Kesimpulan Latar Belakang Permasalahan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan, kajian dan analisis yang dilakukan pada Bab I sampai dengan Bab IV, penulis merumuskan beberapa kesimpulan berdasarkan pertanyaan dalam perumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengenai perbandingan upah dalam ajaran Islam dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memiliki banyak persamaan. Persamaan itu meliputi: a. Defenisi upah berdasarkan ajaran Islam maupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; b. Bentuk upah pun sama menurut pandangan Islam dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; c. Dan mengenai upah harus diatur dalam perjanjian kerja dalam Islam disebut akad baik berdasarkan ajaran Islam maupun Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; d. Menurut ajaran Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha wajib untuk membayar upah pekerja di tempat-tempat yang telah ditentukan sebelumnya dan tidak Universitas Sumatera Utara boleh terlambat. Dan upah tetap dibayarkan kepada pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya yang dikarenakan alasan-alasan tertentu; 2. Mengenai persamaan pekerja perempuan dalam Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, meliputi: a. Mengenai prinsip non-diskriminasi dalam bekerja; b. Mengenai hak-hak pekerja perempuan dan perlindungan bagi mereka. Perbedaan pekerja perempuan menurut Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meliputi: a. Alasan-alasan perempuan boleh bekerja; b. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang untuk perempuan;

B. Saran

1. Menerapkan aturan-aturan hukum yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun ajaran Islam mengenai upah dan pekerja dengan baik dan jujur baik oleh pihak pengusaha maupun pihak pekerja. Hal ini bertujuan untuk memberikan manfaat pada pihak-pihak yang bersangkutan. Seperti jika menerapkan prinsip adil dan layak dalam menetapkan upah pekerja, maka selain pekerja akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, semangat mereka untuk Universitas Sumatera Utara bekerja pun pasti bertambah dan pihak pengusaha diuntungkan dengan proses produksi yang berjalan dengan baik. 2. Memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian upah dan perlindungan bagi pekerja perempuan. Agar peraturan-peraturan yang telah ada dapat berjalan dengan baik dan tidak ada pihak yang dirugikan. Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN UPAH DAN PEKERJA PEREMPUAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN A. Pengaturan Upah menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Pengertian Upah

Kata upah sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bagi para pekerja, upah merupakan sumber penghasilan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya. Sementara menurut para pengusaha upah adalah bagian dari biaya produksi, sehingga penggunaannya harus dioptimalkan dalam peningkatan produktivitas. Menurut Baqir Sharief Qorashi, “pengupahan bermakna membayar kompensasi atas apa yang memberi manfaat, entah itu karena suatu pekerjaan atau selainnya”. 16 16 Baqir Sharief Qorashi, op. cit. hlm. 161. Allah swt berfirman: “Dan katakanlah, ‘bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” At-Taubah: 105. Universitas Sumatera Utara Surat At-Taubah ayat 105 ini menjelaskan bahwa Allah swt memerintahkan kita untuk bekerja dan Allah pasti membalas semua yang telah kita kerjakan. Hal yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah swt bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan. Kemudian dalam surat An-Nahl ayat 97 disebutkan, “Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” An-Nahl: 97. Surat An-Nahl ayat 97 di atas menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam menerima pahala balasan dari Allah swt. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat ini adalah balasan Allah atau kompensasi di akhirat dalam bentuk pahala. Sementara itu, dalam surat Al-Kahf ayat 30 Allah berfirman, “Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu.” Al-Kahf: 30. Surat Al Kahf tersebut menegaskan bahwa terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia pasti dibalas oleh Allah swt dengan adil. Allah tidak akan Universitas Sumatera Utara berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal para hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktik yang pernah terjadi di negeri Islam. Lebih lanjut kalau kita lihat hadis Rasulullah SAW tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Mereka para budak dan pelayanmu adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya sendiri dan member pakaian seperti apa yang dipakainya sendiri; dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka mengerjakannya” HR Muslim. 17 “Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Siapa yang mengambil sikap Dari hadis ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi kompensasi di dunia mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan, “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya sendiri dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya sendiri” bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian pekerja yang menerima upah. Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin syadad Rasulullah SAW bersabda: 17 Didin Hafidhudddin, Hendri Tanjung, Sistem Pengupahan Islam, Depok: Raih Asa Sukses, 2008, hal. 27. Universitas Sumatera Utara selain itu, anak ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri’” HR. Abu Daud. 18 Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa upah menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan hak pekerja buruh dan bukan pemberian sebagai hadiah dari pengusaha. Karena pekerja buruh telah atau akan bekerja untuk pengusaha sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Apabila ternyata pekerja buruh tidak bekerja sesuai yang telah diperjanjikan, pekerja buruh yang bersangkutan tidak berhak atas upah dari pengusaha. Hadis ini menegaskan bahwa kebutuhan papan tempat tinggal merupakan kebutuhan asasi bagi para pekerja. Bahkan, menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi pekerjanya yang masih lajang sendiri. Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis di atas, maka dapat didefenisikan bahwa upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia adil dan layak dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat imbalan yang lebih baik. Pengertian upah dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 30 Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah: “Hak pekerja buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang- undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.” 18 Ibid. hal. 28. Universitas Sumatera Utara Terdapat persamaan dalam pengertian upah menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan, yaitu imbalan kepada seorang pekerja atas pekerjaan yang sudah dilakukannya. Namun, imbalan menurut Islam juga mencakup imbalan pahala untuk akhirat.

