Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak di Indonesia

(1)

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGELAPAN

PAJAK DI INDONESIA

OLEH

ANGGITA GLORIA DAMANIK

100501079

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

PERSETUJUAN PERCETAKAN

Nama : ANGGITA GLORIA DAMANIK

NIM : 100501079

Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan

Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak Di Indonesia

Tanggal, Ketua Program Studi

Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Se, Ph.D NIP : 19710503 200312 1 003

Tanggal, Ketua Departemen

Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec NIP : 19730408 199802 1 001


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

PERSETUJUAN PERCETAKAN

Nama : ANGGITA GLORIA DAMANIK

NIM : 100501079

Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan

Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak Di Indonesia

Tanggal, Dosen Pembimbing

Paidi Hidayat, SE, M.Si NIP : 19750920 200501 1 002

Tanggal, Pembaca Penilai

Drs. Rujiman, M.A


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak Di Indonesia” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari lembaga, sumber tertentu, dan hasil karya orang lain telah mendapat izin dan/atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukannya ada kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 2015

Anggita Gloria Damanik NIM. 100501079


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia tahun 1999-2013. Dengan menggunakan pendekatan currency demand dan diestimasi dengan metode OLS maka diperoleh estimasi dari ekonomi bayangan dan penggelapan pajak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggelapan pajak, pendapatan riil perkapita, tarif pajak rata-rata, dan inflasi.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pendapatan riil perkapita dan tarif pajak rata-rata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak di Indonesia, sedangkan variabel inflasi berpengaruh positif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia dalam kurun waktu 1999-2013.


(6)

ABSTRACT

This paper investigates the factors that determine tax evasion in Indonesia using time series data covering the period 1999-2013. Employing the currency demand approach and being estimated using the ordinary least square can be obtained the estimates of the shadow economy and the level of tax evasion for the entire period. Variables used in this study is tax evasion, the real income per capita, average tax rate, and inflation.

Estimation results indicates that per capita income and the average tax rate were negatively and significantly associated with tax evasion while inflation was negative and no significantly with tax evasion in Indonesia during the period of 1999-2013.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji Syukur penulis panjatkan karena pertolongan Tuhan yang telah memberikan hikmat dan kemurahan-Nya sehingga panulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak Di Indonesia”. Oleh berkat karunia-Nya juga lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir yang harus di tempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik berupa dukungan materil, sumbangan pemikiran dan doa dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada: 1. Orang tua penulis, Ayahanda Korpen Damanik dan Ibunda Rachel Anggunita

Mowisu yang senantiasa memberikan saya kasih sayang, doa, dukungan semangat dan materil selama ini. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk Abang saya Andrey Geardy Damanik, yang telah memberikan beberapa bantuan kepada saya selama penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ac, Ak. Selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Sumatera Utara.

5. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis, memberikan saran, pengarahan, petunjuk-petunjuk, dan


(8)

masukan yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini. Bapak Dr. Rujiman, MA selaku dosen pembanding I dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku dosen pembanding II yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Dosen dan pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membacanya.

Medan, Mei 2015 Penulis

Anggita Gloria damanik NIM. 100501079


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT………...... ii

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI………... v DAFTAR TABEL………... vii

DAFTAR GAMBAR……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Penggelapan Pajak ... 8

2.1.1 Teori-Teori Penentu Penggelapan Pajak ... 9

2.1.2 Faktor-Faktor Penentu Yang Mempengaruhi Pajak Di Indonesia ... 11

2.1.2.1.Hubungan Tarif Pajak Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 11

2.1.2.2.Hubungan Tingkat Pendapatan Riil Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 12

2.1.2.3.Hubungan Tingkat Inflasi Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 13

2.2 Penelitian Terdahulu... 14

2.3 Kerangka Konseptual ... 17

2.4 Hipotesis Penelitian ... . 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup ... 19

3.2. Jenis Dan Sumber Data ... 19

3.3. Batasan Operasional ………. .... 19

3.4. Defenisi Operasional ……… .... 20

3.5. Pengolahan Data ... 20

3.6. Model Analisis ... 20

3.6.1. Estimasi Penggelapan Pajak Di Indonesia ... ... 20


(10)

3.6.2. Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, Dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia ...

... 23

3.7. Metode Analisis ... 23

3.7.1. Uji Stasioner ... 23

3.7.1.1.Uji Kointegrasi ... ... 27

3.7.1.2.Uji Error Correction Model (ECM) ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Deskriptif ... 29 4.1.1. Penerimaan Pajak... ... 29

4.1.2. Penggelapan Pajak ... 30

4.1.3. Tax Ratio ... 31

4.1.4. Tarif Pajak Rata-Rata ... 33

4.1.5. Pendapatan Riil Perkapita ... 34

4.1.6. Inflasi ... 35

4.2. Uji Akar Unit ... 37

4.3. Estimasi Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 39

4.4. Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, Dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 40 4.5. Pengujian Statistik ... 41

4.5.1. Koefisien Determinasi (R2) ... 41

4.5.2. Uji F ... 42

4.5.3. Uji T ... 43

4.6. Analisis Ekonomi Hasil Estimasi Model ... 44

4.6.1. Hubungan Tarif Pajak Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... ... 44

4.6.2. Hubungan Tingkat Pendapan Riil Perkapita Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... ... 45

4.6.3. Hubungan Tingkat Inflasi Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... ... 46 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 48


(11)

5.2. Saran… ... 48 DAFTAR PUSTAKA ...


(12)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Ringkasan APBN 2010-2014……… ... 2

4.1. Tax Ratio Menurut Sektor Tahun 2008-2012 ... 32

4.2. Hasil Pengujian Akar Unit……… ... . 38

4.3. Hasil Regresi Model 1……… . . 39

4.4. Hasil Estimasi LM, IM,V, UE, Dan TE………... 40

4.5. Hasil Regresi Model 2………. 41

4.6. Nilai F-Tabel……… 42

4.7. Nilai T-Tabel……… 43


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual……….. .... 17

3.1. Bagan Prosedur Analisis Metode OLS... 27 4.1 Realisasi Penerimaan Pajak Menurut Jenis Pajak Di

Indonesia Tahun 2011-2013 (Dalam Triliun) ... 29 4.2 Illegal Money Indonesia Tahun 2001-2011 ... 31 4.3 Average Tax Rate Indonesia ... 33 4.4 Pendapatan Riil Perkapita Indonesia Tahun 1980-2013

(dalam US$) ... 34 4.5 Inflasi Indonesia Tahun 1999-2013 ... 36


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Data……….. ... 52 2 Uji Akar Unit ... 54 3 Estimasi Ordinary Least Square ... 60


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia tahun 1999-2013. Dengan menggunakan pendekatan currency demand dan diestimasi dengan metode OLS maka diperoleh estimasi dari ekonomi bayangan dan penggelapan pajak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggelapan pajak, pendapatan riil perkapita, tarif pajak rata-rata, dan inflasi.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pendapatan riil perkapita dan tarif pajak rata-rata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak di Indonesia, sedangkan variabel inflasi berpengaruh positif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia dalam kurun waktu 1999-2013.


(16)

ABSTRACT

This paper investigates the factors that determine tax evasion in Indonesia using time series data covering the period 1999-2013. Employing the currency demand approach and being estimated using the ordinary least square can be obtained the estimates of the shadow economy and the level of tax evasion for the entire period. Variables used in this study is tax evasion, the real income per capita, average tax rate, and inflation.

Estimation results indicates that per capita income and the average tax rate were negatively and significantly associated with tax evasion while inflation was negative and no significantly with tax evasion in Indonesia during the period of 1999-2013.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan di negara sedang berkembang seperti Indonesia merupakan hal yang sangat penting agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan. Namun, apabila pemerintah dan masyarakat tidak dapat bekerjasama maka akan sulit untuk mencapai pembangunan tersebut. Pembangunan tersebut tentunya memerlukan dana, dan pajak merupakan sumber dana terbesar bagi suatu negara. Pajak memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi, dimana kebutuhan negara seperti program sosial ataupun pengadaan infrastruktur untuk memperlancar jalannya perekonomian dapat dibiayai oleh pajak. Selain itu juga pajak dapat membantu dalam pengalokasian sumber daya alam, redistribusi pendapatan, dan dapat melindungi industri dalam negeri dengan membatasi impor. Penyediaan pelayanan publik dan infrastruktur dibiayai oleh pendapatan pajak yang merupakan faktor kunci untuk pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Namun sepertinya hal ini gagal dilakukan oleh kebanyakan negara sedang berkembang dalam menggunakan pendapatan pajak untuk membiayai pengeluaran publik mereka (Adamopoulus, 2010). Di Indonesia, target penerimaan pajak setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan, hal itu dapat dilihat dalam tabel ringkasan APBN 2010-2014 dibawah ini:


(18)

Tabel 1.1

Ringkasan APBN 2010-2014 (DalamTriliun Rupiah)

