TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI)

(1)

commit to user

i

TINDAK TUTUR DIREKTIF

GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR

(Dalam Pembelajaran di Kelas XI)

Skripsi

oleh :

NUNING TRI MARDIASTUTI

X1206039

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

TINDAK TUTUR DIREKTIF

GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI)

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan

Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

oleh :

NUNING TRI MARDIASTUTI

NIM X 1206039

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. H. Purwadi Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Tanggal :

Tim penguji skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ... Sekretaris : Sri Hastuti, S. S., M. Pd. ... Anggota I : Drs. Purwadi. ... Anggota II : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ...

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP 196007271987021001


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, (2) penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data yang digunakan adalah peristiwa pembelajaran di kelas, rekaman ujaran yang muncul ketika pembelajaran, dan informan. Objek penelitian adalah Guru di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, khususnya kelas XI ICT 1 dan XI IPS SK 2. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu observasi, transkip, dan wawancara. Validitas data diuji dengan menggunakan triangulasi data dan triangulasi metode, yaitu menggunakan beberapa sumber dan metode untuk mengecek keabsahan data tersebut. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan data penelitian dapat disimpulkan: (1) dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kerja sama. Seorang penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama adalah maksim kuantitas. Penutur memberikan keterangan lebih banyak daripada yang dibutuhkan dalam komunikasi. Hal ini terjadi karena dalam menyampaikan materi penutur cenderung mengemukakan sesuatu yang akan dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini wajar karena dalam berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Maksim yang dipatuhi adalah maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat keterangan yang diberikan dalam komunikasi haruslah sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sesungguhnya. (2) dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kesantunan. Secara konversasional seorang penutur dimungkinkan untuk tidak selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip sopan santun. Ada kalanya seorang penutur melanggar salah satu atau lebih maksim dalam prinsip sopan santun. Hal ini terjadi karena dalam bertutur seorang penutur tidak hanya memperhatikan penerapan prinsip kesantunan saja tetapi juga memperhatikan penerapan prinsip kerja sama.


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

MOTTO

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicaralah yang baik-baik, kalau tidak mampu, maka diamlah saja.”


(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur dan terima kasihku kepada:

1. Kedua orang tuaku, Bapak Wagimin dan Ibu Sumarsi atas dukungan, kasih sayang, doa yang tak akan pernah putus;

2. Kakakku Didik, Wiwik, dan Budi yang selalu memberiku semangat dan keceriaan; 3. Sahabatku (Fyna, Aileen, Wiwit, Niken,

Anna, Rika) semoga persahabatan kita tak terpisahkan karena jarak;

4. Temanku curhat Pak Parno, Rumi, Murtini, dan Narsi yang selalu memberiku semangat; 5. Calon Imamku yang selalu memberiku doa

serta semangat; dan 6. Almamater.


(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu, peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penyusunan skripsi ini;

2. Drs. Suparno, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi ini;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan motivasi selama menyusun skripsi serta izin untuk menyusun skripsi ini;

4. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan kepada peneliti selama kuliah;

5. Drs. H. Purwadi, M. Pd. selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan sabar kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar;

6. Alim Sukarno, S. Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian; 7. Wahyu Lestari, S.Pd. dan Ngadimin, S. Pd. selaku guru kelas XI SMA

Muhammadiyah 1 Karanganyar yang telah banyak membantu dan berperan aktif dalam proses penelitian; dan


(9)

commit to user

ix

8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari Tuhan Yang Maha Esa.

Surakarta,


(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGAJUAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATAPENGANTAR ... viii

DAFTARISI ... x

DAFTARGAMBAR ... xii

DAFTARLAMPIRAN ... xiii

BABI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BABII. LANDASANTEORI A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Hakikat Pragmatik ... 8

2. Tindak Tutur... 9

3. Tindak Tutur Direktif ... 13

4. Situasi Tutur ... 16

5. Prinsip-prinsip Berkomunikasi ... 17

B. Penelitian yang Relevan ... 39

C. Kerangka Berpikir ... 41

BABIII. METODEPENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 43


(11)

commit to user

xi

D. Teknik Pengumpulan Data ... 44

E. Validitas Data ... 45

F. Teknik Analisis Data ... 45

G. Prosedur Penelitian... 47

BABIV. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 50

B. Hasil penelitian... 52

1. Penerapan Prinsip Kesantunan ... 53

2. Penerapan Prinsip Kerja sama... ... 60

C. Pembahasan ... 67

1. Penerapan Prinsip Kesantunan ... 67

2. Penerapan Prinsip Kerja sama... ... 69

BABV. SIMPULAN, IMPLIKASI, DANSARAN A. Simpulan ... 71

B. Implikasi ... 72

C. Saran ... 73 DAFTARPUSTAKA


(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ... 42 2. Model Analisis Interaktif ... 47


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

LAMPIRAN 1. TRANSKRIP REKAMAN ... 77

LAMPIRAN 2. CATATAN LAPANGAN ... 94

LAMPIRAN 3. INSTRUMEN WAWANCARA ... 104

LAMPIRAN 4. LAPORAN HASIL WAWANCARA ... 111


(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. DIRECTIVE SPEECH ACT OF TEACHERS OF SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (In Learning

Process in XI Class). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, March 2011.

The objective of research is to describe: (1) the application of politeness principle in directive speech act used by the teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar and (2) the application of cooperative principle in directive speech act used by the teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. This research employed a descriptive qualitative method with case study approach. The data source employed was learning event in the class, the recording of speech emerging during learning, and informant. The object of research was teachers of SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, particularly in XI ICT 1 and XI IPS SK 2 classes. Techniques of collecting data used were observation, transcription, and interview. The data validity was tested using data and method triangulation, namely using several sources and methods to validate the data. Technique of analyzing data used was an interactive analysis consisting of three interrelated components: data reduction, data display, and conclusion drawing. Considering the data of research, it can be concluded that: (1) in learning in SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, it can be found the speech act complying with and breaking the maxims in cooperative principle. A speaker should not always comply with all maxims in the cooperative principle in communication. The maxim broken in cooperative principle is maxim of quantity. The speaker gives information more than needed in communication. It occurs because in delivering the material, the speaker tends to explain something to be spoke of in detail. It is reasonable because in communicating, a speaker should not only consider the maxims in cooperative principle, but also those in politeness principles. The maxim complied with is maxim of relevance. It is reasonable recalling the information given in communication should be real and corresponding to the actual fact. (2) In learning in SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, it can be found the speech complying with and breaking the maxims in politeness principle. Conventionally, a speaker is likely not complying with all maxims in politeness principle. Sometimes, a speaker breaks one or more maxims in politeness principle. It is because in speaking, a speaker not only considers the application of politeness principle but also the application of cooperative principle.


(15)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya selalu menginginkan adanya kontak dengan manusia lain, sedangkan alat yang paling efektif untuk keperluan itu adalah bahasa, dengan bahasa seseorang dapat menunjukkan peranan dan keberadaannya dalam lingkungan. Pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi kehidupan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam suatu segi kehidupan yang satu berbeda dengan pemakaian bahasa dalam segi kehidupan yang lain. Termasuk di dalamnya bahasa yang dipakai dalam suatu pembelajaran di lembaga pendidikan.

Keberhasilan suatu program pembelajaran ditentukan oleh beberapa komponen dan semua komponen tersebut harus saling berinteraksi. Salah satu komponen tersebut adalah bahasa. Sejalan dengan pendpat di atas Nababan (1987: 68) berpendapat bahwa alat terutama dalam interaksi belajar mengajar antara murid, guru, dan pelajaran adalah bahasa, dalam proses belajar mengajar terjadilah komunikasi timbal balik atau komunikasi dua arah antara guru dan siswa atau siswa dengan siswa.

Proses belajar mengajar akan berjalan efektif jika guru dan siswa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, dalam hal ini guru dituntut untuk terampil dalam berkomunikasi agar apa yang disampaikan dapat dimengerti dan dipahami siswa. Pada umumnya masyarakat Indonesia terlebih dahulu mengenal bahasa daerah sebelum mengenal bahasa Indonesia sehingga bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa pertama yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari dalam suatu etnik tertentu, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua mengalami kontak bahasa dengan bahasa daerah. Salah satu contohnya adalah tindak tutur guru dalam proses pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar seperti yang penulis teliti.


