Prinsip karjasama Prinsip-Prinsip Berkomunikasi

commit to user non-kebahasaan lainnya yang mengiringi, menyertai, dan melatarbelakangi digunakannya suatu pertuturan tertentu. Konteks situasi tutur dalam kajian pragmatik memegang peran penting. Konteks situasi tutur inilah yang menjadi pengendali maksud sebuah pertuturan. Konteks situasi tutur ini pulalah yang menjadi pilar lahirnya bidang kajian pragmatik. Hal ini seperti dikemukakan oleh Firth dalam Rohmadi, 2004: 1 bahwa kajian bahasa tidak akan dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi. Konteks situasi tutur menurut Leech 1983: 19-20 meliputi: penutur dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan, tuturan sebagai produk tindak verbal. Sementara itu, ahli lain Purwo 1990: 16 lebih banyak menggunakan sebutan pembicara dan lawan bicara. Sebutan penutur dan lawan tutur lazim digunakan oleh Wijana 1996: 10, Rahardi 2003: 18. Gunarwan 2004: 1 menggunakan sebutan penyampai pesan dan lawan peserta pada kesempatan lainnya menggunakan si penutur dan si petutur dan pada kesempatan yang lainnya menggunakan O1, O2, dan O3. Lahirnya bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh seseorang guru sangat berkaitan dengan tujuan tutur yang hendak dicapainya. Semakin konkret tuturan yang digunakan oleh seorang guru akan semakin jelas pulalah tujuan tuturnya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma bahwa satu bentuk tuturan dimungkinkan memiliki tujuan dan bermacam-macam. Sebaliknya satu tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk-bentuk tuturan yang berbeda.

5. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi

a. Prinsip karjasama

Suatu percakapan, penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan lancar karena mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap suatu yang dipertuturkan. Di antara mereka terdapat semacam “kesepakatan bersama” diantaranya berupa kontrak tidak tetulis bahwa ikhwal yang dibicarakan itu saling berhubungan dan berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada tiap-tiap kalimat secara lepas; maksudnya, makna keterkaitan itu commit to user tidak terungkap secara harfiah pada kalimat itu sendiri. Ini yang disebut implikatur percakapan. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu komunikasi yang tidak lancar dimungkinkan kedua orang yang sedang terlibat percakapan tersebut tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama untuk mengetahui implikatur percakapan. Mari kita perhatikan percakapan berikut; 7 Nonton film yo dik. 8 Besok ada ulangan. Tuturan 8 bukan sekedar merupakan informasi kepada mitra tutur bahwa ‘Besok ada ulangan’, namun lebih dari itu bahwa penutur menolak ajakan mitra tuturnya dengan cara mengemukakan alasannya saja, tanpa menolak secara langsung bahwa dia tidak dapat mengikuti ajakan mitra tuturnya. Namun demikian, di dalam percakapan sering terjadi adanya penyimpangan- penyimpangan yang tentu saja ada implikasi-implikasi tertentu yang ingin dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tadak melaksanakan kerjasama atau tidak kooperatif Wijana, 1996: 46 Implikatur diturunkan dari asas umum percakapan asas kerja sama, yaitu ‘kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara’ ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi para penutur. Grice menunjukkan bahwa asas-asas kerjasama itu sudah tuntas, namun ‘asas sopan santun’ juga perlu diperhatikan dalam Brown dan Yule, 1996: 32. Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan conversational maxim, yakni maksim kuantitas maxim of quantity, maksim kualitas maxim of quality, maksim relevansihubungan maxim of relevancerelation, dan maksim pelaksanaancara maxim of manner Grice, 1975: 45-47; Yule, 1996: 35-37; Mey, 1994: 65; Leech, 1993: 128,144,154; Wijana, 1996: 45-53. Keempat maksim yang mendukung pelaksanaannya prinsip kerjasama dalam berkomunikasi tersebut dapat disimak berikut. 1 Maksim kuantitas 9 Make your contribution as informative as required; commit to user ‘Berilah keterangan sejelasseinformatif mungkin;’ 10 Do not make your contribution more informative than required; ‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’ Mey, 1994: 65 Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan keterangankontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya. Misalnya penutur yang bebicara secara wajar tentu akan memilih 11 dibandingkan dengan 12 berikut ini; 11 There is a male adult human being in unpright stance using his legs as a mens of locomotion to propel himself up a series of flat-topped structures of some six o seven inches high. 12 There is a man going upstair. 2 Maksim kualitas 13 Do not say what you believe to be false; ‘Jangan mengatakan sesuatu yang menurut anda sendiri salah’; 14 Do not say that for which you lack adequate evidence. ‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya’. Mey, 1994: 65 Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila penutur mengatakan hal yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal itu bisa terjadi. Perhatikan wacana berikut ini; 15 + Ini sate ayam atau kambing? - Ayam berkepala kambing. Jawaban - jelas melanggar maksim kualitas, karena tidak umum tidak mungkin ada ayam yang berkepala kambing. Namun, karena ada tujuan atau efek tertentu efek lucu yang akan diraih, tuturan seperti itu menjadi sah dan diterima oleh mitra tutur sebagai lelucon. 3 Maksim relevansihubungan 15 Make your contribution relevant. commit to user ‘Bicaralah yang relevan.’ Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya perhatikan wacana berikut; 17 What time is it? ‘Jam berapa sekarang?’ 18 Well, the postman’s been already. ‘Tukang pos sudah datang’ Brown dan Levinson, 1978: 63 Jawaban 18 di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Dengan memperhatikan kebiasaan tukang pos mengantarkan surat kepada mereka, penutur 17 dapat membuat kesimpulan jam berapa ketika itu. 4 Maksim pelaksanaancara Be perspicacious and specifically 19 Avoid obscurity ’ Hindari ketidakjelasan’ 20 Avoid ambiguity ‘ Hindari ketaksaan’ 21 Be brief ‘ Bicaralah dengan singkat’ 22 Be orderly ‘ Bicaralah dengan teratur’ Maksim cara mengharuskan setia peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut. Berkaitan dengan prinsip ini Parker, 1986: 23 dalam Wijana, 1996: 51 memberi contoh sebagai berikut; 23 + Let’s stop and get something to eat. ‘Mari kita berhenti dan makan sesuatu.’ - Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S. ‘Baiklah, tetapi bukan M-C-D-O-N-A-L-D-S. Dalam 23 tokoh - menjawab ajakan + secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata Mc. Donalds. penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Anak-anak kecil dalam batas umur tertentu memang commit to user akan sulit atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu per satu. Leech 1993: 80 berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggunakan pendekatan berdasarkan kebenaran truth- based approach . Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga tidak dapat menjelaskan hubungan antara makna dan daya kalimat non-deklaratif. Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerjasama, yang dikenal sebagai prinsip kesantunan.