2010 2011 2012 2013 2014

LKPP LKPP LKPP APBNP RAPBN

A. Pendapatan Negara

dan Hibah 995,27 1.210,6 1.338,1 1.502,0 1.662,5 I. Penerimaan Dalam

Negri 992,2 1.205,3 1.332,3 1.497,5 1.661,1

1. Penerimaan dari

perpajakan 723,3 873,9 980,5 1.148,4 1.310,2

2. Penerimaan

Negara bukan

Pajak

268,9 331,5 351,8 349,2 350,9

II. Penerimaan Hibah 3,0 5,3 5,8 4,5 1,4

B. Belanja Negara 1.042,1 1.295,0 1.491,4 1.726,2 1.816,7 I. Belanja Pemerintah

Pusat 697,4 883,7 1.010,6 1.196,8 1.230,3

1. K/L 332,9 417,6 489,4 622,0 612,7

2. Non K/L 364,5 466,1 521,1 574,8 617,7

II.Transfer ke Daerah 344,7 411,3 480,6 529,4 586,4

1. Dana

Perimbangan 316,7 347,2 411,3 445,5 481,8

2. Dana Otonomi

Khusus dan

Penyesuaian

28,0 64,1 69,4 83,8 104,6

C. Keseimbangan

Primer 41,5 8,9 (52,8) (111,7) (34,7)

D. Surplus/Defisit

Anggaran (46,8) (84,4) (153,3) (224,2) (154,2) % Defisit Terhadap

PDB (0,73) (1,14) (1,86) (2,38) (1,49)

E. Pembiayaan 91,6 130,9 175,2 224,2 154,2

I. Pembiayaan Dalam

Negri 96,1 148,7 198,6 241,1 173,2

II.Pembiayaan Luar

Negri (Netto) (4,6) (17,8) (23,5) (16,9) (19,0)

Kelebihan/(kekurangan)

Pembiayaan 44,7 46,5 21,9 0,0 0,0


(19)

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa penerimaan negara melalui pajak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap APBN. Oleh karena itu untuk membiayai pengeluaran negara, maka dibutuhkan dukungan dari masyarakat dalam meningkatkan kepatuhan untuk memenuhi kewajibannya sebagai wajib pajak yang jujur dan bertanggung jawab. Namun dalam kenyataannya, kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak masih tergolong rendah. Pengamat perpajakan Universitas Indonesia, Darussalam, yang dikutip dari media massa (m.detik.com/finance) pada jumat 31 oktober 2014 menyebutkan bahwa:

“……kepatuhan pajak semakin tahun semakin berkurang. Terlihat dari penyerahan SPT yang terus menurun. Hal ini terlihat pada tahun 2010 wajib pajak yang menyampaikan SPT adalah 58%. Lalu pada 2011 turun menjadi 53%, 2012 sebesar 41%, dan 2013 sebesar 37%. Hal ini membuktikan partisipasi masyarakat terhadap pajak semakin rendah. Ini kondisi yang cukup buruk bila terus terjadi”.

Masalah kepatuhan membayar pajak disetiap negara berbeda. Seperti Amerika Serikat sebagai negara maju kepatuhan pajaknya sudah tinggi, masalahnya adalah adanya tindakan manipulasi pajak. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia selain masalah kepatuhan pembayaran pajak yang rendah ada juga masalah manipulasi pajak yang cukup tinggi, selain itu juga sistem perpajakan di Indonesia yang telah mengalami perubahan menjadi self assessment system, hal ini juga sangat memungkinkan wajib pajak untuk melakukan manipulasi pajak seperti terjadinya penggelapan pajak (tax evasion).


(20)

Reskino, et al. (2013) menyatakan bahwa yang melatarbelakangi tindakan penggelapan pajak biasanya dikarenakan pajak dipandang sebagai suatu beban yang akan mengurangi kemampuan ekonomis seseorang. Mereka harus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membayar pajak. Padahal apabila tidak ada kewajiban pajak tersebut, uang yang dibayarkan untuk pajak bisa dipergunakan untuk menambah pemenuhan keperluan hidupnya.

Menurut Feige (1990), pendapatan yang tidak dilaporkan kepada khususnya otoritas pajak, tentunya dengan maksud untuk menggelapkan/ menghindari tanggung jawab untuk membayar pajak termasuk dalam golongan kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy).

Keberadaaan ekonomi bawah tanah yang lepas dalam perhitungan pendapatan nasional, makin membuat keberadaaan angka-angka makro ekonomi Indonesia mengalami penyimpangan. Model pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan meluasnya kegiatan ekonomi bawah tanah tak bisa dibiarkan. Membesarnya ekonomi bawah tanah juga makin membuat kesalahan angka statistik, dan tentunya mengakibatkan salah memprediksi atau mengeluarkan kebijakan.

Upaya untuk mengukur besarnya ekonomi bawah tanah telah dilakukan oleh banyak peneliti dengan berbagai metode. Salah satu metode yang cukup banyak digunakan dalam mengukur ekonomi bawah tanah adalah melalui pendekatan moneter, yaitu dengan menganalisis permintaan uang kartal (Currency Demand). Metode ini dikembangkan oleh Tanzi (1980) yang mendefinisikan ekonomi bawah tanah sebagai pendapatan yang didapat dari aktivitas ekonomi yang tidak dilaporkan


(21)

atau tidak tercatat pada otoritas pajak dengan maksud untuk menghindari pajak. Menurut Tanzi, beban pajak merupakan faktor penyebab terjadinya kegiatan ekonomi bawah tanah. Uang kartal atau currency adalah mata uang yang terdiri dari uang kertas dan logam yang beredar di masyarakat, biasanya digunakan untuk transaksi secara tunai sehingga sering disebut juga sebagai uang tunai. Alasan para pelaku ekonomi bawah tanah lebih menyukai menggunakan uang tunai dalam melakukan transaksi dengan tujuan untuk menyembunyikan jejak kegiatan mereka sehingga tidak mudah ditelusuri oleh pemerintah, khususnya otoritas pajak. Transaksi yang melibatkan pihak perbankan maupun lembaga keuangan lainnya akan relatif lebih mudah menjadi data bagi pihak otoritas pajak. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak sehingga para aparatur pajak mengetahui bagaimana tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.

Meskipun pemerintah telah melakukan pengawasan terhadap wajib pajak untuk meminimalkan beban pajak dan mencegah kegiatan ekonomi bawah tanah, penggelapan pajak merupakan kegiatan yang selalu menjadi masalah di Indonesia. Kegiatan penggelapan pajak dapat mengurangi pendapatan negara yang menyebabkan pelayanan publik berkurang sehingga akan berdampak pada masyarakat sebagai wajib pajak.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyajikan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak di Indonesia”.


(22)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh tarif pajak terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia. 2. Bagaimana pengaruh pendapatan riil perkapita terhadap tingkat penggelapan

pajak di Indonesia.

3. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia. 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah disimpulkan diatas, maka tujuan dari penilitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh tarif pajak terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.

2. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh pendapatan riil perkapita terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.

3. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh inflasi terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi bagi pengambil kebijakan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan saran sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang sesuai untuk mengatasi masalah yang timbul dalam penggelapan pajak di Indonesia.


(23)

2. Memberikan informasi bagi para akademis, diharapkan dapat memperluas wawasan berpikir, mengembangkan kemampuan analisis, mengaplikasikan teori ke dalam fakta yang terjadi dalam perekonomian, dan upaya pemecahan masalah penggelapan pajak di Indonesia.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan penggelapan pajak di Indonesia.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan umum tentang Penggelapan Pajak

Aktivitas ekonomi yang berlangsung di suatu negara dapat di kelompokkan menjadi dua, yaitu Recorded Economy dan Unrecorded Hidden Economy. Apabila kita tinjau dari pencatatan aktivitas ekonomi tersebut ke GDP, Unrecorded Economy inilah yang lebih sering kita dengar sebagai Underground/ Black/ Underground Economy.

Menurut Silitonga dalam artikelnya yang berjudul Ekonomi Bawah Tanah dan Pengampunan Pajak mengatakan bahwa ekonomi bawah tanah adalah bagian dari kegiatan ekonomi yang sengaja disembunyikan untuk menghindarkan pembayaran pajak.

Menurut Feige (1990), pendapatan yang tidak dilaporkan kepada khususnya otoritas pajak, tentunya dengan maksud untuk menggelapkan/ menghindari tanggung jawab untuk membayar pajak (tax evasion) termasuk dalam golongan kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy).

Penggelapan pajak mengacu pada tindakan yang tidak benar yang dilakukan oleh wajib pajak mengenai kewajibannya dalam perpajakan.

Menurut Xynas (2011), penggelapan pajak merupakan usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar ketentuan perundang-undangan yang dapat menghambat penerimaan negara (unlawful).


(25)

Menurut Reskino, at al. (2013), Penggelapan pajak sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang. Dikarenakan melanggar undang-undang, penggelapan pajak ini dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal.