(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Masyarakat pengguna bahasa dalam situasi tertentu dan untuk mencapai tujuan tertebtu akan selalu berusaha memilih dan menggunakan kaidah-kaidah tuturan yang sesuai dengan peraturan. Selain itu, masyarakat pengguna bahasa juga harus memperhatikan tata cara berbahasa yang disesuaikan dengan norma atau aspek sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat tertentu. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya, ia akan mendapat nilai negatif, misalnya dikatakan orang yang tidak santun, sombong, angkuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Muslich, 2006: 2).

Pakar bahasa menyadari perlunya perhatian terhadap dimensi kemasyarakatan bahasa, termasuk di dalamnya aspek sosial dan budaya. Hal ini dikarenakan dimensi kemasyarakatan tersebut bukan sekedar memberi makna terhadap bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam bahasa dan juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Interaksi sosial merupakan sarana pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sehari-hari dan menggunakan makna tersebut sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai kegiatan.

Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya, tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Misalnya, masyarakat Jawa menggunakan bahasa tidak hanya sekedar untuk alat berkomunikasi, tetapi juga sebagai identitas dan parameter kesantunan dalam berkomunikasi. Norma kesantunan tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi direktif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, nasihat, permohonann permintaan, keharusan atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Adapun perilaku nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya.


(17)

commit to user

Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur. Keberhasilan menggunakan strategi-strategi ini menciptakan suasana santun yang memungkinkan interaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur. Tata cara berbahasa, termasuk santun berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi (penutur dan mitra tutur) untuk kelancaran komunikasinya. Misalnya, dalam masyarakat Jawa, seorang penutur tidak akan menyatakan maksudnya hanya dengan mengandalkan pikiran (rasionya), tetapi yang lebih penting adalah perasaanya (angon rasa). Angon rasa tersebut merupakan komunikasi yang dilakukan dengan menjaga perasaan mitra tutur. Meskipun informasi yang disampaikan didukung oleh data dan realita, tetapi jika waktu menyampaikannya tidak tepat, harus ditunda terlebih dahulu. Jika prinsip ini dilanggar, kemungkinan besar komunikasi dapat gagal mencapai tujuan (Pranowo, 2009: 45). Hal ini tidak hanya terjadi dalam komunikasi sosial, tetapi juga dalam komunikasi formal ataupun komunikasi akademik supaya selalu tercipta suasana tutur yang harmonis. Bahasa dengan segala bentuk pemakaian, konteks, dan situasinya sangat menarik untuk dijadikan bahan penalitian, termasuk kesantunan berbahasa. Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi perlu dipertimbangkan segi kesantunan berbahasa. Dewasa ini kita sering mendengar kebanyakan orang menggunakan bahasa yang kurang sopan, khususnya generasi muda. Bahasa yang digunakannya sering memancing emosi seseorang sehingga menimbulkan keributan atau perselisihan, termasuk fenomena berbahasa di kalangan siswa yang menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat yang semakin mengglobal ini.

Pembelajaran akan mudah dilakukan jika murid-muridnya sejak kecil sudah terbiasa untuk berbahasa Indonesia atau bahkan menjadi bahasa pertamanya. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah permasalahan tersendiri jika murid-muridnya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Misalnya anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan,


(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

meraka belum menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Berkaitan dengan hal ini, Soemiarti (2003: 37) berpendapat bahwa guru hendaknya peka terhadap kondisi anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia berbeda yang disebabkan karena datang dari daerah sehingga terhambat sosialisasinya.

Kesantunan berbahasa dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur. Kesantunan berbahasa merupakan hasil pelaksanaan kaidah yaitu kaidah sosial, dan hasil pemilihan strategi komunikasi. Kesantunan berbahasa penting di mana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan berbahasa yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat. Setiap masyarakat selalu ada hierarki sosial yang dikenakan pada kelompok anggota masyarakat, karena mereka telah menetukan penilaian tertentu, misalnya, antara guru dan siswa, orang tua dan anak muda, pemimpin dan yang dipimpin, majikan dan buruh, serta status lainnya. Selain itu faktor konteks juga menyebabkan kesantunan berbahasa karena pada dasarnya prinsip kesantunan berbahasa tersebut merupakan kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur.

Berdasarkan pernyataan di atas kebutuhan akan hadirnya sosiopragmatik makin terasa. Apalagi, kita sering menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang ternyata tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan linguistik, tetapi memerlukan pula pertimbangan-pertimbangan nonlinguistik, seperti disiplin ilmu sosiologi dan pragmatik. Masalah demikian timbul karena studi bahasa itu sendiri cenderung bersifat multidisipliner. Selain itu, juga karena adanya kenyatan-kenyataan Bahwa (1) bahasa itu selalu berubah sejalan dengan perubahan masyarakat pemakainya, (2) perubahan bahasa itu terjadi sebagaia akibata adanya perubahan nilai masyarakat terhadap bahasa yang dipakainya, dan (3) perubahan nilai tersebut bersumber pada perubahan-perubahan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang sebagai anggota kelompok sosial. Oleh sebab itu, bahasa dan pemakaiannya tidak diamati secara individual, melainkan selalu dihubungkan dengan kegiatan di masyarakat (Lubis, 1993: 124). Dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang


(19)

commit to user

sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial, termasuk fenomena kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan sekolah.

Penelitian kesantunan berbahasa Indonesia ini akan dibatasi bentuk tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas. Tindak tutur direktif tersebut merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti halnya di lingkungan sekolah pada saat kegiatan belajar-mengajar. Tindak tutur direktif sangat mendominasi dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang menarik adalah untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ‘perintah penutur kepada mitra tutur’, ternyata dapat dibanggun atau direalisasikan dengan menggunakan bentuk-bentuk afirmatif, imperatif, bahkan bentuk interogatif.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sangatlah beralasan jika, Leech (1983: 121) menyatakan bahwa prinsip sopan santun berbahasa tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekedar ditambahkan saja pada prinsip kerja sama, tetapi prinsip sopan santun ini merupakan prinsip berkomunikasi penting yang dapat menyelamatkan prinsip kerja sama dari suatu kesulitan yang serius. Oleh karena itu diasumsikan bahwa prinsip kerja sama kedudukannya sangat penting, tetapi pertimbangan prinsip kesantunan tampaknya tidak dapat dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam interaksi belajar-mengajar antara guru dan siswa ataupun antarsiswa di lingkungan sekolah.

Agar penelitian ini lebih mendalam, peneliti membatasi permasalahan yang akan dikaji, adapun pembatasan tersebut, yaitu (1) penarapan prinsip kesantunan dalam berbahasa; dan (2) penerapan prinsip kerja sama dalam berbahasa.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar?

2. Bagaimanakah penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar?


(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan:

1. Penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.

2. Penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoretis

a. Memperluas pengetahuan dan wawasan mengenai tindak tutur, khususnya penerapan prinsip kesantunan yang digunakan guru dalam pembelajaran di SMA.

b. Menambah wawasan mengenai tindak tutur para siswa. c. Menambah kekayaan penelitian di bidang pragmatik. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru

1) Guru dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dalam pembelajaran sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan baik.

2) Guru dapat membiasakan siswa untuk belajar menggunakan tindak tutur dengan santun.

b. Bagi Orang Tua Murid

1) Dengan mengetahui tuturan anak, orang tua dapat membiasakan menggunakan tuturan yang baik.

2) Dengan mengetahui arti penting bertutur, maka orang tua dapat melakukan upaya tertentu agar merangsang anak untuk berbicara dengan santun.


(21)

commit to user

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memperdalam pengetahuan tentang fenomena pemakaian tindak tutur direktif.


(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

1. Pragmatik

Levinson (1983: 27) mendefinisikan pragmatik adalah penelitian atau kajian di bidang dieksis atau implikatur, praanggapan, pertuturan atau tindak bahasa, dan struktur wacana. Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik sebagai bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran.

