Mutu Ikan Selais Asap (Ompok hypophthalmus) Unit Pengolahan Tradisional di Teluk Petai, Kampar, Riau

(1)

MUTU IKAN SELAIS ASAP (Ompok hypophthalmus) UNIT

PENGOLAHAN TRADISIONAL DI TELUK PETAI, KAMPAR,

RIAU

HILMA AZRI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

RINGKASAN

HILMA AZRI.C34080032. Mutu Ikan Selais Asap (Ompok hypophthalmus) Unit Pengolahan Tradisional di Teluk Petai, Kampar, Riau. Dibimbing oleh NURJANAH dan AGOES MARDIONO JACOEB.

Ikan selais (Ompok hipophthalmus) merupakan salah satu ikan air tawar dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais yang biasanya diolah dengan cara pengasapan. Proses pengasapan dapat menghambat meningkatnya jumlah dan aktivitas mikroorganisme, sehingga masa simpan produk bisa lebih lama. Penyimpanan yang baik akan membantu dalam mempertahankan mutu ikan asap, salah satunya dengan penyimpanan dingin atau penyimpanan pada suhu rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses pengolahan dan mutu daya simpan ikan selais asap pada suhu ruang dan suhu dingin (10 oC).

Tahap awal penelitian ini yaitu memperoleh informasi mengenai sanitasi proses pengolahan ikan selais asap. Tahap selanjutnya menganalisis perubahan mutu ikan selais asap dilakukan dengan pengujian jumlah total mikroba (TPC),

total volatile base dan aktivitas air pada produk. Proses pembuatan ikan selais asap belum sesuai dengan standar sanitasi yang ada, mulai dari penerimaan bahan baku, proses produksi, kondisi peralatan, sanitasi dan pakaian pekerja, penanganan hama dan lain-lain. Komposisi kimia ikan selais asap yang diperoleh yaitu kadar air sebesar 20,60%, abu 9,75%, lemak 13,81%, dan protein 58,68% dengan rata-rata nilai organoleptik 7. Uji mikrobiologi yang dilakukan tidak terdapat bakteri Escherichia coli pada ikan selais asap yang diamati. Perbedaan waktu dan suhu penyimpanan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap nilai TVB ikan selais asap, namun memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah mikroba dan aktivitas air ikan selais asap. Aktivitas air ikan selais asap yang disimpan pada suhu kulkas (10 oC) pada penyimpanan hari ke-20 lebih tinggi daripada penyimpanan pada suhu ruang yaitu sebesar 0,783, sedangkan aw ikan selais asap pada penyimpanan suhu kulkas hari ke-20 yaitu sebesar 0,774.


(3)

MUTU IKAN SELAIS ASAP (Ompok hypophthalmus) UNIT

PENGOLAHAN TRADISIONAL DI TELUK PETAI, KAMPAR,

RIAU

HILMA AZRI

C34080032

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Judul : Mutu Ikan Selais Asap (Ompok hypophthalmus) Unit Pengolahan Tradisional di Teluk Petai, Kampar, Riau

Nama : Hilma Azri

NRP : C34080032

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Nurjanah, MS Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl. –Biol. NIP.19591013 198601 2 002 NIP. 19591127 198601 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil NIP. 19580511 198503 1 002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Mutu Ikan

Selais Asap (Ompok hypophthalmus) Unit Pengolahan Tradisional di Teluk Petai, Kampar, Riau” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Hilma Azri C34080032


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat serta karunia-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul ”Mutu Ikan Selais Asap (Ompok hypophthalmus) Unit Pengolahan Tradisional di Teluk Petai, Kampar, Riau”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl. -Biol selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2. Roni Nugraha, S. Si, M. Sc selaku dosen Penguji tamu atas pengarahan dan masukan yang diberikan kepada penulis.

3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

4. Keluarga tercinta, papa, mama, dan abang yang telah memberikan doa, semangat, dukungan, dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kakek, Tante Mul, Tante Yus, Om Man, Zikri, dan Zikra yang telah menemani penulis dalam pengambilan sampel penelitian.

6. Teman-teman angkatan 45 atas semangat dan dukungannya.

7. Orin, lina, mpit, mbak yul, dan fitri yang selalu mendengar cerita dan memberi semangat kepada penulis

8. Asisten Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan (Ka Sabri, Asni, Euis, Ipi, Caca, Ning, dan Ika) atas kebersamaanya.

9. Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP), staf Dosen, Tata Usaha (TU), dan staf laboratorium (Bu Ema, Mas Zaky, Mas Andri, Mas Ipul, Mba Dini, dan Mba Lastri), serta teman-teman THP 44, 46 dan 47 yang telah memberikan dorongan dan semangat.


(7)

10.Teman-teman kosan SQ (uland, ana, mega, fatchah, nengsih, delvi, puji, mpa, putri, devi, lia, dan febi) yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis.

11.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2012


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekan Baru pada tanggal 3 Maret 1990 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Azri Nizar dan Fauza Nurdin.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri No.29 Lubuk Jambi, Riau (1996-2002), dan dilanjutkan di MTs Negeri Model Padang (2002-2005). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di MA Negeri 2 Padang (2005-2008) dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) sebagai anggota divisi PSDM periode 2009-2010, ketua divisi PSDM Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) periode 2010-2011, dan anggota Ikatan Persatuan Mahasiswa Minang (IPMM). Penulis aktif sebagai asisten mata kuliah Ekologi Perairan periode 2010/2011 dan asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan.

Penulis melakukan penelitian dengan judul “Mutu Ikan Selais Asap (Ompok hypophthalmus) Unit Pengolahan Tradisional di Teluk Petai, Kampar, Riau” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan,

Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl. –Biol.


(9)

DAFTAR ISI

kjshd Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) ... 3

2.2 Ikan Asap ... 4

2.3 Proses Pengasapan ... 4

2.4 Kemunduran Mutu ikan asap... 5

2.4 Penyimanan Dingin ... 6

3 METODOLOGI ... 8

3.1 Waktu dan Tempat ... 8

3.2 Bahan dan Alat ... 8

3.3 Prosedur Kerja ... 8

3.4 Pengambilan Sampel ... 9

3.4.1 Analisis proksimat ... 10

3.4.2 Uji organoleptik (SNI 2346) ... 12

3.4.3 Uji kimia ... 12

3.4.4 Uji mirobiologi ... 13

3.5 Penentuan Aktivitas Air (aw) ... 16

3.6 Analisis Data ... 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

4.1 Keadaan Umum Industri Ikan Asap Selais ... 18

4.2 Kondisi Pengolahan Ikan Asap Selais (Ompok hypophthalmus) di Wilayah Teluk Petai, Kampar, Riau ... 18


(10)

4.3 Fasilitas Pengolahan Ikan Asap di Wilayah Teluk Petai ... 20

4.3.1 Fasilitas Produksi ... 20

4.3.2 Sanitasi pada Pengolahan Ikan Selais Asap di Teluk Petai ... 21

4.3.3 Penerimaan bahan baku ... 25

4.3.4 Pencucian ... 26

4.3.5 Pengasapan ... 26

4.3.6 Penyimpanan dan Distribusi Produk ... 28

4.4 Analisis Penyimpanan Ikan Selais Asap ... 29

4.4.1 Uji organoleptik ... 29

4.4.2 Total Place Count (TPC) ... 30

4.4.3 Total Volatile Base (TVB) ... 33

4.4.4 Aktivitas air (aw) ... 34

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37


(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Persyaratan mutu dan kemanan pangan ikan asap ... 7

2 Interpetasi hasil uji bakteri Escherichia coli (SNI 01-2332.1-2006) ... 16

3 Hasil pengujian kuesioner ... 19


(12)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) ... 3

2 Diagram alir proses uji dalam penelitian ikan asap ... 9

3 Media pengasapan ... 20

4 Tempat penyimpanan sementara ... 20

5 Keranjang ... 21

6 Kayu bakar untuk pengasapan ... 21

7 Pengolahan ikan asap ... 22

8 Air yang digunakan pada proses produksi ... 23

9 Kondisi pekerja pengolahan ikan asap ... 24

10 Bahan baku ikan asap ... 25

11 Diagram hasil uji organoleptik ikan asap ... 29

12 Diagram nilai TPC selama penyimpanan suhu ruang dan kulkas ... 31

13 Diagram nilai TVB selama penyimpanan suhu ruang dan kulkas ... 33


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Hasil Uji Tukey Uji Organoleptik Ikan Asap Selais ... 42

2 Uji Duncan aw dan TVB pada Suhu Ruang ... 46

3 Uji Duncan aw dan TVB pada Suhu Kulkas ... 47

4 Foto-Foto Proses Penelitian ... 49


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan sumber daya perairan yang cukup banyak di Indonesia. Sifat ikan yang highly perishable menuntut para nelayan dan para pengumpul agar dapat mempertahankan kesegaran serta menjaga mutu dan keawetan ikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keawetan ikan yaitu dengan melakukan pengolahan baik secara modern maupun tradisional.

Pengolahan ikan secara tradisional umumnya didasarkan pada pengurangan kadar air produk yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Proses ini dapat menghambat jumlah dan aktivitas mikroorganisme, sehingga masa simpan produk dapat diperpanjang (Irianto dan Giyatmi 2009). Pengasapan merupakan salah satu proses pengolahan yang dapat mengawetkan ikan dengan menggunakan kombinasi panas dan asap.

