commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk
sosial pada dasarnya selalu menginginkan adanya kontak dengan manusia lain, sedangkan alat yang paling efektif untuk keperluan itu adalah bahasa, dengan
bahasa seseorang dapat menunjukkan peranan dan keberadaannya dalam lingkungan. Pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi kehidupan.
Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam suatu segi kehidupan yang satu berbeda dengan pemakaian bahasa dalam segi kehidupan yang lain.
Termasuk di dalamnya bahasa yang dipakai dalam suatu pembelajaran di lembaga pendidikan.
Keberhasilan suatu program pembelajaran ditentukan oleh beberapa komponen dan semua komponen tersebut harus saling berinteraksi. Salah satu
komponen tersebut adalah bahasa. Sejalan dengan pendpat di atas Nababan 1987: 68 berpendapat bahwa alat terutama dalam interaksi belajar mengajar antara
murid, guru, dan pelajaran adalah bahasa, dalam proses belajar mengajar terjadilah komunikasi timbal balik atau komunikasi dua arah antara guru dan
siswa atau siswa dengan siswa. Proses belajar mengajar akan berjalan efektif jika guru dan siswa
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, dalam hal ini guru dituntut untuk terampil dalam berkomunikasi agar apa yang disampaikan dapat dimengerti
dan dipahami siswa. Pada umumnya masyarakat Indonesia terlebih dahulu mengenal bahasa daerah sebelum mengenal bahasa Indonesia sehingga bahasa
daerah berfungsi sebagai bahasa pertama yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari dalam suatu etnik tertentu, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
kedua mengalami kontak bahasa dengan bahasa daerah. Salah satu contohnya adalah tindak tutur guru dalam proses pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar seperti yang penulis teliti.
commit to user
Masyarakat pengguna bahasa dalam situasi tertentu dan untuk mencapai tujuan tertebtu akan selalu berusaha memilih dan menggunakan kaidah-kaidah
tuturan yang sesuai dengan peraturan. Selain itu, masyarakat pengguna bahasa juga harus memperhatikan tata cara berbahasa yang disesuaikan dengan norma
atau aspek sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat tertentu. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya, ia akan
mendapat nilai negatif, misalnya dikatakan orang yang tidak santun, sombong, angkuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya Muslich, 2006: 2.
Pakar bahasa menyadari perlunya perhatian terhadap dimensi kemasyarakatan bahasa, termasuk di dalamnya aspek sosial dan budaya. Hal ini
dikarenakan dimensi kemasyarakatan tersebut bukan sekedar memberi makna terhadap bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam bahasa dan juga
sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik, aturan- aturan, dan modus pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari
interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Interaksi sosial merupakan sarana pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sehari-hari dan
menggunakan makna tersebut sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai kegiatan.
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur
merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi simbolis dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya, tanpa
mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Misalnya, masyarakat Jawa menggunakan bahasa tidak hanya sekedar untuk alat
berkomunikasi, tetapi juga sebagai identitas dan parameter kesantunan dalam berkomunikasi. Norma kesantunan tampak dari perilaku verbal maupun perilaku
nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi direktif misalnya, terlihat pada bagaimana penutur mengungkapkan perintah, nasihat, permohonann permintaan,
keharusan atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Adapun perilaku nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural
menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya.
commit to user
Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status
penutur dan mitra tutur. Keberhasilan menggunakan strategi-strategi ini menciptakan suasana santun yang memungkinkan interaksi sosial berlangsung
tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur. Tata cara berbahasa, termasuk santun berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi
penutur dan mitra tutur untuk kelancaran komunikasinya. Misalnya, dalam masyarakat Jawa, seorang penutur tidak akan menyatakan maksudnya hanya
dengan mengandalkan pikiran rasionya, tetapi yang lebih penting adalah perasaanya angon rasa. Angon rasa tersebut merupakan komunikasi yang
dilakukan dengan menjaga perasaan mitra tutur. Meskipun informasi yang disampaikan didukung oleh data dan realita, tetapi jika waktu menyampaikannya
tidak tepat, harus ditunda terlebih dahulu. Jika prinsip ini dilanggar, kemungkinan besar komunikasi dapat gagal mencapai tujuan Pranowo, 2009: 45. Hal ini tidak
hanya terjadi dalam komunikasi sosial, tetapi juga dalam komunikasi formal ataupun komunikasi akademik supaya selalu tercipta suasana tutur yang harmonis.
