspensi pada Perairan Muara Sungai Asahan berkisar 62 – 84 mg/L, dimana padatan tersuspensi tertinggi berada di stasiun 1, dan terendah di stasiun 3. Padatan


(60)

tersuspensi total (TSS) menunjukkan nilai yang bervariasi, baik antar stasiun maupun kedalaman. Penurunan TSS antar stasiun terjadi seiring dengan semakin jauh letak stasiun dari sungai. Masukan bahan organik, partikel terlarut, tersuspensi dari darat melalui aliran sungai akan meningkatkan kekeruhan dan TSS sehingga menurunkan penetrasi cahaya di stasiun yang lebih dekat ke darat.

Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup KEP No-51/MNLH/I/2004 nilai ini masih sesuai dengan standar baku mutu air untuk biota yaitu dibawah 2000 mg/l yang dapat menopang kehidupan biota perairan (MNLH, 2004). Tingkat kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan suspensi massa air yang berasal dari sungai. Kandungan zat padat tersuspensi yang tinggi dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan (Prayitno et al., 2003). Tingginya kekeruhan di suatu badan perairan dalam jangka waktu yang lama akan

menurunkan kesehatan dan produktivitas dari suatu ekosistem estuari sehingga menu runkan aktivitas fotosintesis. (http://www.ourlake.org/html/turbidity.html).

Pennock dan Sharp (1986) menyatakan produksi fitoplankton juga berbeda secara spasial di estuari sesuai dengan perubahan faktor lingkungan, seperti konsentrasi TSS, kedalaman kolom air, dan konsentrasi nutrien yang bervariasi. Wofsy (1983) dalam Cloern (1989) menyatakan cahaya dapat menjadi faktor pembatas bagi fotosintesis ketika konsentrasi partikel tersuspensi melebihi 50 mg/l. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pengaruh ekologi utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Selanjutnya hal ini akan


(61)

menurunkan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik, yang mengakibatkan turunnya produktivitas.

f. pH Air

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata pH perairan berkisar antara 5,5-6,03. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 6,03 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 5,2. Penyebaran nilai pH mulai dari permukaan sampai kedalaman 1,5 meter tidak begitu berbeda, hal ini terjadi karena pencampuran air yang merata, dan akibat aktifitas transportasi terjadi pengadukan air dari dasar perairan. Secara keseluruhan kisaran nilai pH sudah di bawah standar baku mutu air untuk biota perairan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran pH normal perairan yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah 6.50-8.50 (MNLH, 2004). Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah.

g. Salinitas

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai salinitas pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 3 yakni 26,80/00, penyebaran nilai salinitas mulai dari permukaan sampai


(62)

stasiun 1 yakni 12.830/00. Kisaran ini masih sesuai dengan standar baku mutu air

untuk biota perairan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran salinitas normal perairan yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah sampai dengan 340/00 (MNLH, 2004). Menurut

Nybakken (1992), gambaran dominan lingkungan estuari ialah berfluktuasinya salinitas. Secara defenitif, suatu gradien salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut, dan jumlah air tawar. Tetapi ada juga faktor lain yang berperan dalam mengubah pola salinitas. Pasang surut merupakan salah satu faktornya.

Sebagaimana suhu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi fitoplankton melalui pengaruhnya terhadap densitas air dan stabilitas kolom air. Salinitas secara langsung memengaruhi laju pembelahan sel fitoplankton, juga keberadaan, distribusi, dan produktivitas fitoplankton. Salinitas dapat mengubah karakter fotosintesis melalui perubahan sistem karbon dioksida atau perubahan tekanan osmotik (Kennish, 1990).

h. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun 3 yakni 6 mg/l, penyebaran nilai oksigen terlarut mulai dari permukaan sampai kedalaman 1,5 meter sama. Rata-rata nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 2 yakni 5,2 mg/l. Kisaran kandungan oksigen terlarut


(63)

pada Perairan muara sungai Asahan masih berada pada kisaran normal sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui KEP No-51/MNLH/I/2004 yaitu > 3 mg/l (MNLH, 2004).