Ikan selais (Ompok hipophthalmus) merupakan salah satu ikan air tawar yang biasanya diolah menjadi ikan asap. Ikan O. hypophthalmus lebih dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais (Rachmatika et al. 2006). Ikan selais merupakan salah satu ikan endemik yang terdapat di sungai Kampar, Riau. Dinas Perikanan Daerah Tingkat II Kampar mengeluarkan data produksi perikanan secara umum di Sungai Kampar, termasuk di dalamnya produksi ikan Selais. Tahun 1995 sebanyak 6.686,29 ton, 1996 menjadi 6.375,03 ton (turun 4,6 persen), 1997 sebanyak 5.414, 72 ton (turun 15,05 persen), tahun 1998 menjadi 4.705,86 ton (turun 4,66 persen),dan data terakhir tahun 2009 sebanyak 3.192,50 ton (turun 32,16 persen) (Fadli 2012).

Produk hasil pengasapan (ikan asap) merupakan produk yang disukai oleh konsumen, namun beberapa ikan asap memiliki daya awet yang tidak lama. Daya awet dan mutu ikan asap dapat dipertahankan dengan melakukan penyimpanan yang baik dan benar. Salah satu teknik penyimpanan yang bisa dilakukan terhadap produk ikan asap yaitu penyimpanan dingin (kulkas; 10 oC) atau penyimpanan pada suhu rendah.


(15)

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses pengolahan dan mutu daya simpan ikan selais asap pada suhu ruang dan suhu dingin (10 oC).


(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus)

Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais bantut dan lais (Rachmatika et al. 2006). Ikan selais (O. hypophthalmuaI Bleeker, 1846) diklasifikasikan sebagai berikut:

Kelas : pisces Ordo : siluriformes Subordo : siluroidea Family : siluridae Genus : Ompok

Spesies : O. hypophthalmus

Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

Ikan selais memiliki ciri-ciri bentuk tubuh pipih tegak dan memanjang. Bentuk dorsal agak bungkuk menurun secara perlahan dari bagian sirip dorsal kearah ujung hidung dan dari sirip dorsal bagian posterior kearah sirip ekor. Hidung mendatar dengan bagian depan membulat. Sepasang lubang hidung posterior yang dikelilingi oleh membran dorsal berlemak dan membran ventral dan terdapat diantara posteromedial sampai ke dasar sungut rahang atas. Bentuk mulut terminal dengan bukaan mulut miring ke atas. Sungut rahang atas ramping dan lurus memanjang hingga mencapai bagian anterior sirip ketiga dari sirip dubur. Terdapat sepasang sungut rahang bawah, memanjang mencapai bagian tegak lurus dari pinggir mata. Memiliki mata yang kecil, berlemak dan terdapat dibagian tengah kepala, mata terlihat dari bagian ventral maupun dari bagian dorsal (Ng 2003).


(17)

2.2 Ikan Asap

Pengasapan merupakan metode pengawetan yang meliputi kombinasi proses pengeringan, penggaraman, pemanasan, dan pengasapan, yang akan menghasilkan produk dengan rasa dan aroma yang khas. Pengolahan ikan asap telah dikenal dengan baik oleh masyarakat di daerah Maluku, Minahasa, Aceh, sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Hastuti et al. 1997)

Jenis kayu yang baik untuk pengasapan adalah kayu yang lambat terbakar, banyak mengandung senyawa-senyawa mudah terbakar, dan menghasilkan asam. Asap memiliki sifat sebagai pengawet. Fenol yang dikandungnya memiliki sifat bakteriostatik yang tinggi sehingga menyebabkan bekteri tidak berkembang biak, fungisidal sehingga jamur tidak tumbuh, dan aktioksidan sehingga cukup berperan mencegah oksidasi lemak pada ikan (Irianto dan Giyatmi 2009).

Pewarna, rasa, dan aroma ikan asap tergantung pada komponen yang dihasilkan melalui pembakaran. Hal ini juga tergantung pada jenis kayu yang digunakan. Senyawa asam organik dalam asap akan memberikan warna. Fenol dan formaldehid merupakan senyawa yang mempunyai daya awet. Fenol juga berperan dalam menimbulkan rasa dan aroma yang khas dari ikan asap (Yanti dan Rochima 2009)

2.3 Proses Pengasapan

Ikan yang digunakan untuk pengasapan sebaiknya ikan yang masih segar, tidak cacat fisik, dan bermutu tinggi. Ikan yang akan diasap dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran, sisik-sisik yang lepas, dan lendir. Kemudian ikan disiangi dengan cara membelah bagian perut sampai dekat anus. Ikan yang sudah bersih direndam dalam larutan garam atau penggaraman. Proses penggaraman ini berfungsi untuk memberikan cita rasa produk yang lebih lezat, membantu pengawetan, membantu pengeringan, dan menyebabkan tekstur daging ikan menjadi lebih kompak (Irianto dan Giyatmi 2009).

Pengasapan dikelompokkan menjadi pengasapan panas dan pengasapan dingin. Pengasapan panas, ikan yang akan diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Pengasapan panas pada prinsipnya merupakan usaha penanganan ikan secara perlahan. Pada pengasapan


(18)

panas terjadi penyerapan asap, ikan cepat menjadi matang tetapi kadar air di dalam daging masih tingi (Kadir 2004).

Ikan yang diasap menggunakan pengasapan dingin diletakan di rak-rak atau digantung jauh dari sumber asap, lama proses pengasapan sampai dua minggu. Proses pengasapan panas dilakukan cukup dekat dengan sumber asap, sehingga suhu tempat penyimpanan ikan dapat mencapai 100 oC sehingga ikan masak secara keseluruhan. Pengasapan ikan secara tradisional mempunyai kelemahan yaitu belum adanya keseragaman dalam pengolahan, menghasilkan senyawa yang bersifat karsinogenik, kontrol asap sulit, temperatur sulit dikontrol, pemindahan rak-rak dari lapisan atas ke lapisan bawah setelah ikan di lapisan bawah sudah masak dan kelembaban udara dalam ruangan (Satyajaya et al. 2009).

2.4 Kemunduran Mutu ikan asap

Ikan asap merupakan produk yang mudah busuk dan harus ditangani seperti pada penanganan ikan segar, kecuali jika produk tersebut mendapat perlakuan penggaraman berat, namun permintaan produk ikan asap akhir-akhir ini yaitu ikan asap yang berkadar garam rendah. Potensi terjadinya kemunduran mutu pada ikan asap cukup besar. Hal yang menguntungkan dari ikan asap yaitu adanya proses dehidrasi. Aktivitas air dari ikan asap adalah sekitar 0,90 dan pada tingkat nilai tersebut terdapat beberapa mikroba, antara lain Micrococcus, Staphylococcus dan kapang akan tumbuh (Irianto dan Giyatmi 2009).

Umur simpan ikan asap dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama species dan mutu awal bahan mentah, konsentrasi garam dan aktivitas air dari daging ikan, suhu selama pengasapan, kadar komponen-koponen asap, tipe pengemas, standar higieni tempat pengolahan dan penyimpanan. Ikan yang diasap panas secara ringan yang disimpan pada suhu 4 oC, pada umumnya memiliki umur simpan 2 minggu, sedangkan ikan yang diasap dingin, digarami berat dan diasap minimal selama 6-8 jam dapat dipertahankan mutunya pada suhu dingin sekitar 2 bulan. Ikan asap dengan kadar air rendah lebih tahan terhadap pembusukan dibandingan yang lain, sedangkan ikan asap yang memiliki permukaan yang lebih luas dan kadar air lebih tinggi akan lebih mudah mengalami pembusukan (Irianto dan Giyatmi 2009).


(19)

2.4 Penyimpanan Dingin

Penyimpanan merupakan salah satu usaha untuk melindungi bahan dari kerusakan yang disebabkan berbagai serangan hama antara lain mikroorganisme, serangga, tikus serta kerusakan fisiologi atau biokimia. Penyimpanan bertujuan memelihara dan mempertahankan kondisi serta mutu bahan makanan yang disimpan, untuk melindungi makanan dari perubahan-perubahan suhu, kelembaban, oksigen, cahaya dan kerusakan oleh mikroorganisme, serangan serangga dan tikus, sebagai cadangan bahan makanan, serta menyelamatkan sisa makanan atau bahan makanan yang tidak dapat dihabiskan (Damayanthi dan Mudjajanto 1995).

Cara penyimpanan bahan pangan setelah berbagai proses pengolahan, penjualan merupakan hal yang utama dan menentukan keamanan serta mutu dari aspek mikrobiologi. Bakteri patogen yang berhubungan dengan bahan pangan tidak dapat tumbuh di luar kisaran suhu 4-6 oC. Bahan baku yang harus disimpan sebelum diolah harus disimpan dalam lemari pendingin. Bahan-bahan yang mudah rusak harus didinginkan dan suhu lemari pendingin harus diperiksa secara teratur (Buckle et al. 1987).

Istilah penyimpanan dingin biasanya diartikan sebagai penggunaan suhu rendah dalam kisaran 1-3,5 oC, suhu yang jauh melebihi permulaan pembekuan otot, tetapi masih berada pada suhu optimum -2 dan 7 oC bagi pertumbuhan organisme psikrofilik. Penyimpanan dingin yaitu penyimpanan dibawah suhu 15 oC dan diatas titik beku bahan (Winarno dan Jenie 1983).

Penyimpanan juga ditentukan oleh jenis kemasan yang digunakan. Kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menentukan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi; (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; (3) menambah daya tarik produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Perubahan kadar air pada produk akan mengakibatkan timbulnya jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk, dan pelunakan pada produk


(20)

kering. Bahan pangan memiliki sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus terhadap gas tersebut (Bukle et al. 1987).