2. Bentuk Upah

Dalam Islam bentuk upah yang dibayarkan haruslah dengan mata uang yang berlaku. Tidak sah bila pembayaran dilakukan dengan kartu-kartu dan sejenisnya, yang kemudian ditukarkan dengan barang-barang dari gudang. Kecuali jika para buruh rela dengannya. 19 Jika majikan tidak memiliki mata uang nominal, maka pembayaran upah pekerja dengan benda dapat dilakukan asal pekerja mau menerima. Yang penting benda tersebut memiliki standar pasar yang memiliki sifat mubah dan jelas manfaatnya. Pembayaran upah dalam bentuk benda harus diikuti dengan taksiran yang sama dengan jumlah upah dalam nilai mata uang nominal. 20 19 Baqier Sharief Qorashi, op. cit. hlm. 251 Mengenai bentuk upah, dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang tidak ada diatur. Namun hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Menurut Pasal 12 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini: 20 Hadi Muttaqin Hasyim, “Penggajian dalam Islam”, http:muttaqinhasyim.wordpress.com20090616penggajian-dalam-islam, Minggu, 15 Agustus 2010. Universitas Sumatera Utara “Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang”. Dan pada ayat 2 disebutkan bahwa: “Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25 dua puluh lima persen dari nilai upah yang seharusnya diterima”. Dalam penjelasan Pasal 12 di atas disebutkan: “Untuk menuju ke arah sistem pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang, prinsip tersbut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya. Penerapan system terseut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan sebagian upahnya dalam bentuk lain adalah hasil produksi atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh”. Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah dari Negara Republik Indonesia bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran. 21 21 Pasal 13 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Mengenai bentuk upah ini menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga memiliki persamaan, yaitu harus dengan mata uang nominal yang berlaku dan upah dapat diberikan dalam bentuk lain yang penting pekerja berkenan dengan hal tersebut. Universitas Sumatera Utara