b. Prinsip Kesantunan

Dokumen yang terkait

Tindak Tutur Direktif dalam “Pengembara Makrifat” Karya Zubair Tinajauan Pragmatik

0 7 10

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU BAHASA INDONESIA KELAS VII BSMP MUHAMMADIYAH 10 SURAKARTA DALAM PROSES Tindak Tutur Direktif Guru Bahasa Indonesia Kelas VII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta Dalam Proses Pembelajaran.

0 3 13

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU BAHASA INDONESIA KELAS VII BSMP MUHAMMADIYAH 10 SURAKARTA DALAM PROSES Tindak Tutur Direktif Guru Bahasa Indonesia Kelas VII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta Dalam Proses Pembelajaran.

0 3 13

PENDAHULUAN Tindak Tutur Direktif Guru Bahasa Indonesia Kelas VII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta Dalam Proses Pembelajaran.

0 3 5

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMOHON DALAM SURAT IZIN SISWA DI KABUPATEN KARANGANYAR Realisasi Tindak Tutur Direktif Memohon Dalam Surat Izin Siswa Di Kabupaten Karanganyar.

0 9 15

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMOHON DALAM SURAT IZIN SISWA DI KABUPATEN KARANGANYAR Realisasi Tindak Tutur Direktif Memohon Dalam Surat Izin Siswa Di Kabupaten Karanganyar.

0 4 11

TINDAK TUTUR PERLOKUSI GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMK NEGERI 1 SAWIT BOYOLALI TINDAK TUTUR PERLOKUSI GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMK NEGERI 1 SAWIT BOYOLALI.

0 8 22

TINDAK TUTUR DIREKTIF DI KALANGAN GURU BAHASA INDONESIA Tindak Tutur Direktif Di Kalangan Guru Bahasa Indonesia Dalam Proses Pembelajaran Di SMP Negeri 1 Jatisrono Kabupaten Wonogiri.

0 1 11

TINDAK TUTUR DIREKTIF DI KALANGAN GURU BAHASA INDONESIA Tindak Tutur Direktif Di Kalangan Guru Bahasa Indonesia Dalam Proses Pembelajaran Di SMP Negeri 1 Jatisrono Kabupaten Wonogiri.

0 4 13

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS X SMA NEGERI 3 BOYOLALI.

1 12 17