Ikan asap hasil produksi harus memenuhi beberapa persyaratan mutu, sehingga ikan aman untuk dikonsumsi. Persyaratan mutu dan kemanan pangan ikan asap berdasarkan SNI 2725.1:2009 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Persyaratan mutu dan kemanan pangan ikan asap

Jenis uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik b. Cemaran mikroba - ALT

- Escherichia coli

- Salmonella

- Vibrio cholera*

Staphylococcus aureus *

c. Kimia - Kadar air - Kadar histamin - Kadar garam

Angka 1-9 Koloni/g

APM/g per 25 g per 25 g Koloni/g % fraksi massa

mg/kg % fraksi massa

Minimal 7 Maksimal 1,0×105

Maksimall < 3 Negatif Negatif Maksimal 1,0×103

Maksimal 60 Maksimal 100

Maksimal 4 Catatan *) Bila diperlukan


(21)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2012 dan bertempat di unit pengolahan tradisional Teluk Petai, Kampar, Riau, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan serta Laboratorium Pengolahan Pangan Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan selais asap (Ompok hypophthalmus) yang berasal dari Teluk Petai, Kampar, Riau. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis TVB antara lain larutan asam borat 2%, larutan asam klorida (HCl) 0,02 N, larutan asam trikloroasetat (TCA) 7%, larutan kalium karbonat (K2CO3) jenuh (1:1). Bahan-bahan untuk uji mikrobiologi antara lain Lactose Broth, plate count agar (PCA), garam fisiologis, dan aquades. Bahan-bahan untuk analisis proksimat antara lain aquades, HCl, NaOH, katalis selenium, H2SO4, H3BO3, dan pelarut heksana.

Alat-alat yang digunakan yaitu plastik, aluminium foil, tissue, kantung plastik, pisau, talenan, cawan porselen, tabung Kjeldahl, kapas bebas lemak, tabung soxhlet, timbangan analitik, homogenizer, Aw-meter, erlenmeyer 250 ml, corong, kertas saring, gelas ukur, pipet volumetrik, mikro pipet, tip, cawan Conway beserta tutupnya, inkubator, desikator, oven, tabung durham, cawan petri, tabung reaksi, kulkas, vortex, rak tabung reaksi, sudip, alu dan mortar.

3.3 Prosedur Kerja

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan mempelajari keadaan sanitasi pengolahan ikan selais asap (O. hypophthalmus) serta mutunya yang dilakukan dengan wawancara, pengamatan terhadap pengaruh penyimpanan ikan asap pada suhu dingin dan analisis mutu ikan asap selais. Analisis mutu terdiri dari uji organoleptik, uji fisik, uji kimia, dan uji mikrobiologi. Uji fisik meliputi uji aktivitas air (aw), uji kimia meliputi uji Total Volatile Base (TVB) dan proksimat.


(22)

Uji mikrobiologi meliputi uji TPC (total plate count) dan, Escherechia coli. Ikan selais asap kemudian dikemas menggunakan plastik HDPE non vakum dan disimpan pada suhu dingin selama 20 hari. Uji TPC, aw dan TVB dilakukan setiap 5 hari selama penyimpanan, sedangkan uji proksimat dilakukan pada awal. Prosedur penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir proses uji dalam penelitian ikan asap.

*analisis mutu ikan selais asap; **analisis penyimpanan ikan selais asap

3.4 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel ikan selais kering yang berasal dari tiga pasar tradisional yang berbeda di Pekan baru, Riau. Sampel yang digunakan dipisahkan dalam beberapa kemasan untuk dianalisis mutunya, terdiri dari uji organoleptik, uji fisik, uji kimia, dan uji mikrobiologi.

Ikan selais asap

Wawancara dan observasi

Analisis mutu dan penyimpanan (suhu ruang dan kulkas) produk

ikan selaisasap

- Uji organoleptik - Analisis proksimat - Kadar TVB - Uji TPC

- Uji bakteri E. Coli* - Uji aw**


(23)

3.4.1 Analisis proksimat

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan ditimbang hingga beratnya konstan. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 oC selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar air:

% kadar air =

x 100%

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Analisis kadar abu dilakukan untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dan bahan yang dianalisis. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105 oC selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen, kemudian dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar abu ikan selais:

Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)


(24)

c) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) d) Analisis kadar protein (AOAC 1980)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar

(crude protein) pada suatu bahan. Tahapan yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

1. Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 1 gram. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. Setengah butir selenium dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 mL H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi hijau jernih.

2. Tahap destilasi

Larutan yang telah jernih didinginkan dan kemudian ditambahkan 10 ml akuades dan 10 mL NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% . Hasil destilat berwarna hijau kebiruan.


(25)

3. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1013 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein pada ubur-ubur adalah sebagai berikut:

% Kadar Protein = % nitrogen x faktor konversi (6,25)

3.4.2 Uji organoleptik (SNI 2346)

Metode yang digunakan untuk uji organoleptik ikan asap berdasarkan SNI 2346 tentang petunjuk pengujian organoleptik atau sensori pada produk perikanan. Metode ini menggunakan angka yang berkisar antara 1 sampai 9 dengan penilaian dalam bentuk produk ikan asap. Pengukuran organoleptik merupakan cara penilaian mutu ikan selais asap yang bersifat subyektif dengan mengunakan indera manusia.

3.4.3 Uji kimia

Pengujian kimia dilakukan untuk mengetahui karakteristik kimia ikan asap yang meliputi uji TVB. Pengujian TVB dilakukan dengan cara penimbangan sampel sebanyak 15 gram, kemudian ditambahkan 45 mL TCA 7% dan dihomogenkan, lalu disaring dengan kertas saring dan ditampung dalam erlenmeyer. Selanjutnya diambil 1 mL ekstrak dimasukkan ke dalam cekungan luar pinggir kiri dari cawan Conway, dipipet sebanyak 1 mL K2CO3 dan dimasukkan ke dalam cekungan luar pinggir kanan. Asam borat sebanyak 1 ml dipipet dan dimasukkan ke dalam cekungan tengah cawan Conway, kemudian cawan ditutup, sedikit digoyangkan untuk mencampur ketiga larutan tersebut. Setelah selesai diinkubasi lebih kurang selama 1 jam, kemudian dilakukan titrasi larutan borat pada bagian dalam (inner chamber) cawan Conway blanko dengan larutan HCl 0,01 N sehingga warna larutan asam borat berubah menjadi merah muda, selanjutnya berturut-turut titrasi larutan asam borat pada cawan Conway contoh sampai diperoleh warna merah yang sama dengan blanko. Perhitungan nilai TVB dapat dihitung dengan rumus:


(26)

Keterangan :

i = Volume titrasi sampel (mL) j = mL titrasi HCl blanko Fp = faktor pengenceran

3.4.4 Uji mirobiologi

Uji mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui cemaran biologis pada ikan asap selais. Uji mikrobiologi terdiri dari pengujian TPC dan bakteri E. coli.

(1) Pengujian total plate count (TPC) atau penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan (SNI 01-2332.3-2006)

a) Preparasi Contoh

Sampel diambil secara acak dan dipotong kecil-kecil hingga beratnya 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam wadah atau aluminium foil. Selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan garam fisiologis 90 mL dan dihomogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1, kemudian dengan pipet steril diambil 1 mL homogenat di atas dan dimasukkan ke dalam 9 mL larutan garam fisiologis untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Pengenceran selanjutanya (10-3), dilakukan dengan mengambil sampel dari pengenceran 10-2 dimasukkan ke dalam 9 mL larutan garam fisiologis. Pada setiap pemindahan 1 mL bahan kemudian di vortex. Selanjutnya dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-4, 10-5 dan seterusnya sesuai kondisi sampel.

b) Metode agar tuang (pour plate method)

Sampel yang telah diencerkan 10-1, 10-2 dan seterusnya, dipipet masing-masing 1 mL dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Prosedur tersebut dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran. Media plate count agar (PCA) yang telah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 45 oC, dituangkan sebanyak 12-15 mL ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi sampel. Cawan yang telah berisi sampel dan media PCA digerakkan ke depan ke belakang ke kiri dan ke kanan supaya tercampur sempurna. Setelah agar menjadi padat,


(27)

untuk menentukan mikroorganisme aerob cawan-cawan tersebut diinkubasi dalam posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 31 oC. Pengenceran yang digunakan dicatat dan dilakukan penghitungan jumlah total koloni. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mengandung koloni bakteri antara 30 koloni-300 koloni.

(2) Pengujian bakteri E. coli (SNI 01-2331.1-2006)

Pengujian bakteri E. coli dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap uji tersebut adalah uji pendugaan, uji penegasan, uji morfologi, dan uji biokimia.

a) Tahap analisis

Pengenceran 10-2 disiapkan dengan cara melarutkan 1 mL larutan 10-1 ke dalam 9 mL larutan pengencer garam fisiologis. Pengenceran selanjutnya dilakukan sesuai dengan pendugaan kepadatan populasi contoh. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Sebanayak 1 mL larutan dipindahkan dari setiap pengenceran ke dalam 3 seri atau 5 seri tabung Lauryl Tryptose Broth (LTB) yang berisi tabung Durham. Tabung-tabung tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 oC. Selanjutnya diperhatikan gas yang terbentuk setelah inkubasi selama 24 jam dan diinkubasi kembali tabung-tabung negatif selama 24 jam. Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham.

b) Uji pendugaan E. coli

Setiap tabung LTB yang positif diinokulasi dengan jarum ose ke tabung-tabung yang berisi larutan EC Broth dan tabung durham. Selanjutnya tabung-tabung tersebut diinkubasi dalam waterbath sirculation selama 48 jam pada suhu 45 oC. Waterbath harus dalam keadaan bersih, air di dalamnya harus lebih tinggi dari cairan yang ada dalam tabung yang diinkubasi. Tabung-tabung tersebut diperiksa setelah 24 jam diinkubasi, untuk menguji timbulnya gas. Apabila tidak menghasilkan gas atau negatif, diinkubasi kembali selama 48 jam. Tabung yang positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Selanjutnya ditentukan nilai Angka Paling Memungkinkan (APM) berdasarkan tabung-tabung EC yang positif dengan menggunakan Angka Paling Memungkinkan (APM). Nilainya dinyatakan sebagai (APM/g faecal coliform).