3. Upah dalam Perjanjian Kerja

Baik Hukum Islam maupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur untuk memuat mengenai upah di dalam perjanjian kerja. Menurut Islam mengenai upah harus diatur dalam perjanjian kerja yang disebut dengan akad. Akad ini meliputi ijab dan qabul. Karena dengan ijab dan qabul terjadilah kontrak di antara kedua belah pihak. Namun, dalam kaitan ini harus jelas perwujudannya, seperti ucapan pekerja, “Aku pekerjakan diriku padamu,” yang mesti dijawab pihak lain, “Aku terima”. 22 Bagi kedua pihak yang membuat akad, disyaratkan hal-hal berikut ini 23 1. Usia dewasa, minimal berusia lima belas tahun. Karenanya, tidak boleh mempekerjakan anak-anak di bawah umur, dan tidak sah bertransaksi dengan mereka kecuali terdapat kesepakatan dengan wali mereka, seperti ayah atau datuk mereka dari pihak ayah atau dengan hakim syar’i. Sebab seorang hakim syar’i merupakan wali bagi orang yang tidak memiliki wali. : 2. Berakal, akad menjadi tidak sah bila dibuat dengan orang gila. Sebab, seorang gila tidak memiliki kesadaran dan daya pemahaman. 3. Kerelaan kedua belah pihak merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi setiap akad atau kesepakatan. Karena, bila tidak terdapat kerelaan kedua belah pihak, transaksinya menjadi tidak sah. 22 Baqier Sharief, op. cit. hlm. 161. 23 Ibid. hlm. 162 Universitas Sumatera Utara Allah berfirman dalam surat Al-Qasas ayat 25-28 “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Ketika Musa mendatangi ayahnya dan dia menceritakan kepadanya kisah mengenai dirinya, dia berkata, ‘Janganlah engkau takut Engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” Al-Qasas: 25. “Dan salah seorang dari kedua perempuan itu baerkata, ‘Wahai ayahku Jadikanlah dia sebagai pekerja pada kita, sesungguhnya orang yang paling baik yang engaku ambil sebagai pekerja pada kita ialah orang yang kuat dan dapat di percaya’.” Al-Qasas: 26. “Dia Syeikh Madyan berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engaku akan mendapatiku termasuk orang yang baik’.” Al-Qasas: 27. “Dia Musa berkata, ‘Itu perjanjian antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi. Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan’.” Al-Qasas: 28 Dari surat di atas dapat disimpulkan bahwa: 24 1 Kontrak perjanjian upah harus merupakan perjanjian sukarela dari kedua belah pihak. Maksudnya, tidak ada paksaan dalam kontrak upah tersbut. 24 Didin Hafidhuddin, Hendri Tanjung, op. cit. hlm. 40 Universitas Sumatera Utara 2 Kontrak upah bersifat legal perjanjian syariah dengan adanya hak dan kewajiban antara keduanya. 3 Hak dan kewajiban harus secara jelas dinyatakan: a Tingkat upah, berapa upahnya, harus jelas. b Periode kontrak. Berapa lama, harus jelas. c Jenis dan sifat pekerjaan. Dijelaskan secara detil, apa pekerjaannya. Beberapa tambahan tentang prinsip perjanjian upah dalam Al-Qur’an dan sunnah adalah sebagai berikut. 25 1. Kontrak harus bebas dari riba dan gharar penipuan. 2. Pada prinsipnya, keinginan kedua belah pihak terhadap suatu kontrak adalah esensial untuk ditinjau ulang. 3. Ide tunjangan pengobatan untuk karyawan dan keluarganya mencakup kesehatan dan kecelakaan dapat bervariasi tergantung kasusnya. 4. Kontrak yang bertentangan dengan syariah harus dihindari, tidak boleh dinegosiasikan, dan tidak boleh dipaksakan. 5. Upah minimum harus diaplikasikan kepada perusahaan yang berpotensi menggaji karayawannya di bawah upah minimum, bukan kepada semua industri dan bisnis. 25 Ibid. hlm. 40 Universitas Sumatera Utara Di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga memuat mengenai pengaturan upah di dalam perjanjian kerja yang didasarkan atas kesepakatan pengusaha dan pekerja. Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Dari pengertian perjanjian kerja di atas dapat dilihat bahwa di dalam sebuah perjanjian kerja harus terdapat unsur upah, mengingat pengertian tersebut menyebutkan mengenai hak kedua belah pihak. Dan salah satu hak pekerja adalah mendapatkan upah. Hanya saja kesepakatan mengenai ketetapan upah di dalam perjanjian kerja tersebut tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. 26 a. Kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan maupun tulisan. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, syarat sahnya perjanjian kerja adalah: b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan 26 Pasal 91 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara d. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Pekerja Perempuan menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Alasan Perempuan Boleh Bekerja