Menurut Effendi (2004), kadar oksigen terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman bergantung pada pencampuran, dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah. Menurut Barus (2004), sumber oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara, melalui kontak antara permukaan dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Organisme air akan hidup dengan baik jika nilai oksigen terlarut lebih besar dari 5,0 mg/l air.

Menurut Nybakken (1992), masuknya air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuari, bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya, dan pencampuran oleh angin, biasanya berarti cukupnya persediaan oksigen didalam air. Karena kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, jumlah oksigen dalam air akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter tersebut.

i. BOD5

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai BOD5 pada masing-masing

stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun


(64)

meter tidak sama. Rata-rata nilai BOD5 terendah terdapat pada stasiun 3 yakni 0,76

mg/l. Nilai BOD5 pada perairan ini masih sesuai dengan baku mutu air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No-51/MNLH/I/2004 bahwa nilai BOD5 yang masih dapat menopang kehidupan biota adalah < 25 mg/l

(MNLH, 2004).

Menurut Sastrwijaya (1991), perairan alami memiliki nilai BOD antara 0.5-7.0 mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD5 lebih dari 10 mg/l dianggap tercemar. Menurut Effendi (2003), BOD5 merupakan gambaran kadar bahan organik,

yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. BOD5 hanya menggambarkan bahan organik

yang dapat diuraikan secara biologis. Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, glukosa dan sebagainya. Bahan organik dapat berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati atau hasil buangan limbah dari domestik dan industri.

j. Chemical Oxygen Demand (COD)

Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD tertinggi pada stasiun 2 yaitu 54,4 mg/l dan terendah pada stasiun 3 yaitu 25,6 mg/l. Tingginya nilai COD pada stasiun 2 menunjukkan bahwa limbah cair yang berasal dari pemukiman dan dermaga mengandung banyak senyawa organik dan anorganik yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan hanya secara biologis saja. Nilai COD pada perairan ini masih sesuai dengan baku mutu air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No-51/MNLH/I/2004 bahwa


(1)

Lampiran J. Nilai Konsentrasi klorofil a

Stasiun Panjang Gelombang Kedalaman

0 meter 1,2 meter 1,5 meter

1 665 nm 0.0186 0.121 0.0628

730 nm 0.0052 0.0122 0.0096

A1 (dengan aseton) 0.0134 0.1088 0.0532

665 nm 0.0198 0.023 0.057

730 nm 0.0157 0.0209 0.0529

A2 (dengan HCl) 0.0041 0.0021 0.0041

2 665 nm 0.0718 0.0996 0.0156

730 nm 0.0095 0.0077 0.0079

A1 (dengan aseton) 0.0623 0.0919 0.0077

665 nm 0.055 0.0795 0.016

730 nm 0.0519 0.0719 0.0148

A2 (dengan HCl) 0.0031 0.0076 0.0012

3 665 nm 0.0242 0.0426 0.0362

730 nm 0.0103 0.0279 0.0341

A1 (dengan aseton) 0.0139 0.0147 0.0021

665 nm 0.024 0.0385 0.031

730 nm 0.021 0.0338 0.0297


(2)

Lampiran K. Contoh Hasil Perhitungan

1. Produktivitas Primer Perairan Pada Stasiun 1 Kedalaman 0 meter PG = 6,15 – 5,45 = 0,7

R = 5,80 – 5,45 = 0,35 PN = 0,35 – 0,7 = 0,35

= 131,376 mgC/m3

Hasil di atas merupakan nilai produktivitas primer selama 6 jam. Karena lama penyinaran matahari dalam satu hari adalah selama 12 jam, maka untuk memperoleh nilai produktivitas primer per hari, nilai di atas harus dikali dua.