(28)

c) Uji penegasan E. coli (confirmed E. coli)

Tabung-tabung EC Broth positif diambil dan digoreskan ke LEMB agar dengan menggunakan jarum ose, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Koloni E. coli akan memberikan ciri yang khas, yaitu terdapat warna hitam pada bagian tengah dengan atau tanpa hijau metalik. Beberapa koloni (typical)

Escherichia colidiambil dari masing-masing cawan LEMB dan digoreskan ke media PCA miring dengan jarum tanam, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Jika tidak ada koloni yang khas (typical), pindahkan satu atau lebih koloni yang tidak khas (typical) E. coli ke media PCA miring.

d) Uji morfologi

Prosedur uji morfologi dilakukan dengan pewarnaan gram dari setiap koloni

Escherichia coli terduga. Biakan diambil dari PCA yang telah diinkubasi selama 24 jam. Dengan menggunakan mikroskop, bakteri E. coli termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek atau coccus.

e) Uji biokimia 1. Produk indol (I)

Sebanyak satu ose E. coli dari PCA miring yang diduga positif diambil dan dilakukan inokulasi ke dalam tryptone Broth serta diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Uji Indol dilakukan dengan menambahkan 0,2 mL- 0,3 mL pereaksi

kovacs. Reaksi menunjukkan positif jika terbentuk cincin merah pada lapisan bagian atas media dan negatif jika terbentuk cincin warna kuning.

2. Uji voges proskauer (VP)

Sebanyak satu ose koloni E. coli dari PCA miring yang diduga positif diambil dan dilakukan inokulasi ke dalam MRVP Broth serta diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 oC, dipindahkan 1 ml dari setiap MRVP Broth yang tumbuh ke tabung reaksi ukuran 13 mm 100 mm steril dan ditambahkan 0,6 mL larutan alpha naphtol dan 0,2 mL 40% KOH, dan dikocok. Untuk mempercepat reaksi ditambahkan sedikit Kristal keratin. Selanjutnya dikocok kembali dan didiamkan selama 2 jam. Reaksi menunjukkan positif jika terbentuk warna merah muda eosin sampai merah mirah delima (ruby)


(29)

3. Uji methyl red (MR)

Media MRVP Broth di atas diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 35 oC. Selanjutnya ditambahkan 5 tetes indikator methyl red pada setiap MRVP

Broth. Reaksi positif jika terbentuk warna merah dan negatif jika terbentuk warna kuning.

4. Uji sitrat (C)

Sebanyak satu ose dari PCA miring digoreskan ke permukaan simmon citrate

agar, kemudian diinkubasi selama 96 jam pada suhu 35 oC. Reaksi positif jika terjadi pertumbuhan dan media berubah menjadi warna biru, reaksi negatif jika tidak ada pertumbuhan dan media tetap hijau.

5. Produksi gas dari laktosa

Sebanyak satu ose dari PCA miring diinokulasikan ke dalam LTB, dan diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 35 oC. Reaksi positif jika menghasilkan gas pada tabung durham. Interpetasi hasil pengujian E. coli disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Interpetasi hasil pengujian bakteri E. coli (SNI 01-2332.1-2006)

Kriteia Biotipe 1 Biotipe 2

Gas pada tabung LTB Indol MR VP Citrate Uji morfologi + + + - -

Gram negatif, bentuk batang pendek berspora + - + - -

Gram negatif, bentuk batang pendek tidak berspora

3.5 Penentuan Aktivitas Air (aw)

Sampel sebanyak 2-5 gram ditumbuk sampai halus, dimasukkan ke dalam plastik kemudian dimasukkan ke dalam aw meter untuk pengukuran nilai aw. Sebelum dilakukan pengukuran aw meter distandarisasi dengan NaCl, Mg(NO3)2 dan BaCl2 masing-masing selama 30 menit, kemudian dilakukan pengukuran aw masing-masing sampel selama 15 menit.


(30)

3.6 Analisis Data

Data dianalisis menggunakan analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap. Data disajikan dalam bentuk histogram, tabel atau gambar kemudian diiterpretasikan.


(31)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Industri Ikan Asap Selais

Industri rumah tangga ikan asap selais (O. hypophthalmus) terletak di Daerah Teluk Petai, Kampar, Riau. Industri ini terletak di pinggiran sungai Kampar. Industri rumah tangga ini sudah dijalankan semenjak tahun 1975 sampai dengan sekarang. Ikan asap yang dihasilkan dibuat secara tradisional dengan pengasapan panas.

Ikan hasil tangkapan dibersihkan, digarami atau tidak digarami dan diletakkan diatas media kawat yang telah disediakan. Ikan kemudian dipanaskan dengan asap panas yang berasal dari kayu pohon rambutan atau pohon karet yang sudah tua. Pengasapan yang dilakukan berlangsung lebih kurang selama 6 jam.

Ikan hasil tangkapan yang diperoleh langsung diolah menjadi ikan asap, namun apabila ikan hasil tangkapan terlalu banyak akan disimpan terlebih dahulu. Ikan asap yang dihasilkan akan dikumpulkan oleh pemilik industri dan dijual pada hari pasar, biasanya hari kamis dan hari minggu. Ikan dalam jumlah besar langsung diambil oleh pengumpul dan disebarkan ke pasar tradisional di daerah sekitar.

4.2 Kondisi Pengolahan Ikan Asap Selais (O. hypophthalmus) di Wilayah Teluk Petai, Kampar, Riau

Karakteristik pengolahan ikan selais asap di wilayah Teluk Petai diketahui setelah dilakukan wawancara dan pengisian kuisioner. Kuisioner merupakan sekumpulan pertanyaan yang dirancang untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Kriteria kuesioner yang baik yaitu mudah dimengerti oleh responden, mudah diproses oleh peneliti, dan mudah ditanyakan oleh petugas pengumpul data (data collector) (Anonim 2008 dalam Santoso 2010). Pengisian kuisioner dilakukan dengan melakukan wawancara langsung kepada pemilik unit industry. Hasil wawancara dan pengisian kuesioner disajikan pada Tabel 3.


(32)

Tabel 3 Hasil wawancara dan pengisian kuesioner Karakteristik dan kondisi

usaha / Pengolah

A* B* C*

I. Karakteristik responden a. Usia

b. Jenis kelamin c. Pendidikan terakhir d. Pengalaman usaha e. Jumlah keluarga

70 tahun Laki-laki Sekolah SD 30 tahun 4 orang 52 tahun Perempuan SMP 15 tahun 6 orang 54 tahun Laki-laki SD 15 tahun 5 orang II. Karakteristik usaha

f. Jenis usaha

g. Bahan baku yang digunakan

h. Bahan baku i. Hasil produksi j. Jumlah tenaga kerja k. Tingkat pendidikan

tenaga kerja l. Pemasaran produk

Pengolahan ikan asap Ikan selais, lele dumbo 2-3 kg/hari 1-2 kg/hari 2 orang

Tidak tamat SD Pasar lokal Pengolahan ikan asap Ikan selais 2-3 kg/hari 1-2 kg/hari 2 orang SD Pasar lokal Pengolahan ikan asap Ikan selais, lele dumbo 2-3 kg/hari 1-2 kg/hari 2 orang SMP Pasar lokal

* A, B dan C unit produksi ikan asap

Karakteristik pengolahan dan kondisi usaha berdasarkan pada Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa pada umumnya pemilik dan tenaga kerja berpendidikan SD sampai SMP, namun pengalaman usaha yang dimiliki rata-rata di atas 10 tahun. Pengalaman berusaha yang cukup lama ini sangat mendukung kelancaran usaha pengolahan ikan asap.

Kebutuhan bahan baku pada pengolahan ikan asap ini yaitu sebesar 2-3 kg/hari, sedangkan kapasitas produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 1-2 kg/hari. Produksi ikan asap ini tergantung pada hasil tangkapan sendiri

ataupun hasil tangkapan nelayan di sekitar tempat tinggal. Pemasaran ikan asap hasil olahan baru mencapai pasar lokal, umumnya dijual pada saat hari pasar atau dibeli langsung oleh para pengumpul ke tempat produksi.


(33)

4.3Fasilitas Pengolahan Ikan Asap di Wilayah Teluk Petai 4.3.1 Fasilitas Produksi

Pengolahan ikan asap di daerah ini dilengkapi dengan sumber air, dan perlengkapan pengolahan ikan asap. Air yang digunakan berasal dari air sumur atau air danau yang terdapat di sekitar rumah pemilik industri. Air digunakan untuk mencuci bahan baku yang akan diolah.

Peralatan pengolahan ikan asap di wilayah Teluk Petai terdiri dari: a) Media pengasapan

Media tempat pengasapan terbuat dari kawat. Kawat ini dipasang di atas kayu yang sebelumnya dibuat sebagai penopang kurang lebih berjarak 1 meter dari tanah. Kawat yang digunakan merupakan kawat tipis yang mudah dibengkokkan. Media pengasapan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Media pengasapan. b) Tempat penyimpanan ikan sementara

Tempat penyimpan ini berfungsi sebagai wadah ikan untuk penyimpanan sementara apabila ikan yang diperoleh cukup banyak, sedangkan wadah yang ada tidak mencukupi untuk pengolahan. Tempat penyimpanan ini terbuat dari bahan

Styrofoam yang kemudian diberi es. Wadah penyimpanan sementara ini disajikan pada Gambar 4.


(34)

c) Keranjang

Keranjang digunakan sebagai wadah ikan asap. Keranjang ini terbuat dari bambu yang berkapasitas kurang lebih 10 kg dan berfungsi untuk menampung ikan sebelum diasap maupun produk yang siap dipasarkan. Keranjang yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Keranjang.

d) Kayu bakar

Kayu bakar yang digunakan biasanya berasal dari pohon rambutan yang sudah tua. Kayu tersebut dikeringkan dan digunakan sebagai kayu bakar dalam pembuatan ikan asap. Kayu bakar disimpan ditempat khusus penyimpanan kayu bakar yang diberi atap agar tidak basah pada saat hujan. Kayu bakar yang digunakan untuk proses pengasapan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Kayu bakar untuk pengasapan.