Islam membolehkan perempuan untuk memiliki harta sendiri. Bahkan perempuan pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman: “… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” Qs An Nisa 32. Seorang perempuan dalam Islam diperbolehkan bekerja dengan alasan- alasan sebagai berikut. 27 a. Jika ia seorang janda. Seorang janda diperbolehkan bekerja untuk menjaga jati dirinya dan mencegah perbuatan mengemis dan berutang. b. Membantu suami dan suaminya mengizinkan. Dalam hal ini istri berperan sebagai mitra kerjasama secara ekonomi. 27 Mia Siti Aminah, Muslimah Career, Pustaka Grhatama, Yogyakarta, 2010, hlm. 39. Universitas Sumatera Utara c. Membantu keluarga suami atau istri. Ketika seseorang memerlukan bantuan, maka yang wajib menolongnya adalah keluarga terdekatnya. Perempuan yang bekerja untuk keluarganya adalah merupakan salah satu bentuk ibadah. Al-Qur’an telah mengisyaratkan seorang perempuan yang keluar untuk kebutuhan individu dan keluarganya dalam kisah dua putri dan lelaki saleh bersama Nabi Musa as. Allah swt berfirman: “…Dia Musa berkata, ‘Apakah maksudmu dengan berbuat begitu?’ Kedua perempuan itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami, sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan ternaknya, sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.” Al-Qasas: 23. Dalam ayat di atas telah dijelaskan kepada Nabi Musa as, bahwa kedua perempuan tersebut tidak keluar rumah kecuali karena mereka membutuhkan pekerjaan tersebut. Sebab orang tua mereka telah lanjut usia dan tidak mampu memberikan minum ternaknya, sehingga kedua putrinya yang menjalankan pekerjaan tersebut. Walaupun Islam membolehkan perempuan bekerja, tetapi tidak boleh menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam bekerja. Perempuan juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru perempuan harus lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah. Dengan hukum ini perempuan boleh bekerja dan boleh tidak. Apabila seorang mukmin muslimah mendahulukan Universitas Sumatera Utara perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat dosa kepada Allah swt. Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab jika keluar rumah, sholat lima waktu dan lain-lain. Tidak seperti ajaran Islam yang mengatur alasan mengapa perempuan bekerja, pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ada mengatur mengenai alasan perempuan untuk bekerja. Hal ini berarti Negara memberikan kebebaskan kepada perempuan untuk bekerja apapun alasannya. Tapi dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa perempuan bekerja karena berbagai alasan, dan salah satu alasannya adalah tuntutan ekonomi yang mendesak.