Menurut Sugiharti (2013), penggelapan pajak dapat berupa penggelapan oleh wajib pajak terdaftar yang melaporkan pendapatan lebih rendah dari seharusnya maupun kegiatan yang tidak terdaftar resmi atau perekonomian tersembunyi.

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penggelapan pajak merupakan cara ilegal untuk tidak membayar pajak dengan melakukan tindakan menyimpang (irregular acts) dalam berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan dengan sengaja dan dalam keadaan sadar.

Mughal (2012)melakukan penelitian di 72 kota di Pakistan untuk mengetahui alasan wajib pajak menghindari atau menggelapkan pajak. Menurut Mughal ada 10 alasan orang melakukan penghindaran dan penggelapan pajak, diantaranya tidak adanya moralitas pajak, tarif pajak yang tinggi, buta penghitungan pajak, kurangnya penegak hukum, kurangnya insentif pajak, sistem pajak yang kurang adil dan efisien, tidak adanya sosialisasi, kurangnya hubungan antara wajib pajak dan pemerintah, kemiskinan, dan proliferasi pajak.

2.1.1 Teori-Teori Penentu Terjadinya Penggelapan Pajak

Kajian dan analisis mengenai pengaruh faktor ekonomi terhadap penggelapan pajak telah banyak dilakukan, yang pertama kali dilakukan oleh Becker (1968) dengan memperkenalkan pendekatan teori ekonomi kriminal (economics of crime)


(26)

dimana individu diasumsikan akan memaksimalkan utilitas ekspektasinya melalui suatu permainan penghindaran pajak dengan melakukan underreporting. Jumlah penghasilan yang digelapkan tergantung pada probabilitas audit dan besarnya denda.

Selanjutnya teori tersebut dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972) yang dikenal dengan model A-S atau teori utilitas ekspektasi, dimana pembayar pajak diasumsikan sebagai pihak yang benar-benar tidak bermoral yang menyamakan keputusan apakah melakukan penggelapan pajak atau tidak, dan berapa banyak, dengan pendekatan keputusan beresiko yaitu sebagai suatu pilihan memaksimalkan utilitas yang diekspektasi. Mereka menggunakan variabel-variabel yang dikenal sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum pajak, tarif pajak, besarnya peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti. Keputusan melaporkan pajak merupakan suatu keputusan dalam ketidakpastian sebab tidak melaporkan pendapatan secara penuh tidak secara otomatis mendapat penalti. Wajib pajak dapat memilih untuk melaporkan semua pendapatan aktualnya atau melaporkan dengan jumlah lebih sedikit. Keputusan mengenai jumlah pendapatan yang dilaporkan tergantung pada utilitas ekspektasi wajib pajak. Utilitas ekspektasi dianggap dapat dihitung yang merupakan utilitas tertimbang dari kegiatan melaporkan seluruh pendapatan dan melaporkan sebagian pendapatan dengan risiko terkena penalti. Keputusan kepatuhan pajak dalam model A-S adalah menentukan jumlah pendapatan yang akan dilaporkan agar dapat memaksimalkan utilitas ekspektasinya pada tataran perilaku penghindar risiko.


(27)

2.1.2 Faktor-Faktor Penentu yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak di Indonesia

2.1.2.1Hubungan Tarif Pajak dengan Penggelapan Pajak di Indonesia

Tarif pajak menentukan tingkat penerimaan pajak dan berhubungan dengan kecenderungan wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Misalnya tarif progresif (tarif pajak yang akan semakin naik sebanding dengan naiknya dasar pengenaan pajak pada level terakhir menjadi tinggi) pada penghasilan kena pajak tertentu maka wajib pajak akan mencari altematif untuk menghindari tarif progresif yang terakhir. Misalnya, dengan cara meningkatkan biaya merger, atau pemecahan badan usaha (langkah mengurangi keuntungan kena pajak). Langkah tersebut dilakukan oleh wajib pajak bila memperoleh benefit yang lebih tinggi.

Tarif pajak merupakan bagian penghasilan yang dilaporkan yang harus dibayarkan kepada negara oleh wajib pajak. Pada tingkat penghasilan tertentu yang dilaporkan, tarif pajak akan berpengaruh negatif pada utility wajib pajak. Semakin rendah tarif pajak akan meningkatkan utility wajib pajak dan akan memberikan insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak.

Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi yaitu penghasilan sebelum pajak, tarif pajak dan penalti. Berdasarkan konsep expected

utility sebagaimana model A-S, seorang wajib pajak akan melaporkan penghasilannya sedemikian rupa sehingga tingkat expected utility dari penghasilan yang diterimanya akan maksimal. Pada kondisi tingkat penghasilan rendah, tarif pajak rendah akan


(28)

mendorong wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya pada administrasi pajak namun apabila tarif pajak dan penghasilannya tinggi, wajib pajak akan cenderung untuk tidak melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak. Hal ini didukung oleh beberapa temuan empirik yang memperlihatkan penurunan kepatuhan pajak seiring meningkatnya tarif pajak (Clotfelter,1983).

2.1.2.2Hubungan Tingkat Pendapatan Riil Perkapita dengan Penggelapan Pajak di Indonesia

Pendapatan riil perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan riil perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan per kapita juga merefleksikan PDB per kapita.

Pendapatan riil perkapita sering digunakan sebagai tolok ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan riil perkapitanya, semakin makmur negara tersebut. Apabila pendapatan riil perkapita turun maka daya beli masyarakat lebih lemah, masalah-masalah sosial dan perilaku wajib pajak berubah yaitu cenderung untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali kewajiban perpajakannya. Dengan melemahnya daya beli, kemungkinan uang untuk melunasi kewajiban pajak dialihkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Pada keadaan seperti ini maka dimungkinkan terjadinya tingkat penggelapan pajak yang tinggi oleh wajib pajak.

Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang berkontribusi terhadap tingkat penggelapan pajak di Ghana periode 1970-2010. Dengan


(29)

menggunakan metode Auto Regressive Distributed Error Correction Model (ARDL ECM) dan uji kointegrasi bound testing, berdasarkan hasil estimasi jangka panjang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan riil perkapita di Ghana berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak. Dimana semakin rendah tingkat pendapatan perkapita maka tingkat penggelapan pajak akan semakin tinggi.

2.1.2.3Hubungan Tingkat Inflasi dengan Penggelapan Pajak di Indonesia

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara terus-menerus. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.

Pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat.


(30)

Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu. Hal ini akan berpengaruh terhadap kewajiban mereka dalam membayar pajak, dimana mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokoknya terlebih dahulu daripada melaksanakan kewajiban mereka dalam membayar pajak. Dalam situasi seperti ini maka dimungkinkan akan terjadi tingkat penggelapan pajak yang tinggi oleh wajib pajak.

Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang berkontribusi terhadap tingkat penggelapan pajak di Ghana periode 1970-2010. Dengan menggunakan metode Auto Regressive Distributed Error Correction Model dan uji kointegrasi bound testing, berdasarkan hasil estimasi jangka panjang menunjukkan bahwa tingkat inflasi di Ghana berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak. Dimana semakin tinggi tingkat inflasi maka tingkat penggelapan pajak pun meningkat.

2.2 Penilitian Terdahulu

Kajian dan analisis mengenai pengaruh faktor ekonomi terhadap kepatuhan pajak ataupun penggelapan pajak yang pertama kali dilakukan oleh Becker (1968) dengan memperkenalkan pendekatan teori ekonomi kriminal, dimana individu diasumsikan akan memaksimalkan utilitas ekspektasinya melalui suatu permainan penghindaran pajak dengan melakukan underreporting. Jumlah penghasilan yang digelapkan tergantung pada probabilitas audit dan besarnya denda. Selanjutnya


(31)

penelitian tersebut dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972) yang dikenal dengan model pendekatan penggelapan pajak yang menggunakan konsep expected utility untuk menjelaskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Mereka menggunakan variabel-variabel yang dikenal sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum pajak, tarif pajak, besarnya peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti. Keputusan melaporkan pajak merupakan suatu keputusan dalam ketidakpastian sebab tidak melaporkan pendapatan secara penuh tidak secara otomatis mendapat penalti. Wajib pajak dapat memilih untuk melaporkan semua pendapatan aktualnya atau melaporkan dengan jumlah lebih sedikit. Keputusan mengenai jumlah pendapatan yang dilaporkan tergantung pada utilitas ekspektasi wajib pajak. Utilitas ekspektasi dianggap dapat dihitung yang merupakan utilitas tertimbang dari kegiatan melaporkan seluruh pendapatan dan melaporkan sebagian pendapatan dengan risiko terkena penalti. Keputusan kepatuhan pajak dalam model A-S adalah menentukan jumlah pendapatan yang akan dilaporkan agar dapat memaksimalkan utilitas ekspektasinya pada tataran perilaku penghindar risiko. Bagaimanapun jumlah pendapatan yang dilaporkan dengan jumlah pendapatan yang sebenarnya adalah ambigu.