4.3.2 Sanitasi pada pengolahan ikan selais asap di teluk petai

Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dari tempat produksi, persiapan, penyimpanan, dan penyajian makanan serta air. Hal ini merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap kegiatan penyiapan


(35)

makanan, khususnya dalam cara penanganan pangan. Program sanitasi dijalankan bukan untuk mengatasi masalah kotornya lingkungan atau kotornya pemrosesan bahan, tetapi untuk menghilangkan kontaminan pada makanan dan mesin pengolahan makanan serta mencegah kontaminasi kembali maupun kontaminasi silang (Winarno dan Surono 2004).

Pengolahan ikan asap di wilayah Teluk Petai ini belum ada standar baku sanitasi yang diterapkan. Hal ini karena kurangnya pengetahuan para pekerja industri tentang teknik sanitasi serta kemungkinan belum adanya penyuluhan tentang pengolahan ikan asap dari pemerintah setempat. Pemilik usaha ikan asap melakukan proses produksi sesuai dengan yang diajarkan oleh orang tua mereka sebelumnya tentang pangasapan tanpa memperhatikan sanitasi pada saat pengolahan.

Proses pengasapan dilakukan di halaman rumah sehingga tidak memerlukan bangunan khusus untuk proses produksi. Media yang digunakan untuk pengasapan juga tidak memerlukan desain khusus, media ini dibuat dengan seadanya yaitu kayu sebagai penopang dan kawat sebagai wadah peletakan ikan yang akan diasap, dengan ukuran kurang lebih 2×2 meter. Media ini diberi atap dari bahan plastik untuk melindungi bahan baku apabila tiba-tiba hujan turun. Pengolahan ikan asap disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Pengolahan ikan asap.

Air merupakan komoditi yang sangat essensial dalam persiapan dan pengolahan pangan. Air ditujukan untuk pengolahan bahan pangan harus bebas dari bakteri patogen (Winarno dan Surono 2004). Industri rumah tangga ini menggunakan air yang berasal dari air danau dan air sumur. Air tersebut memiliki ciri-ciri tidak berbau, berwarna agak kekuningan dan tidak berasa. Air yang


(36)

digunakan untuk unit produksi tidak dilakukan proses filter terlebih dahulu, selain itu tidak dilakukan juga proses pengendapan, air yang ada langsung digunakan untuk pencucian ikan. Unit pengolahan harus memiliki tendon khusus untuk menampung air yang digunakan pada proses produksi serta memiliki sistem pembagian air yang jelas antara air untuk proses produksi, air minum serta keperluan lain (DKP 2007). Air yang digunakan untuk pencucian pada proses produksi disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Air yang digunakan pada proses produksi.

Permukaan yang kontak dengan produk antara lain keranjang, kawat media pengasapan, dan tangan para pekerja. Peralatan yang digunakan dicuci dengan air biasa tanpa menggunakan desinfektan yang dianjurkan, selain itu tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk mengetahui cemaran atau kontaminasi pada peralatan yang digunakan. Permukaan bahan yang kontak dengan produk di unit pengolahan harus terbuat dari bahan yang tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus sehingga mudah dibersihkan dan didesinfeksi (DKP 2007).

Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata sedemikian rupa sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin kelancaran pengolahan, mencegah kontaminasi silang dan mudah dibersihkan (DKP 2007). Peralatan dan perlengkapan yang digunakan pada pross produksi belum ditata dengan baik untuk mencegah kontaminasi dan menjamin kelancaran proses. Peralatan yang digunakan pada tiap tahapan produksi tidak diberi tanda sehingga meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang. Konstruksi media pengasapan didesain tanpa memperhatikan upaya pencegahan perpindahan kontaminan dari area yang kotor ke area yang bersih. Peralatan yang sebelumnya digunakan sebagai


(37)

penerimaan bahan baku digunakan juga sebagai wadah untuk penyimpanan produk yang sudah jadi.

Para bekerja di pengolahan ikan selais asap tidak menggunakan pakaian khusus. Pakaian pekerja yang digunakan dicuci sendiri oleh para pekerja, karena merupakan unit pengolahan rumah tangga sehingga tidak ada fasilitas pencucian pakaian dari unit pengolahan. Kondisi higiene pekerja disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kondisi pekerja pengolahan ikan asap.

Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan dibersihkan sesudah proses oleh para pekerja. Keranjang, baskom, dan peralatan lain dibersihkan dengan air biasa tanpa disikat dan tidak menggunakan sabun. Proses pencucian seharusnya menggunakan air klorin untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari peralatan ke produk ikan asap yang dihasilkan. Menurut Huss et al. (2004) air pencucian yang digunakan untuk mencuci peralatan mengandung klorin maksimal 200 mg/L. Pencucian peralatan yang bersifat korosif menggunakan konsentrasi klorin yang rendah, yaitu sebesar 50-100 mg/L dalam waktu 10-20 menit selama digunakan.

Desain bangunan unit pengolahan asap terbuka tanpa adanya pintu serta lantai yang terbuat dari tanah dapat menghambat proses sanitasi pada saat pengolahan ikan asap. Kontaminasi silang adalah pencemaran kembali produk pangan oleh cemaran-cemaran fisik, kimia atau biologis selama proses produksi berlangsung. Kontaminasi silang dapat terjadi karena pencemaran melalui air atau udara yang kotor, dan karena pencemaran lainnya (Rahayu 2002). Kontaminasi yang mungkin terjadi berasal dari wadah, media pengasapan, pakaian serta air yang digunakan oleh pekerja. Wadah yang tidak dibersihkan, media pengasapan


(38)

yang terbuat dari kawat yang mudah berkarat, pakaian yang digunakan serta air yang digunakan untuk pencucian ikan tidak sesuai dengan standar air bersih.

Pekerja tidak mencuci tangan secara berkala selama proses produksi dilakukan. Pekerja hanya mencuci tangan pada awal produksi dengan menggunakan air biasa tanpa penambahan desinfektan yang dianjurkan. Tidak ada fasilitas bak cuci tangan khusus pada tempat produksi. Menurut Winarno dan Surono (2004) ruang pengolahan (proses) harus dilengkapi dengan bak cuci tangan minimal satu untuk setiap 10 orang karyawan. Para pekerja wajib mencuci tangannya dengan air klorin 10 mg/L setiap 1 jam (Huss et al. 2004).

4.3.3 Penerimaan bahan baku

Penerimaan bahan baku dengan cara ikan yang datang lebih awal diproses lebih dahulu, namun apabila bahan baku melebihi kapasitas produksi maka dilakukan penyimpanan dengan pemberian es. Bahan baku yang digunakan merupakan ikan dalam bentuk segar. Prosedur penanganan bahan baku pada pengolahan ikan asap tidak memenuhi persyaratan seperti penanganan yang tidak hati-hati sehingga menyebabkan kerusakan fisik pada bahan baku yang akan diolah. Prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang baik antara lain penanganan bahan baku yang diterima dari bagian penerimaan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya kerusakan fisik pada bahan baku, kualitas serta size dari bahan baku yang diterima, serta sortasi dan penimbangan agar sesuai dengan spesifikasi (Junianto 2003). Bahan baku yang digunakan pada pengolahan ikan asap disajikan pada Gambar 10.


(39)

4.3.4 Pencucian

Proses pencucian dilakukan ketika ikan akan diproses setelah dilakukan penimbangan. Ikan dicuci dengan menggunakan air bersih tanpa penambahan klorin. Air yang digunakan harus melewati proses filtrasi dan disinfeksi sebelum digunakan dalam proses industri pengolahan. Kualitas air tersebut harus sama dengan kualitas air minum. menjelaskan air pencucian yang digunakan merupakan air dingin berklorin 5 mg/L. Pencucian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada pada ikan selais (Huss et al. 2004).

4.3.5 Pengasapan

Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Melalui pembakaran akan terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan panas. Pengasapan ikan bertujuan untuk mendapatkan daya awet yang dihasilkan asap, serta bertujuan untuk memberikan aroma yang khas tanpa peduli kemampuan daya awetnya (Adawyah 2007). Pengasapan ikan selais (O.hypophthalmus) diawali dengan pencucian ikan hasil tangkapan, kemudian ikan diberi garam secukupnya. Ikan yang sudah digarami diletakkan di atas kawat di media pengasapan, sebelumnya kayu dibakar terlebih dahulu setelah api tidak terlalu besar atau dalam bentuk bara ikan diletakkan di atas wadah. Proses pengasapan ini berlangsung selama lebih kurang 6 jam, dan dilajutkan keesokan harinya apabila ikan yang diasap masih basah. Proses pengasapan ini bisa berlangsung selama seminggu apabila cuaca kurang bagus. Komposisi kimia ikan asap disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia ikan asap

Jenis Pangan

Komposisi kimia Kadar air

(%)

Kadar abu (%)

Kadar Lemak (%)

Kadar protein (%)

Ikan asap selais 20,60 9,75 13,81 58, 68

Lele dumbo

asap* 55,02 4,91 12,30

23,86

Bandeng asap** 54-59 2,5-5 - 27-40


(40)

Komposisi kimia ikan asap selais yang diamati yaitu kadar air sebesar 20,60%. Air merupakan komponen dasar dari suatu bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua jenis makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan kadar air dalam bahan makanan menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan pangan (Winarno 2008). Kandungan air dalam produk perikanan (segar) diperkirakan sebesar 70%-85% (Nurjanah dan Abdullah 2010).