Bahasa dengan segala bentuk pemakaian, konteks, dan situasinya sangat menarik untuk dijadikan bahan penalitian, termasuk kesantunan berbahasa. Untuk
menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi perlu dipertimbangkan segi kesantunan berbahasa. Dewasa ini kita sering
mendengar kebanyakan orang menggunakan bahasa yang kurang sopan, khususnya generasi muda. Bahasa yang digunakannya sering memancing emosi
seseorang sehingga menimbulkan keributan atau perselisihan, termasuk fenomena berbahasa di kalangan siswa yang menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa
sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat yang semakin mengglobal ini.
Pembelajaran akan mudah dilakukan jika murid-muridnya sejak kecil sudah terbiasa untuk berbahasa Indonesia atau bahkan menjadi bahasa
pertamanya. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah permasalahan tersendiri jika murid-muridnya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi sehari-hari. Misalnya anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan,
commit to user
meraka belum menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Berkaitan dengan hal ini, Soemiarti 2003: 37 berpendapat bahwa guru hendaknya peka
terhadap kondisi anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia berbeda yang disebabkan karena datang dari daerah sehingga terhambat sosialisasinya.
Kesantunan berbahasa dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dengan mitra tutur. Kesantunan berbahasa merupakan hasil
pelaksanaan kaidah yaitu kaidah sosial, dan hasil pemilihan strategi komunikasi. Kesantunan berbahasa penting di mana pun individu berada. Setiap anggota
masyarakat percaya bahwa kesantunan berbahasa yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat. Setiap masyarakat selalu ada hierarki sosial yang
dikenakan pada kelompok anggota masyarakat, karena mereka telah menetukan penilaian tertentu, misalnya, antara guru dan siswa, orang tua dan anak muda,
pemimpin dan yang dipimpin, majikan dan buruh, serta status lainnya. Selain itu faktor konteks juga menyebabkan kesantunan berbahasa karena pada dasarnya
prinsip kesantunan berbahasa tersebut merupakan kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara
penutur dan mitra tutur. Berdasarkan pernyataan di atas kebutuhan akan hadirnya sosiopragmatik
makin terasa. Apalagi, kita sering menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang ternyata tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan linguistik, tetapi
memerlukan pula pertimbangan-pertimbangan nonlinguistik, seperti disiplin ilmu sosiologi dan pragmatik. Masalah demikian timbul karena studi bahasa itu sendiri
cenderung bersifat multidisipliner. Selain itu, juga karena adanya kenyatan- kenyataan Bahwa 1 bahasa itu selalu berubah sejalan dengan perubahan
masyarakat pemakainya, 2 perubahan bahasa itu terjadi sebagaia akibata adanya perubahan nilai masyarakat terhadap bahasa yang dipakainya, dan 3 perubahan
nilai tersebut bersumber pada perubahan-perubahan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang
sebagai anggota kelompok sosial. Oleh sebab itu, bahasa dan pemakaiannya tidak diamati secara individual, melainkan selalu dihubungkan dengan kegiatan di
masyarakat Lubis, 1993: 124. Dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang
commit to user
sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial, termasuk fenomena kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan sekolah.
Penelitian kesantunan berbahasa Indonesia ini akan dibatasi bentuk tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas. Tindak tutur direktif tersebut
merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti halnya di
lingkungan sekolah pada saat kegiatan belajar-mengajar. Tindak tutur direktif sangat mendominasi dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang menarik
adalah untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ‘perintah penutur kepada mitra tutur’, ternyata dapat dibanggun atau direalisasikan dengan
menggunakan bentuk-bentuk afirmatif, imperatif, bahkan bentuk interogatif. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sangatlah beralasan jika, Leech
1983: 121 menyatakan bahwa prinsip sopan santun berbahasa tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekedar ditambahkan saja pada prinsip
kerja sama, tetapi prinsip sopan santun ini merupakan prinsip berkomunikasi penting yang dapat menyelamatkan prinsip kerja sama dari suatu kesulitan yang
serius. Oleh karena itu diasumsikan bahwa prinsip kerja sama kedudukannya sangat penting, tetapi pertimbangan prinsip kesantunan tampaknya tidak dapat
dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam interaksi belajar-mengajar antara guru dan siswa ataupun antarsiswa di lingkungan sekolah.
Agar penelitian ini lebih mendalam, peneliti membatasi permasalahan yang akan dikaji, adapun pembatasan tersebut, yaitu 1 penarapan prinsip
kesantunan dalam berbahasa; dan 2 penerapan prinsip kerja sama dalam berbahasa.
B. Rumusan Masalah