Yitzhaki (1974) membuat model penggelapan pajak yang berbeda dengan memfokuskan pada dampak substitusi (subsitution effect) dari penalti. Argumen yang digunakan, yaitu jika tarif penalti berhubungan secara proporsional dengan tarif pajak, maka dampak subtitusi dapat dihilangkan, yang ada hanya lah dampak pendapatan. Dengan demikian, tidak terjadi ambigu.


(32)

Pada tataran teori sebagaimana model A-S yang dimodifikasi oleh Yitzhaki (1974), tarif pajak dianggap mempengaruhi secara negatif terhadap kepatuhan pajak, yaitu semakin besar tarif pajak, kepatuhan pajak akan semakin menurun yang menyebabkan penggelapan pajak meningkat. Hal ini didukung oleh beberapa temuan empirik yang memperlihatkan penurunan kepatuhan pajak seiring meningkatnya tarif pajak (Clotfelter,1983). Hasil penelitian empiris lain menemukan hasil yang berbeda hubungan antara tarif pajak dengan kepatuhan pajak, menemukan hubungan positif antara tarif pajak dengan kepatuhan pajak (Andreoni et al.,1998).

Sejumlah penelitian empiris juga sudah dilakukan untuk mengetahui dengan pasti faktor-faktor yang mempengaruhi penggelapan pajak.

Tanzi (1983) melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan moneter yaitu dengan menganalisis permintaan uang kartal (Currency Demand). Dia mengestimasi ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah dan penggelapan pajak di Amerika Serikat pada periode 1929-1980. Pendekatannya menunjukkan bahwa dalam ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah, transaksi yang selalu digunakan adalah dengan pembayaran tunai, hal ini dilakukan agar tidak meninggalkan jejak yang akan dapat dilacak oleh otoritas moneter. Peningkatan tingkat ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah menunjukkan peningkatan permintaan terhadap mata uang.

Selain itu, Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang berkontribusi terhadap tingkat penggelapan pajak di Ghana periode 1970-2010. Mereka menggunakan pendekatan moneter dan diperoleh estimasi dari ekonomi


(33)

bawah tanah dan tingkat dari penggelapan pajak. Dengan menggunakan metode Auto Regressive Distributed Error Correction Model dan uji kointegrasi bound testing, berdasarkan hasil estimasi jangka panjang menunjukkan bahwa rata-rata tarif pajak, umur, dan inflasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak sementara pendapatan riil perkapita dan jenis kelamin memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak.

Schneider et al. (2008) menganalisis karakteristik dari tarif pajak dan penggelapan pajak dalam jangka panjang diItali periode 1980-2004. Mereka menggunakan teknik kointegrasi, ditemukan bahwa tarif pajak yang sebenarnya dan penggelapan pajak saling mempengaruhi satu sama lain. Mereka menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang tarif pajak merupakan salah satu penentu dari penggelapan pajak.

2.3 Kerangka Konseptual

Tarif Pajak

Pendapatan Riil Penggelapan

Perkapita Pajak

Inflasi

Gambar 2.1 Kerangka konseptual


(34)

2.4 Hipotesis Penelitian

Bertitik tolak dari identifikassi masalah serta kerangka konseptual yang telah digambarkan diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Tarif Pajak mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.

2. Tingkat Pendapatan Riil mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.

3. Inflasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan yang akan dibahas, sehingga memerlukan dua langkah perhitungan. Masing-masing perhitungan berdiri sendiri. Estimasi yang pertama dilakukan untuk memperoleh model estimasi dari tingkat penggelapan pajak di Indonesia. Kemudian estimasi yang kedua untuk menganalisis bagaimana pengaruh tarif pajak, pendapatan riil perkapita, dan tingkat inflasi terhadap tingkat penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk kurun waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yaitu berbentuk angka-angka yang tercatat dari World Bank, Bank Indonesia, dan BPS pada kurun waktu 1999-2013, adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data pendapatan riil perkapita, tarif pajak, dan inflasi. Dan untuk menghitung besarnya nilai penggelapan pajak diperlukan data currency, M1 ratio, M2 ratio, PDB, total pajak, tarif pajak, tingkat suku bunga, dan pendapatan riil perkapita.

3.3. Batasan Operasional

Dalam penelitian ini variabel terikat adalah tax evasion, dimana nilai dari tax evasion diperoleh dengan menggunakan pendekatan moneter (the monetary


(36)

approach), sedangkan untuk variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat rata-rata tarif pajak, pendapatan riil perkapita dan tingkat inflasi. 3.4 Definisi Operasional

1. Penggelapan pajak menggambarkan tingkat penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia pada periode 1999-2013.

2. Pendapatan riil perkapita menggambarkan besarnya pendapatan perkapita yang sudah memperhitungkan harga-harga barang dan inflasi di Indonesia pada periode 1999-2013.

3. Tarif pajak menggambarkan rasio jumlah pajak yang dibayarkan terhadap jumlah penghasilan kena pajak yang terjadi di Indonesia pada periode 1999-2013.

4. Inflasi menggambarkan tingkat kenaikan harga-harga secara umum yang terjadi di Indonesia pada periode 1999-2013.

3.5 Pengolahan Data

Dalam pengolahan data penulis menggunakan software e-views 7.0, dan excel sebagai software pembantu dalam mengkonversi data kedalam bentuk baku yang disediakan oleh sumber kedalam bentuk yang lebih representatif untuk digunakan pada software e-views nantinya.

3.6 Model Analisis

3.6.1 Estimasi Penggelapan Pajak Di Indonesia

Pendekatan moneter untuk mengukur besar dari ekonomi bayangan dan penggelapan pajak telah menjadi pendekatan yang paling popular digunakan. Pendekatan ini juga dikenal sebagai pendekatan permintaan uang (Currency Demand


(37)

Approach) yang dikenalkan oleh Cagan (1958) dan kemudian dikembangkan oleh Tanzi (1980). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa transaksi bayangan dilakukan melalui pembayaran tunai, hal ini dilakukan agar jejak transaksi bayangannya tidak dapat diketahui oleh pemerintah. Dalam rangka menyembunyikan sumber pendapatannya dari fiskus pajak, pelaku ekonomi yang melakukan ekonomi bayangan lebih menyukai menggunakan uang tunai. Dalam hal ini, kenaikan currency ratio (cateris paribus), dapat menunjukkan peningkatan ekonomi bawah tanah. Tanzi (1983) mengasumsikan bahwa pendekatan currency demand didasari pada korelasi antara permintaan currency dan tekanan pajak, sehingga ekonomi bawah tanah tidak terjadi ketika pajak sama dengan nol. Dia kemudian mengatakan bahwa selisih antara estimasi currency dengan pajak dan estimasi currency tanpa pajak dapat menghasilkan estimasi currency dalam ekonomi bawah tanah.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tanzi (1983), Faal (2003), dan Bekoe (2010) yang telah mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang berpengaruh terhadap tingkat currency yang dimiliki oleh masyarakat dalam beberapa periode, maka berdasarkan penelitian tersebut dapat dilakukan estimasi persamaan currency demand untuk menentukan besarnya tingkat ekonomi bawah tanah dan penggelapan pajak. Berdasarkan teknik OLS, dapat dilakukan estimasi persamaan currency demand dalam bentuk:


(38)

(

�⁄

)

t = � + � n��� + � �� + � ���� + � Dimana:

� �

⁄ = Currency– M2 ratio ATR = Tarif Pajak Rata-Rata Ir = Tingkat Bunga

rPCY = Pendapatan Riil Perkapita

� = Error Term Ln = Natural Logarithm

Dengan menggunakan hasil dari estimasi model currency-M2 tersebut, kemudian dapat diestimasi seberapa besar tingkat underground economy dan penggelapan pajak melalui cara yang dipakai oleh Tanzi (1980, 1983), Schneider (2007), yaitu pertama dengan menghitung seberapa besar tingkat illegal money, legal money, velocity of money (perputaran uang), underground economy, dan terakhir adalah penggelapan pajak. Dengan estimasi sebagai berikut:

������� � �� �� = � − � ∗ � Dimana :

=

currency-M2 dengan tarif pajak

= currency-M2 tanpa tarif pajak M2 = M1 + deposito berjangka (Uang Luas)

Legal Money (LM) = M1 - IM Dimana:

M1 = currency + permintaan deposit (Uang sempit) IM = Illegal Money

Velocity (V) = � � Dimana:

GNP = Gross National Product LM = Legal Money


(39)

Underground Economy (UE) = IM * V Dimana:

IM =Illegal Money V = Velocity Of Money

Tax Evassion (TE) = UE * �� �� �� � � � Dimana:

EU = Underground Economy GNP = Gross National Product

3.6.2 Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model yang merupakan dasar bagi sebagian besar model penggelapan pajak yang pertama kali dilakukan oleh Becker (1968) dengan memperkenalkan pendekatan teori ekonomi criminal (economics of crime), dan kemudian dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972) yang dikenal dengan model pendekatan penggelapan pajak yang menggunakan konsep expected utility yang selanjutnya dimodifikasi oleh Yitzhaki (1974), Clotfelter (1983) dan Tanzi (1993). Dimana estimasinya adalah sebagai berikut:

1nTEt= α0+ α1 1n ATRt+ α2 1n rPCYt+ α3 INFt + µt

Dimana:

TE = Tax Evasion (Penggelapan Pajak) ATR = Average Tax Rate (Tarif Pajak Rata-rata)

rPCY = real Per Capita Income (Pendapatan Riil Perkapita) INF = Inflasi


(40)

3.7 Metode Analisis

3.7.1 Uji Stationer ( Unit Root Test )

Tahap pertama yang dilakukan dalam perhitungan data yang bersifat time

series adalah uji unit root yaitu dengan melakukan pengujian stasioneritas pada tiap-tiap variabel yang akan digunakan dalam model sehingga dapat diketahui apakah variabel yang diuji bersifat stasioner pada tingkat level atau stasioner pada difference. Jika data time series tidak stasioner pada level nol I(0), maka stasioneritas data dapat dicari melalui berbagai difference sehingga diperoleh tingkat stasioneritas pada order ke-n (first difference I(1), atau second difference atau I(2), dan seterusnya).