2. Pekerjaan yang Dilarang untuk Pekerja Perempuan

Ada beberapa pekerjaan yang dilarang oleh Islam untuk digeluti oleh pekerja perempuan. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut. 28 a. Jenis pekerjaan yang pada dasarnya haram. Dalam hal ini seperti jenis pekerjaan menjadi pekerja seks komersial PSK, pelayan kafe bar yang mengharuskan tenaga kerja perempuan bergaul dengan yang bukan 28 Ibid. hal. 40 Universitas Sumatera Utara muhrimnya, pekerjaan yang bertujuan untuk penipuan, lintah darat, dan lainnya. b. Jenis pekerjaan yang halal dilakukan tetapi dituntut untuk melanggar aturan Islam. Misalnya, menjadi sekretaris yang mengharuskannya berpakaian tanpa jilbab. Sekretaris adalah jabatan yang halal, tetapi keharusan berpenampilan tanpa jilbab melanggar syariah Islam. c. Hal-hal yang sifatnya pribadi sehingga membuat seorang perempuan tidak bisa bekerja. Misalnya tidak boleh bekerja seperti kemampuan menjaga niat, tidak bisa menjaga pergaulan dengan lain jenis, tidak mendapat izin dari suaminya, dan lain sebagainya. Bagi pekerja perempuan disyaratkan bahwa pekerjaan profesi yang dijalankannya sesuai dengan harkat, martabat dan kodrat perempuan, serta tidak bertentangan dengan akhlak Islami. Namun pada dasarnya perempuan tidak dibolehkan bekerja pada malam hari diluar rumahnya, kecuali apabila tuntutan pekerjaannya mengandung nilai manfaat secara sosial dan bersifat darurat, seperti dokter, perawat, bidan dan sebagainya, terjamin keamanannya baik secara fisik ataupun mental, tidak merusak aqidah maupun akhlak serta tidak mengundang adanya fitnah. 29 Sedangkan, di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ada mengatur mengenai pekerjaan yang dilarang untuk digeluti oleh pekerja perempuan. Sebenarnya Undang-undang Ketenagakerjaan 29 Taufik, “Wanita Bekerja dalam Pandangan Islam”, http:www.dakwahkampusmalang.comindex.phpJadwawanita-bekerja-dalam-pandangan- islam.html, 29 April 2010. Universitas Sumatera Utara sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 pada Pasal 98 ayat 1 ada mengatur mengenai pekerjaan yang dilarang untuk digeluti oleh pekerja perempuan. Pekerjaan tersebut yaitu: a. di dalam tambang bawah tanah, lubang di bawah permukaan tanah, tempat mengambil mineral logam dan bahan-bahan galian lainnya dalam lubang atau terowongan di bawah tanah termasuk dalam air; b. pada tempat kerja yang dapat membahayakan keselamatan, kesehatan, kesusilaan, dan yang tidak sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabat pekerja wanita; c. pada waktu tertentu malam hari. Namun, sejak keluarnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga otomatis ketentuan di dalam ayat tersebut juga tidak berlaku lagi pada saat sekarang. Hal ini dikarenakan untuk mencegah terjadinya diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Walaupun larangan pekerjaan-pekerjaan yang seperti tersebut dalam Pasal 98 ayat 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 sudah tidak berlaku lagi sekarang. Namun, pengusaha tetap diharuskan memberikan perlindungan yang lebih terhadap pekerja perempuan yang bekerja di bidang-bidang tersebut. Meskipun begitu, terdapat beberapa konvensi yang mengatur mengenai pekerjaan yang dilarang untuk pekerja perempuan. Seperti dalam Konvensi tentang Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan dalam Pekerjaan di Bawah Tanah Universitas Sumatera Utara dalam Segala Jenis Pertambangan. Pasal 2 konvensi ini menyebutkan bahwa seorang perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan di bawah tanah dalam pertambangan. Hukum nasional boleh membuat pengecualian terhadap larangan di atas kepada: 30 a. perempuan yang menduduki jabatan manajemen yang tidak melakukan pekerjaan manual; b. perempuan yang dipekerjakan dalam pelayanan kesehatan dan kesejahteraan; c. perempuan yang, sebagai bagian dari pendidikan mereka, menajalani periode latihan di beberapa bagian bawah tanah dari suatu pertambangan; dan d. perempuan lainnya yang pada waktu-waktu tertentu harus memasuki beberapa bagian bawah tanah dari suatu pertambangan untuk melakukan pekerjaan non-manual. Istilah pertambangan dalam Pasal 1 Konvensi ini mencakup segala usaha, baik Negara maupun swasta, untuk melakukan penggalian bahan apapun dari bawah permukaan bumi. Kemudian pada Konvensi mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri menyebutkan bahwa kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan pada malam hari pada usaha industri publik maupun swasta kecuali di dalam usaha di mana hanya anggota-anggota dari 30 Pasal 3 Konvensi tentang Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan dalam Pekerjaan di Bawah Tanah dalam Segala Jenis Pertambangan Universitas Sumatera Utara keluarga yang sama yang dipekerjakan Pasal 3 Konvensi mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri.

