BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia di pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakkan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha
merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara kita memang tidak sendirian dalam menghadapi krisis
tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya.
Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih dapat bertahan pun hidupnya menderita. Untuk mengantisipasi adanya
kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka
pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-
Undang Kepailitan yang ada. Inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan,
sebenarnya timbul karena adanya tekanan dari Dana Moneter Internasional International Monetary Fund IMF yang mendesak supaya Indonesia
menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh Debitur kepada Kreditur. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan
yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman.
1
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tersebut sebagian besar substansinya sama dengan UUK lama, dengan penyempurnaan pada beberapa hal
Memang tidak dapat mengelak desakan IMF yang seolah-olah mendikte tersebut. Setelah negara kita hampir bangkrut karena krisis ekonomi yang
berkepanjangan, IMF bagaikan dewa penolong yang memberikan setetes air di tengah padang kehausan. Namun untuk dapat menikmati bantuan IMF ini kita
mau tidak mau harus mengikuti aturan main yang telah disusun sedemikian rupa oleh IMF agar bantuan baca: utang tersebut mengucur ke negara kita guna
mempertahankan nafas ditengah-tengah hampir tenggelamnya sebagian besar tatanan ekonomi dan politik kita.
Sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 di keluarkan, masalah kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang di negara kita di atur dalam Faillisements Verordening. Meskipun UUK lama telah dibentuk, namun masih
terdapat kekurangan, salah satunya adalah ketidakjelasan mengenai defenisi utang. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang terdapat
dalam UUK lama, maka Pemerintah bersama DPR melakukan revisi terhadap UUK lama dan akhirnya dijadikan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
1
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Bisnis Perusahaan Pailit Jakarta : Swadaya, 2009, hlm. 1.
sehubungan dengan berbagai penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU yang tidakbelum memuaskan yang mempergunakan UUK lama.
2
Orang yang meminjamkan uang disebut kreditur, sedangkan yang meminjam uang disebut debitur. Debitur wajib membayarkan utangnya kepada
kreditur sebagaimana yang diperjanjikan. Apabila debitur ingkar janji, kreditur dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga agar debitur
dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Kebutuhan hidup
financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang orang perseorangan dan badan hukum yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang lain yang lazimnya dituangkan dalam suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit.
3
Kepailitan merupakan suatu proses legal untuk mengupayakan pembayaran utang melalui pengadilan niaga apabila debitur tidak membayar
utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan cara mengajukan permohonan pailit kepada ketua pengadilan niaga di tempat debitur.
4
Sifat ini penting sekali sebagai upaya untuk menghindari usaha-usaha debitur pailit untuk mengurangi jumlah boedel pailit yang dilakukan dengan cara
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
telah dipenuhi. Selain itu sifat putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu menarik untuk diperhatinkan, meskipun masih ada upaya hukum yang diajukan
para pihak.
2
Gunawan Widjaja,Op.Cit, hlm. 2-5.
3
Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia Jakarta : Tatanusa, 2012, hlm. 1.
4
Ibid., hlm. 81.
mengalihkan sebagian dari hartanya dengan cara menghibahkan ataupun menjual di bawah harga yang wajar. Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memberikan perlindungan hukum kepada
kreditur untuk mengajukan permohonan melakukan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur selama putusan atas permohonan
pernyataan pailit belum diucapkan atau menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur, pembayaran kepada kreditur, pengalihan
atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator.
Upaya pengamanan dalam ketentuan ini bersifat preventif dan sementara, dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan bagi debitur melakukan tindakan
terhadap kekayaannya, sehingga dapat merugikan kepentingan kreditur dalam rangka pelunasan utangnya.
5
Kepailitan hanya mengakibatkan debitur pailit kehilangan hak keperdataan untuk menguasai, mengurus, dan mengalihkan
hartanya. Kewenangan untuk mengurus dan mengalihkan harta atau budel pailit beralih karena hukum kepada kurator.
6
Terhadap perbuatan yang dilakukan oleh debitur yang dapat merugikan para kreditur, Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPUmemberikan
perlindungan kepada kreditur yang disebut Actio Pauliana. Istilah actio
5
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2 Jakarta : Softmedia, 2010, hlm. 70-72.