Persamaan regresi yang digunakan pada pengujian ini adalah sebagai berikut: 1) ∆Yt= δYt-1 + ut (tanpa intercept)

2) ∆Yt= β+ δYt-1 + ut (dengan intercept)

3) ∆Yt= β1+ β2t + δYt-1 (intercept dengan trend waktu)

Keterangan:

∆ = first difference dari variabel yang digunakan t = variabel trend

δ = ρ-1, jika ρ = 1, terdapat unit root, tidak stasioner.

Variabel bersifat stasioner apabila nilai rata-rata, varians dan kovariansnya konstan pada setiap titik waktu, namun apabila tidak stasioner akan berakibat series tersebut memiliki time-varying mean atau time-varying variance. Variabel yang tidak stasioner bila digunakan dalam regresi dapat menghasilkan spurious regression, yaitu regresi dengan hasil yang bagus namun data yang digunakan tidak stasioner sehingga koefisien dari hasil estimasi menjadi tidak valid.


(41)

Salah satu bentuk paling sederhana dari series yang tidak stasioner adalah bentuk random walk adalah yt = yt-1 + ɛt dimana ɛt merupakan gangguan random yang

bersifat stasioner. Series y memiliki konstanta yang nilainya cenderung berubah sesuai dengan perubahan waktu, sehingga tidak stasioner. Akan tetapi random walk disebut difference stasionary series, karena turunan pertamanya berbentu stasioner yt

- yt-1 = ɛt.

Sebuah difference stasionary series dikatakan terintegrasi dan dilambangkan sebagai I(d), dimana d merupakan tingkat integrasinya. Tingkat integrasi adalah banyaknya unit root yang dikandung di dalam sebuah series, atau berapa kali operasi diferensiasi harus dilakukan untuk membuat series menjadi stasioner. Pada kasus random walk diatas, unit rootnya 1, maka y merupakan series I(1).

Dalam penelitian ini untuk melakukan pengujian stasioner pada masing-masing variabel digunakan metode Philips-Perron, yaitu dengan menggunakan pendekatan nonparametrik untuk menjaga kemungkinan terjadinya serial correlation dalam error terms tanpa menambahkan lagged difference terms pada regresi.

Kelebihan Phillips-Perron (PP) test adalah ketiadaan masalah dalam memilih panjang lag. PP juga mengadopsi adanya perubahan yang signifikan dalam data time series seperti misalnya structural break (kenaikan inflasi yang tiba-tiba, kenaikan indeks harga perdagangan dan lain-lain).

Prosedur pengujian stasioner adalah sebagai berikut :

1. Langkah pertama dalam uji unit root adalah melakukan uji terhadap level series. Jika hasil uji unit root menolak hipotesis nol bahwa ada unit root, berarti series


(42)

adalah stasioner pada tingkat level atau dengan kata lain series terintegrasi pada I(0).

2. Jika semua variabel adalah stasioner, maka estimasi terhadap model yang digunakan adalah dengan regresi OLS.

3. Jika dalam uji terhadap level series hipotesis ada unit root untuk seluruh series diterima, maka pada tingkat level seluruh series adalah tidak stasioner.

4. Langkah selanjutnya adalah melakukan uji unit root terhadap first difference dari

series.

5. Jika hasilnya menolak hipotesis adanya unit root, berarti pada tingkat first difference, series sudah stasioner atau dengan kata lain semua series terintegrasi pada orde I(1), sehingga estimasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode kointegrasi.

6. Jika uji unit root pada level series menunjukkan bahwa tidak semua series adalah stasioner, maka dilakukan first difference terhadap seluruh series.

7. Jika hasil uji unit root pada tingkat first difference menolak hipotesis adanya unit root untuk seluruh series, berarti seluruh series pada tingkat first difference terintegrasi pada ordo I(0), sehingga estimasi dilakukan dengan metode regresi OLS pada tingkat first difference-nya.

8. Jika hasil uji unit root menerima hipotesis adanya unit root, maka langkah berikutnya adalah melakukan diferensiasi lagi terhadap series sampai series menjadi stasioner, atau series terintegrasi pada ordo I(d).


(43)

9. Jika semua variabel adalah tidak stasioner, estimasi terhadap model dapat dilakukan dengan teknik kointegrasi.

Prosedur langkah-langkah penggunaan model analisis OLS dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:

Data Uji Unit Root

Semua Data Tidak Stasioner Tidak Semua Semua Data Stasioner (Ada Unit Root)=I(d) Data Stasioner (Tidak Ada Unit Root)=I(0)

Semua Data Di- First Difference-kan Teknik Kointegrasi Uji Unit Root

Semua Data Stasioner = I(1)

ECM Metode OLS Metode OLS Sumber: Diadaptasi dari Gujarati (2003)

Gambar 3.1

Bagan Prosedur analisis metode Ordinary Least Square (OLS)

3.7.1.1Uji Kointegrasi

Keberadaan variabel yang tidak stasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem ECM. Berkaitan dengan hal ini, maka langkah selanjutnya di dalam estimasi ECM adalah uji kointegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Konsep kointegrasi adalah hubungan linier antar variabel yang tidak stasioner. Salah satu catatan penting mengenai kointegrasi adalah seluruh variabel harus terintegrasi pada


(44)

orde yang sama. Jika ada dua variabel yang terintegrasi pada orde yang berbeda, maka kedua variabel ini tidak mungkin berkointegrasi (Enders, 1995: 358-360). Jadi sebelum melakukan uji kointegrasi, seluruh variabel harus terintegrasi pada orde yang sama. Uji kointegrasi dilakukan dengan menggunakan metode Engle dan Granger. Dari hasil estimasi regresi akan diperoleh residual. Kemudian residual tersebut diuji stationernya, jika stationer pada orde level maka data dikatakan terkointegrasi.

3.7.1.2Uji Error Correction Model (ECM)

Setelah melakukan uji regresi kointegrasi dan hasil pada model kointegrasi atau dengan kata lain mempunyai hubungan atau keseimbangan jangka panjang. Bagaimana dengan jangka pendeknya, sangat mungkin terjadi ketidakseimbangan atau keduanya tidak mencapai keseimbangan. Teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang disebut dengan ECM, yang dikenalkan oleh Sargan dan dipopulerkan oleh Engle-Granger. Model ECM mempunyai beberapa kegunaan namun yang paling utama bagi pekerjaan ekonometrika adalah mengatasi masalah data time series yang tidak stasioner dan masalah regresi lancung.


(45)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

2011 2012 2013

PPn dan PPnBM

PBB

Cukai

Pajak Lainnya

Pajak Perdagangan Internasional

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil perhitungan dan analisis bagaimana hubungan yang terjadi antara tarif pajak, pendapatan riil perkapita, dan inflasi terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia pada tahun 1999-2013 berdasarkan metodologi penelitian yang telah dikemukakan pada Bab III.

4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Penerimaan Pajak

Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling besar untuk membiayai pengeluaran negara. Bila Pemungutan pajak ditingkatkan, maka secara otomatis penerimaan negara akan bertambah besar, dengan demikian pemerintah akan lebih leluasa dalam membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan.

Sumber: Kementrian Keuangan (diolah)

Gambar 4.1

Realisasi Penerimaan Pajak Menurut Jenis Pajak Di Indonesia Tahun 2011-2013 (Dalam Triliun)


(46)

Penerimaan pajak tahun 2013 diprediksi jauh dari target pencapaian yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan Negara Perubahan (APBN-P) 2013. Dari target Rp. 1.139,32 triliun yang ditetapkan, diprediksi capaian realisasi total penerimaan pajak sampai akhir tahun hanya mencapai Rp. 1.040,32 triliun atau sebesar 91.31% dari target. Ini merupakan titik terendah realisasi pencapaian target penerimaan pajak dalam tiga tahun terakhir ini.