3. Prinsip non-Diskriminasi antara Pekerja Perempuan dan Pekerja Laki-laki

Dalam Islam, perempuan dan laki-laki diciptakan bukan sebagai musuh atau lawan, tetapi sebagai bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Di dalam Islam tidak ada yang disebut dengan pengurangan hak perempuan atau penzaliman kepada perempuan demi kepentingan laki-laki. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah swt. 31 Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu laki-laki saja atau perempuan saja, maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Misalnya kewajiban mencari nafkah bekerja hanya dibebankan kepada laki-laki, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab laki-laki. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap laki-laki dan perempuan apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban sholat, puasa, zakat, menunaikan haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pada keduanya, tanpa melihat apakah seseorang itu laki-laki maupun permpuan. 31 Mia Siti Aminah, op.cit. hlm.14. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian perempuan tidak terbebani tugas kewajiban mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya bila perempuan tersebut telah menikah atau dari walinya bila belum menikah. Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan tersebut kepada Daulah Baitul Maal. Bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. Ada beberapa pekerjaan yang sama-sama layak dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki, ada juga beberapa pekerjaan yang khusus dikerjakan oleh masing-masing secara sendiri-sendiri. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kerja otot selamanya akan menjadi bagian dari tugas laki-laki. Dengan demikian, seorang perempuan tidak layak baginya melakukan pekerjaan– pekerjaan yang membutuhkan kerja otot, seperti melakukan penggalian, pengeboran, pembangunan, industri besi, kayu, dan sejenisnya yang menuntut jerih payah luar biasa dan memberatkan perempuan. 32 32 Asyraf Muhammad Dawabah, op. cit. hlm. 101. Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam Islam bukanlah bermaksud untuk mendiskriminasikan salah satu pihak. Tapi lebih pada kepantasan akan pekerjaan yang akan dikerjakan. Hal itu adalah pembagian yang wajar dan realistis dari sebuah pekerjaan yang menggerakkan kehidupan dan masyarakat, sehingga peradaban manusia bisa berjalan secara normal. Universitas Sumatera Utara Islam juga mempertimbangkan fitrah penciptaan antara laki-laki dan perempuan dalam membagi tugas dan jatahnya masing-masing. Dan fitrah itulah yang menjadikan laki-laki sebagai lelaki sejati, dan yang menjadikan perempuan sebagai perempuan sejati. Ia juga telah menitipkan karakter yang berbeda kepada masing-masing jenis agar dimandatkan kepada masing-masing jenis tugas-tugas tertentu, bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan jenis tertentu, melainkan untuk kepentingan kehidupan manusia yang berdiri tegak, teratur, dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, dan dapat diwujudkan cita- citanya. 33 33 Ibid. hlm. 102. Bentuk non-diskriminasi antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat dalam Pasal 6, yang berbunyi: “Setiap pekerja buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”. Berdasarkan pasal ini maka pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik. Selain itu, pengaturan mengenai non-diskriminasi antara pekerja perempuan dan laki-laki dapat kita lihat dalam berbagai konvensi, seperti Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 dan Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 1999. Universitas Sumatera Utara Konvensi-konvensi ini mengatur larangan diskriminasi bagi pekerja perempuan dan laki-laki, perbedaannya bukan berdasarkan bentuk berat atau ringannya suatu pekerjaan seperti yang diatur dalam Islam, tetapi larangan akan perbedaan upah untuk pekerjaan yang sama bagi pekerja perempuan dan laki-laki dan larangan terhadap diskriminasi jenis kelamin yang menyebabkan kurangnya kesempatan kerja. Dalam Pasal 3 ayat 3 Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang Pemberian Upah yang Sama bagi Para Pekerja Laki-laki dan perempuan, menyebutkan: “Perbedaan tingkat pengupahan di antara pekerja, sebagaiman ditentukan oleh penilaian objektif, tidak membedakan jenis kelamin dan hanya berhubungan dengan perbedaan-perbedaan dalam pekerjaan yang harus dilakukan serta tidak boleh bertentangan dengan prinsip pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya”. Dari bunyi ayat ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan upah hanya boleh diterapkan untuk pekerjaan yang berbeda, bukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi dalam pekerjaan dan Jabatan merupakan bagian dari perlindungan hak asasi pekerja. Konvensi ini mewajibkan setiap Negara anggota ILO yang telah meratifikasi konvensi ini untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal-usul keturunan. Universitas Sumatera Utara Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan diperkuat dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimanasi terhadap Perempuan The Convention on The Elimination of Discrimination Against Women CEDAW. Pasal 11 CEDAW menegaskan hak perempuan untuk bekerja yaitu: 34 1. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan criteria seleksi yang sama dalam penerimaan pegawai; 2. Bebas untuk menentukan profesi dan pekerjaan dan pelatihan; 3. Hak yang sama untuk menerima upah, termasuk perlakuan yang sama untuk pekerjaan yang bernilai sama; 4. Hak untuk mendapatkan jaminan sosial; jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan; 5. Melarang pemecatan atas dasar kehamilan, memberlakukan cuti hamil; 6. Memberikan perlindungan khusus terhadap pekerja perempuan selama kehamilan pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya. Negara-negara peserta diwajibkan untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lapangan kerja guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. 34 Alex Irwan penerjemah dan Mohammad Farid editor, Perisai Perempuan, LBH APIK dan Ford Foundation, Yogyakarta, 1999 hlm. 160. Universitas Sumatera Utara