Kridalaksana (1984: 159) menjelaskan pengertian pragmatik (pragmatics), yaitu (1) cabang semiotik yang mempelajari asal-usul, pemakaian dan akibat lambang dan tanda; (2) ilmu yang menyelidiki peraturan, konteksnya, dan maknanya. Nababan (1987: 1) memakai istilah pragmatik secara lebih luas yang mengacu pada ”aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan keadaan”.

Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik adalah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai contoh: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara. Kerugian yang besar adalah bahwa semua konsep manusia ini sulit dianalisis dalam suatu cara konsisten dan objektif.


(23)

commit to user

2. Hakikat Tindak Tutur a. Bentuk Tindak Tutur

Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the acts of saying something. Konsep ini berkaitan dengan proposisi kalimat, yaitu di dalamnya terdapat subjek atau topik dan predikat atau comment. Tindak tutur ini berwujud tindak bertutur dengan fonem, kata, frasa, dan kalimat bahkan sampai dengan wacana sesuai dengan makna yang dikandung dalam konstruksi fonem, kata, frasa, kalimat, dan wacana itu. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang dikemukakan oleh penutur. Semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu mitra tutur bahwa pada saat penutur bertutur Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada berarti ‘penutur mengetahui ada iklan melintang di jalan Gajah Mada. Oleh sebab itu tuturan ini di dalam studi pragmatik dianggap kurang menarik sebab tidak terdapatnya maksud interpersonal.

Tindak tutur ilokusi dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dan melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ini dinamakan sebagai the acts of doing something. Untuk menafsirkan tindak tutur ilokusi ini diperlukan pemahaman terhadap situasi tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu terdapatnya iklan yang melintang di jalan Gajah Mada, namun lebih dari itu bahwa maksud yang hendak dituju adalah penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan menurunkan iklan yang melintang di jalan Gajah Mada.

Tuturan perlokusi mempunyai pengaruh (perlocitionary force) terhadap mitra tutur. Untuk itu, tindak ini dinamakan dengan the act of effecting some one. Tindak tutur ini dituturkan oleh penutur untuk menumbuhkan pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada mitra tutur.


(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

b. Jenis Tindak Tutur

Klasifikasi tindak tutur yang dibicarakan di sini adalah klasifikasi berdasarkan daya ilokusi pada khususnya, karena klasifikasi ini sebagai patokan dalam mengklasifikasikan berbagai tuturan yang berimplikatur dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tidak membicarakan klasifikasi tindak tutur yang lain, seperti tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal (Wijana, 1996: 32). Maka peneliti simpulkan bahwa tindak tutur literal adalah tindak tutur harfiah atau sesuai dengan kenmyataan, dan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur tidak sesuai dengan kenyataan.

Secara garis besar kategori-kategori dalam Leech (1993: 164-165) dikelompokkan menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.

a. Asertif (assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran preposisi yang diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Dari segi sopan santun ilokusi cenderung netral, yakni, mereka termasuk kategori bekerja sama (collaborative). Tetapi ada beberapa perkecualian: misalnya membual biasanya dianggap tidak sopan, dari segi semantik ilokusi asertif bersifat proporsional.

b. Direktif (directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, ilokusi misalnya, memesan, memerintah, memohon, menutut, memberi nasihat. Jenis ilokusi ini sering dapat dimasukkan ke dalam kategori kompetitif (competitive) karena mencakup juga kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun negatif. Namun di pihak lain terdapat juga beberapa ilokusi direktif, seperti mengundang yang secara intrinsik sopan. Agar istilah direktif tidak dikacaukan dengan ilokusi langsung dan tidak langsung, digunakan istilah imposif (impositive) khususnya untuk mengacu pada ilokusi kompetitif dalam kategori direktif. c. Komisif (Commissives): pada ilokusi ini penutur (sedikit banyak) terikat pada


(25)

commit to user

Jenis ilokusi ini cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif, karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan petutur.

d. ekspresif (Ekspressives): fungsi ilokusi ini ialah mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengencam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya. Sebagaimana juga dengan ilokusi komisif, ilokusi ekspresif cenderung menyenangkan, karena itu secara intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif seperti ‘mengencam’, dan ‘menuduh’.

e. Deklarasi (Deklarations): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat, (pegawai), dan sebagainya. Searle mengatakan bahwa tindakan-tindakan ini merupakan kategori tindak ujar yang sangat khusus, karena tindakan-tindakan ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan kelembagaan diberi wewenang untuk melakukannya. (Contoh klasik ialah hakim yang menjatuhkan hukuman pada pelanggar undang-undang, pendeta yang membaptis bayi, pejabat yang memberi nama pada sebuah kapal baru, dan sebagainya). Sebagai suatu tindakan kelembagaan (dan bukan sebagai tindakan pribadi) tindakan-tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor sopan santun.

Lima macam tindak tutur tersebut juga dikemukakan oleh Mey (1994: 163) dan levinson (1983: 240). Keduanya juga mengutip pendapat Searle (1974: 34). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti dapat mengetahui bahwa pendapat mereka semua sama, yaitu tuturan dapat dibedakan ke dalam lima macam dilihat dari daya ilokusinya. Tindak tutur tersebut adalah assertives, directives, commissives, expressives, dan declarations. Asertif adalah tuturan yang digunakan untuk menunjukkan kebenaran tentang yang dinyatakan, misalnya


(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

menyatakan, menjelaskan, mengadukan, menyarankan, mengeluh, dan membual. Direktif adalah tuturan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh adalah permohonan, suruhan, permintaan, perintah, nasihat, anjuran, dan ajakan. Komisif menuntut penutur untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang, misalnya menawarkan, berjanji. Ekspresif adalah tuturan yang berfungsi mengungkapkan sikap penutur tentang sesuatu baik yang bersifat positif maupun negatif, yang bersifat positif misalnya, pujian, pernyataan maaf; dan yang bersifat negatif misalnya, tuduhan, menyelahkan orang lain. Deklarasi biasanya diungkapkan oleh orang yang berwenang dalam lembaga sosial, agama, hukum, dan tidak berkaitan dengan hubungan personal dengan orang lain. Misalnya tuturan yang digunakan oleh majelis hakim dalam pemberian keputusan kepada terdakwa, atau pejabat yang meresmikan hasil pembangunan.

Berdasarkan kelima macam tuturan tersebut peneliti akan mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam empat macam, yaitu asertif, direktif, ekspresif, dan komisif. Deklarasi tidak peneliti bahas karena topik yang peneliti bahas adalah tentang implikatur tindak tutur. Dengan demikian, tidak mungkin deklarasi diungkapkan secara tidak jelas dalam suatu tuturan.

c. Strategi Bertutur

Prinsip pemilihan strategi betutur pada garis besarnya menyatakan bahwa bertutur (berbicara) itu tidak “asbun” asal bunyi saja. Bertutur memerlukan pilihan strategi, terutama dalam rangka menjaga muka mitra tutur dan atau peserta interaksi yang lain. Untuk ini, Gunarwan (2005: 4-5) mengingatkan pentingnya berhati-hati dalam bertutur. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: (a) bagaimana membedakan status atau kekuasaan diantara penutur dan mitra tutur, (b) bagaimana jarak sosial diantara penutur dan mitra tutur, (c) bagaimana bobot relatif pengungkapannya di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Strategi betutur langsung dilakukan dengan menggunakan tipe-tipe kalimat sesuai dengan fungsi tipe kalimat itu. Misalnya, kalimat berita digunakan untuk mengatakan atau memberitahukan sesuatu. Kalimat tanya digunakan untuk


(27)

commit to user

menanyakan sesuatu dan seterusnya kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, pemintaan atau permohonan.

(1) Anak didik sedang belajar di kelas.

(2) Apakah anak didik sedang belajar di kelas? (3) Anak didik supaya belajar di kelas!

Berdasarkan strategi bertuturnya, tuturan (1), (2), dan (3) dapat dinyatakan sebagai tuturan langsung apabila tuturan (1) mengandung ,maksud ‘memberitahukan ada anak didik sedang belajar di kelas,’ tuturan (2) mengandung maksud ‘menanyakan apakah anak didik sedanng belajar di dalam kelas,’ dan (3) mengandung maksud ‘memerintahkan agar anak didik belajar di kelas.’