PN = 131,376 mgC/m3 x 2

= 262,752 mgC/m3

2. Konsentrasi Klorofil a Pada Stasiun 1 Kedalaman 0 Meter

Kons. Klorofil a = (11) (2,43) (0,0134 – 0,0041) (10.10-3l/10-3 m3)/1 (26,73) (0,0093) (10)/1


(3)

Lampiran L. Hasil Analisis Variance

Tabel Analisis Variance Produktivitas Primer antar Stasiun Sumber

Variasi

Nilai Perlakuan

Derajat Bebas Nilai Rataan

F Hitung

F Tabel

Perlakuan 13463.312 2 6731.656

Galat 18786.017 6 3131.003

Total

32249.330 8

2.150 5,14 10,92

Berdasarkan tabel di atas karena F = 2,150 maka F < 5,14 pada level 0.05 sehingga daerah penolakan yang dipakai adalah terima Ho. Dimana Ho merupakan U1=U2=U3 atau perbedaan mean tidak signifikan sehingga tidak diperlukan uji signifikan selanjutnya.

Tabel Analisis Variance Nilai Produktivitas Primer antar Kedalaman Sumber

Variasi

Nilai Perlakuan

Derajat Bebas Nilai Rataan

F Hitung

F Tabel

Perlakuan 15341.914 2 7670.957

Galat 16907.416 6 2817.903

Total 32249.330 8

2.722 5,14 10,92

Berdasarkan tabel di atas karena F = 2,722 maka F < 5,14 pada level 0.05 sehingga daerah penolakan yang dipakai adalah terima Ho. Dimana Ho merupakan U1=U2=U3 atau perbedaan mean tidak signifikan sehingga tidak diperlukan uji signifikan selanjutnya.


(4)

Lampiran M. Analisis Korelasi SPSS

PP

Pearson Correlation .532

Sig. (2-tailed) .643

Suhu

N 3

Pearson Correlation .623

Sig. (2-tailed) .572

P.Cahaya

N 3

Pearson Correlation .093

Sig. (2-tailed) .941

I.cahaya

N 3

Pearson Correlation .532

Sig. (2-tailed) .643

TDS

N 3

Pearson Correlation -.612

Sig. (2-tailed) .581

TSS

N 3

Pearson Correlation .805

Sig. (2-tailed) .404

pH

N 3

Pearson Correlation .508

Sig. (2-tailed) .661

Salinitas

N 3

Pearson Correlation .945

Sig. (2-tailed) .212

DO

N 3

Pearson Correlation -.657


(5)

Pearson Correlation -.713

Sig. (2-tailed) .495

Nitrat

N 3

Pearson Correlation .947

Sig. (2-tailed) .208

Fosfat

N 3

Pearson Correlation .979

Sig. (2-tailed) .131

Klorofil a

N 3

Pearson Correlation .904

Sig. (2-tailed) .282

Kelimpahan

N 3

Pearson Correlation 1

Sig. (2-tailed) PP

N 3

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


(6)

90

Lampiran N: Baku Mutu Air Laut

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.

Untuk : Biota Laut Nomor : 51 Tahun 2004

No Parameter Satuan Baku Mutu

Fisika

1 Kecerahana m Coral: >5<10% perubahan euphotic depth mangrove: - lamun: >3

2 Kecerahan - Alami3

3 Kekeruhana NTU <5

4 Padatan tersuspensi totalb mg/l Coral:20<10% perubahan konsentrasi rata-rata musiman mangrove: 80 Lamun: 20

5 Sampah - Nihil1 (4)

6 Suhu 0C Alami3 (c)

Coral: 28-30 ( c ) Lamun:28-30( c )

7 Lapisan minyak5 - Nihil1(5)

Kimia

1 pHd - 7-8,5d<0,2 satuan perubahan pH

2 Salinitas 0/00 Alami3( e )

Coral: 33-34( e ) mangrove: s/d 34(e

)

Lamun: 33-34( e )

3 Oksigen terlarut(DO) mg/l >5>6(>80-90% kejenuhan)

4 BOD5 mg/l 20

5 Amonia total(NH3-N) mg/l 0,3

6 Fosfat(PO4-P) mg/l 0,015

7 Nitrat(NO3-N) mg/l 0,008 0,002

8 Sianida(CN-) mg/l 0,5 0,05

9 Sulfida(H2S) mg/l 0,01 Pestisida(acrolein)=