Kandungan air yang terdapat pada ikan asap lebih sedikit daripada ikan segar karena adanya proses pemanasan yang berlangsung yang mengurangi kadar air pada bahan. Selain itu, penurunan kadar air yang terkandung dalam produk akibat perlakuan pengasapan disebabkan oleh terlepasnya molekul air dalam bahan. Hal ini berhubungan dengan pengaruh suhu yang diberikan yaitu semakin meningkat suhu maka jumlah rata-rata molekul air menurun dan mengakibatkan molekul berubah menjadi uap dan akhirnya terlepas dalam bentuk uap air (Winarno 2008). Kadar air ikan selais asap lebih kecil dibandingkan dengan produk ikan asap lain, misalnya bandeng asap sebesar 54%-59% (pengasapan tradisional cara panas) (Adawyah 2007), dan lele dumbo asap sebesar 55,02% (Esminingtyas 2006).

Kadar abu yang diperoleh dari analisis kimia ikan selais asap yaitu sebesar 9,75%. Kadar abu ikan selais asap lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian pada beberapa jenis ikan asap yang lain menunjukkan kadar abu ikan bandeng asap sebesar 2,5-5% (pengasapan tradisional cara panas), sidat asap sebesar 0,6%-2,3% (pengasapan diatas tungku) (Adawyah 2007), namun lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar abu lele dumbo asap sebesar 55,02% (Esminingtyas 2006). Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi suatu bahan pangan. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yaitu zat anorganik atau yang dikenal sebagai kadar abu (Winarno 2008).


(41)

Kandungan lemak ikan asap selais yang diperoleh yaitu sebesar 13,81%. Kandungan lemak ikan selais asap ini tidak jauh berbeda dengan lemak pada lele dumbo asap yaitu sebesar 12,30% (Esminingtyas 2006). Lemak merupakan senyawa organik yang terdapat di alam yang tidak larut dalam air tetapi dapat larut dalam pelarut organik non polar dan merupakan komponen utama dalam jaringan adipos (Arvanitoyannis et al. 2010). Lemak berfungsi sebagai sumber energi, pembentuk jaringan adipose, asam-asam lemak esensial (Gaman dan Sherrington 1992), pembentuk struktur tubuh, pengemulsi, prekursor, dan penambah cita rasa (Suhardjo dan Kusharto 1987).

Kadar protein yang terdapat pada ikan asap selais cukup tinggi yaitu sebesar 54,68%. Protein ikan selais asap cukup tinggi dibandingkan kandungan protein bandeng asap sebesar 27%-40% (pengasapan tradisional cara panas), tripang asap sebesar 19,l3%-79,5% (pengasapan panas) (Adawyah 2007). Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 2008). Suwandi (1990) menyatakan bahwa pemanasan dapat menyebabkan protein terkoagulasi dan terdenaturasi sehingga menjadi tidak larut. Protein daging bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan (Georgiev et al. 2008). Pemanasan dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya adalah denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna dan pemutusan ikatan peptida. Perlakuan pemanasan pada suatu bahan pangan, menyebabkan protein terkoagulasi (Winarno 2008).

4.3.6 Penyimpanan dan distribusi produk

Produk ikan asap yang sudah jadi disimpan di ruangan rumah para pekerja. Proses penyimpanan dilakukan sementara, tempat penyimpanan yang digunakan kurang saniter, tidak tertutup dan tidak dilengkapi alat pendingin. Produk ikan asap ini umumnya langsung dijual atau didistribusikan kepada konsumen.

Distribusi ikan asap selais telah dilakukan dengan baik. Produk ikan asap tersebut dipasarkan oleh para pekerja. Sasaran dan lokasi pemasaran ikan asap


(42)

olahan industri rumah tangga di wilayah teluk petai yaitu pasar-pasar tradisional yang ada di daerah setempat.

4.4Analisis Penyimpanan Ikan Selais Asap

Ikan asap selais yang diperoleh dilakukan penyimpanan dan pengujian terhadap analisis mutunya. Analisis mutu terdiri dari uji organoleptik, uji fisik, uji kimia, dan uji mikrobiologi. Pengamatan dilakukan pada ikan asap selais (Ompok hypophthalmus) yang dijual ditiga pasar tradisional yang berbeda, yaitu pasar tradional pangkalan, pasar tradisional 50, dan pasar tradisional sail.

4.4.1 Uji organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan untuk mengetahui karakteristik ikan selais asap (O. hypophthalmus) yang dilakukan oleh beberapa orang panelis dengan menggunakan panca indera. Uji organoleptik dilakukan pada ikan selais asap (O. hypophthalmus) yang berasal dari tiga pasar tradisional yang berbeda, yaitu pasar tradional pangkalan, pasar tradisional 50, dan pasar tradisional sail. Hasil uji organoleptik ikan asap yang diamati disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Diagram hasil uji organoleptik ikan asap; Pasar pangkalan(P1); pasar 50 (P2); pasar sail (P3)

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hasil uji organoleptik rasa, penmpakan, tekstur, jamur, lendir dan bau ikan selais dari pasar yang berbeda tidak berbeda nyata. Uji organoleptik yang dilakukan diketahui bahwa nilai untuk

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10


(43)

uji bau, tekstur, jamur dan lendir pada masing-masing ikan yang diamati adalah sama, yaitu dengan nilai 8, 7, 9, dan 9. Bau ikan asap yang diamati yaitu bau asap lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam dan tanpa bau apek. Tekstur ikan asap yang diamati masih kompak, pada, kering, dan antar jaringan erat, untuk jamur dan lendir tidak ada pada ikan yang diamati. Penampakan ikan asap pada P1 dan P3 lebih disukai oleh para panelis dibandingkan ikan asap pada P2. Rasa ikan asap pada P1 lebih disukai oleh panelis dibandingkan ikan asap pada P2 dan P3, rasa ikan asap yang diamati cukup enak namun kurang gurih.

Pengamatan pada penampakan, bau rasa dan tektur ikan asap selais yang diamati tidak jauh berbeda dengan deskripsi mutu ikan asap menurut Adawyah (2007) yaitu, bau asap lembut cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam dan tanpa bau apek. Tekstur ikan asap kompak, cukup elastis, tidak terlalu keras (kecuali produk tertentu seperti ikan kayu), tidak lembek, tidak rapuh, dan tidak lengket. Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir atau pahit, dan tidak berasa tengik. Penampakan ikan asap cerah, cemerlang dan mengkilap, serta pada ikan asap tidak tampak tanda-tanda adanya jamur atau lendir.

4.4.2 Total Plate Count (TPC)

Mikrobiologis keberadaan mikroba dalam produk ikan selais asap digunakan sebagai parameter kebusukan untuk melihat tingkat kemunduran mutu produk dan tingkat kelayakannya untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan mikrobiologis merupakan bentuk kerusakan yang banyak merugikan serta kadang-kadang berbahaya terhadap kesehatan manusia, karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat (Muchtadi 2008). Hasil uji Total Plate Count (TPC) pada ikan selais asap selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu kulkas disajikan pada Gambar 12.


(44)

Gambar 12 Diagram nilai TPC selama penyimpanan pada suhu ruang dan kulkas; : suhu ruang : suhu kulkas

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroba pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang pada hari ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan dari ke-5, 10, 15 dan 20 (P<0,05). Hasil uji total plate count

penyimpanan suhu ruang setelah dilogaritma pada hari ke-0 (H0) sebesar 5,22, hari ke-5 (H5) 5,39, hari ke-10 (H10) 6,08, haru ke-15 (H15) 6,4 dan hari ke-20 (H20) 7,11. Hasil uji total plate count penyimpanan suhu kulkas setelah dilogaritma pada hari ke-0 (H0) sebesar 5,22, hari ke-5 (H5) 5,42, hari ke-10 (H10) 5,74, hari ke-15 (H15) 6,02 dan hari ke-20 (H20) 6,25.

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah mikroba makin bertambah seiring dengan lamanya waktu penyimpanan, dan terdapat perbedaan jumlah bakteri pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang dengan ikan asap yang disimpan pada suhu kulkas (10 oC). Jumlah mikroba pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang lebih banyak dibandingkan ikan asap yang disimpan pada suhu kulkas. Hal ini dapat terjadi karena faktor suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bakteri atau mikroba (Kadir 2004). Suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh pada jumlah kandungan mikroba ikan asap. Peningkatan jumlah mikroba ini terjadi karena tidak ada yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada suhu ruang. Mikroba tersebut dapat terus berkembang biak, sehingga jumlahnya akan meningkat selama bahan melalui masa penyimpanan (Forsythe and Hayes 1998).

a b

c d

e

a b

c d e

0 1 2 3 4 5 6 7 8

H-0 H-5 H-10 H-15 H-20

Lo

g

TPC


(45)

Jumlah mikroba yang diketahui setelah dilakukan penyimpanan selama 20 hari yaitu sebesar 1,3 × 107 CFU/mL pada suhu ruang dan sebesar 1,8 × 106 CFU/mL pada suhu kulkas. Berdasarkan persyaratan mutu yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI 01 – 2725 – 1992) bahwa jumlah bakteri maksimum ikan asap adalah 5 x 105 koloni /gram. ICMSF (1986) diacu

dalam Mexis et al. (2009) menyatakan bahwa batas atas mikrobiologi produk makanan nilai TPC tidak boleh lebih dari 7 log cfu/gram. Jumlah kandungan mikroba pada ikan selais asap yang disimpan pada suhu kulkas (10 oC) akan lebih bersifat dorman, dimana aktivitas metabolisme akan terhambat sehingga proses pembelahan selnya juga akan terhambat (Kadir 2004). Dengan demikian jumlah sel mikroba pada suhu rendah akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan suhu yang lebih tinggi. Penggunaan suhu rendah mempunyai pengaruh terhadapproses-proses kimiawi, enzimatis dan mikrobiologis yaitu mampu menghambatatau mencegah reaksi kimia, aktivitas enzim dan mikroorganisme (Suryo 2005).