Sebaliknya, tuturan tidak langsung digunakan dengan cara mengubah fungsi jenis kalimat, misalnya, untuk menyatakan perintah dapat digunakan kalimat berita atau untuk menyatakan perintah dapat digunakan kalimat tanya, dll. Contoh;

(4) Papan tulisnya kelihatan kotor.

(5) Mengapa papan tulisnya kelihatan kotor?

Tuturan (4) dan (5) dapat dinyatakan sebagai tuturan tidak langsung apabila tuturan (4) mengandung maksud ‘menyuruh mitra tutur untuk menghapus papan tulis yang memang kotor’ dan tuturan (5) bermaksud ‘penutur menghendaki papan tulisnya dihapus atau dibersihkan’.

3. Tindak Tutur Direktif a. Konsep Tindak Tutur Direktif

Austin (1962: 151), Searle (1974: 23), dan Leech (1983: 106) menempatkan tindak tutur direktif sebagai salah satu aspek makro tindak ilokusi. Tindak ilokusi merupakan salah satu dari pembagian tentang tindak tutur, dua yang lainnya adalah tindak ilokusi dan tindak perlokusi. Tindak ilokusi berhubungan dengan apa yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu. Sementara itu, tindak lokusi hanya berhubungan dengan apa yang dikatakan dan


(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

makna yang dikatakan. Lebih lanjut lagi tindak perlokusi berhubunga dengan

pengaruh yang dihasilkan dari apa yang dikatakan.

Searle (1990: 358-364) menyatakan bahwa tindak tutur direktif adalah bentuk tindak tutur yang merupakan usaha penutur agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan. Tindak tutur ini digambarkan ke dalam bentuk tindak tutur memerintah (command), menyuruh (request), meminta (beg), memohon (plead), mengundang (invite), dan menasehati (advise).

Tindak tutur pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur direktif cenderung dikategorikan sebagai tindak tutur yang mengandung unsur kompetitif dan bersifat prospektif. Realisasi kompetitif tindak tutur ini adalah adanya permintaan penutur kepada mitra tutur untuk melakukan tindakan tertentu atau sebaliknya. Larangan penutur kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Sifat prospektif tindak tutur ini adalah bahwa permintaan penutur kepada mitra tutur untuk melakukan sesuatu tindakan setelah penutur menuturkan sesuatu untuk mengandung permintaan. Tindak tutur ini tidak bisa mengandung permintaan untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum dituturkannya sesuatu yang mengandung permintaan.

Ilustrasi bentuk dan sifat tindak tutur ini memunculkan problematika baru yakni seberapa lama jarak waktu yang dibutuhkan oleh mitra tutur untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang diperintahkan penutur. Tuturan (6) berikut mengandung permintaan agar mitra tutur menurunkan iklan yang melintang di jalan Gajah Mada secepatnya. Maksud secepatnya ini dapat berarti ‘sekarang juga’ atau ‘sekarang tetapi beberapa menit kemudian’ atau ‘ segera setelah tuturan ini’ atau ‘sekarang siang nanti’ atau ‘sekarang pada waktu yang sama dengan penerbitan periode ini, dll.

(6) Ada iklan melintang di Jalan Gajah Mada.

Berdasarkan konsep teoretis di atas, dapat dirunut bahwa tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur ditektif mengekspresikan dua hal pokok, yaitu, (a) proposisi berupa tindakan yang akan dilakukan dan ditujukan kepada mitra tutur,


(29)

commit to user

dan (b) mengekspresikan maksud penutur supaya tuturan yang diekspresikan dijadikan alasan bagi mitra tutur untuk menindakkan sesuatu yang dimaksudkan dalam tuturan itu.

Deskripsi realisasi perwujudan tindak tutur direktif sebagaimana di atas menunjukkan bahwa tindak tutur direktif tidak hanya penutur mununtut mitra tutur melakukan sesuatu, bertindak dan berkata, tetapi penutur menuntut mitra tutur melakukannya sesuai dengan rencana penutur. Rencana tindak tutur yang dimaksud menyangkut apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan, dan apa yang dilakukan di sini berkaitan dengan tuturan sosial-budaya di antara penutur-mitra tutur.

b. Bentuk dan Fungsi Tindak Tutur Direktif

Searle (1980: 23) dan Leech (1983: 104-107) mengklasifikasikan ragam tindak tutur direktif menjadi empat tipe dasar, yaitu: (1) tindak memerintah, (2) tindak memohon, (3) tindak memberi saran, dan (4) tindak memberi izin. Pragmatik tindak tutur direktif meliputi maksud perintah, permohonan, pemberian saran, dan pemberian izin.

Bentuk tindak tutur direktif menurut Searle dan Leech itu berdasarkan konteksnya dapat memiliki fungsi kompetitif (competitive), bertentangan (conflictive), menyenangkan (convival), atau bekerjasama (collaborative). Fungsi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial, fungsi konfliktif bertentangan dengan tujuan sosial. Fungsi menyenangkan bernilai positif dengan tujuan sosial-fungsi kerjasama berupa pemeliharaan keseimbangan dan keharmonisan perilaku interaksi dalam konteks sosiobudaya tertentu.

Ragam dan fungsi tindak tutur direktif itu akan bermakna jika ditempatkan pada kewenangan dan keharusan bertindak antara penutur dan mitra tutur. Kaitannya dengan tindak tutur direktif dalam peristiwa pembelajaran di kelas maka tindak tutur direktif mengemban tugas untuk menyediakan modus penyampaian sehubungan dengan untung-rugi, langsung-tidak langsung, dan alternatif tindakan yang dapat dimanfaatkan penutur-mitra tutur. Oleh karena itu, hubungan antara tindak, fungsi, maksud, dan modus tindak direktif dengan


(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

komponen tutur merupakan kesatuan integratif. Realisasi perwujudan tindak tutur direktif berhubungan dengan fungsi dan komponen tutur.

Tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan prospek mitra tutur dan kehendak penutur terhadap tindakan mitra tutur. Tindak ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu baik berfungsi sebagai pengatur tingkah laku maupun sebagai pengontrol mitra tutur dalam bertindak. Hubungan antara prospek dan kehendak penutur dengan pengatur dan pengontrol mitra tutur inilah yang kemudian menjadi dasar sebuah tindak tutur direktif itu dapat mengemban fungsi menyenangkan, kerja sama atau kompetitif, bertentangan.

Kekuatan tindak tutur direktif kaitannya dengan fungsinya dapat dikarakteristikkan menurut (a) situasi mental penutur-mitra tutur yang dipresuposisi secara pragmatik, konteks latar dan informasi serta penjelas yang dipahami penutur dan mitra tutur, dan (b) situasi interaksi yang dihasilkan oleh tindakan dari tuturan direktif tersebut. Realisasi tindak tutur direktif guru dalam peristiwa pembelajaran didasarkan pada asumsi bahwa (a) setiap penutur memiliki sesuatu dalam pikirannya sehingga mitra tutur harus membuat inferensi maksud tindakan yang diharapkan penutur, dan (b) setiap tindak tutur direktif membawa dampak tertentu. Dampak reaksi tindak tutur ini menurut Ibrahim (1996: 51) dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) simetris, berarti menunjukkan adanya sifat kerja sama antara penutur-mitra tutur, (b) asimetris, berarti menunjukkan adanya kewenangan penutur atas mitra tutur. Sementara itu, Brown dan Levinson (1978: 60) mengidentifikasikan dampak kekuatan tindak tutur direktif berkisar pada dua aspek, yaitu: nosi muka positif atau nosi muka negatif.

4. Situasi Tutur

Konteks situasi tutur yang dimaksudkan dalam kajian pragmatik adalah segala sesuatu yang mengiringi direalisasikannya suatu pertuturan. Segala sesuatu itu bisa berupa latar belakang pengetahuan yang muncul dipahami secara bersama (background knowledge), baik oleh penutur maupun mitra tutur dan aspek-aspek


(31)

commit to user

non-kebahasaan lainnya yang mengiringi, menyertai, dan melatarbelakangi digunakannya suatu pertuturan tertentu.