Hampir semua jenis penerimaan pajak tidak akan mencapai target yang sudah ditetapkan kecuali untuk pajak penghasilan (PPh) Migas yang diprediksi akan melampaui target yang ditetapkan. Realisasi penerimaan pajak yang mendapat sorotan adalah penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Perdagangan Internasional.

Dari target Rp. 423,70 triliun yang ditetapkan untuk penerimaan PPn dan PPnBM, diperkirakan hanya akan tercapai sebesar Rp. 369,70 triliun atau sebesar 87,26%. Dan untuk Pajak Perdagangan Internasional capaian realisasi penerimaan diperkirakan hanya sebesar Rp. 41,71 triliun atau sebesar 86,14% dari target yang ditetapkan.

4.1.2 Penggelapan Pajak

Permasalahan perpajakan terutama rendahnya target dan realisasi pada tiap tahun belum beranjak dari permasalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun. Bahkan nyaris tidak ada permasalahan baru terutama permasalahan internal di otoritas perpajakan Indonesia. Rendahnya target pencapaian penerimaan pajak ditahun 2013 disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya ialah disebabkan oleh tingginya praktik


(47)

penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak badan dan pribadi. Global financial integrity (2011) merilis dari 2001-2010, total uang illegal yang keluar dari Indonesia sebesar US$ 103 miliar (rata-rata tiap tahunnya kira-kira US$ 9.6 miliar atau Rp 100-110 triliun).

Sumber: Global financial integrity (diolah)

Gambar 4.2

Illegal Money Indonesia Tahun 2001-2011

4.1.3. Tax Ratio

Indonesia termasuk lower middle income country. Negara-negara dalam kelompok ini biasanya memiliki rata-rata tax ratio sebesar 19%-26% dari PDB. Tax ratio yang merupakan persentase penerimaan perpajakan terhadap PDB menjadi ukuran penilaian kemampuan pemerintah dalam memungut pajak dan mengumpulkannya.

0 20 40 60 80 100 120 140 160


(48)

Table 4.1

Tax Ratio Menurut Sektor Tahun 2008-2012

Klasifikasi Lapangan Usaha Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Pertanian 1.8 1.7 1.4 1.3 1.2

Pertambangan dan Penggalian 12.6 5.7 8.1 8.1 6.3

Industri Pengolahan 9.7 10.8 11.2 12.5 12.6

Listrik, Gas, dan Air Bersih 15.5 14.0 19.1 20.0 13.5

Konstruksi 4.3 3.6 3.5 3.8 3.2

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 9.7 9.5 9.6 10.4 10.3

Pengangkutan dan Komunikasi 10.6 8.4 7.9 7.5 7.1

Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 19.4 19.7 19.8 18.3 18.0

Jasa-jasa 5.4 5.3 4.5 4.5 4.2

Sumber: Kementerian Keuangan, Republik Indonesia (diolah)

Tingginya praktek penghindaran pajak dan penggelapan pajak disektor industri ekstraktif/ pertambangan, penggalian dan sektor industri pengolahan sudah sangat memprihatinkan. Sektor pertambangan dan penggalian, pada tahun 2012 memberikan sumbangan terhadap tax ratio hanya sebesar 6,3%. Dimana total penerimaan pajak disektor pertambangan dan penggalian tahun 2012 hanya sebesar 60,73 triliun, padahal PDB untuk sektor ini sudah sebesar Rp. 970,6 triliun. Dalam praktiknya, sektor ini sangat rawan teradinya praktik-praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak terutama untuk sub sektor migas dan sub sektor pertambangan batu bara. Penerimaan pajak dari sub sektor migas jauh dibawah potensi ekonomi yang dimiliki oleh sektor ini. Lemahnya regulasi dan sistem pengawasan disektor migas dan transparansi yang kurang serta praktik-praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan migas merupakan tindakan yang sangat merugikan keuangan negara.


(49)

4.1.4 Tarif Pajak Rata-Rata

Tarif pajak merupakan variabel yang sering menjadi objek kebijakan, namun pemahaman terhadap permasalahan bagaimana perubahan tarif pajak mempengaruhi kepatuhan pajak masih terbatas.

Berikut adalah tarif pajak rata-rata Indonesia tahun1999-2013:

Sumber: World Bank (diolah)

Gambar 4.3

Average Tax Rate Indonesia

Berdasarkan gambar 4.3 diatas dapat dilihat bahwa tarif pajak rata-rata Indonesia dari tahun 1999-2004 berada pada nilai 30%, kemudian meningkat pada tahun 2005-2008 sebesar 31.4%. Pada tahun 2009-2011 tarif pajak rata-rata turun menjadi 28.7%, kemudian pada tahun 2012-2013 mengalami peningkatan sebesar 31.4%. Dengan tinggi nya tarif pajak rata-rata Indonesia membuat Indonesia kalah dalam perebutan FDI, selain itu juga memicu terjadinya penyimpangan-penyimpangan pajak melalui skema transfer pricing, royalty, dan rekayasa tax shifting lainnya, yang dapat menggerus penerimaan pajak negara ini. Fenomena ini

27 27.5 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 31.5 32


(50)

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012

menjadikan hambatan dalam iklim investasi dan daya saing negara. Karena pihak wajib pajak luar negri (FDI) selalu berusaha menggeser beban, akibatnya beban pajak menjadi tanggung jawab wajib pajak dalam negri sendiri.

4.1.5 Pendapatan Riil Perkapita

Sejak akhir 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak itu aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan semakin ditekankan dan ini diidentifikasikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program-program dari pemerintah pusat hingga saat ini yang mencerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijkan yang mendukung pembangunan industri kecil, rumah tangga dan koperasi, Program Keluarga Sejahtera, Program KB, UMR, UMP, dan lain sebagainya. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, pendapatan rata-rata perkapita di Indonesia mengalami suatu peningkatan yang pesat.

Sumber: world bank (diolah)

Gambar 4.4


(51)

Dari Gambar 4.4 diatas, dapat dilihat bahwa dibandingkan pada tahun 1980-1998, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama dalam kurun waktu 7 tahun terakhir (2008, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013). Indonesia mengalami pergerakan pendapatan perkapita sebagai berikut:

1. Sebelum tahun 1990, Indonesia masuk ke negara berpendapatan rendah (low income countries), yaitu negara-negara yang pendapatan perkapita penduduknya <US$ 785.

2. Pada tahun 1990-2013, pendapatan perkapita penduduk Indonesia meningkat antara US$ 785–3.125. Dimana tahun 2011-2013, income per capita Indonesia mencapai lebih dari US$2500.

Tahun 2010 Perekonomian Indonesia memang sedang naik daun. Ketika dunia dilanda krisis, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh positif, bahkan hingga 4,5 persen pada 2009. Padahal, tahun itu banyak negara mengalami kemerosotan dalam perekonomian.

4.1.6 Inflasi

Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain tingkat inflasinya mencapai sekitar tiga sampai lima persen per tahun dalam periode 2005 sampai 2013, tingkat inflasi di Indonesia mencapai rata-rata 8.5 persen per tahun dalam periode yang sama.


(52)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: Bank Indonesia (diolah)

Gambar 4.5

Inflasi Indonesia Tahun 1999-2013

Puncak volatilitas inflasi Indonesia berhubungan dengan kebijakan penyesuaian harga oleh pemerintah. Harga-harga energi (bahan bakar minyak dan listrik) ditetapkan oleh pemerintah dan oleh karena itu tidak mengikut kondisi pasar, yang berarti defisit yang muncul harus diserap oleh subsidi. Hal ini mengakibatkan tekanan besar pada defisit anggaran tahunan pemerintah dan juga membatasi pengeluaran publik dalam hal-hal produktif jangka panjang, seperti infrastruktur dan pengeluaran untuk soal sosial. Selain itu, mengatur ulang subsidi energi (menaikkan harga energi) dapat mengakibatkan timbulnya risiko politik karena keresahan sosial akan timbul bilamana ada tekanan inflasi. Salah satu ciri khas Indonesia adalah bahwa sebagian besar penduduknya berada sedikit di atas garis kemiskinan, yang


(53)

berarti bilamana kejutan inflasi yang relatif kecil terjadi, mereka akan jatuh ke bawah garis kemiskinan itu.

Inflasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh keputusan pengurangan tidaknya subsidi tersebut. Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga BBM sebanyak Rp 2,000 dapat menambahkan sekitar tiga poin persentase pada tingkat inflasi umum dan dapat menambahkan sekitar satu poin persentase pada inflasi inti. Kenaikan harga listrik diperkirakan akan menyebabkan efek yang lebih kecil (< 1 persen) terhadap laju inflasi. Sebagai gambaran, Bank Indonesia menargetkan tingkat inflasi sebanyak 4.5 persen pada tahun 2013. Namun setelah kenaikan harga BBM dan listrik, inflasi naik menjadi 8.37 persen di akhir tahun (yoy).