Ikan asap disimpan dalam ruangan yang terlindung dari penyebab-penyebab yang dapat merusak atau menurunkan mutu produk misalnya panas, insekta dan binatang pengerat. Kelembaban udara ruangan dijaga serendah mungkin, untuk memperpanjang daya simpan pada ruang dengan suhu dingin atau beku (SNI 2009). Ikan asap yang disimpan pada suhu yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba, maka mikroba akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tumbuh dan berkembang, dan sebaliknya apabila suhu penyimpanan cukup menunjang, maka dalam waktu singkat mikroba dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat (Kadir 2004).

Pada ikan selais juga dilakukan uji mikrobiologi bakteri E. coli. Berdasarkan hasil pengujian, tidak terdapat E. coli pada ikan asap selais yang diamati. Menurut persyaratan mutu dan kemanan pangan bardasarkan SNI 2725.1:2009 jumlah bakteri E. coli pada ikan asap maksimal kurang dari 3 APM/g. Bakteri E. coli tidak ditemukan pada sampel selais asap karena adanya proses pemanasan yang dilakukan yang dapat membunuh bakteri E. coli. Menurut Faith

et al. (1998) pertumbuhan E. coli dapat direduksi apabila dilakukan pemanasan pada suhu 60 oC selama 10 jam.


(46)

4.4.3 Total Volatile Base (TVB)

Penentuan kadar TVB merupakan salah satu cara untuk mengukur tingkat kebusukan produk. Basa-basa volatile pada dasarnya terbentuk dari degradasi protein atau derivatnya dari senyawa nitrogen lainnya yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. TVB meliputi amonia, dimethylamine dan

trimethylamine (Jay 2000). Uji TVB dilakukan terhadap ikan selais asap untuk mengetahui tingkat kebusukan ikan asap yang diamati serta pengaruh penyimpanan terhadap tingkat kebusukan ikan asap. Hasil uji TVB ikan selais asap pada suhu ruang dan suhu kulkas disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Diagram nilai TVB selama penyimpanan pada suhu ruang dan kulkas; :suhu ruang : suhu kulkas

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa total volatile base pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang dan kulkas tidak memiliki perbedaan yang nyata pada penyimpanan hari ke-0, 5, 10, 15 dan hari ke-20. Hasil uji TVB ikan selais asap pada suhu ruang hari ke-0 (H0) sebesar 33,06 mgN%, hari ke-5 (H5) 36,98 mgN%, hari ke-10 (H10) 28,57 mgN%, haru ke-15 (H15) 43,43 mgN% dan hari ke-20 (H20) 35,86 mgN%. Hasil uji TVB ikan selais asap pada suhu kulkas hari ke-0 (H0) sebesar 33,06 mgN%, hari ke-5 (H5) 54,04 mgN%, hari ke-10 (H10) 52,95 mgN%, haru ke-15 (H15) 36,42 mgN% dan hari ke-20 (H20) 53,23 mgN%. Nilai TVB ikan asap yang disimpan pada suhu ruang dan suhu kulkas berubah secara tidak konstan. Hal ini dapat terjadi karena unsur-unsur kimia asap yang melekat pada asap sudah mulai berkurang, sehingga nilai TVB yang

a a a a a a a a a a 0 10 20 30 40 50 60

H-0 H-5 H-10 H-15 H-20

N

il

ai

TV

B


(47)

diperoleh lebih tinggi. Selain itu,pengambilan secara acak pada sampel yang diamati, serta pengujian TVB tidak dilakukan pada satu ekor ikan melainkan beberapa ekor ikan, ada kemungkinan ikan yang diamati tidak mengalami proses pengasapan secara sempurna sehingga mempengaruhi nilai TVB yang diperoleh.

Zat-zat protein dalam daging ikan semakin kompak, jaringan daging ikan asap menjadi kuat. Hal ini kemungkinan menyebabkan suhu penyimpanan tidak begitu berpengaruh terhadap kualitas fisik ikan asap karena masih adanya unsur-unsur kimia asap yang terdapat pada ikan selais asap itu sendiri, sehingga penyimpanan yang dilakukan pada suhu yang berbeda tidak berpengaruh secara nyata pada ikan selais asap. Lama penyimpanan akan memberikan pengaruh terhadap kualitas fisik ikan selais asap apabila unsur-unsur kimia asap yang terdapat pada ikan asap sudah mulai hilang sehingga menyebabkan nilai pH, TVB menjadi meningkat dan nilai organoleptik menjadi menurun (Sutoyo 1986 dalam

Kadir 2004).

Ikan selais asap yang disimpan pada suhu ruang masupun suhu kulkas masih layak konsumsi, karena nilai total volatile base (TVB) yang diperoleh kurang dari 100-200 mgN%. Batas kadar TVB dalam daging ikan olahan yang masih layak konsumsi yaitu 100-200 mgN% (Yanti dan Rochima 2009).

4.4.4 Aktivitas air (aw)

Aktivitas air bahan pangan adalah jumlah air bebas yang terkandung dalam bahan pangan, yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan pangan karena aktivitas air dapat menggambarkan kebutuhan bakteri akan air. Aktivitas air adalah tekanan uap air yang terdapat dalam makanan dibagi dengan tekanan uap air dari air murni, pada suhu yang sama (Winarno 2007). Hasil uji aktivitas air ikan selais asap pada suhu ruang dan suhu kulkas disajikan pada Gambar 14.


(48)

Gambar 14 Diagram nilai aw selama penyimpanan pada suhu ruang dan kulka; : suhu ruang : suhu kulkas

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa aktivitas air pada ikan asap yang disimpan pada suhu ruang pada hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-5, namun berbeda nyata dengan aktivitas air ikan asap yang disimpan pada hari ke-10, ke-15 dan ke-20 (P<0,05). Hasil uji aw pada hari ke-0 (H0) sebesar 0,703, hari ke-5 (H5) 0,706, hari ke-10 (H10) 0,741, hari ke-15 (H15) 0,753 dan hari ke-20 (H20) 0,783. Aktivitas air pada ikan asap yang disimpan pada suhu kulas pada hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan dari ke-5 (P>0,05), namun berbeda nyata dengan aktivitas air ikan asap yang disimpan pada hari ke-10 (P<0,05). Penyimpanan ikan asap selais hari ke-10 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-15 (P>0,05), namun berbeda nyata dengan penyimpanan pada hari ke-20 (P<0,05). Hasil uji aw pada hari ke-0 (H0) sebesar 0,689, hari ke-5 (H5) 0,693, hari ke-10 (H10) 0,743, hari ke-15 (H15) 0,753 dan hari ke-20 (H20) 0,774.

Kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimia. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid 1993). Lupin 1986 dalam Soedarto dan Puntodewo (2008) menyatakan bahwa kegiatan

a a b c d a a b b c 0.64 0.66 0.68 0.7 0.72 0.74 0.76 0.78 0.8

H-0 H-5 H-10 H-15 H-20

N

il

ai

A

w

Lama Penyimpanan (hari ke-)

0,8 0,78 0,76 0,74 0,72 0,7 0,68 0,66 0,64


(49)

mikroorganisme dapat dihentikan pada aw 0,6 dan pada aw 0,5 mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Kerusakan produk perikanan secara mikrobiologis dan biokimia semuanya tergantung pada suhu dan aktivitas air. Jadi dapat diketahui bahwa kestabilan mikroba tergantung pada aw dan akan mempengaruhi keaktifan metabolisme dan kemampuan dalam kelanjutan hidupnya (Pullman 2003).

Nilai aw pada tiap jenis makanan berbeda, makanan dengan kandungan air yang tinggi jika jumlah air lebih besar daripada jumlah padatan maka nilai aw mendekati atau sama dengan satu. Jika kandungan air lebih rendah daripada padatan, aw lebih rendah dari 1,0 dan pada kandungan air lebih rendah dari sekitar 50% maka nilai aw menurun dengan cepat dan hubungan antara kandungan air dengan kelembaban nisbi dinyatakan dengan isoterm sorpsi (Canovas et al. 2007).


(50)

5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Mutu ikan selais asap yang diamati mengandung kadar air sebesar 20,60%, abu 9,75%, lemak 13,81% dan protein 54,68%, dengan nilai organoleptik 7. Total mikroba dan aktivitas air semakin meningkat dengan lamanya waktu penyimpanan (P<0,05). Ikan asap yang disimpan pada suhu kulkas lebih sedikit mengandung mikroba dan aktivitas air lebih rendah dibandingkan ikan asap yang disimpan pada suhu ruang. TVB relatif konstan selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan komposisi kimia sebelum dan setelah dilakukan pengasapan, analisis senyawa karsinogenik yang terdapat pada ikan asap (misal PAH), pengujian flavor ikan asap, serta perlu dilakukan pengujian terhadap umur simpan ikan selais asap.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara Agustini TW, Sedjati S. 2007. The effect of chitosan concentration and storage

time on the quality of salted-dried anchovy (Stolephorus heterolobus).

Journal of Coastal Development, 10(2): 63-71.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Arvanitoyannis IS, Varzakas TH, Kiokias S, Labropoulos AE. 2010. Lipids, fats, dan oils. Di dalam:Yildiz F, editor. Advances in Food Biochemistry. London: CRC Press. Taylor & Francis Group.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Mikrobiologi ikan asap. SNI 01-2332.3:2006.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Spesifikasi ikan asap. SNI 2725.1:2009.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI 7388.1:2009.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Organoleptik ikan asap. SNI 2346. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu

Pangan.Diterjemahkan Oleh Purnomo, H dan Adiono. UI Press. Jakarta. Canovas BGV, Fontana Jr AJ, Schmidt SJ, Labuza TP. 2007. Water activity

infoods. USA : Blackwell Publishing Ltd.