4. Syarat-syarat untuk Perempuan Bekerja

Islam menjadikan seorang perempuan bekerja ke luar rumah bukan atas dasar sebuah slogan palsu atau persaingan semu antara perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan menjalankan perannya sebagai muslimah karir sangat erat kaitannya dengan kebutuhan individu untuk bekerja menafkahi dirinya sendiri jika tidak ada seorang yang menjalankan urusannya dan membiayai hidupnya, atau menghasilkan harta kekayaan untuk diinfakkan ke lembaga-lembaga sosial. Erat kaitannya pula dengan kebutuhan rumah tangga untuk membantu suami memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, atau menafkahi anak-anaknya jika tidak ada yang membiayai hidup mereka. 35 Perempuan adalah perhiasan dunia yang dilindungi oleh norma dan akhlak, dimuliakan oleh aturan yang sesungguhnya baik untuk dirinya, baik untuk agamanya, dan baik untuk masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan kebolehannya bekerja, dalam tataran operasional ada beberapa syarat-syarat untuk bekerja. 36 a. Pekerjaan yang dipilih adalah yang sesuai dengan syariat. Dalam hal ini, perempuan harus pintar memilah pekerjaan, jangan terjebak oleh pekerjaan yang akan menjerumuskannya pada hal yang haram, seperti penyuapan, pengadaan barang-barang yang haram seperti miras, pornografi, judi, atau pekerjaan yang akan menuntutnya untuk melanggar aturan-aturan Islam. 35 Ibid. hlm. 97. 36 Mia Siti Aminah, op. cit. hlm. 41. Universitas Sumatera Utara b. Tetap teguh dengan identitasnya sebagai muslimah dengan cara tetap memenuhi adab muslimah dalam hal bergaul, berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku. c. Jika sudah menikah harus mendapatkan izin dari suami. Segenting apapun urusan istri, tanpa izin suami tidak boleh dilaksanakan apalagi harus ke luar rumah. d. Tidak mengabaikan tugas utama sebagai istri dan ibu. Anak-anak selalu membutuhkan ibunya. Seorang pekerja perempuanharus meminta izin wali jika hendak bekerja, baik wali itu suaminya jika sudah menikah, atau ayah dan saudara laki-lakinya jika belum menikah. Sebab seorang wali adalah pemimpin, dan penanggung jawab seorang perempuan di hadapan Allah swt. Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak boleh keluar dari rumah, kecuali dengan izin suami.” HR. Al-Baihaqi. 37 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain perempuan, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” An-Nisa’: 34. Firman Allah swt: 37 Asyraf Muhammad Dawabah, op. cit. hlm. 103. Universitas Sumatera Utara Jadi, kepemimpinan seorang laki-laki atas seorang perempuan bukanlah didasarkan atas kelebihan yang ada pada dirinya, melainkan sebab kepemimpinan tersebut didasarkan atas pembagian peran dalam rumah tangga dengan system yang mampu menciptakan stabilitas dan keharmonisan rumah tangga, menyebarkan semangat saling menerima di antara masing-masing pihak. 38 Syarat kedua yang dapat kita temukan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bagi pekerja perempuan yang bekerja di malam hari yang tidak boleh kurang dari delapan belas tahun Pasal 76 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tanpa pengecualian. Dan yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Syarat-syarat untuk perempuan bekerja di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur secara jelas. Bisa kita lihat pada Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi, “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak”. Pasal itu adalah satu syarat untuk perempuan bekerja, yaitu bukan anak-anak tidak boleh berusia di bawah delapan belas tahun. Namun, hal ini diberi pengecualian untuk anak yang berusia tiga belas tahun hingga lima belas tahun untuk melakukan pekerjaan ringan selama tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial, serta mendapatkan izin tertulis dari orang tua atau wali si anak Pasal 69 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 38 Ibid, hlm. 104. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Bekerja merupakan sumber satu-satunya untuk membangun bumi dan mengeruk perbendaharaannya, sekaligus sarana utama untuk menjamin penghidupan atau rezeki manusia dan stabilitas kehidupannya. Seandainya manusia tidak bekerja dan berusaha dalam memperoleh rezekinya, niscaya mustahil manusia dapat bertahan hidup di muka bumi. 4 Untuk memperoleh rezeki atau nafkah banyak cara dan jalan yang dapat ditempuh, tentunya dengan cara yang benar dan halal, salah satu diantaranya adalah: mencari nafkah dengan jalan bekerja, menyerahkan kepandaian dan tenaga, menjadi pegawai atau karyawan atau buruh kepada yang memerlukan manakala suatu saat tenaga itu diperlukan orang lain untuk suatu pekerjaan. Islam telah mewajibkan kerja atas setiap lengan tangan yang berkemampuan, dan menganggap pekerjaan adalah fardhu yang mesti dilakukan demi mendapatkan keridhaan Allah SWT dan rejeki-Nya yang baik-baik. Manusia dituntut untuk bersungguh-sungguh untuk kepentingan pribadinya dengan tidak merugikan orang lain. Ia boleh mencari rejeki dan mendapatkan sesuatu yang dapat dicarinya. Ia mendapat manfaat dari orang lain dan sebaliknya memberi manfaat kepada mereka. 4 Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh, Al-Huda, Jakarta, 2007, hlm. 40. Universitas Sumatera Utara Rezeki yang diperoleh dapat berupa barang dan dapat pula berupa upah yang mana penerimaannya bisa dalam bentuk upah nominal, minimum, upah nyata, upah biaya hidup dan upah wajar. Dua permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai upah dan pekerja perempuan. Islam memberikan jalan, bahwa dalam pembayaran upah supaya ditentukan sesuai dengan upah yang pantas dan baik. Dan juga memberikan kebebasan untuk menuntut haknya, yang merupakan hak asasi bagi manusia, apabila hak mereka dimiliki orang lain. Dalam ekonomi Islam pekerja adalah mitra kerja, bukan sekedar faktor pruduksi. Karena itu kepentingannya menjadi perhatian utama. Rasulullah saw telah menyuruh umatnya yang mempunyai bisnis dengan tenaga kerja agar membayar upahnya sebelum keringat tenaga kerja mengalir. 5 Pengupahan merupakan masalah yang sangat krusial dalam bidang ketenagakerjaan dan bahkan apabila tidak professional dalam menangani pengupahan tidak jarang menjadi potensi perselisihan serta mendorong timbulnya mogok kerja atau unjuk rasa. 6 5 Hasan Aedy, Indahnya Ekonomi Islam, Alfabeta, Bandung, 2007, hlm. 16. 6 Abdul Hakim, Aspek Hukum pengupahan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 1. Permasalahan kedua yaitu mengenai pekerja perempuan, membawa sebuah gambaran dimana kebenaran dan kesalahan saling tumpang tindih di dalamnya, kejujuran dan kecurangan menjadi samar. Terdapat penyimpangan dan kelalaian yang melebihi batas. Universitas Sumatera Utara Dalam Islam, sebagian kelompok berpendapat untuk mengunci perempuan di dalam rumah dan melarangnya keluar, meskipun untuk melakukan pekerjaan yang dapat membantu masyarakat. Karena mereka menganggap hal tersebut telah keluar dari kodrat dan fitrah yang telah Allah swt ciptakan pada diri seorang perempuan, dan dapat menyebabkannya lepas dari tanggung jawab rumah tangga dan bisa menghancurkan keutuhan keluarga. Mereka menilai bahwa kesalehan perempuan bisa dibuktikan ketika dia hanya keluar rumah dua kali. Pertama, saat dia keluar dari rumah ayahnya menuju rumah suaminya, kedua, dari rumah suaminya menuju kuburannya. Padahal Al- Qur’an menjadikan kurungan rumah untuk perempuan sebagai hukuman bagi mereka yang telah melakukan tindakan zina dengan disaksikan oleh empat orang saksi. 7 Perempuan adalah separuh bagian dari sebuah masyarakat yang merupakan partner laki-laki dalam memakmurkan bumi. Dengan adanya kerja Kelompok lain berpendapat untuk membukakan pintu secara bebas kepada perempuan untuk keluar rumah dan melepaskan pengawasan terhadapnya agar dia bisa berbuat sesuai dengan kehendaknya tanpa syarat dan batasan. Islam tidak menyetujui kedua pendapat di atas. Islam adalah jalan tengah dan metode moderat yang menjunjung derajat dan kehormatan perempuan sesuai karakternya, yaitu sebagai perempuan, putri, istri, ibu, dan anggota masyarakat. Islam menjunjung tinggi kehormatan perempuan sebab status kemanusiaan yang telah dianugerahkan Allah swt kepadanya melebihi makhluk yang lain. 7 Asyraf Muhammad Dawabah, Muslimah Karier, Mashun, Jawa Timur, 2009, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara sama antara keduanya kehidupan bisa berlangsung dan berjalan lurus, masyarakat dapat berkembang dan panji-panji keadilan serta kebaikan pun berkibar.

B. Perumusan Masalah