6
Syamsudin M. Sinaga, Op.Cit., hlm. 118.
paulianaberasal dari bahasa Romawi atau claw back provision dalam bahasa Inggris, berlaku untuk perbuatan hukum debitur pailit yang merugikan kreditur
yang dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pailit diucapkan.
7
Berkaitan dengan kepailitan misalnya, tindakan debitur yang mengetahui akan dinyatakan pailit, melakukan perbuatan hukum berupa memindahkan haknya
atas sebagian dari harta kekayaannya kepada pihak lain dan perbuatan tersebut dapat merugikan para krediturnya.
8
Pengajuan actio pauliana diajukan ke Pengadilan Niaga. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa putusan atas
permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan danatau diatur dalam undang-undang ini diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Actio pauliana diajukan oleh kurator atas
persetujuan hakim pengawas. Gugatan actio pauliana dalam kepailitan disyaratkan bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan
dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
9
7
Ibid., hlm. 181.
8
Sutan Remy Sjahdein, Hukum Kepailitan Memahami Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009, hlm. 248.
9
Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip,Norma dan Praktik di Peradilan Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008,hlm. 176.
Kurator, dalam melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, apabila menemukan perbuatan
hukum debitur pailit yang merugikan kreditur berhak mengajukan pembatalan kepada ketua pengadilan niaga.
Permasalahan penerapan actio pauliana secara nyata dapat dianalisis pada pengajuan permohonan actio pauliana oleh Lop Tua Sagala, SH yang merupakan
kurator PT. Heat Exchangers Indonesia yang telah diputus pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor : 03 Pdt. Sus -Pembatalan
2015Pengadilan Niaga. Mdn, Jo. Nomor : 07 Pdt. Sus - PKPU 2014 Pengadilan Niaga Medan. Bahwa Lop Tua Sagala in casu penggugat mempunyai hak untuk
memintakan pembatalan hukum perbuatan debitor PT. Heat Exchangers, in casu Tergugat I berdasarkan Pasal 41 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU, yang
selanjutnya unsur-unsur pemenuhannya termaktub dalam Pasal 41 ayat 2 UU Kepailitan dan PKPU.
Permohonan pembatalan perbuatan debitor dilakukan dikarenakan ditemukannya dokumen yang menyatakan bahwa PT. Heat Exchangers Indonesia
telah mengalihkan atau menjual seluruh hartanya kepada pihak lain pada bulan November 2014 dengan harga total senilai USD. 1.405.358,13,- satu juta empat
ratus lima ribu tiga ratus lima puluh delapan koma tiga belas US Dollar tanpa sepengetahuan dirinya selaku kurator PT. Heat Exchangers Indonesia. Namun
gugatan yang diajukan oleh Lop Tua Sagala dinyatakan salah tuju error in persona karena karena dalam gugatannya, penggugat telah menarik PT. Heat
Exchangers Indonesia dalam pailit selaku Tergugat – I. Padahal PT. Heat Exchangers Indonesia telah pailit, sehingga Direksi
sudah tidak memiliki kewenangan bertindak atas nama perseroan dan yang dapat
bertindak untuk dan atas nama perseroan adalah kurator. Kemudian para tergugat juga menyatakan tidak terpenuhi salah satu unsur dari gugatan actio paulianayaitu
adanya itikad tidak baik karena pengalihan aset pada boedel pailit ditujukan agar PT. Heat Exchangers Indonesia tetap dapat beroperasional dan juga untuk
membayar utangnya pada kreditor lain. Berdasarkan uraian tersebut, maka pada kesempatan ini penulis tertarik
untuk menulis skripsi dengan melakukan tinjaun yuridis terhadap salah satu putusan Pengadilan Niaga Medan. Tinjauan yuridis dilakukan untuk mengkaji
penerapan Actio Pauliana untuk melihat apakah penerapan Actio Pauliana ini diterapkan dalam pertimbangan hukum hakim yang memutus perkara tersebut.
Adapun judul tulisan skripsi ini adalah “Kewenangan Kurator dalam Mengeksekusi Harta Pailit Ketika Debitur Mengalihkan Asetnya Pada Pihak Lain
Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor : 07 Pdt.Sus-Actio Pauliana 2015 Pengadilan.Niaga.Mdn”
B. Rumusan Masalah