Konteks situasi tutur dalam kajian pragmatik memegang peran penting. Konteks situasi tutur inilah yang menjadi pengendali maksud sebuah pertuturan. Konteks situasi tutur ini pulalah yang menjadi pilar lahirnya bidang kajian pragmatik. Hal ini seperti dikemukakan oleh Firth (dalam Rohmadi, 2004: 1) bahwa kajian bahasa tidak akan dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi. Konteks situasi tutur menurut Leech (1983: 19-20) meliputi: penutur dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan, tuturan sebagai produk tindak verbal.

Sementara itu, ahli lain Purwo (1990: 16) lebih banyak menggunakan sebutan pembicara dan lawan bicara. Sebutan penutur dan lawan tutur lazim digunakan oleh Wijana (1996: 10), Rahardi (2003: 18). Gunarwan (2004: 1) menggunakan sebutan penyampai pesan dan lawan peserta pada kesempatan lainnya menggunakan si penutur dan si petutur dan pada kesempatan yang lainnya menggunakan O1, O2, dan O3.

Lahirnya bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh seseorang guru sangat berkaitan dengan tujuan tutur yang hendak dicapainya. Semakin konkret tuturan yang digunakan oleh seorang guru akan semakin jelas pulalah tujuan tuturnya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma bahwa satu bentuk tuturan dimungkinkan memiliki tujuan dan bermacam-macam. Sebaliknya satu tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk-bentuk tuturan yang berbeda.

5. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi a. Prinsip karjasama

Suatu percakapan, penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan lancar karena mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap suatu yang dipertuturkan. Di antara mereka terdapat semacam “kesepakatan bersama” diantaranya berupa kontrak tidak tetulis bahwa ikhwal yang dibicarakan itu saling berhubungan dan berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada tiap-tiap kalimat secara lepas; maksudnya, makna keterkaitan itu


(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

tidak terungkap secara harfiah pada kalimat itu sendiri. Ini yang disebut implikatur percakapan. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu komunikasi yang tidak lancar dimungkinkan kedua orang yang sedang terlibat percakapan tersebut tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama untuk mengetahui implikatur percakapan. Mari kita perhatikan percakapan berikut;

(7) Nonton film yo dik. (8) Besok ada ulangan.

Tuturan (8) bukan sekedar merupakan informasi kepada mitra tutur bahwa ‘Besok ada ulangan’, namun lebih dari itu bahwa penutur menolak ajakan mitra tuturnya dengan cara mengemukakan alasannya saja, tanpa menolak secara langsung bahwa dia tidak dapat mengikuti ajakan mitra tuturnya. Namun demikian, di dalam percakapan sering terjadi adanya penyimpangan-penyimpangan yang tentu saja ada implikasi-implikasi tertentu yang ingin dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tadak melaksanakan kerjasama atau tidak kooperatif (Wijana, 1996: 46)

Implikatur diturunkan dari asas umum percakapan (asas kerja sama), yaitu ‘kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara’ ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi para penutur. Grice menunjukkan bahwa asas-asas kerjasama itu sudah tuntas, namun ‘asas sopan santun’ juga perlu diperhatikan (dalam Brown dan Yule, 1996: 32).

Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi/hubungan (maxim of relevance/relation), dan maksim pelaksanaan/cara (maxim of manner) (Grice, 1975: 45-47; Yule, 1996: 35-37; Mey, 1994: 65; Leech, 1993: 128,144,154; Wijana, 1996: 45-53).

Keempat maksim yang mendukung pelaksanaannya prinsip kerjasama dalam berkomunikasi tersebut dapat disimak berikut.

1) Maksim kuantitas


(33)

commit to user

‘Berilah keterangan sejelas/seinformatif mungkin;’

(10) Do not make your contribution more informative than required;

‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’ (Mey, 1994: 65)

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan keterangan/kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya. Misalnya penutur yang bebicara secara wajar tentu akan memilih (11) dibandingkan dengan (12) berikut ini;

(11) There is a male adult human being in unpright stance using his legs as a mens of locomotion to propel himself up a series of flat-topped structures of some six o seven inches high.

(12) There is a man going upstair. 2) Maksim kualitas

(13) Do not say what you believe to be false;

‘Jangan mengatakan sesuatu yang menurut anda sendiri salah’;

(14) Do not say that for which you lack adequate evidence.

‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya’. (Mey, 1994: 65)

Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila penutur mengatakan hal yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal itu bisa terjadi. Perhatikan wacana berikut ini;

(15) + Ini sate ayam atau kambing? - Ayam berkepala kambing.

Jawaban (-) jelas melanggar maksim kualitas, karena tidak umum (tidak mungkin ada ayam yang berkepala kambing). Namun, karena ada tujuan atau efek tertentu (efek lucu) yang akan diraih, tuturan seperti itu menjadi sah dan diterima oleh mitra tutur sebagai lelucon.

3) Maksim relevansi/hubungan


(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

‘Bicaralah yang relevan.’

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya perhatikan wacana berikut;

(17) What time is it?

‘Jam berapa sekarang?’

(18) Well, the postman’s been already.

‘Tukang pos sudah datang’ (Brown dan Levinson, 1978: 63)

Jawaban (18) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati, hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Dengan memperhatikan kebiasaan tukang pos mengantarkan surat kepada mereka, penutur (17) dapat membuat kesimpulan jam berapa ketika itu.

4) Maksim pelaksanaan/cara

Be perspicacious and specifically

(19) Avoid obscurity ’Hindari ketidakjelasan’

(20) Avoid ambiguity ‘Hindari ketaksaan’

(21) Be brief ‘Bicaralah dengan singkat’

(22) Be orderly ‘Bicaralah dengan teratur’

Maksim cara mengharuskan setia peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut. Berkaitan dengan prinsip ini (Parker, 1986: 23 dalam Wijana, 1996: 51) memberi contoh sebagai berikut;

(23) + Let’s stop and get something to eat.

‘Mari kita berhenti dan makan sesuatu.’

- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S.

‘Baiklah, tetapi bukan M-C-D-O-N-A-L-D-S.

Dalam (23) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata Mc. Donalds. penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Anak-anak kecil dalam batas umur tertentu memang


(35)

commit to user

akan sulit atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu per satu.

Leech (1993: 80) berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik yang menggunakan pendekatan berdasarkan kebenaran ( truth-based approach). Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga tidak dapat menjelaskan hubungan antara makna dan daya kalimat non-deklaratif. Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerjasama, yang dikenal sebagai prinsip kesantunan.

b. Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia merupakan sebuah kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur (Harun Joko Prayitno, 2009: 7). Muslich (2006: 1-2) menjelaskan bahwa kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, dalam diri seseorang tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagiab sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama).

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau


(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

sedang makan dengan orang banyak disebuah perjamuan, namun hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

Berdasarkan butir terakhir, kesantunan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Namun, dalam kajian teori ini hanya akan dijelaskan kesantunan berbahasa yang menjadi topik penelitian.

Kesantunan bahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Muslich, 2006: 3). Hal tersebut senada dengan pendapat Leech (1983: 139), yaitu sebagai berikut.

“Politeness is manifested not only in the content of conversation, but also in the way conversation is managed and structured by its participans. For example, conversational behaviour such as speaking at the wrong time (interrupting) or being silent of the wrong time has impolite implications.”

Sebagaimana disinggung di depan bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Menurut Leech (1983: 206-207) kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip sebagai berikut.

Pertama, penerapan prinsip kesopanan atau kesantunan (politeness


(37)

commit to user

mendiskripsikan sejumlah maksim sopan santun yang memiliki kesamaan dengan prinsip kerja sama (cooperative principle) yang ditemukan oleh Grice. Maksim-maksim yang dikemukakan oleh Leech tersebut, antara lain (1) Maksim-maksim kearifan (tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekspresi kepercayaan yang memberikan keuntungan untuk orang lain’, (2) maksim kemurahan hati atau kedermawanan (the generosity maxim), yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain, (3) maksim pujian atau penerimaan (the approbation maxim), yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekspresi persetujuan terhadap orang lain, (4) maksim kerendahan hati atau kesederhanaan (the modesty maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri, (5) maksim kesepakatan atau persetujuan (the agreement maxim), yang menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dengan orang lain, dan (6) maksim simpati (sympathy maxim), yang menuntut diri kita untuk mengurangi rasa antipasti antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain.