Damayanthi E, Mudjanjanto ES. 1995. Teknologi Makanan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat jendral Pendidikan dan Menengah. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

Departemen Kelutan dan Perikanan [DKP]. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep. 01/Men/2007 Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribuai. Jakarta: DKP

[Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2007. Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan No. PER.011/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta: Ditjen PPHP, DKP.

Erungan AC, Bustami I, Josephin W. 2008. Pengantar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada industry perikanan. [diktat kuliah]. Bogor: Teknologi Hasil Perairan, Institut pertanian Bogor.


(52)

Esminingtyas R. 2006. Perubahan mutu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) asap selama penyimpanan. Bogor: Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Fadli A. 2012. Membenihkan Ikan Selais. http://bahanamahasiswa.com [11 juli 2012]

Faith NG , Nathalie S , Marcelo BA ,Mehmet C, Dennis RB, John BL. 1998. Viability of Escherichia coli O157:H7 in ground and formed beef jerky prepared at levels of 5 and 20% fat and dried at 52, 57, 63, or 688C in a home-style dehydrator. International Journal of Food Microbiology 41: 213–221.

Fishbase. 2011. Ompok hypophthalmus. http://fishbase.mnhn [10 Juli 2011] Forsythe SJ, Hayes PR. 1998. Food Hygiene Microbiology and HACCP.Aspen

Publisher. Gaitherburg.

Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi edisi ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Georgiev L, Penchev G, Dimitrov D, Pavlov A. 2008. Structural changes in

common carp (Cyprinus carpio) fish meat during freezing. Bulgarian Journal of Veterinary Medicine. Vol.2(2) : 131-136.

Hastuti NR, Suptijah P, Zahiruddin W. 1997. Pengaruh kondisi pengemasan dan suhu penyimpanan dan daya awet bandeng (Chanos chanos Forskal) asap.

Buletin Teknologi hasil Perikanan 1:16-22

Huss HH, Ababouthch I, Gram L. 2004. Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. Roma: FAO.

Irianto HE, Giyatmi S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Jay MJ. 2000. Modern Food Microbiology. APAC Publisher Services. Singapura. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kadir L. 2004. Pengaruh suh dan lama penyimpanan terhadap jumlah kandungan bakteri dan kualitas fisik ikan tongkol asap (Euthynnus afinis). JBP 6:79-84.

Lupin HM. 1986. Water activity and preserved fish product. In cured fish production in teh tropics ed. Reilly a. And I,.E Berile. Pubb. Coll.FishUniv. Philippine in Vijaya-GTZ.

Mangunsong S. 2000. Pokok-pokok penting dalam perkembangan sistem pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan. Majalah GAPPINDO. Edisi Mei-Juli.

Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor : IPB Press. Ng HH. 2003. A review of the Ompok hypophthalmus group of silurid catfishes

with the description og a new species from South-East Asia. Journal of Fish Biology 62:1296-1311.


(53)

Nurjanah, Abdullah A. 2010. Cerdas Memilih Ikan dan Mempersiapkan Olahannya. Bogor: IPB Press.

Pullman. 2003. Water Activity for Product Quality. Decagon devices, Inc, Washington.

Rachmatika CP, Mumin A, Dewantoro GW. 2006. Fish diversity in the Tesso Nilo area, Riau with notes on rare, Cryptic spesies. Treubia 34:59-74. Rahayu W. P. 2002. Panduan Pengolahan Pangan yang Baik bagi Industri

Rumah Tangga. Jakarta: BPOM, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Santoso KP. 2010. Mempelajari penerapan sanitasi dan mutu kemanan pengolahan pindang ikan tongkol (Euthynnus affinis) atudi kasus di pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) muara angke Jakarta utara. [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Satyajaya W, Koesoemawardani D, Nurainy F. 2009. Mempelajari Karakteristik Ikan Kepala Batu Asap (Pomadasys argenteus) di Desa Karya Tani Kabupaten Lampung Timur. Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila.

Soedarto, Puntodewo H. 2008. Peningkatan masa simpan bandeng asap dengan pengeringan elektrik. Berkala ilmiah perikanan 3:83-89.

Suharjo C, Kusharto. 1987. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Pusat Antar Unversitas, Institut Pertanian Bogor.

Suryo I. 2005. Materi Kuliah Pendinginan dan Pembekuan Daging. Program Studi. Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Suwandi R. 1990. Pengaruh proses penggorengan dan pengukusan terhadap sifat fisiko-kimia protein ikan mas (Cyprinus carpio). [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi penyimpanan pangan. Jakarta: Arcan Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta: Bumi Aksara.

Winarno FG, Surono. 2004. GMP: Cara Pengolahan Pangan yang Baik, cetakan ke 2. Bogor: M-BRIO Press.

Winarno FG . 2007. Teknobiologi Pangan. Bogor : Mbrio Press.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Jenie BSL. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara

Pencegahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia

Yanti AR, Rochima E. 2009. Pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik kimiawi filet lele dumbo asap cair pada penyimpanan suhu ruang. Jurnal Bionatura 11:21-36


(54)

(55)

Lampiran 1 Hasil Uji Tukey Uji Organoleptik Ikan Asap Selais Kruskal Walis Uji Organoleptik Ikan Asap Selais

kode_ikan N Mean Rank

rasa P1 10 17,40

P2 10 14,20

P3 10 14,90

Total 30

penampakan P1 10 18,80

P2 10 12,65

P3 10 15,05

Total 30

tekstur P1 10 15,40

P2 10 14,25

P3 10 16,85

Total 30

jamur P1 10 15,50

P2 10 15,50

P3 10 15,50

Total 30

lendir P1 10 15,50

P2 10 15,50

P3 10 15,50

Total 30

bau P1 10 16,00

P2 10 14,50

P3 10 16,00

Total 30

Test Statistics(a,b) ikan asap selais

rasa penampakan tekstur jamur lendir bau

Chi-Square ,858 3,230 ,738 ,000 ,000 ,262

df 2 2 2 2 2 2

Asymp.

Sig. ,651 ,199 ,691 1,000 1,000 ,877

a Kruskal Wallis Test


(1)

Lampiran 4 Foto-Foto Proses Penelitian

Gambar 1 ikan selais segar Gambar 2 ikan selais asap

Gambar 3 proses pengasapan

Gambar 4 penyimpanan ikan selais Gambar 5 penyimpanan ikan selais asap pada suhu ruang asap pada suhu kulkas


(2)

Gambar 8 hasil uji E.coli ikan asap selais

Gambar 9 uji TPC ikan asap Gambar 10 inkubasi mikroba

Gambar 11 Hasil uji TPC ikan selais asap Gambar 12 penghitungan jumlah mikroba


(3)

Gambar 15 hasil uji TVB ikan asap selais

Gambar 16 aw meter

Lampiran 5 Contoh Perhitungan Uji Proksimat, TVB, dan TPC a) Kadar air

% kadar air = x 100 %

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) % kadar air = x 100 %

% kadar air = b) Kadar abu

Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram) C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah


(4)

c) Kadar lemak

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

13,81% d) Kadar protein

% Kadar Protein = % nitrogen x factor konversi (6,25)

% Kadar Protein = 0,087 x 6,25 % Kadar Protein = 54,55% e) Uji TVB

TVB

Keterangan :

i = Volume titrasi sampel (ml) j = ml titrasi HCl blanko Fp = faktor pengenceran

TVB TVB


(5)

f) Uji TPC

10-3 10-4 10-5

148 124 16

178 119 29

Rata-rata 163 121,5 22,5

TPC TPC


(6)

RINGKASAN

HILMA AZRI.C34080032. Mutu Ikan Selais Asap (Ompok hypophthalmus)

Unit Pengolahan Tradisional di Teluk Petai, Kampar, Riau. Dibimbing oleh NURJANAH dan AGOES MARDIONO JACOEB.

Ikan selais (Ompok hipophthalmus) merupakan salah satu ikan air tawar dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais yang biasanya diolah dengan cara pengasapan. Proses pengasapan dapat menghambat meningkatnya jumlah dan aktivitas mikroorganisme, sehingga masa simpan produk bisa lebih lama. Penyimpanan yang baik akan membantu dalam mempertahankan mutu ikan asap, salah satunya dengan penyimpanan dingin atau penyimpanan pada suhu rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses pengolahan dan mutu daya simpan ikan selais asap pada suhu ruang dan suhu dingin (10 oC).

Tahap awal penelitian ini yaitu memperoleh informasi mengenai sanitasi proses pengolahan ikan selais asap. Tahap selanjutnya menganalisis perubahan mutu ikan selais asap dilakukan dengan pengujian jumlah total mikroba (TPC), total volatile base dan aktivitas air pada produk. Proses pembuatan ikan selais asap belum sesuai dengan standar sanitasi yang ada, mulai dari penerimaan bahan baku, proses produksi, kondisi peralatan, sanitasi dan pakaian pekerja, penanganan hama dan lain-lain. Komposisi kimia ikan selais asap yang diperoleh yaitu kadar air sebesar 20,60%, abu 9,75%, lemak 13,81%, dan protein 58,68% dengan rata-rata nilai organoleptik 7. Uji mikrobiologi yang dilakukan tidak terdapat bakteri Escherichia coli pada ikan selais asap yang diamati. Perbedaan waktu dan suhu penyimpanan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap nilai TVB ikan selais asap, namun memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah mikroba dan aktivitas air ikan selais asap. Aktivitas air ikan selais asap yang disimpan pada suhu kulkas (10 oC) pada penyimpanan hari ke-20 lebih tinggi daripada penyimpanan pada suhu ruang yaitu sebesar 0,783, sedangkan aw ikan selais asap pada penyimpanan suhu kulkas hari ke-20 yaitu sebesar 0,774.