4.2 Uji Akar Unit

Stasioneritas merupakan salah satu prasyarat penting dalam model ekonometrika untuk data runtut waktu (time series). Data stasioner adalah data yang menunjukkan mean, varians dan autovarians (pada variasi lag) tetap sama pada waktu kapan saja data itu dibentuk atau dipakai, artinya dengan data yang stasioner model time series dapat dikatakan lebih stabil. Apabila data yang digunakan dalam model ada yang tidak stasioner, maka data tersebut dipertimbangkan kembali validitas dan kestabilannya, karena hasil regresi yang berasal dari data yang tidak stasioner akan menyebabkan spurious regression. Spurious regression adalah regresi yang memiliki R2 yang tinggi, namun tidak ada hubungan yang berarti dari keduanya. Salah satu konsep formal yang dipakai untuk mengetahui stasioneritas data adalah melalui uji akar unit (unit root test). Analisis diawali dengan pengujian stasioner pada


(54)

masing-masing variabel dengan menggunakan Uji Phillips-Perron (PP) yaitu dengan menggunakan pendekatan nonparametrik untuk mengatasi autokorelasi tanpa menambahkan bentuk lag pada model

H0 : δ = 0 (terdapat unit root, tidak stasioner) H1 : δ ≠ 0 (tidak terdapat unit root, stasioner)

Tabel 4.2

Hasil Pengujian Akar Unit

Variabel

Tingkat Stasioner

Level First Difference

t-stat Keterangan t-stat Keterangan

INF -2.395231 Tidak Stasioner -4.133979** Stasioner Ln C_M2_ -1.7908 Tidak Stasioner -5.591850* Stasioner

Ln ATR -6.0454* Stasioner -10.10642* Stasioner

Ln IR -6.160287* Stasioner -10.34891* Stasioner

Ln PCY -3.025679 Tidak Stasioner -3.729380*** Stasioner

Ln TE -16.87297* Stasioner -32.24531* Stasioner

Sumber: Output eviews (Diolah) Keterangan :

* > nilai kritis McKinnon pada α =1% ** > nilai kritis McKinnon pada α = 5% *** > nilai kritis McKinnon pada α =10%

Dari tabel 4.2 tersebut dapat dilihat bahwa variabel ATR, IR, dan TE stasioner

pada tingkat level, sedangkan variabel INF, �⁄ , dan PCY tidak stasioner pada tingkat level. Oleh karena itu, untuk melanjutkan pengujian selanjutnya semua variabel tersebut harus sama-sama stasioner. Sehingga dilakukan uji akar unit pada tingkat first difference.

Dari hasil uji akar unit dapat dilihat bahwa seluruh variabel telah stasioner. Sehingga dari hal tersebut bisa dilakukan pengujian selanjutnya.


(55)

4.3. Estimasi Penggelapan Pajak Di Indonesia

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tanzi (1983), Faal (2003), dan Bekoe (2010) yang telah mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang berpengaruh terhadap tingkat currency yang dimiliki oleh masyarakat dalam beberapa periode, maka berdasarkan penelitian tersebut dapat dilakukan estimasi persamaan currency demand untuk menentukan besarnya tingkat ekonomi bawah tanah dan penggelapan pajak. Berdasarkan teknik OLS, diperoleh masing-masing estimasi persamaan currency demand sbb:

Tabel 4.3 Hasil Regresi Model 1 Variabel Dependen : Ln_�⁄ Metode : Ordinary Least Square (OLS)

Variabel Nilai Koefisien Std. Error t-statistic Prob

LnATR -0.031018 0.135496 -0.228925 0.8231

LnPCY 0.033065 0.025322 1.305745 0.2183

LnIR -0.097421 0.036600 -2.661807 0.0221

C -2.491903 0.682772 -3.649687 0.0038

R-squared 0.768300

Adjusted R-squared 0.705109

F-statistic 12.15840

Prob (F-statistic) 0.000813

Sumber: Output eviews (Diolah) Bentuk persamaan Model 1:

(�⁄ )t = − . − . n��� - 0.09 �� + 0.03 ����

Dengan menggunakan hasil dari estimasi model currency-M2 tersebut, kemudian dapat diestimasi seberapa besar tingkat underground economy dan


(56)

penggelapan pajak melalui cara yang dipakai oleh Tanzi (1980, 1983), Schneider (2007), yaitu pertama dengan menghitung seberapa besar tingkat illegal money, legal money, velocity of money (perputaran uang), underground economy, dan terakhir adalah penggelapan pajak.

Tabel 4.4

Hasil Estimasi Illegal Money, Legal Money, Velocity of Money, Underground Economy, dan Tax Evasion

Tahun Im

(Triliun)

Lm

(Triliun) V

Ue

(Miliar) Te (Triliun)

1999 -120.342 132.805 0.000097389 129.33 22345

2000 -68.003 84.222 0.000178477 150.317 111064

2001 -94.919 112.692 0.000127260 143.41 185541

2002 -99.823 119.017 0.000144834 172.37 210088

2003 -73.845 96.225 0.000234601 225.74 242048

2004 -49.048 736.433 0.000332754 245.05 280559

2005 -71.270 98.384 0.000276423 271.95 347031

2006 -115.052 149.754 0.000233074 349.03 409203

2007 -96.525 141.531 0.000292826 414.44 490989

2008 -117.976 163.655 0.000300701 492.11 658701

2009 -145.157 196.740 0.000264661 520.69 619922

2010 -127.312 187.853 0.000366926 689.28 723307

2011 -146.453 218.752 0.000375403 821.20 873874

2012 -145.265 229.430 0.000370836 850.81 980518

2013 -172.349 261.057 0.000322334 841.47 1077307

Sumber: Output Excel (Diolah)

4.4 Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model yang merupakan dasar bagi sebagian besar model penggelapan pajak yang pertama kali dilakukan oleh Becker (1968) dengan memperkenalkan pendekatan teori ekonomi criminal (economics of crime), dan kemudian dikembangkan oleh Allingham dan


(57)

Sandmo (1972) yang dikenal dengan model pendekatan penggelapan pajak yang menggunakan konsep expected utility yang selanjutnya dimodifikasi oleh Yitzhaki (1974), Clotfelter (1983) dan Tanzi (1993). Dimana estimasinya adalah sebagai berikut:

1nTEt= α0+ α1 1n ATRt+ α2 1n rPCYt+ α3 INFt + µt

Tabel 4.5 Hasil Regresi Model 2 Variabel Dependen : Ln_TE Metode : Ordinary Least Square (OLS)

Variabel Nilai Koefisien Std. Error t-statistic Prob

LnATR -1.470265 3.939106 -0.373248 0.7161

LnrPCY 1.606628 0.211318 7.602912 0.0000

INF 0.073292 0.034271 2.138575 0.0557

C 18.28285 13.27792 1.376937 0.1959

R-squared 0.841789

Adjusted R-squared 0.798641

F-statistic 19.50919

Prob (F-statistic) 0.000104

Sumber: Output Eviews (Diolah) Bentuk persamaan Model 2:

1nTEt = . − . n ��� + 1.606628 1n rPCYt + 0.073292 INFt

4.5 Pengujian Statistik

4.5.1 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) mencerminkan besarnya pengaruh perubahan variabel-variabel bebas (independent variables) dalam menjelaskan perubahan pada variabel tidak bebas (dependent variables) secara bersama-sama, dengan tujuan untuk mengukur kebenaran dan kebaikan hubungan antar variabel dalam model yang digunakan. Besarnya nilai koefisien determinasi adalah antara 0 hingga 1 (0<R2<1),


(58)

dimana nilai koefisien mendekati 1, maka model tersebut dikatakan baik karena semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tidak bebasnya.

Hasil estimasi model dengan metode OLS menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.841789, artinya sekitar 84.17% perubahan penggelapan pajak dipengaruhi oleh variabel-variabel penentu dalam model ini sedangkan sisanya 15.83% diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model ini. 4.5.2 Uji F

Uji F-stat digunakan untuk menguji tingkat signifikansi dari pengaruh secara bersama-sama dalam menjelaskan variasi variabel terikatnya. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel.

Dengan tingkat signifikansi dan derajat kebebasan tertentu : Fα (k, n-k-1), dimana α adalah tingkat signifikansi, n menunjukkan jumlah observasi, k menunjukkan jumlah variabel bebas dan merupakan derajat kebebasan untuk pembilang (N1), serta n-k-1 menunjukkan derajat kebebasan untuk penyebut (N2).

Apabila ternyata setelah dihitung nilai F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak atau dengan kata lain bahwa paling tidak ada satu slope regresi yang signifikan secara 42statistik. Dimana k adalah jumlah variabel bebas (koefisien slope), dan n jumlah observasi (sampel).

Tabel 4.6 Nilai F-Tabel

N1 N2 α

1% 5%


(59)

Dari hasi regresi diperoleh hitung 19.50919. Nilai ini lebih besar dari F-tabel pada tingkat signifikansi 1%. Sehingga H0 ditolak yang artinya secara statistik variabel bebas tarif pajak rata-rata, pendapatan riil perkapita, dan inflasi secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat penggelapan pajak.