Kedua, penghindaran kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” atau “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan tertentu.

ketiga, penggunaan atau pemakaian eufimisme, yaitu ungkapan penghalus sebagai salah satu cara untuk menghindari kata-kata tabu. Penggunaan eufimisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif dalam bertutur.

Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan


(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa

krama Inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan tingkat usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri, seperti Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Bu

mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita gunakan untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.

(24) “Engkau mau ke mana?” (25)“Saudara mau ke mana?” (26)“Anda mau ke mana?” (27)“Bapak mau ke mana?”

Dalam konteks tersebut, kalimat (24) dan (25) tidak atau kurang sopan diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (27) yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan, kalimat (26) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih pantas menggunakan kalimat (27).

Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur (Suharsih, 2009). Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur.

(28) “Saya sudah mengumpulkan kok.” (29) “Buku yang mana?”

Tuturan di atas dituturkan oleh siswa kepada gurunya. Jelas tuturan tersebut tidak menunjukkan kesantunan berbahasa. Hal ini dikarenakan tuturan tersebut tidak menggunakan bentuk sapaan, seperti Pak dan Bu. Seharusnya kalimat di atas diubah sebagai berikut agar terdengar santun.

(30a) ”Saya sudah mengumpulkan kok, Pak.”

(30b) “Buku yang mana Bu?”

Tujuan utama kesantunan berbahasa, termasuk bahasa Indonesia adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja


(39)

commit to user

dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena segan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di sebagian masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkan.

Brown dan Levinson (dalam Gunarwan, 1994: 90) menjelaskan bahwa prinsip kesantunan berbahasa berkisar atas nosi (face) yang dibagi menjadi dua jenis ‘muka’, yaitu muka negatif (negative face) dan muka positif (positive face). Muka nagatif itu mengacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sebaliknya, muka positif mangacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan sebagainya. Selain itu ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan (Suharsih, 2009).

Kesantunan bahasa, Cruse (dalam Gunarwan 2007: 164) menyarankan bahwa kita harus menghindari beberapa hal atau bentuk berikut.

(a) memperlakukan petutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur, yakni dengan menghendaki agar penutur melakukan sesuatu yang menyebabkan ia mengeluarkan “biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dan sebagainya);

(b) mengatakan hal-hal yang jelek mengenai diri penutur atau orang atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan penutur;

(c) mengungkapkan rasa senang atas kemalangan penutur;

(d) menyatakan ketidaksetujuan dengan petutur sehingga petutur merasa namanya jatuh; dan


(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

(e) memuji diri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri penutur. Berdasarkan penjelasan di atas, penutur harus menghindari kelima hal tersebut apabila ingin dikatakan santun dalam berbahasa. Namun, apabila kelima hal tersebut tidak dihindari atau justru digunakan, maka si penutur akan dikatakan tidak santun dalam berbahasa. Berdasarkan kelima hal di atas mengindikasikan bentuk ketidaksantunan berbahasa.

Pranowo (2009: 37-39) mengemukakan tujuh prinsip yang dapat mengukur santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut.

(a) kemampuan mengendalikan emosi agar tidak “lepas kontrol” dalam berbicara. Keadaan emosi tersebut sangat menentukan kesantunan seseorang dalam melakukan tindak tutur, yaitu sangat menetukan gaya berbicara, tingkat tutur, dan penggunaan kata-katanya.

(b) kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. Hal tersebut dapat diperlihatkan melalui kemauan seseorang mendengarkan dengan sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan oleh orang lain. (c) gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. Berbahasa

dikatakan santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur mudah dipahami oleh mitra tutur, misalnya: (1) tuturannya lengkap, (2) tuturannya logis, (3) sungguh-sungguh verbal, dan (4) menggunakan ragam bahasa sesuai dengan konteksnya.

(d) kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan situasi. Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra tutur adalah tuturan yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat mitra tutur.

(e) kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun tidak harus seperti bahasa proposal. Untuk menjaga kesantunan, tujuan hendaknya diungkapkan dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Apalagi bila tujuan tuturan itu berkenaan dengan kebutuhan pribadi penutur.

(f) penutur hendaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan diucapkan dengan enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak pula. Jangan suka menggurui, jangan berbicara terlalu keras, tetapi juga jangan


(41)

commit to user

terlalu lembut, jangan berbicara terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu lambat.

(g) perhatikan norma tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur) dan urutan tuturan. Jika ingin menyela, katakana maaf. Hindari keseringan menyela pembicaraan orang. Mengenai gerakan tubuh (gestur) pada saat berbicara, tunjukkan wajah berseri dan penuh perhatian terhadap mitra tutur. Tunjukkan sikap badan dan tangan yang sopan saat berbicara.

Nababan (1987: 67) menunjukkan empat cara mengatur tata cara bertutur yang juga merupakan prinsip atau dasar bertindak tutur, yaitu faktor waktu dan keadaan, ragam bahasa, giliran bicara, dan saat harus diam atau tidak bicara. Berikut ini penjelasan keempat faktor tersebut secara singkat.

(1) Faktor Waktu dan Keadaan

Faktor waktu dan keadaan menentukan apa yang seharusnya dikatakan oleh seseorang. Misalnya, pada waktu siang hari seseorang dapat bertutur lebih keras dari pada malam hari. Contoh lain, yaitu pada keadaan kesusahan atau kesedihan, tidak pantas sekiranya kita membuat humor atau banyolan.

(2) Ragam Bahasa

Pemilihan ragam bahasa hendaknya tepat dan wajar dalam situasi linguistik tertentu, artinya pemakai bahasa hendaknya memilih ragam bahasa berdasarkan kepada siapa ia bicara, dalam suasana apa, untuk keperluan apa, bagaimana tempat dan waktunya, apakah ada kehadiran orang ketiga atau tidak, dan sebagainya.

(3) Giliran Bicara

Penutur sering tidak mengetahui tata cara giliran bicara. Orang jawa menyebut ‘nyathek’ bagi orang muda yang tidak mengerti menggunakan giliran bicara secara tepat atau menyela semaunya sendiri. Hal ini juga berlaku jika seseorang harus menyela pembicaraan orang lain. Orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya, tuturan bicaranya harus mengalah dan jika akan menyela pembicaraan harus menunggu diberi kesempatan oleh orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya.


(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

(4) Saat Harus Diam atau Tidak Bicara

Apabila seseorang tidak mengetahui secara tepat suatu permasalahan, lebih baik ia diam atau tidak ikut bicara. Di depan orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya, sikap lebih banyak diam kiranya lebih baik dari pada kesan ‘nyinyir’, kecuali jika orang tersebut diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa keasantunan berbahasa atau bertutur tersebut bertalian erat dengan norma tutur. Norma tutur yang dimaksud adalah aturan-aturan bertutur yang mempengaruhi alternatif-alternatif pemilihan bentuk tutur Hymes (dalam Suwito 1997: 141). Lebih lanjut Hymes membedakan norma tutur menjadi dua macam, yaitu (1) norma interaksi (norm of interaction) dan (2) norma interpretasi (norm of interpretation). Norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh tidaknya sesuatu dilakukan oleh masing-masing penutur ketika interaksi verbal berlangsung. Norma ini menyangkut hal-hal yang merupakan etika umum dalam bertutur sehingga sifatnya relatif objektif. Norma interpretasi merupakan norma yang didasarkan pada interpretasi sekelompok masyarakat tertentu terhadap suatu aturan, yang dilatarbelakangi oleh nilai sosiokultural yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal ini senada dengan pendapat Brown dan Levinson (dalam Aziz 2003: 172) yang menyatakn sebagai berikut.

Before taking a particular action, a speaker must determint seriouseness of face-threatening act. They thus posit three independent and culturally-sensitive variables, with they claims subsume all others that play principal role: (1) the social distance (D) of S and H (a symmetric relation), indicating the degree of familiarity and solidarity shared by the S and H, (2) the relative “power” of S and H (a symmetric relation) indicatingthe degree to which the S can impose will on H, (3) the “absolute ranking (R) of impositions in particular culture” both in term of the expenditure of goods and/or service by the H, the right of the S to perform the act and the degree to which the H welcomes to imposition.

Norma interaksi tampak apabila terjadi interaksi verbal langsung antarpenutur. Untuk dapat mencapai komunikasi seperti itu, kedua belah pihak harus selalu menjaga apa-apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa-apa yang sebaiknya tidak dilakukan pada waktu mereka saling bertutur. Norma interaksi


(43)

commit to user

member batas-batas apakah yang sebaiknya dilakukan terhadap mitra tutur dan apa pula yang sebaiknya tidak dilakukan terhadap mitra tutur. Norma ini juga berlaku pada bahasa Indonesia. Sebagai contohnya, berbicara terus-menerus tanpa memberi kesempatan kepada mitra tutur untuk ganti bertutur atau sikap acuh tak acuh dalam menanggapi pembicaraan mitra tuturnya merupakan sikap yang tidak santun. Demikian juga kebiasaan memotong tuturan orang lain sebelum selesai berbicara, termasuk pelanggaran norma tutur yang perlu dihindari (Markhamah, dkk., 2009: 121).

Norma-norma interpretasi berkaitan dengan latar belakang sosial budaya yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan. Norma-norma semacam itu bersifat unik karena didasarkan penafsiran (interpretasi) suatu masyarakat tertentu terhadap perilaku tutur tertentu dalam proses komunikasi (Suwito, 1997: 144). Adanya keterkaitan antara bahasa dan masyarakat ini juga diungkapkan oleh Trudgill (1983: 14), yaitu “…it is clear that both these aspects of linguistic behavior are reflections of the fact that there is a close interrelationship between language and society.” Termasuk dalam masyarakat itu adalah pola-pola perilaku dan budaya yang ada pada masyarakatnya. Misalnya, masyarakat yang menganut budaya patrilinial, pemakaian bahasanya menunjukkan adanya perbedaan pola, yaitu pemakaian bahasa perempuan memiliki kecenderungan lebih sopan dibandingkan dengan bahasa laki-laki. Hal itu sejalan dengan pernyataan Holmes (1993: 320), yaitu sebagai berikut.

“Women put more emphasis than men on the polite or effective functions of tags, using them as facilitative positive politeness devices. Men, on the other hand, usere more tags for the expression of uncertainly.”

Hal tersebut juga disampaikan oleh Ledagard (2004) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki dalam hal pemakaian bahasa pada dasarnya sudah terbentuk sejak usia kanak-kanak. Anak-anak perempuan cenderung menampakkan kesantunan berbahasa yang lebih daripada anak laki-laki ketika sedang bermain dengan kelompoknya.

Berdasarkan penjelasan dari para pakar bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip kesantunan berbahasa merupakan sebuah kaidah atau norma berkomunikasi, baik norma interaksi maupun interpretasi untuk menjaga


(1)

commit to user

antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya

atara diri dan orang lain. Selain itu, penutur juga menerapkan (7) prinsip

penghindaran kata atau istilah tabu dengan penggunaan eufimisme, serta (8)

prinsip hormat dengan menggunakan pilihan kata honorifik, yang memang sesuai

dengan pranata budaya masyarakat setempat (lingkungan budaya Jawa).

Pematuhan terhadap prinsip-prinsip kesantunan bertutur tersebut terjadi

antara guru dan murid (dalam pembelajaran di kelas). Dalam melakukan setiap

peristiwa tutur, baik dalam posisi sebagai penutur maupun mitra tutur memang

harus memperhatikan betul prinsip-prinsip di atas. Apabila dilanggar, dapat

menimbulkan terjadinya ketidakharmonisan komunikasi, bahkan kegagalan

komunikasi. Oleh karena itu, untuk menciptakan interaksi sosial yang baik dalam

pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, salah satunya dengan

pematuhan terhadap prinsip-prinsip kesantunan berbahasa dalam setiap peristiwa

tutur.

Jika prinsip kerja sama dibutuhkan untuk memudahkan penjelasan

hubungan antara makna dan daya, prinsip kesantunan dibutuhkan untuk menjaga

kesopanan antara penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Di dalam

percakapan, penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar mitra

tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Dalam hal ini,

prinsip kesantunan dapat dipakai sebagai tuturan cara bertutur secara santun

Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan

tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip

sopan santun. Jika dibandingkan dengan penerapan prinsip kerja sama,

maksim-maksim dalam sopan santun lebih dipatuhi dari pada dilanggar. Memang tidak

mungkin dalam tuturan yang panjang seorang penutur selalu mematuhi seluruh

maksim dalam prinsip sopan santun. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, secara

konversasional seorang penutur dimungkikan untuk tidak selalu mematuhi seluruh

maksim dalam prinsip sopan santun. Ada kalanya seorang penutur melanggar

salah satu prinsip, prinsip kerja sama atau prinsip sopan santun.

Berdasarkan data yang disediakan dalam penelitian ini mengatakan

bahwa tuturan-tuturan dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1


(2)

commit to user

Karanganyar dipatuhi atau dilanggar. Tidak ada tuturan yang mematuhi sekaligus

melanggar maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Hal ini dimungkinkan

terjadi karena data yang diperoleh dari pembelajaran di kelas yang berkaitan

dengan penyampaian materi pembelajaran yang disampaikan oleh gutu kepada

murid. Namun demikian, juga ditemukan pematuhan dan pelanggaran

maksim-maksim dalam prinsip sopan santun ini pada tindak tutur asertif, performatif,

verdiktif, ekspresif, direktif, dan komisif.

Tuturan-tuturan yang berkaitan dengan penilaian terhadap tuturan guru

dimungkinkan tuturan-tuturan yang ada mematuhi atau melanggar maksim dalam

prinsip sopan santun. Dalam proses penilaian atas tuturan guru, murid hanya

memiliki dua pilihan, yaitu menerima atau menolak. Jika akan menerima materi

yang disampaikan guru, tentunya penutur yang dalam hal ini adalah guru

mematuhi

maksim-maksim

dalam

prinsip

sopan

santun.

Sebaliknya,

dimungkinkan apabila harus menolak, penutur cenderung melanggar

maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Namun demikian, dimungkinkan juga dalam

proses penilaian seorang penutur menyampaikan kelemahan-kelemahan tersebut

perlu penutur sampaikan sebelum akhirnya menerima atau menolak materi yang

disampaikan. Tidak selalu berarti bahwa jika penutur menyampaikan

kelemahan-kelemahan kemudian akhirnya menolak materi yang disampaikan. Hal ini akan

mempengaruhi dalam penerapan maksim-maksim dalam prinsip kesantunan.

2.

Penerapan Prinsip Kerjasama

Komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1

Karanganyar berjalan lancar. Hal ini menunjukkan bahwa guru SMA

Muhammadiyah 1 Karanganyar telah menerapkan maksim-maksim dalam prinsip

kerja sama dalam berkomunikasi. Antara penutur dan mitra tutur terdapat

semacam kesepakatan bersama tentang ikhwal yang dibicarakan, yaitu saling

berhubungan dan berkaitan antara apa yang disampaikan oleh penutur dan apa

yang diinginkan oleh mitra tutur.

Secara konversasional, dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1

Karanganyar ditemukan tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar

maksim-maksim dalam prinsip kerja sama. Hal demikian memang dimungkinkan dalam


(3)

commit to user

komunikasi. Seorang penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam

prinsip kerja sama dalam berkomunikasi. Pematuhan dan pelanggaran

maksim-maksim dalam prinsip kerja sama terjadi pada tindak tutur asertif, performatif,

verdiktif, direktif, ekspresif, dan komisif.

Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama dalam pembelajaran di

SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah maksim kuantitas. Penutur

memberikan keterangan lebih banyak dari pada yang dibutuhkan dalam

komunikasi. Ha ini terjadi karena dalam menyampaikan materi penutur cenderung

mengemukakan sesuatu yang akan dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini

wajar karena dalam berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus

memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus

memperhatikan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun. Sedangkan maksim

yang dipatuhi dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar adalah

maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat keterangan yang diberikan dalam

komunikasi haruslah sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sesungguhnya.