4.5.3 Uji T

Pengujian t-statistik digunakan untuk menguji pengaruh parsial dari variabel-variabel bebas terhadap variabel-variabel tidak bebasnya. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel.

Tabel 4.7 Nilai t-tabel Degree Of

Freedom (df)

α

1% 5% 10%

n-k 3.012 2.160 1.771

Tabel 4.8 Hasil Uji t-statistik

Variabel t-statistik H0 Keterangan

C 1.376937 Diterima Tidak Signifikan

LnATR -0.373248 Diterima Tidak Signifikan

LnPCY 7.602912 Ditolak Signifikan pada α = 1%

INF 2.138575 Ditolak Signifikan pada α = 10%

Sumber : Outputeviews (telah diolah kembali)

Dari Tabel 4.8 diatas dapat dilihat bahwa variabel bebas pendapatan riil perkapita dan inflasi masing-masing berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat penggelapan pajak. Sedangkan variabel bebas tarif pajak rata-rata tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat penggelapan pajak.


(60)

4.6 Analisis Ekonomi Hasil Estimasi Model

Hasil regresi yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya yang ditunjukkan oleh koefisien dalam persamaan. Analisis ini diperlukan untuk melihat apakah kecenderungan model secara empiris sudah memenuhi kaidah-kaidah dalam teori ekonomi.

4.6.1 Hubungan Tarif Pajak dengan Penggelapan Pajak di Indonesia

Tarif pajak menentukan tingkat penerimaan pajak dan berhubungan dengan kecenderungan wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Tarif pajak merupakan bagian penghasilan yang dilaporkan yang harus dibayarkan kepada negara oleh wajib pajak. Pada tingkat penghasilan tertentu yang dilaporkan, tarif pajak akan berpengaruh negatif pada utility wajib pajak. Semakin rendah tarif pajak akan meningkatkan utility wajib pajak dan akan memberikan insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak.

Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi yaitu penghasilan sebelum pajak, tarif pajak dan penalti. Berdasarkan konsep expected utility sebagaimana model A-S, seorang wajib pajak akan melaporkan penghasilannya sedemikian rupa sehingga tingkat expected utility dari penghasilan yang diterimanya akan maksimal. Pada kondisi tingkat penghasilan rendah, tarif pajak rendah akan mendorong wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya pada administrasi pajak namun apabila tarif pajak dan penghasilannya tinggi, wajib pajak akan cenderung untuk tidak melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak. Hal ini didukung


(61)

oleh beberapa temuan empirik yang memperlihatkan penurunan kepatuhan pajak seiring meningkatnya tarif pajak (Clotfelter,1983).

Hasil regresi pada penelitian ini menunjukkan koefisien dari variabel tarif pajak rata-rata berpengaruh negatif yaitu -1.470265, namun dengan model penelitian dan data yang digunakan, hipotesis nol nya tidak dapat ditolak. Sehingga dalam penelitian ini variabel tarif pajak rata-rata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penggelapan pajak di Indonesia.

3.6.2 Hubungan Tingkat Pendapatan Riil Perkapita dengan Penggelapan Pajak di Indonesia

Pendapatan riil perkapita sering digunakan sebagai tolok ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan riil perkapitanya, semakin makmur negara tersebut. Apabila pendapatan riil perkapita turun maka daya beli masyarakat lebih lemah, masalah-masalah sosial dan perilaku wajib pajak berubah yaitu cenderung untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali kewajiban perpajakannya. Dengan melemahnya daya beli, kemungkinan uang untuk melunasi kewajiban pajak dialihkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Pada keadaan seperti ini maka dimungkinkan terjadinya tingkat penggelapan pajak yang tinggi oleh wajib pajak.

Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang berkontribusi terhadap tingkat penggelapan pajak di Ghana periode 1970-2010. Dengan menggunakan metode Auto Regressive Distributed Error Correction Model (ARDL ECM) dan uji kointegrasi bound testing, berdasarkan hasil estimasi jangka panjang


(62)

menunjukkan bahwa tingkat pendapatan riil perkapita di Ghana berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak. Dimana semakin rendah tingkat pendapatan perkapita maka tingkat penggelapan pajak akan semakin tinggi.

Hal diatas tidak sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa koefisien dari variabel pendapatan riil perkapita berpengaruh positif 1.606628 dan signifikan. Ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan 1% pendapatan riil perkapita, ceteris paribus, akan menyebabkan penggelapan pajak meningkat sebesar 1.606628%. 3.6.3 Hubungan Tingkat Inflasi dengan Penggelapan Pajak di Indonesia

Pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat.

Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu. Hal ini akan berpengaruh terhadap kewajiban mereka dalam membayar pajak, dimana mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokoknya terlebih dahulu daripada melaksanakan kewajiban mereka dalam membayar pajak. Dalam situasi seperti ini maka dimungkinkan akan terjadi tingkat penggelapan pajak yang tinggi oleh wajib pajak.

Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang berkontribusi terhadap tingkat penggelapan pajak di Ghana periode 1970-2010. Dengan


(63)

menggunakan metode Auto Regressive Distributed Error Correction Model dan uji kointegrasi bound testing, berdasarkan hasil estimasi jangka panjang menunjukkan bahwa tingkat inflasi di Ghana berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak. Dimana semakin tinggi tingkat inflasi maka tingkat penggelapan pajak pun meningkat.

Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa variabel inflasi berpengaruh positif sebesar 0.073292 dan signifikan. Ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan 1% inflasi, ceteris paribus, akan menyebabkan penggelapan pajak meningkat sebesar 0.073292%.


(1)

3.

Uji Akar Unit LnIR

Level

Null Hypothesis: LNIR has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 10 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -6.160287 0.0013

Test critical values: 1% level -4.800080

5% level -3.791172

10% level -3.342253

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 14

First Difference

Null Hypothesis: D(LNIR) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 12 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -10.34691 0.0000

Test critical values: 1% level -4.886426

5% level -3.828975

10% level -3.362984

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20


(2)

4.

Uji Akar Unit LnPCY

Level

Null Hypothesis: LNPCY has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 1 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -3.025679 0.1600

Test critical values: 1% level -4.800080

5% level -3.791172

10% level -3.342253

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 14

First Difference

Null Hypothesis: D(LNPCY) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 1 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -3.729380 0.0582

Test critical values: 1% level -4.886426

5% level -3.828975

10% level -3.362984

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20


(3)

5.

Uji Akar Unit LnTE

Level

Null Hypothesis: LNTE has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 1 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -16.87297 0.0001

Test critical values: 1% level -4.800080

5% level -3.791172

10% level -3.342253

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 14

First Difference

Null Hypothesis: D(LNTE) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 12 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -32.24531 0.0001

Test critical values: 1% level -4.886426

5% level -3.828975

10% level -3.362984

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20


(4)

6.

Uji Akar Unit INF

Level

Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 1 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -2.395231 0.3655

Test critical values: 1% level -4.800080

5% level -3.791172

10% level -3.342253

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 14

First Difference

Null Hypothesis: D(INF) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Bandwidth: 0 (Newey-West using Bartlett kernel)

Adj. t-Stat Prob.*

Phillips-Perron test statistic -4.133979 0.0315

Test critical values: 1% level -4.886426

5% level -3.828975

10% level -3.362984

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20


(5)

LAMPIRAN 3

ESTIMASI

ORDINARY LEAST SQUARE

1.

Hasil Regresi Model 1

Dependent Variable: LN_C_M2_ Method: Least Squares

Date: 06/01/15 Time: 09:30 Sample: 1999 2013

Included observations: 15

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -2.491903 0.682772 -3.649687 0.0038

LNATR -0.031018 0.135496 -0.228925 0.8231

LNPCY 0.033065 0.025322 1.305745 0.2183

LNIR -0.097421 0.036600 -2.661807 0.0221

R-squared 0.768300 Mean dependent var -2.272000

Adjusted R-squared 0.705109 S.D. dependent var 0.065705

S.E. of regression 0.035680 Akaike info criterion -3.605256

Sum squared resid 0.014004 Schwarz criterion -3.416443

Log likelihood 31.03942 Hannan-Quinn criter. -3.607267

F-statistic 12.15840 Durbin-Watson stat 0.852560


(6)

2.

Hasil Regresi Model 2

Dependent Variable: LNTE Method: Least Squares Date: 07/09/15 Time: 23:30 Sample: 1999 2013

Included observations: 15

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 18.28285 13.27792 1.376937 0.1959

LNATR -1.470265 3.939106 -0.373248 0.7161

LNPCY 1.606628 0.211318 7.602912 0.0000

INF 0.073292 0.034271 2.138575 0.0557

R-squared 0.841789 Mean dependent var 40.38680

Adjusted R-squared 0.798641 S.D. dependent var 1.010276

S.E. of regression 0.453342 Akaike info criterion 1.478836

Sum squared resid 2.260704 Schwarz criterion 1.667650

Log likelihood -7.091273 F-statistic 19.50919