(4)

commit to user

71

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kesantunan

bentuk direktif di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar berdasarkan penerapan

prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun bentuk tuturan direktif yang telah

dikemukakan di depan, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.

1.

Penerapan prinsip kesantunan bentuk tuturan direktif oleh guru dan siswa

dalam peristiwa tutur di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar, antara lain (a)

maksim kearifan, (b) maksim kemurahan hati atau kedermawanan, (c)

maksim pujian atau penghargaan, (d) maksim kerendahan hati atau

kesederhanaan, (e) maksim kesepakatan atau persetujuan, dan (f) maksim

simpati. Selain itu juga prinsip penghindaran pemakaian kata tabu dengan

penggunaan eufimisme dan penggunaan pilihan kata honorifik.

2.

Pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar ditemukan

tuturan-tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim-maksim dalam prinsip kerja

sama. Hal demikian memang dimungkinkan dalam komunikasi. Seorang

penutur tidak harus selalu mematuhi seluruh maksim dalam prinsip kerja

sama dalam berkomunikasi. Maksim yang dilanggar dalam prinsip kerja sama

adalah maksim kuantitas. Penutur memberikan keterangan lebih banyak dari

pada yang dibutuhkan dalam komunikasi. Ha ini terjadi karena dalam

menyampaikan materi penutur cenderung mengemukakan sesuatu yang akan

dipertuturkan secara panjang lebar. Hal ini wajar karena dalam

berkomunikasi seorang penutur tidak hanya harus memperhatikan

maksim-maksim dalam prinsip kerja sama saja, tetapi juga harus memperhatikan

maksim-maksim dalam prinsip kesantunan. Sedangkan maksim yang paling

banyak dipatuhi adalah maksim relevansi. Hal ini wajar mengingat

keterangan yang diberikan dalam komunikasi haruslah sesuatu yang nyata

dan sesuai dengan fakta sesungguhnya.


(5)

commit to user

B.

Implikasi

Berdasarkan simpulan di atas, dapat diajukan beberapa implikasi

penelitian sebagai berikut.

1.

Hasil

penelitian

mengenai

kesantunan

tuturan

direktif

di

SMA

Muhammadiyah 1 Karanganyar ini dapat juga dijadikan sumbangan modal,

baik bagi guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia maupun bidang studi

kewarganegaraan ataupun budi pekerti, khususnya dalam mengajarkan

berbahasa yang santun, agar lebih variatif dalam memberikan contoh-contoh

bentuk kesantunan berbahasa. Selain itu, dapat dimanfaatkan bagi masyarakat

tutur sebagai tambahan acuan untuk mempermudah membina relasi dan

menjalin hubungan kerja sama di dalam membangun komunikasi yang

harmonis dengan mitra tutur sesuai dengan konteksnya.

2.

Praktik kebahasaan dalam peristiwa tutur di sekolah merupakan fenomena

yang menarik dalam perkembangan bahasa, dalam hal ini pemakaian bahasa

yang santun. Kajian mengenai kesantunan bentuk tuturan direktif di SMA

Muhammadiyah 1 Karanganyar ini dapat memberi tambahan ilmu bagi

peneliti bahasa Indonesia yang ingin mengembangkan lebih lanjut mengenai

kajian kesantunan bentuk tuturan direktif dengan pendekatan sosiopragmatik.

Selain

itu,

hasil

penelitian

ini

dapat

membantu

memperkaya

pengidentifikasian bentuk kesantunan berbahasa.

3.

Kajian mengenai kesantunan bentuk tuturan direktif di SMA Muhammadiyah

1 Karanganyar ini dapat dijadikan salah satu alternatif pertimbangan

pemilihan bahan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, mulai

tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi. Pemilihan bahan pengajaran yang

diambilkan dari seleksi aturan-aturan di lingkungan sekolah tersebut

sekaligus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa

yang santun. Kondisi demikian, kiranya perlu dipikirkan kembali karena

fenomena kesantunan berbahasa di dalam peristiwa tutur di sekolah tersebut

mempunyai beberapa sisi positif, yaitu menambah atau meningkatkan

kreativitas berbahasa dan untuk tetap mempertahankan penggunaan bahasa

Indonesia yang santun, baik dalam komunikasi formal maupun nonformal.


(6)

commit to user

4.

Kesantunan berbahasa juga merupakan salah satu kajian pendidikan umum,

yang dapat dijadikan jembatan pertama menuju pemaknaan lebih mendasar

pada tujuan, peran, dan fungsi pendidikan umum dengan mengambil

nilai-nilai dari agama dan budaya. Pendidikan umum mengarahkan tujuannya

kepada perwujudan manusia yang berkepribadian. Sosok manusia yang

memiliki kepribadian baik ditampakkan secara nyata melalui bahasa yang

ditampilkannya secara santun.

C.

Saran

Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, dapat diberikan beberapa

saran sebagai berikut.

1.

Hendaknya diadakan pengajaran kebahasaan yang lebih variatif mengenai

pemakaian bahasa yang santun di semua aspek keterampilan berbahasa, yaitu

membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Hal ini mengingat kesantunan

berbahasa Indonesia cukup penting, salah satunya dalam membentuk

kepribadian generasi muda yang lebih baik.

2.

Apabila ingin memelihara kelangsungan bahasa Indonesia agar tetap santun,

alangkah baiknya siswa dan guru, khususnya di SMA Muhammadiyah 1

Karanganyar tetap mempertahankan menggunakan bentuk-bentuk tuturan

yang santun pada saat bertutur, baik dalam situasi formal maupun nonformal.

3.

Mencari penyebab pelanggaran dan pematuhan maksim-maksim dalam

prinsip kerja sama dan sopan santun dalam pembelajaran di SMA

Muhammadiyah 1 Karanganyar.

4.

Hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif

contoh bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa di sekolah, khususnya

mengenai bentuk kesantunan dalam tuturan direktif.


Dokumen yang terkait

Tindak Tutur Direktif dalam “Pengembara Makrifat” Karya Zubair Tinajauan Pragmatik

0 7 10

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU BAHASA INDONESIA KELAS VII BSMP MUHAMMADIYAH 10 SURAKARTA DALAM PROSES Tindak Tutur Direktif Guru Bahasa Indonesia Kelas VII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta Dalam Proses Pembelajaran.

0 3 13

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU BAHASA INDONESIA KELAS VII BSMP MUHAMMADIYAH 10 SURAKARTA DALAM PROSES Tindak Tutur Direktif Guru Bahasa Indonesia Kelas VII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta Dalam Proses Pembelajaran.

0 3 13

PENDAHULUAN Tindak Tutur Direktif Guru Bahasa Indonesia Kelas VII B SMP Muhammadiyah 10 Surakarta Dalam Proses Pembelajaran.

0 3 5

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMOHON DALAM SURAT IZIN SISWA DI KABUPATEN KARANGANYAR Realisasi Tindak Tutur Direktif Memohon Dalam Surat Izin Siswa Di Kabupaten Karanganyar.

0 9 15

REALISASI TINDAK TUTUR DIREKTIF MEMOHON DALAM SURAT IZIN SISWA DI KABUPATEN KARANGANYAR Realisasi Tindak Tutur Direktif Memohon Dalam Surat Izin Siswa Di Kabupaten Karanganyar.

0 4 11

TINDAK TUTUR PERLOKUSI GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMK NEGERI 1 SAWIT BOYOLALI TINDAK TUTUR PERLOKUSI GURU DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS XI SMK NEGERI 1 SAWIT BOYOLALI.

0 8 22

TINDAK TUTUR DIREKTIF DI KALANGAN GURU BAHASA INDONESIA Tindak Tutur Direktif Di Kalangan Guru Bahasa Indonesia Dalam Proses Pembelajaran Di SMP Negeri 1 Jatisrono Kabupaten Wonogiri.

0 1 11

TINDAK TUTUR DIREKTIF DI KALANGAN GURU BAHASA INDONESIA Tindak Tutur Direktif Di Kalangan Guru Bahasa Indonesia Dalam Proses Pembelajaran Di SMP Negeri 1 Jatisrono Kabupaten Wonogiri.

0 4 13

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS X SMA NEGERI 3 BOYOLALI.

1 12 17